Rabu, 19 Desember 2012

MENGENANG 8 TAHUN TSUNAMI ACEH

Namamu siapa ? aku bertanya sama sopir yang ditugaskan mengantarkanku perjalanan darat dari Meulaboh ke Banda Aceh.   Deny pak, jawabnya pendek.  Dia berperawakan kecil cenderung kurus dengan berat badan menurut taksiranku kurang dari 50 kg.  Tingginya sedang sekitar 165 cm, dengan rambut pendek disisir miring.  Setelah mengobrol cukup lama, akhirnya aku tahu bahwa usianya sudah 28 tahun lebih, dia lahir tanggal 08 Agustus 1984, nama lengkapnya Deny Agustian.  Orang Meulaboh asli, dan rencananya sebelum akhir tahun ini akan melamar pacarnya jebolan D3 FKM Unsyiah yang bekerja sebagai staf di Rumah Sakit Meulaboh.

Aku teringat bahwa 8 tahun lalu yaitu tanggal 26 Desember 2004 terjadi bencana yang sangat dahsyat yaitu gempa dengan kekuatan diatas 9 skala ritcher, diikuti dengan gelombang tsunami yang meluluh lantakan kota-kota sekitar pantai barat aceh.  Meulaboh berada sekitar 250 kilometer dari Banda Aceh, merupakan kota kelahiran pahlawan Aceh Teuku Umar dan Tjut Nyak Dien.  Waktu tempuh perjalanan sebelum tsunami bisa  sampai 10 sampai 12 jam, sedangkan waktu tempuh sekarang setelah selesai sebagian jalan used (maksudnya jalan yang diprakarsai oleh US AID) sekitar 4 - 5 jam.  Apalagi bila jembatan yang akan masuk ke Meulaboh sudah diresmikan, waktu tempuh tersebut bisa berkurang sekitar 30 menit.  Jembatan tersebut sekarang sudah selesai, tapi belum dibuka menunggu peresmian oleh Bapak/Ibu pejabat.

Dengan hati-hati takut menyinggung perasaannya aku bertanya, bagaimana kejadian yang dialami Deny dalam 8 tahun lalu ketika terjadi tsunami.  Waktu itu Deny baru keluar dari SMU mau meneruskan menjadi polisi tetapi tidak lolos, demikian Deny menjawab obrolan dengan semangat.  Saat gempa besar terjadi jam 9 lebih, Deny habis jogging....biasa hari Minggu berolah raga.   Rumah Deny sekitar 100 meter dari pantai.  Setelah itu orang-orang bilang bahwa laut surut, dan katanya banyak ikan yang tertinggal, sehingga sebagain orang yang berada di pantai pada lari ke tengah laut yang surut untuk mengambil ikan-ikan tersebut.

Beberapa menit kemudian teriakan berubah menyebutkan ada air yang berjalan sangat kencang dan tinggi dari arah laut disertai suara gemuruh.  Suasana menjadi kacau, semua orang menyelamatkan diri masing-masing.  Suami lupa sama istri, istri lupa sama suami, anak lupa sama orang tua, pokoknya keadaannya sangat mencekam. Deny langsung naik ke atap rumah,  dan tidak tahu kemana kakaknya menyelamatkan diri, kemana ibu dan bapaknya menyelamatkan diri.  Benar-benar hanya mencari selamat masing-masing.  Waktu sangat terbatas, tidak ada kesempatan berpikir.  Yang terpikir bagaimana caranya bisa mendapat tempat yang tinggi.  Kota Meulaboh pinggir pantai memang sangat datar.  Jarak dari pantai ke tempat tinggi atau pegunungan cukup jauh sehingga tidak memungkinkan untuk berlari.  Tempat tinggi yang Deny pikirkan waktu itu adalah atap rumah.

Ketika gelombang pertama datang, kiranya atap rumah masih cukup tinggi.  Air hanya sampai kira-kira setengah meter dari atap rumah tertinggi atau wuwungan tempat Deny berpijak.  Kemudian air surut kembali kelaut, untuk selanjutnya beberapa menit kemudian, air tersebut kembali menjadi gelombang kedua yang jauh lebih dahsyat.  Air berada jauh lebih tinggi dari atap tempat Deny berdiri, dan rupanya kekuatan air tersebut menghanncurkan rumah.  Jadilah Deny berenang-renang diatas air mencari pegangan, dari pucuk pohon yang satu ke pucuk pohon yang lain.  Dan terakhir Deny bersama 12 orang lainnya tinggal di sebuah pohon Randu yang cukup besar dan tinggi.  Pohon ini lumayan banyak dahannya, sehingga kami bisa duduk ada batangnya.  Kalau pohon kelapa walaupun banyak ditemukan, agak sulit dijadikan pegangan, karena tidak ada tempat untuk duduk.  Sehingga ketika air surut bisa tidak tahan berada di pohon menahan berat badan.

Semua yang berada di atas pohon berdoa dan menangis, tidak tahu harus sampai kapan bertengger didahan pohon.  Kalau mau turun, takutnya datang lagi ombak yang besar, karena gelombang terus datang susul menyusul dengan kekuatan bervariasi.  Mereka baru mulai turun sekitar jam 5 sore, karena takut keburu malam, dan gelombang diperkirakan sudah tidak datang lagi.  Menurut Deny gelombang yang sangat besar kekuatannya dan merusak hampir seluruh bangunan di kota Meulaboh adalah gelombang kedua kali, terutama saat arus balik gelombang dari darat menuju laut.  Kekuatan air tersebut sanggup mencabut pondasi-pondasi bangunan. 

Setelah turun ke daratan, Deny bertanya-tanya sama orang yang dijumpai dimana keluarganya berada.  Kebetulan ada orang yang tahu kalo mamaknya ada di lapangan.  Lapangan adalah sebuah daerah dengan dataran agak tinggi dengan jarak kira-kira satu kilometer dari pantai.  Ternyata keluarga yang masih ada adalah mamaknya dan dua kakaknya, sedangkan Bapaknya sebagai kepala keluarga dengan pekerjaan wiraswasta sebagai pemborong daerah dan satu kakak perempuan Deny tidak ditemukan.  Mamaknya terbawa ombak ke tengah lautan dengan menaiki kasur, dan diselamatkan oleh kapal motor yang lewat, dan diantar ke daratan sekitar jam 2 siang.  Memang tidak masuk akal, bagaimana orang bisa mengapung dengan kasur, tapi itulah kejadiannya kata Deny.  Sedangkan Bapaknya 14 hari kemudian jasadnya ditemukan di wilayah Singkil sekitar 7 jam perjalanan darat melewati  Blangpidie, Tapak Tuan, dan Subulusalam.  Sedangkan kakak perempuannya sampai kini tidak diketahui.

Hari-hari awal pasca tsunami sebelum ada bantuan, Deny dan keluarganya mengandalkan bantuan dari keluarga mereka yang berada didataran tinggi.  Namun kemudian setelah ada bantuan, semua pengungsi di tampung di Tenda-tenda.  Kami berada di Tenda pengungsian selama 6 bulan, setelah itu pindah ke barak pengungsian sekitar 6 bulan.  Barak pengungsian adalah sebuah barak terdiri dari beberapa kamar, dan masing-masing keluarga menempati sebuah kamar.  Selanjutnya NGO membangunkan rumah di lahan asal perumahan mereka dengan rumah standar.  Dan kami menempati rumah yang dibuatkan oleh NGO sekitar satu tahun setelah tsunami, demikian Deny menjelaskan.  Rumah dari NGO cukup baik, kami tinggal menambahkan sedikit bangunan untuk dapur.

Selama masa-masa awal di Tenda, kegiatan sehari-hari masyarakat adalah mendaftarkan diri untuk bekerja harian, dengan gaji Rp. 35.000 per hari.  Pekerjaannya adalah membersihkan puing-puing, termasuk membersihkan rumah sendiri.  Semua orang baik tua, muda, laki-laki, perempuan, tadinya orang kaya ataupun miskin sama-sama bekerja dengan gaji yang sama.  Pekerjaan lainnya adalah mencari bangkai mobil, yaitu dengan menggunakan ban pergi ke pinggir laut sekitar 200-300 meter, lalu menyelam.  Bila ditemukan ada mobil yang terseret ke dalam laut waktu tsunami, maka Deny dan teman-temannya mengikatkan tali yang kuat ke mobil tersebut, kemudian ditarik beramai-ramai.  Selanjutnya mobil tersebut di jual kiloan ke pedagang dari Medan.

Sebagian orang yang memiliki keahlian bekerja pada NGO yang waktu itu ada sekitar 12 NGO bermarkas di Meulaboh.  Pemilihan Meulaboh sebagai markas NGO mengingat Meulaboh merupakan ibu kota  kabupaten yang terparah terkena tsunami, juga dekat dengan daerah Calang dan Lamno.  Lamno sendiri adalah dimana tempat banyak terdapat gadis aceh bermata biru keturunan portugis yang juga daerah parah dampak tsunami.  Kakaknya Deny diterima menjadi bagian logistik di sebuah NGO, sedangkan Deny menjadi sopir di NGO.  Setelah NGO pengelolaannya diserahkan kepada BRR, Deny bekerja menjadi salah satu sopir di perusahaan tempatku bekerja  cabang Meulaboh.

Sambil menikmati air kelapa (ei u) dan indomie rebus di sebuah warung pinggir jalan di pinggir tebing, kami menatap lautan yang sebelum terjadi tsunami merupakan daratan.  Pemandangannya indah, pasirnya putih, pohonannya rimbun, airnya biru, dan ditengah terdapat sebuah gunung kecil dengan pasir putih disekelilingnya. Menurut sudut pandang Deny, ada hikmah dibalik terjadinya tsunami antara lain berhentinya pergolakan di Aceh.  Sekarang Aceh menjadi aman, sehingga pembangunan dapat berjalan dengan normal.  Jalan-jalan juga menjadi lebih baik, dan cafe remang-remang yang dulu banyak disekitar pantai Meulaboh menjadi tidak ada.  Mudah-mudahan kenyataannya memang begitu.  Selalu ada hikmah, dibalik sebuah musibah.

Oke Deny, kalau begitu, selamat menempuh hidup baru.......mudah-mudahan masyarakat Aceh semakin maju, Indonesia jaya, dan kamu Den.....bisa mewujudkan keluarga sakinah, mawadah, warahmah di Meulaboh........amin.

(salam hangat dari kang sepyan)