Ada beberapa kewajiban atau etika yang harus
dilakukan dalam hidup ini khususnya dalam bersosialisasi atau
berhubungan antara manusia dengan manusia. Bagaimana hubungan kerja
atau cara berkomunikasi dengan atasan maupun mantan atasan termasuk
teman-teman atasan, dan bagaimana hubungan dengan teman sejawat, serta
bagaimana hubungan dengan bawahan ataupun bawahan teman sejawat.
Disamping hubungan kerja, kita juga dituntut untuk bersosialisasi dan
bermasyarakat. Yaitu bersosialisasi dengan teman-teman sekolah dahulu,
teman main waktu kecil, teman organisasi, teman berolah raga, teman di
mesjid, dan tentu saja yang tidak boleh terlupakan adalah bersosialisasi
dengan tetangga. Sesungguhnya keluarga kita yang paling dekat adalah
tetangga kita sendiri.
Kalau jaman aku masih kecil dan tinggal di
kampung, memang hampir seluruh tetangga adalah keluarga sendiri, ada
bibi, paman, sepupu, kakek, dan lain-lain. Hampir tidak pernah ada
pendatang dari luar desa ataupun luar daerah. Tapi kalau sekarang,
ketika aku sendiri menjadi pendatang di sebuah daerah yang hampir
seluruhnya pendatang, maka tidak ada hubungan darah lagi antar
tetangga. Apakah masih berlaku kalimat "seungguhnya keluarga kita yang
paling dekat adalah tetangga kita sendiri ?" Menurutku tetap berlaku,
contohnya bila di rumah kita ada acara, kendurian ataupun acara lainnya,
maka yang akan pertama kali memberi bantuan ataupun yang pertama kali
kita undang adalah tetangga kita. Bahkan tetangga kita akan mewakili
kita menjadi tuan rumah. Demikian pula bila kita bepergian, maka kita
akan titipkan rumah dan keluarga kita yang tidak dibawa kepada tetangga
juga.
Hari Minggu kemaren kebetulan ada tetanggaku Pak Shodik
yang berencana akan naik haji dan berangkat hari Kamis bersama istrinya,
beliau mengundang seluruh tetangga untuk hadir dalam acara whalimatus
safar atau ratiban yang diselenggarakan di rumahnya. Dalam rangka
menyampaikan maksud keberangkatan, memohon maaf, serta menitipkan
keluarga pada kami tetangganya. Dalam acara tersebut dipangggil pula
penceramah yaitu Bapak KH Nuril Huda, disamping penceramah Ustadz
Jamalul Lail yang merupakan pemilik KBIH tempat pak Shodik bergabung.
Ada
beberapa hal yang aku ingat dan aku pikir baik untuk sama-sama kita
renungkan dalam ceramah yang disampaikan oleh pak Kiai tersebut.
Misalnya beliau menggambarkan bahwa umat Islam di Indonesia adalah umat
Islam terbanyak, sayangnya dalam menjalankan syariat keagamaannya baru
sampai kulitnya saja. Beliau mencontohkan kalau misalnya kita sholat
jum'at di Istiqlal menggunakan sepatu bagus dan tidak dititipkan di
tempat penitipan sepatu, maka hampir dipastikan sepatu kita akan
berganti kepemilikan. Padahal di negeri China, dimana penduduknya
banyak yang tidak beragama, ketika pohon-pohon dijalanan berbuah, tidak
ada satu orangpun yang berani mengambil buah tersebut dari pohonnya.
Ketika hal tersebut ditanyakan pada sopir taksi, dia menjawab bahwa
pohon tersebut milik negara jadi buahnya hanya boleh diambil oleh
negara.
Pesan lainnya dari pak Kiai adalah pesan yang menyebutkan
bahwa kita sebagai muslim telah dititipkan keturunan untuk dijaga dan
diberi pendidikan, artinya pendidikan anak adalah tanggung-jawab orang
tua, bukan tanggung jawab guru ngaji atau guru-guru di sekolahnya. Tapi
apa yang kita lakukan ? kalau anak kita masuk di perguruan tinggi,
umumnya yang dilihat adalah fasilitasnya dan kurikulumnya, apakah pernah
kita ingin tahu nama dekannya ? pernahkan kita datang secara langsung
menemui dekannya dan menitipkan anak kita pada beliau untuk dididik ?
Kalau ternyata jawabannya belum, maka terbukti bahwa kita baru
menjalankan islam dalam kulit luarnya saja. Demikian juga tentang
perhatian kita terhadap guru ngaji yang mengajar di mesjid-mesjid.
Pantas
saja kalau ciri-ciri ustadz itu adalah badannya kurus kering, lehernya
panjang, menggunakan sanal jepit kiri warna merah dan kanan warna biru.
Hal tersebut terjadi karena umumnya orang tua menganggap pendidikan
agama anaknya adalah kewajiban ustadz bukan kewajbannya, sehingga
jarang orang tua yang memperhatikan kesejahteraan ustadz. Kalau dia
menjalankan kewajibannya sebaga ustadz, kenapa kita harus peehatikan
kesejahteraan ustadz. Coba kalau cara berpikirnya dibalik, bahwa
kewajiban memberikan pelajaran agama tersebut merupakan kewajiban kita
sebagai orang tua, dan ustadz tersebut hanya petugas yang sedang
mewakili kita menjalankan kewajiban tersebut, jadi sepatutnya lah kita
memperhatikan orang yang sudah mengambil alih pekerjaan yang menjadi
tanggung-jawab kita.
Dalam ceramah tersebut juga diceritakan
tentang kisa Abu Darda, dimana ketika menunggu bedug Maghrib bulan
puasa, beliau memiliki 5 potong roti untuk persiapan buka puasa. 5
potong roti tersebut cukup untuk anggota keluaganya yang terdiri dari 5
orang yaitu Abu Darda sendiri, istrinya, serta tiga anaknya. Tiba-tiba
datanglah seorang pengemis meminta sedekah untuk berbuka puasa, maka Abu
Darda menyerahkan sepotong roti sehingga sisa roti menjadi tinggal 4
potong. Kemudian datang lagi seorang musafir meminta sedekah, dan Abu
Darda kembali mendermakan sepotong roti sehingga sisa persediaan roti
yang dimiliki tinggal 3 potong. Ternyata sampai menjelang Maghrib masih
ada satu peminta-minta lagi yang datang ke rumah Abu Darda dan diberi
sepotong roti, sehingga roti yang tersisa tinggal 2 potong lagi. Begitu
Adzan Maghrib tiba, Abu Darda meminta istrinya agar membagi kedua roti
tersebut sehingga menjadi 4 bagian yaitu sebagian buat istrinya dan tiga
bagian lainnya buat anak-anaknya masing-masing sebagian sedangkan Abu
Darda sendiri hanya berbuka puasa dengan air putih. Ketika itu turunlah
ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa orang-orang seperti Abu Darda yang
selalu mendahulukan orang lain dibanding dirinya, maka di hari Qiamat
nanti akan di tolong oleh Allah.
Ketiga ceritera di atas
sebenarnya sederhana saja, tetapi banyak hal yang tidak kita lakukan.
Contoh yang pertama tentang memastikan kehalalan rezeki yang kita
terima, masih jauh dan masih banyak orang yang tidak
mempertimbangkan. Sehingga korupsi merajalela, KPK dilemahkan,
fasilitas umum dikuasai, jalan digunakan untuk berjualan, jalan ditanami
pohon-pohonan, jalan didirikan bangunan, kalau pintu pagar terbuka
artinya semua barang yang ada di halaman orang menjadi milik umum, dan
lain-lain.
Demikian juga dengan ceritera yang kedua tentang
kepedulian kita terhadap pendidikan anak-anak, seolah-olah kita
menganggap dengan dimasukan ke sekolah maka transaksi tugas kita selesai
diambil alih oleh guru. Padahal sebenarnya tidak seperti itu, karena
tugas tersebut tetap melekat kepada kita makhluk yang dipercaya dititipi
anak tesebut. Terus apakah yang sudah kita lakukan terhadap guru-guru
ngaji informal yang mengajar di mesjid-mesjid ? yang mengajar di
tempat-tempat terpencil ? Padahal mereka telah menjalankan kewajiban fardu ain untuk anak-anak kita dan fardu kifayah untuk anak-anak di
daerah terpencil ? Sudahkah kita pikirkan bahwa mereka cukup makannya ?
terbeli sandangnya ? terjaga kesehatannya ? terbuka masa depan
anak-anaknya ?
Apalagi kalau kita membandingkan dengan cerita
ketiga yaitu tentang Abu Darda yang lebih mengutamakan kepentingan orang
lain dibanding diri sendiri. Rasanya sekarang orang lebih menghormati
orang yang menumpuk harta dibanding orang yang mendermakan
harta. Andai sedikit saja semangat tolong menolong seperti Abu Darda
tersebut bersemayam di dada rakyat Indonesia, maka politisi tidak perlu
berupaya melemahkan KPK, karena KPK menjadi tidak diperlukan
keberadaannya.
Semalam ang Dadang, kakak sepupu istriku di
Lumbung menginformasikan bahwa saat ini beliau tengah membangun TK Islam
dan sudah tiga minggu ini mulai ngecor lantai 2, maksudnya meminta
tambahan sumbangan. Aku jawab, paling tidak aku sumbang do'a. Setelah
telpon ditutup istriku langsung bilang bahwa dia akan ikut bantu wakaf
untuk pembangunan gedung tersebut, dan minta persetujuanku. Terus
terang tadinya aku berpikir khan bulan ini ada pengeluaran qurban, terus
kalau diambil dari zakat sudah dipotong oleh yayasan baitul mal kantor,
meminta pada baitul mal kantor baru saja dikasih untuk membangun
perpustakaan, maka pilihan wakaf yang diajukan istriku menjadi tidak
bisa dibantah.
Terima kasih istriku, engkau memang istri yang shaleha........terima kasih ya Allah.
(salam hangat dari kang sepyan)