Senin, 04 Juli 2016

MUHASHABAH RAMADHAN


Hari ini tanggal 29 Ramadhan ya Allah…Ramadhan sudah dipenghujungnya…..tapi kami belum banyak mengisinya dengan amalan-amalan yang benar.  
Tadarus kami masih tidak tartil dan kami hanya membaca tanpa mengetahui mak’nanya.  
Puasa kami baru sebatas tidak makan dan minum, karena  walaupun kami puasa…..mata kami masih senang melihat keindahan dunia yang melintas, mulut kami masih sering berghibah, telinga kami masih tajam mendengar gosip-gosip miring, demikian juga hati kami yang masih penuh prasangka.  
Tarawih kami, Tahajud kami, rasanya masih jauh dari sempurna.  Keinginan agar sholat lebih cepat selesai tidak bisa kami hilangkan, bahkan kadang kami menggerutu dalam hati karena imam membaca al-Fatihah berlambat-lambat.  
Zakat kami masih kami hitung-hitung dengan sangat cermat, takut kelebihan…seakan-akan kami berniaga dengan sesama.  Infak kami yang sangat minimalis masih tetap di ingat-ingat.  
Kesombongan-kesombongan kami, masih belum terkikis …..seakan tidak ada hikmah tersisa setelah melakukan ibadah puasa.  Nafsu dunia kami masih belum bisa benar-benar kami tundukkan.  Dengan pola pikir dan pola tindak seperti ini, apakah kami pantas untuk minta ridho-MU ?  Padahal hanya dengan ridho-Mu kami bisa meraih surga yang Engkau janjikan.   
Ya Allah…..kami hanya bisa menangis, kami hanya bisa menyesal.
Menangislah.. sebelum Ramadhan pergi .....karena kita pernah berjanji mengkhatamkan Qur'an..namun setelah Ramadhan di akhir hitungan, kita tak jua beranjak dari juz awalan..
Menangislah....sebelum Ramadhan pergi ...karena  kita pernah berjanji menyempurnakan qiyamullail yang bolong penuh tambalan..namun setelah Ramadhan di akhir hitungan, kita tak jua menyempurnakan bilangan..
Menangislah.. sebelum Ramadhan pergi ..........karena kita pernah berdoa sejak Rajab dan Sya'ban agar disampaikan ke Ramadhan..namun setelah Ramadhan di akhir hitungan.. ternyata kita masih juga tak bisa menahan dari kesia-siaan.. ternyata masih juga kita tak bisa menambah ibadah sunnah.. bahkan.. hampir terlewat dari menunaikan yang wajib...
Menangislah wahai saudaraku....... biar butir bening itu jadi saksi di yaumil akhir.. bahwa ada satu hamba yang bodoh, lalai, sombong lagi terlena.. sehingga Ramadhan yang mulia pun tersia-sia..
Menangislah.. dan tuntaskan semuanya malam ini.. atas i'tikaf yang belum juga kita kerjakan..lembaran Qur'an yang menunggu dikhatamkan.. atas lembaran mata uang yang menunggu disalurkan.. atas sholat sunnah yang menunggu jadi amal tambahan..
Menangislah.. lebih keras lagi... karena Allah tidak menjanjikan apapun untuk Ramadhan tahun depan.. apakah "kita" masih disertakan..
Ya Allah, jangan kau akhiri Ramadhan ini.  beri kami kesempatan untuk berbuat lebih baik, mengisi Ramadhan dengan kegiatan ibadah yang lebih baik.  Ya Allah…..dengan segenap kekurangan ibadah kami, kami mohon Engkau dapat menerima dan menyempurnakannya. 
Ya Allah sampaikanlah kami semua….jamaah Masjid Al-Ikhlas ke Ramadahan yang akan datang.  Berilah kami petunjuk sehingga kami dapat beribadah  mengisi Ramadhan dengan lebih baik.  


Ya Allah…kami hanya menginginkan ridho-Mu.  Aamiiiin.

Catatan :
dibacakan dalam ceramah subuh di Masjid Al-Ikhlas Bekasi tanggal 29 Ramadhan 1437 H, berdasarkan referensi dari berbagai sumber.

(salam hangat dari kang sepyan)

Selasa, 07 Juni 2016

KULIAH SUBUH



Innalhamdalillahi nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu
Wanudzubiillah minsyurruri ‘anfusinaa waminsayyi’ati ‘amaalinnaa
Mayahdihillahu falah mudhillalah Wa mayyudhlil falaa haadiyalah


Asyhadu allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.   
Allahumma Shalli Alaa Sayyidina Muhammad Wa alihi Washahbihi Wasallim.
Audzubillahiminassyaitoonirozim, bissmillahirrohmanirrohiim.
Wal ‘ashri . innal insaana lafii khusrin. illalladziina aamanuu wa’amilush shoolihaati watawaa shoubil haqqi watawaa shoubish shobri 
Puji dan syukur mari sama-sama kita panjatkan ke Hadirat Allah swt yang telah memberikan banyak kenikmatan.  Nikmat sehat, nikmat kesempatan, dan juga nikmat hidayah, sehingga kita semua terpilih oleh Allah, didatangkan dalam majlis yang penuh rachmat ini, yaitu majlis ta’lim kuliah shubuh pada hari ketiga Ramadhan tahun ini.  Begitu banyak teman dan saudara-saudara kita yang tidak bisa hadir disini baik karena adanya keterbatasan fisik atau mungkin masih adanya hizab yang menutupi.  Mari sama-sama kita doakan agar Saudara-saudara kita yang lain di kesempatan berikutnya dapat ikut berkumpul untuk kegiatan-kegiatan taklim di Masjid.  Memakmurkan bersama Masjid yang kita cintai ini.  Menjadikan Masjid sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan yang islami sebagaimana jaman nabi.

Sholawat dan salam mari sama-sama kita sampaikan kepada junjunan kita nabi besar Muhammad SAW.  Juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan kepada seluruh umatnya sampai akhir zaman.

Bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah shalat subuh yang berbahagia.  Pertama-tama saya mohon maaf sudah berani-beraninya berdiri di depan ini.  Hal ini bermula dari obrolan Sabtu subuh (tiap sabtu subuh ada pertemuan panitia pembangunan Masjid), bahwa waktu itu kami mendiskusikan kegiatan apa atau kontribusi apa yang dapat kami berikan untuk Masjid setelah pembangunan selesai ? Lalu muncul ide bahwa setelah membangun fisik, kita teruskan dengan membangun mental.  Caranya seperti apa ? Kita harus belajar ceramah, belajar adzan, belajar ngaji, dll.  Rupanya ide tersebut di tangkap oleh Ketua DKM sehingga menjelang bulan Romadhon saya di SMS beliau menanyakan kesediaan memberikan kultum (kuliah tujuh) menit pada bulan Romadhon.  Saya jawab, Inshaa Allah, saya coba asalkan Bapak-Bapak yang lain juga kebagian.  Biar sama-sama belajar.

Lalu saya mencoba untuk “menghasut” teman-teman agar mau kalau ditawari untuk mengisi ceramah Ramadhan. Khan hanya tujuh menit.  Tapi rupanya ketika pada awal Ramadhan saya menerima jadwal penceramah, ternyata Bapak-bapak yang lain tidak ada yang masuk dalam daftar.  Yang lebih mengerikan lagi, ternyata saya dijadwalkan untuk 3 kali kuliah subuh dan 3 kali kultum menjelang berbuka puasa.  Padahal kuliah subuh itu 30 sampai 45 menit...apa yang harus saya omongkan untuk ceramah selama itu.

Otak saya berfikir bagaimana caranya mencari alasan agar saya membatalkan kesediaan menjadi penceramah.  Ada seribu alasan untuk bisa menolak, mulai dari waktu lah karena harus kerja, belum siaplah, dll.  Tetapi ternyata ada juga seribu alasan untuk mau melakukan tugas tersebut.  Alasan yang paling mendorong saya untuk mau tampil kali ini adalah surat al-ashr sebagaimana yang dibacakan tadai.  Demi waktu.  Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian.  Jadi dengan berjalannya waktu, kalau kita tidak melakukan sesuatu, maka kita menjadi orang yang merugi.  Bukan inpas, tetapi rugi.  Selanjutnya dalam ayat ketiga dijelaskan bahwa yang tidak termasuk orang yang merugi adalah apabila menjadi orang yang beriman dan beramal soleh dan saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat menasehati dalam kesabaran.  Kesluruhan hal di atas yaitu beriman, bermal soleh, nasihat menasihati dalam kebenaran dan nasihat menasihati dalam kesabaran harus dilakukan karena menggunakan kata dan, bukan kata atau.  Jadi tidak bisa hanya beriman dan beramal soleh saja tapi tidak nasihat menasihati.  

Saya melihat bahwa kesediaan saya menyampaikan kuliah subuh ini, mudah-mudahan menjadi pintu pembuka untuk mengerjakan nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran ? Inshaa Allah.

Bapak dan Ibu Jamaah sholat subuh yang berbahagia.
Ada beberapa tema yang ingin saya sampaikan dalam ceramah selama bulan Ramadhan ini.  Istri saya menasihati agar dipilih saja hal yang paling dikuasai, tapi yang berhubungan dengan keislaman.  Kebetulan beberapa tahun lalu saya pernah ditempatkan di bank Syariah, kenapa tidak membahas tentang ekonomi islam atau perbankan syariah ?  Lalu saya mencoba mencari-cari kembali literatur tentang bank syariah.

Tapi tiba-tiba tadi pagi saya ingat bahwa di kantor saya dalam waktu kurang dari 24 jam lagi akan melakukan peluncuran satelit.  Ada baiknya juga kalau saya mohon doa restu dari jamaah seluruhnya untuk kesuksesan acara peluncuran satelit tersebut.  Tapi ngomong-ngomong satelit itu apa ya ?

Satelit itu alat yang diluncurkan ke ruang angkasa yang digunakan untuk alat komunikasi.  Satelit akan menangkap signal yang kita kirimkan dan selanjutnya akan mengirimkan kembali signal tersebut ke tempat lain yang dituju.  Bapak-bapak dan ibu-ibu punya handphone khan ? bisa WA, Facebook, SMS, telepon dan lain-lain adalah menggunakan satelit tersebut.  Begitu maju tekhnologi saat ini.  Saya ingat sekitar tahun 90 awal rasanya sangat kaya dan sangat bangga ketika menggunakan handphone.  Tetapi sekarang ?  siapa yang tidak punya HP ? semua profesi punya HP dari mulai pengemis, pemulung, kopral, jendral, pengusaha, buruh, dan karyawan seperti saya.  Komunikasi sekarang sudah bisa dilakukan dengan melihat gambarnya atau vidiocall, bisa rapat di tempat yang berbeda-beda, bisa mengirim bukan hanya pesan dengan jumlah kata yang sedikit, tetapi bisa mengirimkan buku-buku segudang dalam waktu hanya sebentar.  Cuma masalahnya yang bias dikirim apabila berbentuk data digital.  Bagaimana dengan pengiriman barang ?

Pengiriman barang tradisional itu mulai di pikul, di seret, dijinjing, pakai mobil, pakai truk, pakai kapal laut, atau pakai pesawat.  Yang lebih canggih lagi adalah pengiriman senjata dengan peluru kendali, yaitu kita tentukan koordinatnya, lalu peluru kendali meluncur menuju titik tersebut untuk menyerang dan menghancurkan.  Jadi dengan peluru kendali baru bisa mengirim ke alamat tertentu tapi mendaratnya lebih mulus.  Nah kembali ke satelit, yang inshaa Allah akan diluncurkan besok hari Kamis tanggal 9 Juni 2016 jam 04.30 wib atau Rabu jam 20.30 waktu Kourou (Amerika Latin) tempat peluncuran, dia akan meluncur melalui pesawat khusus, lalu pesawatnya meledak dan satelit tersebut akan terlontar keluar berputar-putar mengelilingi bumi menuju orbit yang ditentukan yaitu di 150,5 bujur timur atau di atas Papua.  Waktu yang diperlukan untuk berjalan dari Guyana Amerika Latin ke Papua adalah sekitar 10 hari.  Dan selanjutnya sateit tersebut akan mendiami pos yang telah ditentukan untuk dapat digunakan membantu komunikasi selama 17 tahun.  Kebayang enggak ?  Jadi dengan alat yang mahal dan canggih, sekarang manusia sudah bisa mengirimkan barang dengan kondisi tetap baik ke suatu titik tertentu.

Apakah itu canggih ? Tekhnologi mutakhir ?  Ternyata tidak.
Ribuan tahun yang lalu, jaman Nabi Sulaiman telah ada ilmu tersebut dan jauh lebih canggih.  Coba saja mari kita baca dan pelajari surat An-naml ayat 15 sampai 40, disana dikisahkan tentang proses penundukan kerajaan Saba.  Secara singkat dapat saya gambarkan, mohon maaf pakai bahasa sendiri saja biar gampang, yaitu begini :

Disebutkan bahwa Nabi Sualeman itu mengerti bahasa binatang, sehingga kerajaan Nabi Sulaean itu bukan hanya manusia saja yang menjadi tentaranya, tetapi juga termasuk jin dan burung.  Dalam sebuah pertemuan, Nabi Sulaeman memeriksa pasukannya semua hadir kecuali burung hud-hud yang tidak ada.  Lalu ketika burung hudhud datang Nabi Sulaeman bertanya, kenapa kamu terlambat ? Burung Hud-hud menjawab bahwa dia baru saja melihat sebuah Negeri yaitu Negeri Saba kaya raya, punya singgasan besar yang dipimpin oleh seorang perempuan dan mereka menyembah matahari.  Kemudian Nabi Sulaeman mengutus burung Hudhud untuk mengirimkan surat ke Ratu tersebut, yang isinya meminta kerajaan Saba untuk tunduk pada kerajaan Nabi Sualeman dan memeluk Islam.

Ratu lalu mengumpulkan para pembesarnya, meminta nasihat.  Disarankan bahwa kita coba saja dengan memberikan sesuai persembahan tapi kalau perang juga tidak maslah toh kita punya pasukan kata para pembesar Negeri Saba.  Ketika persembahan datang ke Nabi Sulaeman, persembahan itu ditolak dan dikatakan bahwa kami tidak butuh kekayaan karena kekayaan yang diberikan Tuhan kami jauh lebih banyak.  Dan diminta agar Ratu Balqis (Ratu Negeri Saba) untuk datang ke istana Nabi Sulaeman.

Dikisahkan bahwa untuk menyambut kedatangan Ratu Balqis, Nabi Sulaeman mengumpulkan pembesar-pembesarnya dan bertanya, siapakah diantara kalian yang bisa mendatangkan singasana Ratu Balqis dari Negeri Saba kesini ?  Jin Iprit angkat tangan, dan menyebutkan wahai bagianda Nabi, serahkan saja tugas itu padaku, aku sanggup memindahkan singgasana tersebut sebelum bagina Nabi turun dari kursi.  Canggih banget ya ? Kemudian Nabi Sulaeman bertanya lagi, apakah ada yang lain yang bisa ?  Lalu ada seorang yang disebutkan seagai ahli kitab yang menyatakan bahwa hamba sanggup memindahan singgasana tersebut sebelum bagianda Nabi Sulaeman berkedip.  Dan dalam sekejap telah ada singgasan Ratu Balqis di hadapan mereka.  Apakah ini dongeng ?  Apakah kita semua percaya Al-Quran ? Kalu percaya berarti ini bukan dongeng, tetapi kenyataan.

Jaman dahulu kala, ahli kitab, artinya orang telah mencapai ilmu memindahkan barang yang berat dan besar hanya dalam waktu sekejap.  Itu menandakan ilmu Allah itu sangat luas.  Itu menandakan ilmu kaum Nabi Sulaeman jauh lebih canggih dari ilmu kita yang dikatakan canggih tersebut.  Yang baru bia melontarkan barang sebesar 3 ton, dengan persiapan 2 tahun, biaya yang besar, dan waktu yang lama.

Ada hal menarik yang selalu dikatakan Nabi Sulaeman setelah mendapatkan sesuatu, misalnya setelah mendengar suara semut, setelah ada umatnya yang memindahkan singgasana.  Nabi Sulaeman selalu mengucapkan syukur kepada Allah Swt.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang saya hormati,

Dari hal-hal yang saya sampaikan tadi kiranya kita dapat menarik pelajaran bahwa kita adalah umat yang besar, umat yang berilmu.  Mari kita sama-sama semangat menggali ilmu, agar umat islam sekarang jangan kalah dengan umat Nabi Sulaeman.  Jangan sampai kecanggihan-kecanggihan tekhnologi tersebut direbut oleh umat lain.  Pendahulu-pendahulu kita telah memberi contoh.  Dan jangan lupa agar kita selalu bersyukur terhadap seluruh nikmat dan karunia yang telah dibrikan Allah Swt.

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ii ada manfaatnya buat Bapak dan Ibu sekalian.  Dan mudah-mudahan penyampaian kali ini dapat dihitung sebagai nasihat-menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati dalam kesabaran, agar kita tidak merugi.
Subhanllohumawabihamdika.  Ashaduallaillaha illa anta.  Astagfiruka waatubu ilaik.
Mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan.
Wassalamu’alaikum warrohmatullahi wabarokatuh.
 


 (salam hangat dari kang sepyan)

Jumat, 22 Januari 2016

KETIKA MULUT TERKUNCI

Walaupun kita termasuk kaum muhajirin dalam era digital, tapi tetap harus mencoba untuk menjadi kaum muhajirin yang baik. Segera beradaptasi, belajar dan membaur menjadi orang digital. Sebab kalau tidak maka kita akan menjadi terkucil, menjadi terpojok, menjadi orang masa lalu yang akhirnya akan ditinggalkan tanpa ada satu orangpun yang akan menoleh. Kalimat ini aku tujukan buat orang yang kadang masih aku temui yang merasa tidak perlu untuk memanfaatkan androidnya walaupun hanya untuk sekedar aktif di media sosial seperti bbm, watch app, line, twitter, dll. Karena hanya menggunakan android sebatas untuk telepon, akhirnya kegiatan bisnis berbasis android seperti transaksi bank dengan mobile banking, e-commerce, toko online, dll tidak pernah dia ikuti. Lebih baik dipakai untuk kegiatan yang bermanfaat dari pada ngerumpi di medsos, toh masih bisa belanja ke Mal sekalian cuci mata, dari pada menggunakan toko on line yang belum tentu terjamin kualitas barangnya, begitu dia mendesis mempertahankan eksistensinya.

Aku juga tidak memungkiri beberapa dampak negatif medsos, tapi percayalah masih banyak hal positifnya, tergantung kita melihat dan tergantung kita menggunakan. Dua sisi mata uang istilahnya. Salah satunya ada hal yang sangat menginspirasiku dari beberapa broadcast group bbm dan wa, yaitu cerita tentang seorang pensiunan petinggi perusahaan atau pejabat pemerintah (aku agak lupa) yang mengabdikan dirinya untuk menjadi merebot masjid. Beliau yang semasa tugas aktifnya selalu ditemani sopir, sekretaris, ajudan, office boy, cleaning service, dan Satpam untuk memenuhi segala kebutuhannya, kok rela mengabdi menjadi merebot sebuah masjid, rela menyapu lantai, membersihkan kamar mandi, mengelap jendela, menyedot debu karpet, mengepel, merawat tanaman di depan mesjid, membersihkan got, dan seterusnya. Apakah sudah bangkrut dia sehingga sudah tidak mampu lagi mengupah orang untuk memelihara masjid. Aku berpikir menerka-nerka berbagai kemungkinan. Akhirnya sampai pada suatu kesimpulan, pasti ada yang beliau dapatkan dari mengerjakan hal tersebut.

Seminggu sebelum peringatan hari besar Islam di mesjid lingkunganku disepakati bahwa akan diadakan kerja bakti pembersihan masjid. Jadi Sabtu kemarin menjelang peringatan Maulid, telah diumumkan pagi-pagi jam 7 kumpul di masjid untuk kerja bakti dan ibu-ibu bawa rebus-rebusan untuk konsumsi. Kebetulan pembangunan masjid hampir selesai jadi perlu banyak orang untuk beres-beres.

Kalau dalam kerja bakti yang lalu-lalu, biasanya aku cuma kerja alakadarnya sekedar berpartisipasi. Tapi kali ini, aku sudah berniat total bekerja. Pekerjaan pertama adalah mengembalikan bambu-bambu pinjaman yang telah selesai digunakan esteger masjid. Ada sekitar 140 batang yang harus kami kembalikan pada 3 warga yang meminjamkan. Tanpa canggung dan tanpa takut kotor, aku ikut ngangkat bambu ke mobil, ikut naik di bak mobil dan ikut menurunkan dan menyusun bambu-bambu tersebut ditempat yang ditentukan pemilik bambu. Waktu aku naik ke bak truk, banyak Bapak-bapak yang minta agar aku naik di depan, tapi aku gak mau dan meminta pak RT saja yang sudah lebih sepuh yang naik di depan, sambil bercanda aku bilang "mari kulinya naik". Begitu juga ketika sedang menurunkan bambu, ada diantaranya orang yang ikut ke truk tapi masih segan untuk ikut turun tangan, dia lebih memilih ngobrol sama penduduk sana yang menonton kami menurunkan bambu. Sepertiku dulu biasanya seperti itu, yang penting kelihatan ada berpartisipasi kerja bakti tapi tangan, baju, dan kaki tetap bersih.

Kerjaan selanjutnya adalah memilah sisa kayu dan bambu yang masih baik, ditumpuk rapi di tanah kosong belakang masjid, kayu dan bambu diangkat oleh beberapa orang yang berbaris tiap 2 meter seperti ban berjalan sampai ke tempat penumpukan yang ditentukan. Aku menjadi motor dan penyemangat pelaksanaan tugas tersebut. Saat matahari agak terik dan aku lihat ada orang yang ingin menghindari matahari, aku segera bertukar tempat dengannya sehingga beliau ada di tempat agak teduh dan aku kena matahari, toh aku pakai topi jadi tidak terlalu terasa panasnya. Bahkan tanganku sedikit berdarah karena kena paku yang masih banyak tertancap pada kayu dan bambu. Sambil menghisap tetesan darah yang keluar aku bilang, mudah-mudahan tangan ini menjadi saksi bahwa aku pernah ikut kerja bakti membersihkan masjid tempat ibadah. Ustadz Karim yang kebetulan jejeran denganku nenimpali "in shaa Allah pak, khan ada dalam al-quran surat 36 yaitu Yasin ayat 65 “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan"

Mendengar hal tersebut, walapun bukan pertama kalinya aku mendengar, aku terkesiap dan langsung teringat akan cerita di medsos tentang mantan pejabat yang jadi marbot. Rupanya beliau sedang menpersiapkan bekal untuk menghadapi kejadian yang pasti terjadi sebagaimana ditulis dalam surat Yasin tersebut. Loh tapi khan sebagai orang berada kita tidak harus ikut bekerja pekerjaan kotor seperti itu, kita cukup memikirkan cara agar masjid selalu bersih, mengatur tugas orang-orang yang kita gaji untuk membersihkan masjid dan menyumbangkan dana untuk dipakai menggaji orang yang membersihkan masjid tersebut. Sebagai orang terpelajar, kita cukup berkontribusi di bidang pikiran dan dana, sedangkan urusan otot dan tenaga biar bagiannya orang yang tidak memiliki cukup wawasan managerial dan orang yang tidak punya dana untuk menyumbang, jadi ada pembagian tugas. Masuk akal banget.

Tapi apakah lantas kalau kita sudah nyumbang pikiran dan dana, kita menjadi tidak punya tenaga ? Tetapi apakah lantas sumbangan pikiran kita tersebut sudah cukup menggerakan kaki dan tangan kita untuk bicara mempertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jangan-jangan pada saat mulut terkunci saat diminta pertanggungjawaban, tangan dan kaki kira bicara bahwa kami tidak pernah digunakan untuk membersihkan tempat ibadahMu, kami dibiarkan nganggur padahal sebenarnya kami mampu melakukannya. Kalau itu yang terjadi, maka celakalah yang akan menimpa. Naudzubillahimindzalik

(salam hangat dari kang sepyan)

Minggu, 17 Januari 2016

KONDANGAN

Dua petinggi warga Kavling Agraria mengadakan resepsi pernikahan putri mereka dalam waktu yang bersamaan. Pak Haji Maulana tokoh berpengaruh yang dituakan warga dan juga pengusaha sukses yang menguasai bisnis di Tanjung Priok, menikahkan putri bungsunya di sebuah Gedung Pertemuan daerah Raden Inten Kalimalang hari Sabtu malam Minggu pukul 19.00 s.d 21.00. Pak Purwanto, ketua RW di Kavling Agraria dan juga merupakan pejabat di kantor DPRD Bekasi menikahkan putri pertamanya yang mendapatkan suami Bule Prancis di Islamic Centre Bekasi pada hari Sabtu malam Minggu pukul 19.00 s.d. 21.00.

Mendadak kedua agenda tersebut menjadi trending topic seluruh warga, baik saat ngobrol selepas sholat berjamaah di Masjid, obrolan di bawah pohon Asem dekat pos Satpam tempat warga kumpul, obrolan ibu-ibu di pasar Mangga, termasuk obrolan dunia maya baik wa, bbm, twitter, dll. Maklum meskipun wilayah kami termasuk di pusat kota Bekasi, tetapi pengalaman melakukan beberapa kegiatan besar dalam hari yang sama merupakan kegiatan yang jarang terjadi dalam kehidupan warga. Ditambah lagi besarnya sebaran demographic warga kavling mulai dari pejabat dan pengusaha sukses sampai dengan penghuni rumah liar, buruh cuci, ob, tukang becak, dll.

Akhirnya pembahasan mengerucut pada penjadwalan menghadiri undangan. Apakah cukup datang ke salah satu tempat saja untuk resepsi dan mendatangi pelaksanaan akadnya kepada tempat yang lain, atau membagi istri dan suami masing-masing berangkat ke tempat yang berbeda, atau berangkat ikut resepsi awal di tempat pertama dan resepsi akhir ditempat yang lain. Tentunya dengan mencari rute terbaik yang tidak macet dengan mengintip maps mbah google. Aku termasuk yang memilih alternatif menghadiri kedua resepsi tersebut. Jaraknya tidak terlalu jauh, cuma memang macet di jalan Kalimalang dalam babarapa bulan terakhir ini karena sedang membangun jalan tol Becakayu atau bekasi cawang kampung melayu di sisi sebelah kiri arah Jakarta melayang di atas kali serta membangun jalur sepeda di sisi sebelah kanan. Kira-kira perlu waktu 30 menit sampai satu jam untuk menempuh jarak sekitar 10 kilometer tersebut.

Selanjutnya beberapa warga terutama aktivis masjid mendata siapa siapa saja yang akan memilih berangkat mengikuti akad di tempat yang satu dan mengikuti resepsi di tempat satunya serta siapa saja yang akan hadir dalam kedua resepsi tersebut, lalu membagi tumpangan terutama untuk warga warga gang tembok (istilah kami untuk warga yang penghuni gubuk-gubuk yang didirikan di tanah kavling kosong). Sehingga semua bisa berangkat menghadiri undangan.

***********

Saat menghadiri resepsi yang kedua yaitu di Islamic Centre, tamu sudah mulai sepi karena kami baru sampai jam 8.40. Setelah salaman ke pengantin sebagaimana biasa, aku berdiri di pojok mengamati beberapa undangan yang masih ada. Pak Rudi menghampiri aku dan bertanya "gimana tadi perjalanan?" "Alhamdulillah" jawabku "tidak begitu macet. Tetapi si Rio anaknya mba Sur kasihan sepanjang jalan pusing. Akhirnya mereka minta turun di Bumi Satria Kencana, lalu naik mobil umum pulang duluan ke rumah". "Sama tuh di mobilku juga bau minyak angin, sampai istriku manyun terus" kata pak Rudi sambil ketawa. "Dia khan paling tidak tahan bau minyak angin. Mau negur enggak enak, takut menyinggung perasaan. Akhirnya terpaksa jendela dibuka, dan menahan bau yang bikin mual sambil manyun sepanjang jalan" lanjut pak Rudi menjelaskan situasi dimobilnya.

Lalu kami terlibat diskusi kecil berdua. Aku bilang "Kok perasaan ribet banget ya baru memiliki 2 acara saja, padahal kita lihat di TV para pejabat bisa memiliki acara yang bertumpuk pada waktu yang sama". Pak Rudi dengan bijak mengomentari "Bahwa sebenarnya kita bisa memilih untuk memikirkan diri sendiri atau keluarga sendiri saja, tidak perlu ribet soal waktu, perjalanan akan lebih nyaman, tidak seperti tadi...mau keluar gedung resepsi yang pertama saja sulit karena harus mencari-cari teman yang semobil. Giliran ketemu, lagi makan. Terus sambil nunggu, yang bantu nyari tadi, ikut antri makanan, akhirnya yang direncanakan harus berangkat dari gedung Raden Inten jam 7.45 mundur hampir setengah jam". "Gak tega juga ya kita nyuruh cepat-cepat. Harus meninggalkan makanan enak-enak yang jarang mereka jumpai" timpalku

Hidup adalah pilihan. Beberapa tahun lalu sebelum aku banyak terlibat di Mesjid, aku tidak pernah terpikir untuk harus memikirkan tetanggaku seperti saat ini. Untuk ikut sedikit "mengorbankan" kenyamanan dan berbagi. Bahkan aku sering protes sama istriku yang bersikukuh pingin tetap tinggal di kavling, enggak mau pindah ke rumah dinas atau perumahan cluster seperti Sumarecon yang memiliki lingkungan yang nyaman dan memiliki tetangga yang relatif berada. Alasannya gak enak kalau di perumahan elite, nanti kita sulit bersyukur karena terlalu sering melihat ke atas. Gak enak, nanti kalau punya makanan lebih, susah mencari orang yang bisa dibagi, nanti malah dibuang. Gak enak nih ninggalin majlis taklim yang sudah susah payah dibangun. Tapi sekarang aku menikmatinya.

Pilihan istriku benar....hidup rasanya menjadi lebih bermakna.....menurutku menyantuni orang miskin tidak cukup hanya dengan mengundang pengajian kerumah lalu membagi-bagi sembako, tidak cukup hanya dengan membuat acara bakti sosial pengobatan gratis, memberi beasiswa, dll.....tetapi harus diimbangi dengan menjadikan mereka teman, menjadikan dia sebagai "orang" yang sejajar, berbagi cerita suka duka, termasuk memberi tanpa dia harus merasa penting mengucapkan terima kasih pada kita.

(salam hangat dari kang sepyan)

Senin, 28 Desember 2015

EMA


Assalamua’alaikum, kumaha daramang Geulis.. Menak..?”

Itulah sapaan pembuka setiap aku menghubungi Ema lewat telpon, begitu khas dan tak akan pernah kudapatkan lagi, kini.  Sebenarnya, kata-kata “Geulis”, “Menak”, “Juag”, “Raja”, begitu familiar didengar sejak dahulu sebagai bentuk kasih sayang, ungkapan kerinduan, atau bahkan do’a dan pengharapan bagi kami keempat anak perempuannya.  Tidak kusadari, ungkapkan itu tertular saat aku menimang, membujuk, meredakan tangis bayi-bayi kecilku kemudian, ….. “Ooooh sayang,  … gandang, …menak, …. juag/raja,… cup, cup, cup”.
Hari Kamis, 24 September 2015.  Hari Raya Idul Adha.  Sebagai satu-satunya anak yang merantau jauh dari rumah, keluarga kecilku merencanakan berqurban di Lumbung.  Dari mulai membeli sapi, memotong hingga mendistribusikan daging qurban dikelola keluarga, dikomando Ema.  Ema nampak bersemangat, bahkan disela-sela aktivitas itu Ema sempat menunjukkan kepadaku tumpukan kayu-kayu berukuran sama tertata rapi di para-para gudang.  “..Kebetulan ada pohon cengkih di halaman karena umurnya sudah tua, Ema suruh tukang menebangnya.  Kemudian Ema dibantu Aang menggergajinya menjadi seperti ini.. Ini padung… Ema sengaja siapkan biar nanti saat perlu tidak susah mencari…” Itu penjelasan Ema sebelum aku sempat bertanya.  Aku yang mendengar agak terkesiap, sedikit.  Tapi semua kekhawatiran Aku tepis jauh-jauh.  Bukankah hal biasa, seperti nenek kakekku dulu selalu menyiapkan kain kafan dalam lemari bahkan kayu padung, jauh-jauh hari?.. Itu juga yang Ema lakukan dan sesekali diungkapkan kepadaku kalau Ema punya tabungan sejumlah uang khusus dititipkan di Teteh untuk biaya “mulasara” Ema…. toh bertahun-tahun uang itu utuh, hingga saatnya kemarin..
Hari Minggu, 11 Oktober 2015.  Aku mendapat khabar kalau Ema mendadak sakit, mengeluh pusing, lemes dan muntah-muntah.  Sebelumnya, Ema dalam keadan sehat sedang menghadiri suatu acara tetangga yang melangsungkan hajatan.  Tiba-tiba telinga Ema berdesingan, pandangan kunang-kunang dan agak kabur, ulu hati berasa ditonjok.  Ema pamit pulang sontak meninggalkan acara yang sedang berlangsung.  Susah payah Ema berjalan sampai pintu pagar kemudian dari teras merangkak sampai di paviliyun rumah, agak jauh.  Aku agak kaget mendengarnya,  karena tidak pernah Ema seperti itu.  Selain ada gangguan di penglihatan yang sudah berpuluh tahun dideritanya hingga melewati operasi katarak yang kurang berhasil, tak ada kendala berarti dalam kesehatannya.  Tekanan darah, gula darah…normal.  Secara fisik; pendengaran normal,  gigi geligi kumplit, tulang belakang agak sedikit osteo tapi berjalan masih normal, emosi stabil. Lewat pesawat telpon, Aku memantau perkembangan Ema. Menurut pemeriksaan dokter, tekanan darah Ema naik. Ema pulang dibekali obat.  Namun sehubungan dengan itu, aktivitas Ema dikurangi, pola makan agak diatur.. Besoknya Aku telpon, dari nada bicaranya Ema menunjukkan keriangannya sedang “botram” bersama anak incu di beranda dapur, katanya…”Beu, kadieu atuh masihan… mani raos Emam sareng lauk Emas nu pairing-iring di balong, ngahaja diala!”.. Menurutku itu sebagai bentuk ajakan yang tak mungkin kupenuhi  untuk sungguh-sungguh bergabung bersama saat itu, karena jarak antara Lumbung-Bekasi.  Ema ingin menunjukkan bahwa semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kejadian kemarin.  Ema ingin telingaku menangkap suaranya di pesawat telpon mewakili mataku melihat wujud fisiknya dengan kesimpulan yang sama, .. Ema baik-baik saja!. (..Walaupun jauh di hati kecilku, Ting!! Waspadalah, jika suatu saat mendapatkan khabar yang buruk tentang Ema, misalnya Ema sakit lagi bahkan harus dirawat, Aku berjaga-jaga dan mulai merubah rutinitasku dan menata hatiku dari sekarang agar fokus merawat Ema..) Pembicaraan kami tutup dengan ucapan saling mendo’akan.  Beberapa hari kemudian, belum sampai obat resep dokter habis,  meski masih belum shaum sunah Senin Kamis lagi, Ema sudah pergi taklim, ngaji seperti biasa. Aku agak mengkhawatirkannya..
***
Biasanya, aktifitas Ema sepanjang minggu setiap hari, diisi dengan pergi taklim ke berbagai mesjid/pesantren bergiliran, kegiatan bulanan di organisasi Muslimat Desa dan Kecamatan, Perkumpulan Haji, bahkan PKK Dusun dan Desa.  Selingannya ziarah ke Para Wali dari Banten sampai Madura.  Jembatan Suramadu sampai Bali sudah disambangi bersama rombongan pengajian. Tak pernah lewati takjiyah jika ada tetanggga, sahabat dan kerabat yang sakit dan meninggal dunia.  Tak sungkan mengantarkan pengantin hingga  ke seberang  ke Palembang. Tempo-tempo sambil nunggu taklim sore, paginya selepas dhuha hingga menjelang dzuhur, Ema berkeliling nyambangi kebun dekat rumah sambil pulang membawa parab lauk berupa daun singkong atau daun talas.  Atau menata pekarangan rumah dengan menganak-pinakkan bunga-bunga bougenfil berbunga ungu dan jingga ke dalam pot-pot baru.  Menjelang musim hujan,  dua petak kebun pekarangan disebelah utara, sudah siap menanti untuk ditanami kacang tanah.
Sementara rumahku, sudah lama tidak Ema kunjungi.  Sekalinya berkunjung, Ema suka enggak betah berlama-lama, alasannya karena takut banyak absen dari kegiatannya, belum lagi kalau menjelang arisan PKK, sebagai sekertaris, Ema harus dapat memastikan laporan keuangan simpan pinjam siap dipertanggung-jawabkannya dan tidak boleh diwakilkan.  Terakhir, tepatnya tanggal 3 Ramadhan 1435H, kami berdua berkesempatan umroh bareng.  Umroh di bulan ramadhan itu adalah salah satu cita-cita besar Ema yang ingin ditunaikan disisa usianya.  Kami sempat membujuk agar berangkat di bulan lain saja.  Ema menolak,  karena Ema ingin umrohnya bareng bersama Junjungan Nabi, katanya. Sebagai pendamping, aku tekadkan dalam diri bahwa harus siap melayani, menjaga, menuruti apa keinginan Ema diatas kepentinganku sendiri.  Berbekal pengalaman naik haji 19 tahun lalu,  Ema sangat siap memenuhi panggilan-Nya kali ini.  Logika berfikirku sering dipatahkan oleh semangat ghiroh ibadah Ema.  Perjalanan pesawat dengan 17 jam puasa, temperatur 50 derajat Celcius, bahaya dehidrasi, buka puasa tidak makan nasi, tarawih 23 rakaat durasi 2 jam, tidur malam 2 jam saja.
Contohnya: Hari ke-3, pagi menjelang siang perjalanan dari Madinah Ke Mekkah ditempuh selama 6 jam dengan bis.  Sepanjang perjalanan itu kulihat Ema selalu terjaga tak sekejappun memicingkan mata. Ema memilih duduk didepan samping jendela bersamaku.  Memposisikan diri sebagai penjaga dan pelayan, kuanjurkan Ema untuk istirahat biar stamina terjaga, karena perhitunganku, sesampainya nanti di Makkah waktu ashar dilanjutkan ritual umroh tanpa jeda. Sambil bertalbiyah, Ema dengan halus menolak sambil pandangannya mengintip keluar lewat tirai jendela bis yang sengaja dibiarkannya tersingkap .. “Ema ingin melihat banyak hal sepanjang perjalanan ini”, meski sejauh mata memandang hanya nampak hamparan pegunungan batu dan pasir yang menghitam diselingi gerombolan perdu khas Timur Tengah.  Sungguh membosankan!  Sekali saja bis berhenti di rest area saat masuk waktu dhuhur.  Lumayan, setidaknya bagiku, siraman air wudu ini mampu menyegarkan raga yang kehausan dan kepanasan. Sambil meregangkan sendi-sendi yang kaku setelah berjam-jam duduk dan bahkan tertidur dan terjaga di kursi bis. Setiba di Makkah, saat thowaf dan sa’i Aku tawari kursi roda, Ema menolak ..”Bukan karena uang tapi Ema masih kuat”,  itu jawabnya.  Buka puasa di Masjidil Harrom dengan air zam zam dan kurma.  Selepas sholat Magrib, kami pulang ke hotel sebentar untuk sekedar mandi dan ganti baju, tanpa ada waktu untuk mengisi perut dengan nasi.  Ema ingin segera ke Masjid untuk isya dan tarawih…” Ingat fadilahnya!”, kata Ema.  Sambil menunggu Isya, kami isi dengan tadarus diselingi  makan minum air zam-zam dan kurma atau cemilan sedekah.  Jam 9 malam sholat Isya dimulai, dilanjutkan tarawih.  Pada awal 10 rakaat kedua sholat tarawih, ada jeda waktu sedikit, biasanya ada pergantian imam sholat.  Aku tawarkan untuk sholat sambil duduk saja.  Perhitunganku rangkaian tarawih ini bisa memakan waktu dua jam, didominasi dengan lamanya berdiri karena imam sholatnya yang hafidz, bacaan  suratnya urutan juz dan dibaca dengan tartil pula.  Lagi-lagi Ema menolak.  Sehari semalaman ini waktu terasa begitu panjang namun rasanya tak sempat mendengar bisikan jiwa ragaku yang lemah yang merengek-rengek minta dimanjakan.  Di penghujung malam ini kami berangkat ke peraduan untuk istirahat dan bangun besok jam 2 dinihari untuk makan sahur dilanjutkan ke mesjid kembali.  Itulah rutinitas umroh kita, hingga sembilan hari bersama. Alhamdulillah semua berjalan lancar, begitu terasa nikmat, karena ghiroh ibadah itulah sebagai bentuk kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadikan hal-hal yang secara logika berat menjadi ringan.  Nampaknya Ema sangat berkesan.  Rasa syukur  serta bangganya itu selalu diungkapkan setelahnya, pada siapapun yang minat atas pengalamannya.  Apalagi jika orang tersebut datang berkunjung ke rumah, Ema tak sungkan memperlihatkan foto-fotonya yang sengaja kuabadikan.


***   
Hari Selasa, 17 November 2015.  Sore ini, Aku mendapatkan khabar yang seakan-akan hendak menghentikan laju detak jantungku, mendadak meriang sekujur tubuhku, melemahlunglaikan semua persendianku,  menyumbat laju aliran darahku… Telpon pertama itu Aku sangat sedikit mengerti situasinya, lewat pertanyaan spontanku mengenai kondisi Ema,  meski diujung telpon Teteh terus bilang..”Jangan panik, persiapkan segala sesuatunya, doakan yang terbaik buat Ema.  Ema masih hangat mau di bawa ke Dokter…”.Ada kekhawatiran, penyesalan… dan harapan berkecamuk timbul tenggelam menepis ketakutan akan sesuatu yang tak jelas.  Selang beberapa menit, Teteh kembali telpon…”Innalilahi wainna ilaihi rojiun… Ema parantos pupus.. sing sabar, tawakal,.. hati-hati di jalan..”  Sekarang terasa semua benar-benar berhenti…! Kecuali dzikir dan sholawat yang kulantunkan, memompa kembali aliran darahku,  mendorong kembali semangatku yang hampir terperosok ke titik nadir.  Sementara anak bungsuku  yang mendengar khabar itu bersamaku, duduk tepekur sambil membaca Yasin.  Sekali-sekali kepalanya mendongak sambil mengamati mimikku, tingkah polahku yang mondar mandir mempersiapkan semua hal yang harus kutata, kubawa, kupamiti untuk orang yang jaga di rumah, di masjid, di toko, di sekolah, tetangga… merancang rute perjalanan pulang.  Memastikan diri ini sepenuhnya siap ‘mulasara’ jasad Ema yang sudah ditinggalkan ruhnya menghadap Penciptanya.
Kusalami orang-orang yang kulewati.  Aku bergegas menuju sesosok jasad tertutup kain batik.  Kusingkapkan sedikit dibagian wajahnya.. kuelus mukanya.. kuciumi keningnya dengan semua rasa yang tertahan.. kusapa Ema sambil mengumpulkan kembali jiwaku yang berserakan…“Allahummagfirlaha warhamha wa’afiha wafuanha.. Allahumma la tahrimna ajroha wala taftina ba’daha wagfirlana walha…”  Ema.. tugasmu sebagai khalifah di muka bumi  telah berakhir.  Namun jejak-jejak lintasan pengembaraanmu begitu nampak nyata.. meski  tentu perjalanan yang tak mudah.. Merintis dan membina simpan pinjam PKK di lingkungan Dusun hingga terkumpul omset lebih dari seperempat miliyar, menghimpun anggota lebih dari 200an ibu-ibu,  membina dan  menolong orang-orang yang bermodal lemah, yang kepepet saat butuh biaya berobat dan anak sekolah, yang mendadak harus merenovasi rumah, yang kesulitan memperluas langgar yang nyaman dan jalan setapak yang layak.. sejahtera semua anggota tujuannya.. Tigapuluh enam tahun Ema abdikan untuk itu, terpampang jelas di Buku Kas PKK Hanjuang (Harapan Maju Anggota) Dusun IV Talangsari Desa Lumbung hingga bulan November 2015.  Meski dengan kelemahan indra penglihatanmu, semua tercatat rapi, setiap orang yang baca bisa mengerti… dan yang penting sudah klop.  Monumen perjuanganmu terlihat jelas di bangunan mungil permanen “Gedung Pertemuan PKK Hanjuang Dusun..”  hasil swadaya anggota.  
Ema… sahabatmu yang tak pernah kukenal, saudara jauh yang tak pernah bersua meski saat mudik lebaran sekalipun..Tak sepi hingga kepergianmu lima hari berlalu.  Seolah-olah ingin lebih afdol mendo’akanmu dari dekat, sambil menyampaikan salam takjiyah untuk keturunanmu yang kau tinggalkan… dan saling menasihati dalam sabar dan taqwa.. Kembali jejak itu kutemukan… Oh, betapa mahadayanya setiap pertemuan-pertemuanmu, taklim-taklimmu, takjiyah-takjiyahmu, ziarah-ziarahmu.. karena didasari atas niat ikhlas lillahi ta’ala sebagai media silaturrahim uquwah Islamiyah… bukan karena sosialita, ambisi politik, ambisi ekonomi atau ambisi-ambisi keduniawian lainnya.
Aku, anakmu.. tak akan pernah merasa cukup membalas semua pengorbananmu sampai kapanpun. Aku merasa seumur hidup tak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan ketika aku tak berdaya melakukan sendiri saat bayi sekalipun… Menyuapimu?  Membasuhmu ketika buang air?.... Aku belum sempat melakukannya dan tak akan pernah!!!   Seperti katamu…”Ema ingin seperti Bapak yang pergi 19 tahun yang lalu tanpa merepotkan”.  Padahal kutahu, Ema dan anak-anakmu dulu betapa menyesali karena tangan-tangan kita ini tak pernah diperlukan oleh Bapak… 
Setiap hari Selasa adalah jadwal libur taklim.  Kemarin masih shaum sunah,  hari ini digunakan Ema untuk menyiapkan kebun yang akan diaseuk kacang tanah.  Hujan mulai beberapa kali turun menyiram bumi setelah tujuh bulan lamanya kawasan dilanda kemarau panjang anomali musim akibat ‘El Nino’. Harapan besar tertanam di setiap jiwa orang-orang yang menyemai, menanam, merintis, berjuang, berjihad.. semoga kelak memperoleh hasil yang baik… Khusnul Khotimah.  Siang itu selepas dhuhur menjelang sore (Wallahu ‘alam).. Malaikat Izroil, Malaikat Sang Pencabut Nyawa datang menyambangi, menjemput Ema untuk segera datang menghadap Rabbnya .. Suratan takdir sudah digariskan sejak di lauh mahfuzh.  Pengembaraanmu didunia sudah sampai.. berhenti.. tutup buku.  Titik.  Aku tak sepantasnya menangisi orang yang pergi, karena sesungguhnya kematian adalah suatu kepastian bagi mahluk yang bernyawa.  Kewajibanku adalah berdo’a untuk Ema serta memohonkan ampunan atasnya disetiap akhir sholat, memuliakan sahabat Ema, menyambung tali silaturrahim, menunaikan hutang/wasiat Ema… Semoga aku menjadi anak sholehah agar menjadi amal jariyah buat Ema….


 Tulisan Istriku Enung Rima Sabariah, untuk Ibunya (Mertuaku) Alm Ema Hj. Juju Julaeha

(salam hangat dari kang sepyan)