Selasa, 16 Oktober 2012

WHALIMATUS SHAFAR

Ada beberapa kewajiban atau etika yang harus dilakukan dalam hidup ini khususnya dalam bersosialisasi atau berhubungan antara manusia dengan manusia.  Bagaimana hubungan kerja atau cara berkomunikasi dengan atasan maupun mantan atasan termasuk teman-teman atasan, dan bagaimana hubungan dengan teman sejawat, serta bagaimana hubungan dengan bawahan ataupun bawahan teman sejawat. Disamping hubungan kerja, kita juga dituntut untuk bersosialisasi dan bermasyarakat.  Yaitu bersosialisasi dengan teman-teman sekolah dahulu, teman main waktu kecil, teman organisasi, teman berolah raga, teman di mesjid, dan tentu saja yang tidak boleh terlupakan adalah bersosialisasi dengan tetangga.  Sesungguhnya keluarga kita yang paling dekat adalah tetangga kita sendiri.

Kalau jaman aku masih kecil dan tinggal di kampung, memang hampir seluruh tetangga adalah keluarga sendiri, ada bibi, paman, sepupu, kakek, dan lain-lain.  Hampir tidak pernah ada pendatang dari luar desa ataupun luar daerah.  Tapi kalau sekarang, ketika aku sendiri menjadi pendatang di sebuah daerah yang hampir seluruhnya pendatang, maka tidak ada hubungan darah lagi antar tetangga.  Apakah masih berlaku kalimat "seungguhnya keluarga kita yang paling dekat adalah tetangga kita sendiri ?" Menurutku tetap berlaku, contohnya bila di rumah kita ada acara, kendurian ataupun acara lainnya, maka yang akan pertama kali memberi bantuan ataupun yang pertama kali kita undang adalah tetangga kita.  Bahkan tetangga kita akan mewakili kita menjadi tuan rumah.  Demikian pula bila kita bepergian, maka kita akan titipkan rumah dan keluarga kita yang tidak dibawa kepada tetangga juga.

Hari Minggu kemaren kebetulan ada tetanggaku Pak Shodik yang berencana akan naik haji dan berangkat hari Kamis bersama istrinya, beliau mengundang seluruh tetangga untuk hadir dalam acara whalimatus safar atau ratiban yang diselenggarakan di rumahnya. Dalam rangka menyampaikan maksud keberangkatan, memohon maaf, serta menitipkan keluarga pada kami tetangganya.  Dalam acara tersebut dipangggil pula penceramah yaitu Bapak KH Nuril Huda, disamping penceramah Ustadz Jamalul Lail yang merupakan pemilik KBIH tempat pak Shodik bergabung.

Ada beberapa hal yang aku ingat dan aku pikir baik untuk sama-sama kita renungkan dalam ceramah yang disampaikan oleh pak Kiai tersebut.  Misalnya beliau menggambarkan bahwa umat Islam di Indonesia adalah umat Islam terbanyak, sayangnya dalam menjalankan syariat keagamaannya baru sampai kulitnya saja.  Beliau mencontohkan kalau misalnya kita sholat jum'at di Istiqlal menggunakan sepatu bagus dan tidak dititipkan di tempat penitipan sepatu, maka hampir dipastikan sepatu kita akan berganti kepemilikan.  Padahal di negeri China, dimana penduduknya banyak yang tidak beragama, ketika pohon-pohon dijalanan berbuah, tidak ada satu orangpun yang berani mengambil buah tersebut dari pohonnya. Ketika hal tersebut ditanyakan pada sopir taksi, dia menjawab bahwa pohon tersebut milik negara jadi buahnya hanya boleh diambil oleh negara.

Pesan lainnya dari pak Kiai adalah pesan yang menyebutkan bahwa kita  sebagai muslim telah dititipkan keturunan untuk dijaga dan diberi pendidikan, artinya pendidikan anak adalah tanggung-jawab orang tua, bukan tanggung jawab guru ngaji atau guru-guru di sekolahnya.  Tapi apa yang kita lakukan ? kalau anak kita masuk di perguruan tinggi, umumnya yang dilihat adalah fasilitasnya dan kurikulumnya, apakah pernah kita ingin tahu nama dekannya ? pernahkan kita datang secara langsung menemui dekannya dan menitipkan anak kita pada beliau untuk dididik ?  Kalau ternyata jawabannya belum, maka terbukti bahwa kita baru menjalankan islam dalam kulit luarnya saja.  Demikian juga tentang perhatian kita terhadap guru ngaji yang mengajar di mesjid-mesjid.

Pantas saja kalau ciri-ciri ustadz itu adalah badannya kurus kering, lehernya panjang, menggunakan sanal jepit kiri warna merah dan kanan warna biru.  Hal tersebut terjadi karena umumnya orang tua menganggap pendidikan agama anaknya adalah kewajiban ustadz  bukan kewajbannya, sehingga jarang orang tua yang memperhatikan kesejahteraan ustadz.  Kalau dia menjalankan kewajibannya sebaga ustadz, kenapa kita harus peehatikan kesejahteraan ustadz.  Coba kalau cara berpikirnya dibalik, bahwa kewajiban memberikan pelajaran agama tersebut merupakan kewajiban kita sebagai orang tua, dan ustadz tersebut hanya petugas yang sedang mewakili kita menjalankan kewajiban tersebut, jadi sepatutnya lah kita memperhatikan orang yang sudah mengambil alih pekerjaan yang menjadi tanggung-jawab kita.

Dalam ceramah tersebut juga diceritakan tentang kisa Abu Darda, dimana ketika menunggu bedug Maghrib bulan puasa, beliau memiliki 5 potong roti untuk persiapan buka puasa.  5 potong roti tersebut cukup untuk anggota keluaganya yang terdiri dari 5 orang yaitu Abu Darda sendiri, istrinya, serta tiga anaknya.  Tiba-tiba datanglah seorang pengemis meminta sedekah untuk berbuka puasa, maka Abu Darda menyerahkan sepotong roti sehingga sisa roti menjadi tinggal 4 potong.  Kemudian datang lagi seorang musafir meminta sedekah, dan Abu Darda kembali mendermakan sepotong roti sehingga sisa persediaan roti yang dimiliki tinggal 3 potong.  Ternyata sampai menjelang Maghrib masih ada satu peminta-minta lagi yang datang ke rumah Abu Darda dan diberi sepotong roti, sehingga roti yang tersisa tinggal 2 potong lagi.  Begitu Adzan Maghrib tiba, Abu Darda meminta istrinya agar membagi kedua roti tersebut sehingga menjadi 4 bagian yaitu sebagian buat istrinya dan tiga bagian lainnya buat anak-anaknya masing-masing sebagian sedangkan Abu Darda sendiri hanya berbuka puasa dengan air putih.  Ketika itu turunlah ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa orang-orang seperti Abu Darda yang selalu mendahulukan orang lain dibanding dirinya, maka di hari Qiamat nanti akan di tolong oleh Allah.

Ketiga ceritera di atas sebenarnya sederhana saja, tetapi banyak hal yang tidak kita lakukan.  Contoh yang pertama tentang memastikan kehalalan rezeki yang kita terima, masih jauh dan masih banyak orang yang tidak mempertimbangkan.   Sehingga korupsi merajalela, KPK dilemahkan, fasilitas umum dikuasai, jalan digunakan untuk berjualan, jalan ditanami pohon-pohonan, jalan didirikan bangunan, kalau pintu pagar terbuka artinya semua barang yang ada di halaman orang menjadi milik umum, dan lain-lain.

Demikian juga dengan ceritera yang kedua tentang kepedulian kita terhadap pendidikan anak-anak, seolah-olah kita menganggap dengan dimasukan ke sekolah maka transaksi tugas kita selesai diambil alih oleh guru.  Padahal sebenarnya tidak seperti itu, karena tugas tersebut tetap melekat kepada kita makhluk yang dipercaya dititipi anak tesebut.  Terus apakah yang sudah kita lakukan terhadap guru-guru ngaji informal yang mengajar di mesjid-mesjid ? yang mengajar di tempat-tempat terpencil ? Padahal mereka telah menjalankan kewajiban fardu ain untuk anak-anak kita dan fardu kifayah untuk anak-anak di daerah terpencil ? Sudahkah kita pikirkan bahwa mereka cukup makannya ? terbeli sandangnya ? terjaga kesehatannya ? terbuka masa depan anak-anaknya ?

Apalagi kalau kita membandingkan dengan cerita ketiga yaitu tentang Abu Darda yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri.  Rasanya sekarang orang lebih menghormati orang yang menumpuk harta dibanding orang yang mendermakan harta.   Andai sedikit saja semangat tolong menolong seperti Abu Darda tersebut bersemayam di dada rakyat Indonesia, maka politisi tidak perlu berupaya melemahkan KPK, karena KPK menjadi tidak diperlukan keberadaannya.

Semalam ang Dadang, kakak sepupu istriku di Lumbung menginformasikan bahwa saat ini beliau tengah membangun TK Islam dan sudah tiga minggu ini mulai ngecor lantai 2, maksudnya meminta tambahan sumbangan.  Aku jawab, paling tidak aku sumbang do'a.  Setelah telpon ditutup istriku langsung bilang bahwa dia akan ikut bantu wakaf untuk pembangunan gedung tersebut, dan minta persetujuanku.  Terus terang tadinya aku berpikir khan bulan ini ada pengeluaran qurban, terus kalau diambil dari zakat sudah dipotong oleh yayasan baitul mal kantor, meminta pada baitul mal kantor baru saja dikasih untuk membangun perpustakaan, maka pilihan wakaf yang diajukan istriku menjadi tidak bisa dibantah.

Terima kasih istriku, engkau memang istri yang shaleha........terima kasih ya Allah.

(salam hangat dari kang sepyan)