Sabtu, 23 Maret 2013

PESTA vs SELAMATAN

Waktu aku jalan ke Bandung, teman-teman disana banyak yang nyalamin, katanya ada teman kuliahku dulu yang sekarang ditempatkan di Bandung, nyampaikan salam untukku.  Dia minta aku mampir ke tempatnya.  Jadi ketika sedang "break" ada waktu sebentar, aku sempetin mampir ke kantornya.  Setelah berbasa-basi nanya kabar, keluarga, berat badan (hehehe), kesehatan, dan lain sebagainya, tibalah pada "curhatan".  Rupanya beliau ditempatkan di Bandung bukan dalam rangka mutasi atau promosi, tetapi karena sedang menghadapi masalah.

Ketika masuk lagi ke pertanyaan apa penyebab beliau terlibat masalah dengan perusahaannya itu ? salah satunya disebabkan ada dana yang tidak bisa diperanggung-jawabkan.  Dia bercerita bahwa saat ybs menjadi pemimpin salah satu kantor yang ada di ibu kota propinsi, kebetulan ada pejabat yang akan menikahkan anaknya.  Lalu seluruh pejabat perusahaan yang ada di wilayah tersebut dibagi pekerjaan untuk mensukseskan.   Misalnya mengamankan tempat parkir, membuat baju seragam, memastikan kehadiran undangan, dan lain-lain.  Dan sebagai pemimpin kantor, "rasanya" kata temenku itu, tidak mungkin untuk meminta ganti atas biaya yang dikeluarkan.   Jadinya, berusahalah dia mencari dana, yang juga tidak mungkin juga berasal dari gajinya.  Tetapi dicari dari pos biaya lain.  Dan ketika audit mengetahui ada pembukuan biaya yang tidak "semestinya", maka jadilah ybs. kena masalah dan dipindahkan ke Bandung.

Pesta......kalau dalam bahasa Sunda disebut "kariaan" atau mungkin juga berasal dari kata ka-riya-an, atau sesuatu yang "riya".  Dengan penggunaan gedung mewah, acara mewah, makanan mewah, baju mewah dalam pesta pernikahan atau pesta sunatan, dll., cenderung lebih banyak "riya" nya.  Semakin pejabat, semakin mewah.  Padahal inti utama dari acara pesta tersebut adalah selamatan atau sebagai bukti terima kasih kita atas anugerah sang pencipta, bukti syukur kita atas segala karunia-Nya, dan meminta diselamatkan dari mara bahaya.

Semakin tinggi jabatan akan semakin meriah dan mewah pesta.  Para bawahan berusaha dengan berbagai cara "mengabdi" pada atasannya.  Pesta berjalan dengan mulus, tamu senang dan pejabat yang punya pesta tidak boleh pusing, termasuk tentang biaya.  Yang ketiban pulung adalah orang yang diperintah.  Bukan hanya harus pinter menjadi pemimpin itu, tetapi harus "pinter-pinter" itulah katanya kunci tangga menuju sukses (ini salah satu bisikan Bos-ku).

Rupanya bukan hanya dalam pesta pernkahan saja hal ini terjadi.  Termasuk dalam pesta demokrasi.  Bagamana gunjang-ganjingnya negeri ini dengan buntut dari pesta pemilihan ketua umum partai Demokrat.  Mantan bendaharanya teriak dari balik terali, siapa memang yang membayar hotel ? dari mana itu uangnya ?  Siapa yang bayar iklan di TV ? dari mana uangnya ? Ketika pesta telah usai, dan alam keterbukaan tidak mampu menutupi lagi.  Betapa pesta atau keriaan tersebut telah menyeret banyak nama besar.  Mentri, ketua parpol terbesar, semuanya sudah menjadi tersangka..........katakan "tidak".......hehehe.

Sebenarnya apa sih manfaat keriaan ? manfaat pesta ? kalau kita dalami maknanya, benar-benar lebih banyak di tonjolkan riya-nya.  Komunikasi dan silatrahminya sangat minimal, namun biaya baik dari yang punya pesta maupun pengorbanan yang datang ke pesta cukup besar.  Mungkin ke depan kita harus mulai memformat ulang konsep pesta menjadi lebih menonjolkan aspek selamatan dan syukurannya.  Tasyakuran, pengajian......aku pikir akan lebih bermanfaat. Biayanyapun akan lebih murah, dan sisanya dapat dimanfaatkan untuk memulai kehidupan baru.  Rumah baru, usaha baru, mobil baru, dll.

Jadi......siapkah Anda menjadi pioneer memformat ulang rencana pesta Anda ?

(salam hangat dari kang sepyan)

Sabtu, 16 Maret 2013

TUKANG PARKIR

Gubernur Jokowi memang fenomenal. Dengan kesederhanaannya, dengan gaya atau tampang kampungnya, dengan keseriusannya bekerja, membuat beliau berbeda.  Menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya.  Bahkan bukan hanya rakyat Jakarta, rakyat Jawa Barat dan rakyat Sumatera Utara pun ikut mengidolakan Jokowi.  Buktinya sambutan sangat antusias dari masyarakat Jabar dan Sumut ketika Jokowi ikut membantu kolega nya berkampanye Gubernur di kedua wilayah tersebut.

Salah satu kiat menghadapi kemacetan Jakarta yang diprogramkan Jokowi adalah dengan segera akan direalisasikan proyek monorel, proyek pembatasan kendaraan dengan mengatur ganjil genap, termasuk proyek meningkatkan biaya parkir menjadi Rp. 4.000 per jam.  Maksudnya agar orang yang punya mobil mikir dengan mahalnya biaya parkir kalau harus bekerja membawa mobil ke Jakarta.  Maklum proyek mengatasi macet harus banyak kitanya karena merupakan proyek prioritas yang ditunggu keberhasilannya oleh semua orang.

Kenaikan tarif parkir tersebut ternyata tidak hanya terbatas pada kenaikan parkir di gedung-gedung.  Tapi berlaku juga untuk tarif parkir di pinggir jalan.  Sehingga kalau dahulu parkir di pinggir jalan cukup seribu, sekarang harganya terus meningkat.....tidak berbeda jauh dengan tarif parkir di gedung.

Mengamati fenomena parkir, marilah kita coba sedikit bahasa tentang  profesi tukang parkir.  Umumnya untuk parkir di tempat-tempat umum seperti lapangan, pelataran mal, dikuasai oleh salah satu ormas kepemudaan.  Atau kadang-kadang di kelola oleh anak pejabat di wilayah tersebut.  Dengan slogan terima uang tetapi risiko tanggung sendiri, usaha mengelola parkir merupakan salah satu usaha yang cukup menggiurkan.  Dengan modal sedikit, bisa menghasilkan keuntungan yang banyak, nyaris tanpa risiko.  Kalau mobil baret, risiko yang punya mobil.  Kalo barang di mobil hilang, risiko yang punya mobil.  Bahkan kalau mobilnya pun hilang, risiko sepenuhnya sebagai risiko yang punya mobil.  Pengelola parkir hanya seperti orang yang menyewakan lahan parkir.

Demikian juga untuk parkir di pinggir jalan.  Sangat jelas, setiap meter jalan apalagi di keramaian telah ada yang menguasai.  Petugas parkir tersebut ada yang berseragam serta dilengkapi karcis parkir yang dikeluarkan Pemda, namun banyak pula tukang parkir yang tidak jelas.  Bahkan sering ketika kita susah payah memarkir mobil, rasanya sendirian gak ada tukang parkir di daerah tersebut.  Tetapi begitu kita mau keluar dari jalan, langsung muncul orang bermodalkan peluit, meminta jasa parkir.  Menurut aku ini lebih mirip pemalakan dari pada menjual jasa. Tapi sayangnya kok hal ini terjadi dimana-mana.  Seolah-olah semua orang menjadi maklum, dan dianggap itu merupakan cara mendapat mata pencaharian yang benar.

Terus terang, walaupun hanya bayar Rp. 2.000,- kadang aku suka gusar kalo melihat tukang parkir jenis pemalak ini.  Bukankah kita sama-sama masyarakat yang berhak untuk menggunakan jalan atau pinggir jalan ?  Aku amat sangat tidak yakin kalau mereka itu menyetorkan hasil parkirnya ke Pemda. Mungkin dia cuma nyetor ke preman atau ke "oknum".  Kalaulah jasa parkir jalanan tersebut dapat dikelola dengan baik.  Berapa banyak penghasilan yang akan didapat Pemda.

Rasanya tidak ada ruas jalan semeterpun di daerah Jabidetabek yang bebas dari tukang parkir.  Aku pernah parkir di tempat sepi yang rasanya mustahil ada tukang parkir.  Ketika aku mau pergi, tiba-tiba ada orang yang aku pikir sedang jualan rokok, minta parkir juga......ckckckckck.....pemalakan berjamaah.  Mungkin orang sungkan membicarakan ini, nanti dikira pelit.  Masa Rp. 2.000,- aja diributin.

Premanisme jalanan memang sudah terjadi di segala bidang.  Kemaren sore waktu mau nganter anakku ke terminal Bekasi, tidak biasanya pas di pintu masuk terminal ada oknum petugas yang memberhentikanku.  Dia meminta aku membayar Rp. 2.000,-.  Ketika aku minta bukti atas pungutan uang tersebut, dia jawab sudah habis, enggak apa-apa, enggak perlu ? Aku jadi bingung.....khan yang perlu aku sebagai orang yang bayar, minta bukti.  Dia seolah-olah menjawab bahwa dia tidak memerlukan bukti tersebut.......jadi enggak nyambung.  Ini dia yang keliru atau aku yang aneh, kok minta bukti.

Kalau untuk pengemis, sudah banyak lembaga yang ingin mengatur.  Misalnya MUI mengeluarkan fatwa haram memberi pada pengemis di jalanan.  Tantrib juga kadang-kadang melakukan penertiban terhadap keberadaan pengemis di jalanan.  Namun untuk masalah parkir liar, rasaya belum ada yang peduli.  Kalau kita hitung penghasilannya, hampir sama bahkan bisa lebih besar di banding pengemis dan pak ogah.  Tapi......sampai sekarang.....tukang parkir masih leluasa berkuasa.  Mungkin dinas  perparkiran belum mampu berpikir sampai ke arah itu........kita tunggu.

Atau silahkan pejabat Dinas Perparkiran studi banding ke Pulau Bali khususnya Denpasar.  Disana, rasanya tukang parkir liar kalaupun ada, tidak sebanyak di Jakarta.......jadi, selamat jalan-jalan ke Bali.

(salam hangat dari kang sepyan)

Rabu, 13 Maret 2013

ACEH GAYO

Akhirnya aku pilih pesawat yang brangkat subuh dari Jakarta menuju Banda Aceh.  Kebetulan sejak ditutupnya Batavia air, pesawat Lion yang biasanya berangkat agak siangan dari Jakarta langsung ke Aceh, dalam bulan Februari 2013 tidak terbang. Jadi agar bisa sampai di Aceh tengah hari, harus naik Garuda yang transit di Medan.  Perjalanan Jakarta ke Aceh yang biasanya di tempuh dalam waktu 3 jam kurang, menjadi lebih panjang sekitar 4 jam 30 menit.  Dan yang bikin malas sebetulnya karena harus turun naik pesawatnya.  Maklum sampai sekarang, setiap proses pesawat turun ataupun naik, hati ini masih belum bisa kompromi.  Denyut jantung terasa lebih cepat, dan perasaan was-was tidak bisa dihilangkan.

Hari itu aku akan melakukan perjalanan ke Takengon, kira-kira  7 jam perjalanan dari  Banda Aceh. Menurut kang Omang, saudaraku satu daerah yang kebetulan menjadi Bos besar disana, perjalanannya akan melewati Sigli kira-kira 2 jam, dari Sigli ke Bieureun kira-kira 2 jam, lalu masuk ke jalur tengah dari Biereun arah Takengon kira-kira 3 jam.  Sehingga diusahakan pake pesawat pagi agar tidak kemalaman di jalan.  Perjalanan dari Banda Aceh sampai Bieureun menyusuri pantai timur Aceh. Jalannya lumayan lurus dan besar, hanya sekitar 25 kilometer sebelum masuk kota Sigli jalanan lumayan berbelok naik turun menembus pegunungan Seulawah.  Seulawah pernah ngetop karena jaman perjuangan dahulu pernah dijadikan nama pesawat terbang perintis di Indonesia.


Perjalanan yang dirasa cukup berbeda adalah ketika telah belok dari jalan pantai timur, menuju ke Aceh Tengah.  Jalan mulai mengecil dan sebagian besar jalan sedang diperlebar.  Tampak tebing-tebing curam disebelah kanan kendaraan dan di sebelah kiri terdapat jurang yang sangat tinggi. Konon pada tahun 2012 jalan ini baru diperlebar, dan sampai sekarang belum selesai.  Namun proses pengerjaannya tidak lagi buka tutup seperti dahulu (jalan ditutup mulai jam 8 pagi sampai jam 12, kemudian dibuka 2 jam, lalu ditutup lagi sampai sore).  Dahulu harus buka tutup karena untuk mengoperasikan mobil pengeruk, diperlukan seluruh badan jalan.  Dengan selesai pelebaran, tinggal tahap pengerasan tidak memerlukan buka tutup lagi.

Kalau hujan deras, cukup ngeri melewati jalan ini.  Takutnya tebing yang baru dipapas dengan tinggi sekitar 50 meter dan kemiringan hampir 88 derajat, tentunya bila longsor akan tanpa ampun menutupi badan jalan seperti di Tol Cipularang kemaren.  Belum lagi dengan bumbu cerita dari pak sopir yang dengan sangat bersemangat menuturkan bahwa baru 5 hari yang lalu, ada Avanza yang mengangkut lima orang terjun bebas ke jurang.  Katanya 3 meninggal di tempat, selanjutnya 3 hari dan seminggu kemudian yang dua lagi menyusul.  Bikin tambah ngeri aja.

Aceh tengah, terbagi dalam 3 Kabupaten, yaitu Bandar Meriah kabupaten baru pecahan dari Aceh Tengah, dan Takengon.  Serta satu kabupaten lagi pecahan dari Kotacane yaitu Kabupaten Blang Kejeren.  Kalau digambarkan dalam peta perjalanan, dari Bieureun akan melewati Bandar Meriah, lalu masuk Takengon, diteruskan lagi ke Blang Kejeren dan terus menembus sampai ke Kutacanae yang sudah masuk wilayah pantai barat Aceh.  Tiga kabupaten yaitu Bandar Meriah, Takengon, dan Blang Kejeren tidak mau di sebut sebagai orang Aceh, mereka menyebutnya orang Gayo.  Demikian juga Kutacane, disebutnya bukan orang Aceh dan juga bukan orang Gayo, tetapi disebut orang Alas. Mungkin seperti orang Sunda, kalau kata orang luar pulau Jawa disebutnya orang Jawa, tetapi biasanya orang Jawa Barat tidak mau disebut orang Jawa, mereka menyebutnya orang Sunda.  Dan untuk orang Alas, padanannya mungkin seperti orang Cirebon.  Mohon maaf bila padanan ini kurang pas.

Takengon terkenal sebagai daerah dingin di propinsi NAD, jalannya menanjak dan berkelak-kelok. Sangat terkenal sebagai daerah penghasil kopi terbaik di Indonesia.  Ada dua jenis kopi yang diproduksi, yaitu kopi Robusta dan kopi Arabika.  Kopi Robusta pohonnya tinggi-tinggi, namun bijinya lebih kecil, dan harga jualnya kurang baik.  Oleh karena itu di Takengon sekarang banyak dikembangkan kopi Arabika.  Umumnya pohonnya di"buat" tidak terlalu tinggi, bijinya lebih besar, dan menghasilkan kopi kualitas ekspor.

Proses pengolahan kopi umumnya dilakukan dengan skala rumah tangga.  Dimulai dari panen bibit yang berwarna merah.  Lalu kulit merahnya dikupas atau dipisahkan dari bijinya dengan cara digiling, hasil penggilingan tersebut disebut sebagai gabah kopi.  Gabah kopi kemudian dijemur dan kemudian digiling kembali sehingga menjadi biji kopi.  Biji kopi di jemur kembali sampai kadar airnya kira-kira 12%.  Kemudian di gongseng atau dipanaskan, baru menjadi kopi yang siap diminum.  Kualitas biji, ketepatan waktu panen, kecepatan proses penjemuran, hal-hal itulah yang sangat mempengaruhi kulitas kopi dan keasaman kopi.  Sepanjang perjalanan, tampak penduduk banyak yang menjemur di pinggir jalan, baik gabah kopi maupun biji kopi.

Terus apa yang disebut kopi luwak ?  ternyata kopi luwak proses produksinya hampir sama dengan kopi biasa.  Yang berbeda adalah, saat biji kopi telah dipetik, kopi di"suguh"kan kepada Luwak untuk dikonsumsi.  Luwak tersebut tidak akan mampu mencerna gabah kopi.  Sehingga setelah dimakan, maka kulitnya di cerna sedangkan gabah kopinya akan utuh keluar bersama kotoran Luwak.  Jadi Luwak berfungsi sebagai pengganti mesin giling untuk mengupas kulit kopi.  Ternyata selama biji kopi berada dalam pencernaan Luwak, mungkin ada proses fermentasi, sehingga mampu memberikan kontribusi pada keasaman kopi yang "pas" menurut penggemar kopi.

Selain kopi dan udara dingin, di Takengon terdapat lapangan pacuan kuda "Blang Bebangka".  Sayang sekali waktu aku kesana sedang tidak ada lomba pacuan kuda.  Menurut teman-teman disana, bila tiba musim pacuan kuda, biasanya rame. Namun jangan membayangkan joki seperti di tivi-tivi. Biasanya joki tersebut memacu kuda, tanpa pelana......jadi asli....alami....seperti kpbpy jimen.

Tempat wisata lainnya di Takengon adalah Danau Laut Tawar, yang sekelilingnya terdapat jalan kecil serta dapat dilalui kendaraan.  Sayang waktu aku di Takengon agak sempit karena perjalanan sambil bekerja, jadi tidak sempat berkeliling danau.  Kalau mengelilingi danau kira-kira memerlukan waktu satu jam perjalanan.  Namun walaupun tidak sempat berkeliling, aku sempatkan mampir ke salah satu pantainya, yaitu wilayah one-one.  Tersedia menu ikan bakar biasanya ikan Nila yang fresh, manis, dan akan membuat Anda lupa diet.  Jangan lupa coba juga ikan khas danau laut tawar, yaitu ikan depik.  Kalau rasa dan bentuknya mirip ikan balita di Jawa, ikan Saluang di Padang, atau ikan Wader di Makasar.

Dua puluh empat jam di Takengon, rasanya terlalu cepat.  Menjelang magrib aku kembali ke Bieureun dengan diiringi hujan yang sangat lebat.  Sampai-sampai jalan seperti berubah menjadi sungai besar.  Tidak di Jakarta, tidak juga di Aceh Tengah......kadang-kadang pembuat jalan suka lupa membuat solokan.  Seperti halnya pembuat rumah lupa membuat tempat sampah........Beberapa bungkus kopi, aku lihat sudah berada di jok belakang, untuk dibagikan ke teman-teman di Jakarta.........ayo.......siapa mau ngupi ???

(salam hangat dari kang sepyan)