Kamis, 23 Mei 2013

SALAM DARI NARINGGUL CITY


Pucuk pohon berwarna biru kehitaman tampak puluhan mungkin ratusan meter berada dibawah.  Disusul dengan pohon lainnya yang tumbuh bertumpuk-tumpuk di tebing. Tambah ke atas pucuk-pucuk tersebut semakin kelihatan berwarna hijau kecoklatan, bahkan ada yang berwarna merah.  Pemandangan arah kiri, ketika mobil melaju dijalanan naik berbatu dari Cidaun menuju Naringgul.

Jalanan menanjak berkelak-kelok mengikuti sisi tebing.  Bila mobil belok harus berhati-hati mengingat badan jalan yang hanya sekitar empat meter, diapit sebelah kiri jurang dan sebelah kanan tebing.  Apalagi ketika belok ke kanan yang pandangannya tertutup tebing, bila kurang waspada tiba-tiba dari arah depan muncul mobil lain, bukan tidak mungkin sopir yang kurang pengalaman bisa membanting setir ke arah kiri, yang artinya mendatangi pucuk-pucuk pohon tadi.  Sehingga setiap ada belokan, rasanya darahku terus ikut-ikutan berdesir, dan kakiku ikut menegang, ingin mengnjak rem. Sedangkan kang Parmin sopir yang membawa mobil tenang-tenang saja. "Sudah biasa pak, saya hampir dua minggu sekali melewati jalan ini" demikian dia menenangkan aku yang mungkin kelihatan gelisah duduk dipinggir dia.

Naringgul adalah salah satu kecamatan di wilayah selatan Jawa Barat dan masuk dalam wilayah kabupaten Cianjur.  Dari Cianjur ke Naringgul memerlukan waktu sekitar tujuh jam ke arah selatan melewati Cibeber, Cidadap, Sukanegara, Pagelaran, Tanggeung, Cibinong, sampai ke pantai selatan yaitu daerah Sindang Barang yang memerlukan waktu sekitar 5 jam.  Dari Sindang Barang belok ke kiri arah ke timur melewati Cidaun memerlukan waktu sekitar 1 jam.  Dari Cidaun apabila terus lurus akan sampai ke Pameungpeuk wilayah kabupaten Garut, dan bila  belok kiri ke arah utara menuju Naringgul.  Jalan dari Cidaun ke Naringgul menaiki gunung dengan jarak  29 kilometer dan waktu tempuh sekitar satu jam.  Dua jam dari Naringgul terus ke utara, akan sampai ke daerah Pangalengan, dimana disana terhampar perkebunan teh dan peternakan sapi yang telah dirintis sejak jaman Belanda.

Udara di Naringgul cukup dingin karena merupakan daerah pegunungan, umumnya masyarakat memiliki mata pencaharian dari bertani.  Ada juga yang membuat gula kelapa serta mencari kayu di hutan.  Tapi karena terisolir, maka pembangunannya sangat terbatas.  Jalanan hampir seluruhnya berlubang, bahkan banyak yang membentuk kubangan apabila hujan turun.  Menurut teman yang disana "jarang ada pejabat yang datang lebih dari sekali kesini pak, biasanya mereka kapok karena jaraknya sangat jauh dan jalannya rusak".  Aku menyebutnya Naringgul City dengan harapan dan do'a mudah-mudahan, kelak daerah ini bisa menjadi sebuah kota yang tidak tertinggal pembangunannya.

Pembangunan wilayah selatan Jawa Barat seperti Naringgul dan sekitarnya memang sangat memilukan.  Bahkan jalan propinsi yang ada di wilayah pantai yang menghubungkan pantai Pangandaran sampai pantai Pelabuhan Ratu, keadaannya rusak parah.  Terutama setelah ada proyek penggalian pasir besi.  Konon pasir yang berada di sekitar pantai selatan itu mengandung besi dan laku di ekspor ke luar negeri. Sepanjang jalan pantai selatan banyak hilir mudik truk kelebihan beban mengangkut pasir besi.  Entah diangkut kemana dan entah siapa yang diuntungkan, yang masyarakat tahu adalah jalanan menjadi rusak.  Hanya wilayah kabupaten yang dahulu dipimpin Aceng Fikri yang tidak memberikan izin penggalian pasir besi.  Yang lainnya mengikuti lagi bento "persetan orang susah karena aku, yang penting asik, sekali lagi asiiiikkk".

Padahal di wilayah selatan banyak pantai-pantai yang indah pemandangannya, banyak potensi-potensi ekonomi yang dapat dikembangkan.  Namun untuk dapat mengembangkan semua itu perlu campur tangan pemerintah.  Bukan membela orde baru, tetapi jaman itu ada proyek PIR yang dicanangkan di wilayah selatan, dan sampai sekarang hasilnya masih dinikmati oleh masyarakat di sana, yaitu perkebunan kelapa. Sekarang pohonnya sudah sangat tinggi, dan setiap hari petani gula disana rajin menaikkan jerigen ukuran 10 liter ke puncak pohon, mengganti jerigen yang sudah terisi penuh nira kelapa.  Dari tetesan nira itulah, 40% warga dapat menghidupi keluarganya.

Pohon yang sudah tinggi, tentunya memerlukan peremajaan.  Namun masyarakat belum mendengar bimbingan peremajaan seperti apa yang harus dilakukan oleh mereka.  Mungkin Bapak dan Ibu pejabatnya masih sibuk menghitung fee penggalian pasir besi.  Yang warnanya hitam dengan butiran besi gemerlap bila tertimpa cahaya matahari, lebih menarik dan menjanjikan keuntungan.  Apalagi dikombinasikan dengan jumlah penduduk wilayah selatan yang relatif jarang dibandingkan wilayah tengah, sehingga kurang menarik untuk dijadikan basis pendulang suara.  Kalau tanggung-jawab harus dikalkulasi dengan keuntungan, jadinya seperti ini.

Menjelang sore,  mendekati jam 16.30, teman di Naringgul mengingatkan untuk segera turun kalau tidak akan bermalam di Naringgul.  Katanya jalanan di daerah tebing tadi, kalau malam kurang aman, sering diceritakan ada "begal" atau rampok yang berkeliaran di daerah tersebut.  Maklum di sekitar tebing tidak ada rumah penduduk. Jarak antara rumah terakhir sebelum tebing sampai rumah pertama setelah melewati tebing bisa mencapai 20 kilmeter.  Ditambah tidak ada sinyal hand phone, hmmmmm........memang cukup masuk akal.  Hari gini......keamanan pun masih menjadi barang langka.

Kalau memungkinkan.......aku berjanji, aku akan datang lagi ke Naringgul, sehingga bisa mematahkan mitos kalau ke Naringgul hanya sekali, karena kapok.  Naringgul City.......tunggu aku......mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi dengan posisi yang lebih baik.

Kepada para pembaca yang memiliki akses sama kang Aher atau Kang Dedi Mizwar, tolong sampaikan titipan salam dan pesan  dari masyarakat di Naringgul.  Minta ditengokin.


(salam hangat dari kang sepyan)

Jumat, 17 Mei 2013

MERAH HITAM BULAN BINTANG

Ketika itenarary perjalanan sudah terinci dengan rapi, tiket sudah dibeli, demikian pula mobil jemputan dan hotel disetiap kota yang akan kami singgahi sudah dikoordinasikan.  Jumat sore aku ditelepon pak Ali Akbar, kolegaku di Banda Aceh yang mengkoordinasi bisnis di regional Aceh.  "Pak, hati-hati....situasi di daerah perbatasan Sumut dengan Aceh sedang memanas".  Deg !!!  pikiran dan hatiku seolah-olah berhenti sebentar.  Pak Ali menjelaskan bahwa sehubungan dengan belum selesainya persoalan bendera Aceh, yang telah di-qanun-kan oleh pemerintah Aceh, namun belum disetujui pemerintah pusat, karena "konon" tidak sesuai dengan MoU Helsinky.  "Hari rabu kemarin, saya dan rombongan baru jalan dari Kuala Simpang menuju Banda Aceh, dan dijalanan banyak sweeping.  Kadang sweeping oleh aparat atau kadang sweeping oleh pihak lain.  Yang sweeping oleh pihak lain itulah yang berabe" demikian pak Ali memberikan gambaran.

Aku berempat dengan temen lainnya berencana untuk mengunjungi Kuala Simpang, Langsa, dan Lhokseumawe.  Perjalanan direncanakan hari Senin pagi dan pulang Kamis siang mengunjungi ketiga kota tersebut dan diperkirakan sampai di Lhokseumawe sekitar jam 8 malam.  Akhirnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka diputuskan untuk menginap di Langsa, agar tidak melakukan perjalanan di atas jam 6 sore.  Perjalanan Langsa Lhokseumawe diteruskan keesokan harinya, karena masih memerlukan 3 sampai 3,5 jam perjalanan.  Daerah Langsa terutama Idi Rayeuk dan Peureulak memang terkenal daerah basis GAM, dan itu berada diantara perjalanan kota Langsa menuju Lhokseumawe.

Untuk memastikan serta mengatisipasi adanya sweeping atau hal lainnya, maka teman di Banda Aceh membantu kami dengan mengirimkan salah satu stafnya untuk memandu perjalanan dari Medan.  Dia berangkat melalui pesawat dari Banda Aceh dan ketemu di Medan.  Maksudnya untuk memastikan kita tidak salah sikap ketika menghadapi sweeping yang sewaktu-waktu mungkin terjadi.  Karena, salah-salah bersikap, salah-salah memilih kata dan kalimat yang tepat, atau salah-salah menebak apakah aparat atau bukan aparat, bisa berakibat fatal. Horor sekali kedengarannya.

Setelah makan siang dan sholat di warung ACC Medan, kami meneruskan perjalanan menuju Langsa.  Melewati Binjai, Stabat, sampai masuk ke perbatasan Langsa.  Alhamdulillah sampai jam 4 sore di kota  Langsa tidak terjadi apa-apa.  Kota Langsa pun aku lihat ramai seperti biasa, tidak seperti dalam kondisi bahaya.  Disepanjang jalan tengah kota dekat alun-alun Langsa, para pedagang tampak sedang bersiap-siap menata tempat dan dagangan, yang umumnya berupa makanan.  Ada nasi goreng, mie aceh, jagung bakar, manisan jambu, minuman, dan sebagainya.  Berjejer-jejer sepanjang jalan dengan roda berisi makanan dan beberapa meja yang disimpan di trotoar yang dilengkapi dengan kursi plastik.  Kehidupan malam di Langsa berlangsung seperti biasa.  Memang setelah melewati perbatasan Aceh, dipinggir jalan ada satu dua bendera merah bergaris hitam dan ditengahnya ada bulan bintang, tapi tidak banyak dan sekali-kali diselingi dengan bendera merah putih pudar.

Ketika kami sedang ngobrol dengan tuan rumah di Langsa, ada berita yang mengejutkan, yaitu di kota Lhokseumawe jam 4 sore hari itu ada penembakan terhadap mobil box, oleh pengendara sepeda motor dengan menggunakan senjata api.  Belum diketahui secara jelas apa motif dibalik itu, apakah perampokan atau motif ideologi.  Yang jelas, pengendara mobil box terkena tembakan di tangannya dan dibawa ke Rumah Sakit.  Kembali kami ketar-ketir, apalagi sebelum berangkat aku juga memdapat cerita bahwa kadang-kadang dilakukan sweeping ke kamar, dan tidak ada orang yang tahu kalau hal itu terjadi.   Aman.....aman.....aman, aku besarkan hatiku dan hati teman-temanku.  Perjalanan dalam rangka tugas, Insya Allah dilindungi oleh yang Maha Kuasa.

Alhamdulillah, aku tidur nyenyak sampai pagi.  Malahan jam setengah enam pagi, aku masih berani jalan-jalan berolah raga pagi ke jalan perkampungan di sekitar hotel.  Namun tidak bisa berlama-lama, karena agenda hari itu seharusnya pagi-pagi sudah berada di Lhokseumawe, sehingga harus berangkat sebelum jam 7 pagi, karena jarak perjalanan dari Langsa ke Lhokseumawe memerlukan waktu sekitar 3 sampai 3,5 jam.  Hampir sama dengan waktu tempuh perjalanan dari Medan ke Kuala Simpang.  Sedangkan waktu tempuh dari Kuala Simpang ke Langsa hanya sekitar 45 menit sampai satu jam.  Jadi total perjalanan Medan ke Lhokseumawe kira-kira 7,5 sampai 8 jam.

Perjalanan dari Langsa ke Lhokseumawe pagi hari, biasanya lancar.  Namun pagi itu agak tersendat karena banyak sekali mobil truk di perjalanan.  Pak Jun, sopir yang menjemput kami menyebutkan bahwa sejak ada isu bendera ini, mobil truk tersebut tidak berani lagi jalan malam.  Mereka mengatur waktu perjalanan agar ketika memasuki daerah Idi Rayeuk sudah pagi.  Sepanjang perjalanan dari Langsa ke Lhokseumawe seperti sedang masa kampanye, bendera merah bergaris hitam dan ditengahnya ada gambar bulan dan bintang, serasa meneror kami.  Menggelitik sudut  ideologi kami yang masih tersisa dan sudah memudar, yang dahulu ditanamkan oleh Bapak dan ibu Guru SD, SMP, SMA.  Yang dahulu didoktrinkan oleh Bapak-bapak yang menatar kami selama 100 jam, sebagai persyaratan agar kami dapat mengikuti pendidikan di Universitas Negeri.  Apalagi di daerah Idi Rayeuk, daerah Peureulak, demikian juga disekitar pertambangan minyak Chevron Lhokseumawe, di Lhok Sukon, banyak bendera dengan ukuran raksasa yang diikatkan dengan tiang terbuat dari pohon Jambe.  Pohon yang tinggi dan lurus sebesar tiang listrik, yang biasanya dipakai untuk pesta "rebutan", disana dengan gagahnya menopang kain merah bergaris hitam bergambar hitam bulan dan bintang.  Hatiku ingin berontak, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.  Pemerintah aja sepertinya diam dan membiarkan ?

Alhamdulillah, ternyata aku masih memiliki "rasa" Indonesia.  Tapi aku jadi kesal, karena yang diperdengarkan dan dipertontonkan oleh pemerintah di televisi hanya keragu-raguan mengambil keputusan, politik akomodatif untuk hal penting.  Serta politik "lebay" untuk hal yang menurutku remeh-temeh.  Pembicaraan "lisan" dilaporkan ke Mabes Polri karena kurang kata "oknum".  Padahal kalau berkaca ???  Semut di ujung lautan jelas kelihatan, tetapi gajah dipelupuk mata tidak tampak.

Berita penembakan kemaren, ternyata perampokan biasa.  Orang tersebut setiap sore memang biasa membawa uang sekitar 500 juta sampai satu milyar untuk disetorkan ke bank, menutup rekening giro yang telah dia keluarkan.  Jadi sudah diincar sejak lama.  Tapi ada lagi "rumor" yang menghebohkan, katanya beberapa waktu yang lalu TNI sempat menghadang 3 kapal yang menyelundupkan senjata dan amunisi, namun hanya satu kapal yang dapat digagalkan.  Dua kapal lainnya menjadi teror bagi penduduk Aceh.  Ada juga rumor yang mendengar sebuah tembakan.  Tapi benar atau tidaknya rumor tersebut, Wallahualam.

Yang jelas, sore hari Kamis ini, kami berempat telah berada di lambung pesawat menuju Jakarta dengan selamat.  Teriring do'a buat rakyat Aceh, semoga ada jalan keluar terbaik.  Politik bukan bertujuan "tok" untuk mencapai kekuasaan, tetapi yang lebih hakiki adalah untuk mensejahterakan.  Kalau pada ribut terus.......bagaimana mau sejahtera ??????


(salam hangat dari kang sepyan)

Selasa, 14 Mei 2013

PAGI CERIA DI UJUNG GENTENG

Anak tanggung usia 18-an memakai kaos tangan panjang warna biru tua yang tampak sudah memudar.  Rambutnya tebal hitam dengan ujung agak cokelat, mungkin karena sudah lama tidak bertemu shampo.  Tangan kiri menenteng ikan kira-kira 25 ekor ikan berbentuk pita dengan panjang setengah meteran dan lebar lima sampai tujuh centimeter. Tangan kanan memegang gas motor bebek, keluar dari celah-celah antar perahu menuju jalan desa yang mengarah ke tempat pelelangan ikan.  Dari arah berlawanan muncul sebuah motor bebek hampir serupa yang dikendarai dua orang bertopi usia 30-an.  Sudut mataku yang sedang jalan pagi, menangkap senyum sumringah yang tersungging dari ketiga wajah mereka ketika berpapasan, ………..menambah ceria pagi itu di Ujung Genteng.

Matahari sudah mulai muncul ke permukaan, cahayanya cukup menerangi pantai, namun belum menyengat.  Sekitar dua ratus orang termasuk ketiga orang tadi tampak ceria, hilir mudik di pantai diantara puluhan perahu-perahu penangkap ikan yang berderet-deret dipinggir pantai.  Rata-rata perahu bercat putih dengan kombinasi biru muda.  Tukang jualan makanan ringan seperti gorengan, nasi uduk, kopi, tampak sibuk melayani pembeli.  Di salah satu sudut tempat, tampak bergerombol orang memilah-milah ikan hasil tangkapan sesuai dengan jenis yang sama.  Tangannya lincah membagi-bagikan ikan kedalam tempat yang sudah dipenuhi balok es.

Pantai Ujung Genteng terletak di pantai selatan Sukabumi. Jarak dari Sukabumi kira-kira memerlukan waktu perjalanan 4 sampai 5 jam.  Jaraknya mungkin tidak terlalu jauh, tetapi dengan kombinasi jalan rusak dan berlobang menyebabkan waktu tempuh harus meningkat dua kali lipat.  Aku datang kesana bukan dari arah Sukabumi tetapi meneruskan perjalanan dari Pelabuhan Ratu. Sengaja jalan-jalan ke Pantai Selatan Jawa Barat, untuk menyambangi teman-teman pejuang yang berkantor disana......hehehe........kalau istilah politik mungkin untuk mendatangi konstituen.

Setelah makan siang di pelabuhan ratu kemaren siang, kami berangkat.  Menjelang akhir batas kota mengarah ke Cibadak yaitu di daerah Bag-bagan ada pertigaan.  Kalau lurus menuju Cibadak sedangkan kalau ambil jalan yang ke kanan itu arah ke Ujung Genteng.  Melewati daerah-daerah seperti Simpenan, Kiara Dua, Jampang Kulon, Surade, Ciracap, dan Minajaya. Jalan dari Bag-bagan menuju kiara dua (daerah kecamatan Simpenan) kecil dan menanjak serta berbelok-belok, setelah selesai belokan dan tanjakan, sampailah ke daerah perkebunan teh.  Presentase aspal yang ada dipermukaan jalan di jalan yang berbelo-belok masih kisaran 70 sampai 90 persen, namun setelah melewati perkebunan teh jalan semakin rusak, permukaan aspalnya terus berkurang .  Entah karena terpengaruh nama daerah (daerah simpenan) atau karena apa, tetapi kami seringkali melihat  wanita-wanita yang putih dan cantik, yang rasanya agak aneh berada di daerah terpencil seperti itu.  Jalan dari pelabuhan ratu sampai kiara dua ditempuh dengan waktu satu jam setengah lebih dengan jarak sekitar 30 kilometer.

Dari Kiara dua kita belok kanan menuju Jampang Kulon dan Surade, kalau belok kiri arahnya ke Sukabumi.  Setelah jalan kira-kira lima kilometer, terdapat pertigaan lagi yaitu kalau jalan menuju Jampan Kulon dan Surade terus lurus, sedangkan jalan yang menuju Ciracap belok kanan melewati Ciemas, dimana disana banyak pertambangan emas rakyat.  Kedua jalan tersebut akhirnya bertemu di daerah Minajaya.  Dari Minajaya ke pantai Ujung Genteng kira-kira memerlukan waktu tempuh 30 menit.  Tingkat kerusakan jalan semakin meningkat, seiring dengan semakin sulitnya mencari jalan yang masih tersisa aspal dipermukaannya.  Rata-rata permukaan jalan tinggal kerikil, dan sekali-kali ada kubangan membesar.  Kerusakan jalan terparah adalah di kecamatan Ciracap, rasanya aneh daerah tersebut termasuk daerah kecamatan dengan kondisi infrastruktur yang seperti itu.  Di pusat kotanya saja, mobil hanya bisa berjalan 5-10 kilometer perjam, kalau di Jakarta macet karena banyak kendaraan, tetapi kalau di Ciracap kendaraan tersendat karena harus memilih jalan yang memungkinkan roda menapak dengan sempurna.

Jauh sekali perbedaan infra struktur antaran wilayah utara dan wilayah tengah jawa barat dengah wilayah selatan jawa barat.  Padahal denger-denger banyak orang maju dan berhasil yang berasal dari daerah ini, salah satunya bupati Sukabumi juga asli Jampang Kulon.  Dari sisi denyut bisnis, terasa denyutannya cukup kencang, ditandai dengan besar dan ramenya pasar-pasar yang kami lalui.  Banyak toko besar berderet sepanjang jampang kulon dan Surade.  Wajar saja kalau ada beberapa masyarakat daerah sana yang berpikir untuk membuat pemekaran kabupaten Jampang.

Sampai ke pantai Ujung Genteng sudah jam delapan malam, maklum disamping jalannya rusak, aku juga pergi sekalian kerja.  Petugas yang menemaniku sengaja mencari jalan pintas tidak melalui jalan utama atau tidak melalui pantai yang ramai  untuk menuju hotel.  Katanya kalau lewat pantai tersebut banyak perempuan malam yang nongkrong menjajakan diri di pinggir jalan.  Dalam hati aku bilang "padahal aku juga pingin loh ngelihat kehidupan malam pinggir pantai", tapi aku gak berani mengutarakannya, pura-pua alim saja.  Diambil hikmahnya saja, Alhamdulillah terhindar dari pikiran ngeres dan zinnah mata.

Hotelku terletak di ujung barat pantai ujung genteng, sengaja dipilihkan disana agar kalau tidak cape banget sekitar jam satu malam bisa pergi ke tempat penyu bertelur.  Jaraknya kira-kira lima kilometer dari hotel tersebut  menuju arah barat menyusuri pantai.  Setelah mandi dan ganti baju, aku coba jalan ke lobi hotel deket pantai, ada beberapa orang disana.  Ketika aku tanya tentang tempat penangkaran penyu, dia bilang tadi siang dia sudah pergi kesana, tetapi tidak jadi karena lobangnya besar-besar sehingga Avanza dia tidak bisa menembus jalan tersebut.  Kebetulan deh, aku bisa tidur nyenyak semalaman dan melupakan agenda nonton penyu bertelor.

Pagi-pagi setelah sholat subuh aku berganti pakaian olah raga dan sepatu kets untuk berolah raga pagi menikmati udara pantai.  Aku coba jalan ke sebelah kanan mengarah ke tempat penangkaran penyu.  Tapi belum sampai 500 meter, aku lihat jalanan sepi sekali.  Dari pada takut, mendingan aku balik kanan menuju pantai utama.  Satu kilometer dari hotel tampak bekas-bekas pesta semalam di cafe-cafe yang ada di pinggir pantai.  Selanjutnya 300 meter dari sana berderet-deret perahu nelayan dan bila terus ke ujung sekitar 300 meter lagi, ada tempat pelelangan ikan yang cukup besar dan ramai.

Jalan antara tempat mangkal perahu dan tempat pelelangan ikan cukup ramai sebagaimana aku gambarkan di awal tulisan ini.  Dan yang lebih menyenangkan adalah rona muka mereka tampak bahagia.  Mungkin sedang musim ikan.  Atau mungkin itu sebagai bukti ketulusan dan keikhlasan serta rasa syukur atas rezeki yang diterimanya.  Matahari semakin tinggi.....udara hangat mulai menerpa kulitku.  Dan senyuman mereka juga telah menghangatkan hatiku.  Bukan besar penghasilan yang menyebabkan kita bahagia, tetapi besar rasa syukur yang menjadikan kita bahagia.  Dan pagi ini……..dengan senyuman mereka, aku ikut damai didalamnya.

(salam hangat dari kang sepyan)

Kamis, 09 Mei 2013

NEGERI PREMAN

Libur karena merayakan apa, menjadi tidak penting.  Yang penting hari ini hari kamis  9 Mei tanggalan di kalender berwarna merah, artinya besok harpitnas atau hari kejepit nasional.  Penerjemahan sekarang setelah tempat kerja pindah ke Jakarta dan bisa  berkumpul keluarga, artinya liburan gak boleh keluar kota, macetnya jalan tol Jakarta ke Bandung minta ampun.  Artinya hari ini bolehlah berleha-leha, bangun siang, menikmati selimut lebih lama dari biasanya.  Artinya bisa memiliki waktu yang cukup untuk sholat berjamaah di mesjid dan berinteraksi dengan tetangga-tetangga jamaah mesjid.

Selesai shalat dzuhur, aku berkumpul di bagian dalam mesjid dengan ustadz Syatibi ketua DKM, Haji Sudiat Bendahara DKM, dan Haji Mulyono yang dipercaya menjadi seksi pembangunan mesjid,  maklummesjid kami masih dalam tahap pembangunan terus, sudah hampir delapan tahun membangun, masih belum selesai jadi masih ada seksi pembangunan mesjid (baca ; kang sepyan ngawadul dengan judul Mesjidkuuuu).  Sambil menengadah ke atas menikmati kubah mesjid yang baru dipasang sebagian, yaitu melihat besi-besi kokoh warna hijau tua membentuk kubah dan ditutupi oleh sejenis plastik tebal warna putih.  Konon katanya diatas plastik tersebut akan dipasang bahan dari enamail yang berwarna-warni sebagai bagian luar kubah, dan dibawah plastik tersebut akan dipasang sejenis gypsum bergambar langit.  Ustadz Syatibi bilang, entah sengaja menginformasikan ke aku atau mungkin cuma ngomong sendiri  "alhamdulillah sudah dibayar 95%  kubah ini".  "Tapi sebagian dibiayai dari hutang" pak Sudiat langsung menimpali.   

Kubah menjadi hal yang sangat kami idam-idamkan tetapi sulit sekali mewujudkannya, karena dana yang masuk tidak begitu banyak padahal biaya kubah sangat mahal.  Tawaran yang datang mulai dari Rp 450 juta sampai Rp. 650 juta.  Dana yang ada tidak pernah bisa terkumpul sebanyak itu karena pembangunan fisik yang lain pun seperti menyelesaikan tingkat dua, menyelesaikan pagar, menyelesaikan kamar mandi dan tempat wudu, dan lain-lain, sama-sama mendesak untuk segera diselesaikan.  Akhirnya setahun terakhir kami bertekad untuk "puasa" membangun, uang semuanya dikumpulin sampai terkumpul Rp. 150 juta.  Lalu dilakukan lelang lagi dalam rapat mesjid dan terkumpul tambahan 80 jutaan.  Dengan modal nekad, akhirnya panitia memesan kubah dengan harga Rp. 325 juta yang sekarang terpasang dan Alhamdulillah sudah terbayar 95% walaupun terpasangnya mungkin baru 50%.  Selalu ada keajaiban ketika kita membangun mesjid.  Utang yang dimaksud pak Sudiat-pun bukan utang ke pihak ketiga, tetapi utang ke kas mesjid serta utang ke dana cadangan pembelian wakaf tanah untuk rencana perluasan halaman mesjid.

Akhirnya kami terlibat obrolan tentang sumber dana pembangunan mesjid.  Ada sumber dana yang sampai saat ini belum bisa cair yaitu sesuai janji pak Walikota.  walikota Mohtar Muhamad dalam tahun 2011 sudah menjanjikan akan menyumbang Rp. 25 juta, dan kemaren ketika dalam peringatan maulid nabi kami undang walikota yang baru (sebelumnya wakil walikota dan diangkat menjadi walikota karena walikota lama ditangkap kpk), walikota pengganti menyatakan kita anulir saja janji yang Rp. 25 juta dan kita ganti dengan janji baru yaitu dana Rp. 100 juta.  Apalagi waktu itu kedatangan pak Walikota mendekati masa pemilihan walikota, dan dia mencalonkan, kami sangat antusias dan semangat menyambut janjit tersebut.  Hehehe......sampai sekarang, setelah pak Walikota berhasil memenangkan pemilu kada,  kita tidak tahu harus kemana menagihnya.  Biasa deh itu janji politik saja, kataku dalam hati.  Mudah-mudahan dugaanku salah, masa masalah mau nyumbang mesjid saja harus dipolitisasi.....kasihan, nanti tidak barokah.

Sumber lain yang sebenarnya menjanjikan adalah usaha menyewakan tempat penitipan motor.  Tapi pak Sudiat melaporkan hanya mendapat Rp. 300 ribu saja untuk setoran dua bulan kemarin Januari dan Februari 2013.  Ada jalan yang buntu dengan lebar sekitar 6 meter dan panjang 30 meteran.  Lalu DKM beserta RW dan ada warga yang polisi sebut saja oknum polisi membangun tempat penitipan motor.  DKM mengeluarkan biaya Rp. 12 jutaan untuk membuat atap dan membeli pagar, dan disana dipasang spanduk bahwa dananya untuk panitia pembangunan mesjid.  Kalau aku lihat motor yang dititipkan cukup banyak bisa berjumlah 150 motor.   Dengan asumsi sekali nitip seharian Rp. 3.000,- artinya penghasilan sehari bisa mencapai Rp. 450.000,-  Aduh......jadi susah deh ngitungnya berapa penghasilan sebulan kalau hanya setor Rp. 150.000,-  Setelah aku tanya, kenapa setornya cuma sedikit sekali ?  Jawabannya adalah, karena "oknum polisi" tadi.  Bahkan sang oknum menambah tempat cucian motor dan mobil di tempat tersebut, yang airnya selalu menggenangi jalan.  Pak RT, Pak RW, Pak ketua DKM, yang semuanya sudah cukup sepuh di lingkungan, tidak bisa berbuat apa-apa.  

Padahal sang oknum polisi itu tidak menjalankan usaha, baik nungguin parkir ataupun cucian mobil, tetapi ada orang lain yang menjalankan.  Padahal di lingkungan kami ada mantan Kapolda.  Mau bertanya, takut menyinggung dan nanti ribut, begitu kata ustad Syatibi.  Tapi apakah benar oknum polisi itu yang "main", atau mungkin kita hanya diperalat saja oleh orang suruhannya, yang sekarang menguasai dan menjalankan tempat usaha tersebut.  Harus kemana kami bertanya ???  Padahal dana tersebut sangat kami butuhkan dan menyangkut impian seluruh warga.  Tapi tetap kami tidak berani bertanya atau bertindak apa-apa.Wajar sekali apabila di Tangerang, penduduk yang mengetahui ada oknum aparat yang membeking perusahaan pembuat kuali, tidak berani melaporkan.  Mau lapor kemana ?  Mau apa yang dilaporkan ? Lebih baik kita pura-pura tidak tahu.  Karena negara ini telah dikuasai oleh preman.  

Bayangkan saja, setelah beritanya ramai di televisi pun, petinggi tertinggi aparat pengayom masyarakat menyebutkan bahwa oknum aparat tersebut hanya sebagai tukang kayu yang menjual kayu.  Hubungannya cuma hubungan bisnis biasa.  Bayangkan juga ketika komandan tertinggi dengan gagah berani menyebutkan "saya bangga" "saya hormat", kepada oknum bawahannya yang telah melakukan main hakim sendiri dalam kasus cebongan.  Kami tidak punya tempat mengadu.

Kayanya sudah banyak orang yang kebelinger........taubatan nasuha.......taubatan nasuha........taubatan nasuha.........lebih baik sedikit tetapi barokah, dari pada hidup mewah dengan tidak diridhoi oleh tetanggamu.

(salam hangat dari kang sepyan)

Minggu, 05 Mei 2013

GOA HIRO (lanjutan)

Pelataran puncak goa Hiro tidak terlalu lebar.  Bidang datarnya hanya sekitar panjang 10 meter dan lebarnya sekitar 6 meter.  Disana terdapat dua warung kecil yang berjualan minuman maupun makanan.  Ada minuman hangat seperti teh panas, teh susu, kopi, dan ada juga minuman dingin seperti air mineral dan soft drink.  Makanannya macam-macam berupa roti atau kue-kue makanan ringan.  Bahkan di jual juga indomie seharga 5 Riyal.  Harganya agak tinggi, maklum naiknya berat.  Di depan warung terdapat bale-bale berkarpet yang digunakan untuk menyantap makanan.  Atas bale-bale tersebut diberi atap dari karpet, sehingga sangat cocok untuk tempat memulihkan tenaga setelah mendaki, sambil melihat-lihat ke bawah pemandangan.

Pemandangan yang paling dekat ke gunung adalah hamparan rumah penduduk.  Tampak seperti hamparan balok-balok berwarna krem yang cukup padat memenuhi kaki gunung sampai ke kota.  Maklum rumah-rumah di arab umumnya berbentuk kotak dan tidak menggunakan genting seperti di Indonesia.  Dan luarnya pun semuanya berwarna krem, atau putih kotor.  Tampak kotak-kotak kubus tersebut bertumpuk dengan batu-batu hitam.  Dikejauhan samar-samar terlihat zam-zam Tower, gedung tersebut tampak berbeda dari kejauhan seperti tiang kerucut dengan bagian bawah agak besar.  

Di ujung sebelah kiri bidang mendatar puncak gunung Nur terdapat karpet yang dibentangkan seukuran 3 kali 3 meter, dan nampak beberapa orang sholat dengan menghadap ke Ka'bah yang terletak di depan zam-zam tower.  Di sebelah kanannya banyak orang yang berwudlu dengan menggunakan air mineral.  Goa Hironya dimana ???

Ternyata goa Hiro berada di balik gunung, dari puncak harus turun lagi sekitar 50 meter.  Dari sisi ujung sebelah kanan puncak gunung Nur, kalau melihat ke bawah tampak ada tempat mendatar seluas 5 sampai 7 meter persegi telah dipenuhi manusia yang sedang mengantri untuk masuk ke goa Hiro.  Di luas bidang tersebut sekitar 50 sampai 70 orang pejiarah berdiri menunggu giliran masuk goa.  Jalan turun menuju ke goa tersebut bukan dari puncak sebelah kanan karena sangat terjal sekitar 90 derajat, sehingga diberi pagar dari besi.  Jalan turunnya adalah melalui sisi kiri tebing ada undakan dengan turunan yang sangat tajam kemiringan sekitar 70 derajat, lalu memutar ke kiri.

Sampai disana ada dua jalan menuju pelataran goa Hiro yaitu bisa melalui atas, yaitu naik ke gunung batu tempat di bawahnya ada goa Hiro atau lewat celah sempit lorong di bawah batu.  Kedua jalan tersebut bukan merupakan jalan yang mudah.  Jalan pertama lewat atas harus naik gunung batu tanpa undakan.  Naiknya seperti olah raga rock climbing, yaitu menggunakan kedua tangan untuk memegang ujung-ujung batu yang menonjol dan kedua kaki mencari pijakan.  Setelah sampa atas, untuk turun masuk ke pelataran pintu goa Hiro juga sangat sulit karena di bawah banyak manusia, dan kalau mengambil sisi lainnya sangat riskan bisa terjun bebas sekitar 400 meter.  Hanya laki-laki muda yang mengambil jalur ini, dan setelah sampai atas pun banyak yang balik lagi karena tidak bisa turun ke tujuan.

Jalan yang kedua adalah lewat celah sempit, dengan jarak sekitar 6 meter.  Celah tersebut hanya mampu menampung satu tubuh manusia, itupun harus ditekuk-tekuk mengikuti bentuk celah.  Namun di dalamnya agak membesar dan terbagi menjadi dua jalan.  Harus sabar banget kalau ingin menempuh jalur ini, terutama kalau di dalam kita bertemu dengan pejiarah yang akan keluar.  Sudah tempatnya cukup gelap, bahasa pun tidak mengerti.  Jadi saling teriak mereka mengatur.......komunikasi tambah sulit karena bahasa isyarat tidak terlihat.

Akhirnya aku berhasil bisa mencapai pelataran depan goa Hiro, tapi tidak dapat berdiri dengan tegak, aku hanya mampu mendapat tempat di sisi tebing, dengan kaki berpijak pada sengkedan sekitar 5 cm dan badan direbahkan ke tebing.  Namun dari sana mulai nampak jelas pintu goa hiro, tidak terlalu besar dan hanya menampung satu atau dua orang sholat.  Jadi kalau harus ngantri sholat tidak kebayang kapan aku kebagian.  Belum lagi antrian yang tidak jelas.  Akhirnya aku putuskan untuk kembali masuk celah goa untuk kembali ke puncak.  Keluar dari celah aku lihat banyak monyet yang berkeliaran di gunung batu tersebut, dan setelah aku perhatikan ada sedikit perbedaan monyet arab yaitu bulunya lebih panjang dan hidungnya lebih mancung.  Sebagian jamaah ada yang melemparkan roti ke monyet tersebut.......hehehe.....iya satu lagi perbedaan lainnya monyet di arab juga suka roti.

Aku membayangkan bagaimana dahulu perjuangan istri nabi Muhamad yaitu Siti Khodijah.  Yang diriwayatkan bahwa beliau suka naik ke puncak gunung untuk mengantar makanan apabila Rosululloh ada di goa Hiro berhari-hari.  Padahal usia beliau waktu itu sudah sekitar 55 tahun.  Betapa berat perjuangannya, perjuangan seorang istri shalehah mengabdi pada suami, perjuangan menegakan islam.  Apalagi di jaman itu jalannya pasti lebih sulit lagi di banding sekarang.  Mungkin belum ada undakan-undakan seperti saat ini.  Kami naik tanpa membawa beban apa-apa dan masih lebih muda pun merasa sulit, apalagi kalau harus sambil membawa beban makanan.

Di tengah malam, di kesunyian, di sebuah goa, di puncak gunung batu, wahyu pertama Al-quran diturunkan......IQRA.....bacalah.......padahal nabi Muhamad seorang ummi....tidak bisa membaca.  Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.  Setelah mendapat wahyu tersebut, nabi Muhamad berlari menuruni gunung menuju rumahnya, menggigil......dahsyat sekali waktu itu.

Setelah cukup beristirahat, berfoto dan membuat beberapa vidio kami turun.  Perjalanan turun ternyata bukanlah perjalanan yang mudah.  Kalau waktu naik yang berjibaku adalah jantung, waktu turun yang berjibaku adalah lutut.  Sendi lutut dan betis bergetar ketika aku mencoba berhenti sejenak.  Sampai di bawah kami mencari taksi kembali ke Haram, dan sopir mengerti ketika kami coba kibaskan tangan dua kali......20 Riyal kami kembali ke Mekah.  Jam 10 pagi kami sudah sampai hotel, aku keluarkan minyak tawon dari Makasar untuk dioleskan ke seluruh kaki.  Lalu istirahat sekitar 1 jam sambil mengurut sendiri kaki yang pegal. Tidak bisa berlama-lama, karena jam 11 harus segera mandi untuk persiapan sholat dzuhur.  Pahalanya 100 ribu kali bo !!!! jadi inget matematika pahala....hehehe.....ada yang belum baca judul tulisan itu ???


(salam hangat dari kang sepyan)

Rabu, 01 Mei 2013

GOA HIRO

Iqra......bacalah.....bismirobbika ladzi holaq, itulah ayat pertama wahyu Illahi yang diturunkan Allah kepada nabi Muhamad SAW melalui malaikat Jibril pada malam tanggal 17 Ramadhan 15 abad yang lalu.  Nabi Muhamad waktu itu sedang menyepi, berada di sebuah goa yang terletak di atas gunung Nur, yang dinamakan goa Hira.  Ketika menjelang usia 40 tahun, Nabi Muhamad selalu kelihatan gelisah, sehingga hampir setiap malam beliau menyepi menjauh dari keramaian.  Tempat menyepi yang di pilih adalah di goa Hira.

Gunung Nur memiliki ketinggian sekitar 2.500 kaki dari permukaan laut.  Dan sebagaimana umumnya gunung di daerah arab, hampir keseluruhan material gunung adalah berupa batu.  Jarak dari Ka'bah atau pusat kota Mekah waktu itu ke gunung Nur cukup jauh, ini perkiraanku saja, kira-kira 8 s.d. 10 kilometer.  Kalau berjalan mungkin memerlukan waktu sekitar 2 jam.  Namun kalau sudah tiba di puncak gunung, maka akan terlihat pemandangan seluruh kota Mekah.  Mungkin dengan alasan itulah, maka gunung ini dipilih sebagai tempat menyepi.  Terus di puncak gunung ada sebuah goa yang arahnya menghadap pusat kota Mekah.

Pas usiaku 40 tahun kebetulan aku berangkat umrah bareng keluargaku.  Rasanya pingin banget saat itu untuk mencoba mendaki gunung Nur dan mendatangi goa Hira secara langsung, di pas-pasin dengan usia Nabi wakt menerima wahyu pertama.  Maklum kalau acara ziarah atau acara jalan-jalan paket wisata umrah di Mekah, walaupun gunung Nur biasanya di tulis sebagai paket wisata, tetapi hanya sampai pinggir jalan dimana dari sana telihat sebuah gunung batu.  Berkali-kali umrah atau haji, ya paketnya hanya seperti itu.  Pemandu biasanya hanya menunjukkan gunung tersebut, lalu ngajak berdoa bersama.  Lalu pergi ke tempat ziarah lainnya.

Aku sudah coba "merengek" pada kepala rombongan yaitu pemilik travel umrah yang kebetulan mendampingi ke sana.  Banyak banget alasannya, ya alasan takut ditangkap askar, alasan paspor dan lain-lain, yang sebenarnya gak masuk akal.  Padahal waktu itu sudah ada sekitar 4 orang yang telah aku "hasut" untuk ikutan naik ke goa Hiro.  Namun kalau yang lain, hasrat untuk naik ke goa Hiro tidak sebesar hasratku, jadinya perjuangan tidak berhasil.

Berangkat umrah yang kemaren kebetulan aku bareng 4 orang kakak perempuan dan 2 orang adik laki-laki.  Aku ajak kedua adikku untuk menjadikan gua Hiro sebagai salah satu tujuan tempat yang akan didatangi.  Kebetulan juga petugas yang dari travel yang ditunjuk menjadi asisten kepala rombongan adalah anak muda 30 tahunan, dan dia pun agak mudah "dihasut" untuk naik ke goa Hiro. Maka ditetapkanlah hari ketiga di Mekah setelah selesai shalat subuh dan makan pagi sebagai hari keberangkatan naik ke goa Hiro.

Berbekal tanya kiri kanan, jam 7 pagi kami berempat janjian ketemu di depan hotel zam-zam, kemudian mencari taksi di basement di bawah hotel.  Sopir taksi menyebutkan harga untuk sampai gunung Nur sebesar 20 Riyal, yaitu dengan merentangkan kedua tangannya lalu dihentakkan sebanyak dua kali....hehehe, artinya dua kali 10 Riyal.  Dan tebakanku bener, karena ketika sampai di tujuan kira-kira perjalanan 10 menit, lalu temenku hanya membayar 10 Riyal sopirnya ngomong agak kenceng, lalu kita tambah 10 Riyal lagi baru sopir tersebut senyum dan bilang halal.  Begitulah kadang-kadang cara kami bertransaksi di Arab, kalau ketemu orang arab yang tidak ngerti bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.

Turun dari taksi di kaki gunung Nur, jalan langsung mendaki kira-kira 200 meter.  Jalannya beraspal dan terdapat dua tikungan tajam.  Walaupun jalan mendaki cukup tajam dengan kemiringan 45 derajat, namun banyak sopir-sopir arab yang berani memarkir kendaraan dengan posisi paralel.  Dan beberapa kendaraan ada yang naik sampai batas jalan aspal tersebut.  Di kiri dan kanan ada beberapa warung yang menjual minuman serta makanan kecil.  Aku membeli sebotol minuman kemasan 600 mililter, harganya normal 1 Riyal.  Di ujung jalan aspal ada sebuah mushola kecil dan agak kotor dan ada tulisan yang kira-kira artinya jarak ke goa Hiro 585 meter dan tempat peristirahatan selanjutnya 80 meter.

Setelah jalan aspal kami memasuki jalan berundak-undak dengan lebar sekitar 1 sampai 1,5 meter.  Cukup lebar sehingga leluasa berpapasan antara orang yang mendaki dengan orang yang turun.  Tinggi undakan sekitar 30 centimeter, tidak terlalu berat sehingga aku masih bisa menghitung jumlah undakan sambil naik.  Matahari sudah lumayan tinggi dan memancar langsung ke tubuh kami. Delapan puluh meter pertama berlalu dengan mulus dan kami melanjutkan perjalanan ke atas.  Semakin lama sinar matahari terasa semakin panas dan undakan pun rasanya semakin tinggi.  Deru nafas kami menjadi lebih terdengar kencang, dan dengan alasan foto-foto kami mengambil jeda sebentar.

Ketika jarak menuju puncak menunjukkan 385 meter, timbul perasaan gak sanggup, rasanya kok sudah naik cukup lama dan sudah hampir kehabisan tenaga, tetapi puncak gunung masih jauh.  Kami berisirahat dipinggir jalan bersender ke batu sambil melihat-lihat pejiarah atau pendaki lain.  Jarang sekali pejiarah orang Indonesia, padahal kalau di Mekah orang Indonesia jumlahnya cukup dominan.  Kami melihat ada rombongan ibu-ibu berkulit hitam dengan kerudung hijau mendaki......itu menjadikan motivasi, masa kalah sama ibu-ibu....lalu kami pun merambat naik satu-satu......dan berhenti lagi setelah mendaki sekitar 100 meter ke atas.  Ketika kami berhenti lagi, terus ada melintas dua orang tua, bahkan yang satunya menggunakan tongkat dan sepertinya jalannyapun harus di papah oleh temannya dan mereka terus bergerak naik, kami bereempat saling berpandangan.........lalu kamipun bergerak naik, walau sangat perlahan.

Setelah jarak ke puncak kira-kira tinggal 150 meter lagi, di sebelah undakan mulai ada pagar untuk pegangan.  Dan di beberapa tempat ada orang yang menunjukkan diri sedang memperbaiki undakan. Dan seperti halnya di Indonesia kalau ada jalan berlubang, maka orang yang memperbaiki tersebut meminta sumbangan.  Nampak beberapa uang koin dan recehan 1 Riyal teronggok di sorban yang dibentangkan.  Akhirnya dengan penuh perjuangan kami bisa sampai di puncak gunung, aku lirik jam tangan menunjukkan waktu tempuh kami dari jalan raya sampai puncak sekitar 40 menit.  Peluh mengucur dan nafas tersenggal.  Alhamdulillah.
(diteruskan ke bagian kedua goa Hiro)


(salam hangat dari kang sepyan)