Selasa, 23 Juli 2013

GEMPA GAYO

Tiba-tiba aku terbangun, karena terasa laju mobil seperti melayang di udara. Otomatis kumenengok kebelakang, dan terlihat jalan yang baru saja kami lalui seperti ada gunungan kecil, yang membuat mobil dengan kecepatan tinggi akan seperti melayang.  Lalu pandangan kualihkan kedepan, terlihat jalan walaupun aspalnya mulus, tetapi permukaannya seperti bergelombang.  Rupanya bukan aku saja yang terbangun karena kondisi jalan seperti itu, tetapi Rudi dan Rahmat yang duduk jok tengahpun ikut terbangun.  Aku melirik ke pak Yamin, sopir yang duduk di sebelahku sambil berguman "jalannya gak rata ya, pelan-pelan aja".  "Iya pak !" jawab pak Yamin sigap.

Hari itu kami berempat sedang mengadakan perjalanan dari Banda Aceh menuju Sigli.  Aku berangkat naik pesawat pagi dari Jakarta, lalu mampir sebentar untuk makan Ayam Peragawati.  Kami menyebutnya ayam peragawati, karena kaki ayamnya panjang-panjang, dan warnanya kuning mulus.  Dijual di rumah makan dekat bandara kira-kira jaraknya 500 meter dari pintu keluar bandara Sultan Iskandar Muda.  Menu khasnya yaitu gulai kambing serta goreng ayam.

Jam satu siang setelah selesai makan, kami berangkat ke Sigli untuk mengikuti acara yang dijadwalkan jam tiga sore.  Perjalanan dari Banda Aceh ke Sigli sekitar 110 km memerlukan waktu sekitar 2 jam perjalanan.  Waktu terbangun tadi, kiranya kami sudah melewati setengah perjalanan, bahkan sudah hampir masuk wilayah Sigli.  Jalan di kiri kanan masih seperti hutan, di kaki perbukitan Seulawah.  Sejurus kemudian, Rudi berteriak "pak ada gempa !".  "kata siapa ?" tanyaku.  "ini pak, status teman yang di Aceh, dirubah menjadi GEMPA", jawab Rudi.  Rupanya yang aku lihat tadi seperti jalan bergelombang adalah karena ada gerakan gempa.  Sehingga mobil juga terasa melayang.


Aku langsung teringat kejadian bulan Januari lalu nginap di hote Hermes, kebetulan dapat kamar di lantai 5.  Setelah sholat malam, aku lihat sudah hampir tiba waktu subuh, paling seperempat jam lagi.  Jadi aku tidak tidur dulu, hanya leyeh-leyeh sambil mempermainkan remote TV.  Tiba-tiba ranjangku terasa bergerak.  Otomatis aku bangun, sambil lihat sekeliling.  Selanjutnya timbul bunyi berderak-derak, bersumber dari atap bangunan. Ada gempa pikirku.  Tanpa pikir panjang, segera aku keluar kamar masih mengenakan kain sarung, berlari dilorong hotel mencari tangga darurat.  


Bentuk lantai 5 Hotel Hermes seperti huruf L, dengan jumlah sekitar 40 kamar berderet berhadap-hadapan sepanjang lorong yang membentuk huruf L tersebut.  Aku menempati kamar yang letaknya di sebelah kiri lift, berjarak satu kamar dari lift tersebut.  Disebelah kiri kamarku masih ada 5 kamar lagi sampai ke ujung bangunan.  jarak dari lift ke ujung sebelah kiri hampir sama dengan ke ujung sebelah kanan.  Namun kalau di ujung sebelah kanan tidak mentok tembok, tetapi ada lorong lain sehingga membentuk huruf L.
Aku berlari mencari tangga darurat, biasanya ada di ujung bangunan gedung.  Aku berlari ke arah ujung terdekat yaitu ke sebelah kiri.  


Tetapi rupanya di ujung tersebut tidak ada tangga darurat, maka bergegas aku balik arah.  Ada dua tamu lain yang juga aku lihat keluar kamar, yang satu masih mengenakan celana kolor pendek berkaos singlet dan membawa bantal di atas kepalanya, sedangkan satu lagi mengenakan piyama.  Kami bertiga jadinya berlarian mencari tangga darurat ke ujung yang satu lagi.  Mungkin karena panik, jadi kami tidak menemukan tangga darurat tersebut.  Bunyi alarm dan derakan gedung yag kadang-kadang bercericit semakin menambah kepanikan.  Mau belok ke gang yang membentuk huruf L aku lihat jauh sekali ujungnya.  Takutnya di ujung yang satu lagi juga tidak ada tangga darurat.  Kenapa tadi malam enggak lihat-lihat dulu denah kamar, yang biasanya dicantumkan didinding pintu sebelah dalam ?  Kenapa tadi malam tidak orientasi dulu keadaan melihat dimana terletak tangga darurat ? Nyesel deh.  Mau masuk kamar lagi gak bisa, karena pintu sudah terkunci otomatis.

Selagi kami bertiga kebungungan, tiba-tiba ada bule perempuan berkaos merah tanpa kerah dan celana panjang batik keluar dari salah satu kamar.  Usianya kira-kira 60-an, dengan rambut pirang di atas bahu.  Tidak seperti bule pada umumnya yang badannya tinggi, dia paling sekitar 165 cm, sepantaran sama aku.  Dia berjalan dan langsung membuka pintu yang ada di sebelah kanan lift.  Rupanya itu adalah tangga darurat yang kami cari-cari dari tadi.  Bule itu berjalan menuruni tangga dengan santai.  Entah santai atau mungkin juga dia tidak bisa jalan cepat.  Kami bertiga ikut mengekor dibelakangnya yaitu aku, orang berbantal yang terus setia menyimpan bantal diatas kepalanya, dan orang ber piyama, jalan santai juga.  Maklum tangga daruratnya hanya sekitar 1 meter kurang, jadi enggak bisa mendahului.  Padahal hati ini rasanya ingin berlari secepat-cepatnya.


Gempa bulan Januari lalu menyebabkan beberapa kerusakan di Sigli, bahkan ada korban jiwa.  Gempa ini ternyata lebih dahsyat dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah didaerah Gayo, juga korban jiwa yang lebih banyak.  Dalam perjalanan pulang setelah selesai pertemuan di Sigli, aku coba tanyakan kondisinya ke pak Elmi yang menjadi bos di wilayah Gayo, beliau melaporkan bahwa ada beberapa kantor yang rusak dan tidak bisa operasi, terus ada beberapa korban jiwa salah satunya di daerah blang mancung karena ada mesjid yang roboh dan di dalam mesjid itu terdapat anak-anak yang sedang belajar ngaji.  Innalillahi-wainna illaihi rojiun. Semoga mereka syahid.


Carilah dunia seolah-olah engkau akan hidup selamanya.  Dan carilah akhirat seolah-olah engkau akan mati besok.



(salam hangat dari kang sepyan)

Senin, 15 Juli 2013

SENGGOLAN ENUR

Karena perjalanan dinas, maka aku tidak bisa memilih dengan leluasa hotel.  Panitia dari Bandung memilihkan hotel Panghegar yang ada di ujung jalan Merdeka.  Sepengetahuanku letak hotel tersebut agak jauh dari mesjid.  Mesjid terdekat yang aku tahu adalah mesjid Agung Bandung daerah alun-alun, mesjid Persis dekat "viaduct" dan mesjid Pemda di seberang Balaikota.  Kesemuanya menurutku cukup jauh untuk ditempuh perjalanan jalan kaki.  Aku coba orientasi mushola di dalam hotel, disediakan di lantai 3 bersebelahan dengan lapangan tenis dan kolam renang.  Tapi tempatnya kecil, aku gak yakin ada jamaah sholat subuh di mushola tersebut.

Dengan berbekal tekad harus mendapatkan indeks pahala pagi yang tinggi  (ngawadul ; indeks pahala), sepuluh menit sebelum waktu shubuh aku sudah keluar hotel.  Tujuanku ke mesjid Agung, atau ke mesjid lain yang mungkin ada di perjalanan, karena aku lihat padat rumah penduduk disekitar itu.  Setelah melewati kantor Telkom yang letaknya bersebelahan dengan berada hotel Panghegar, aku nyebrang menyusuri depan musium.  Di ujung musium ada jalan kecil yaitu jalan Markoni, aku masuk kesana karena kelihatannya jalan tersebut merupakan jalan memotong menuju Jalan Asia Afrika.  Adzan sudah berkumandang, namun tampaknya masjid agung masih agak jauh.

Di depan sebuah rumah ada Bapak-bapak baru keluar rumah, "mungkin dia mau ke mesjid" pikirku. Lalu aku tunggu sebentar, sampai si Bapak tersebut membuka pintu pagar.  "Assalamu'alaikum pak, maaf mau tanya, kemanakah letak mesjid yang paling dekat ?" aku mendahului bertanya.  "ke mesjid agung ? tapi jauh de" jawab si Bapak.  "yang paling dekat, coba balik arah saja, nanti nyebrang jalan, disana ada jalan kecil yang di ujungnya ada mesjid".  Aku lalu mengikuti petunjuk arah dari Bapak tersebut, berjalan sendirian.  Rupanya si Bapak keluar untuk keperluan lain, sehingga mengambil arah yang berbeda.

Ternyata jalan yang dimaksud berada di ujung kantor Telkom namanya jalan Enur, tapi ditutup dengan pintu pagar dan disana digantungkan triplek bertuliskan cat warna hitam "dibuka jam 6 sampai 22, kalo mau masuk lewat jalan Tera".  Dipinggir pintu paga ada pos penjagaan, namun tidak ada penghuinya.  Jarak antara tiang pintu agar dengan pos kira-kira satu meter, namun ditengahnya dipasang tiang beton dengan lebar sekitar 15 cm.  Aku masuk melalu celah tersebut, dengan badan dimiringkan.  Masuk jalanan yang gelap dan becek, di kiri kanan jalan banyak kios yang tutup.  Dari bentuk kios, meja, dan kursiya kelihatannya ini adalah kios penjual makanan untuk karyawan Telkom.  Istilah kami di Jakarta adalah Amigos atau Kentaki (agak minggir got sedikit atau kentara kaki hehehe).

Kira-kira jakan 100 meter kelihatan ada menara kecil.  "Nah, itu pasti mesjid yang dimaksud si Bapak" pikirku.  Tapi kok tidak ada tanda-tanda kehidupan ?  Masih gelap dan tidak ada orang, padahal sudah memasuki waktu shubuh 5 sampai 10 menit lalu.  Jalan Enur rupanya jaan buntu, karena ujungnya tertutup.  Setengah badan jalan tertutup oleh pintu gerbang masuk kantor Telkom bagian belakang, dan setengah badan jalan sebelah kiri tertutup oleh bangunan mesjid.  Hanya menyisakan jalan kecil sekitar 60 cm untuk akses orang masuk ke perumahan yang ada di balik mesjid.  Sedangkan untuk akses orang ke sebelah kanan jalan, harus melalui lorong pekarangan mesjid dengan lebar sekitar satu meter.

Aku berdiri termangu di lorong tersebut, keadaan gelap gulita, hanya mengandalkan sedikit cahaya dari bola lampu 20 watt yang diletakan dalam puncak menara mesjid yang tingginya kira-kira sepuluh meter.  Hingga akhirnya ada ibu-ibu dan Bapak-Bapak yang datang membawa kunci dan menyalakan lampu. "Maaf pak, kami kesiangan.  Silahkan kalau mau adzan" kata si Bapak sambil agak mengucek-ngucek matanya.  Mesjid itu bernama Al-Barokah, Bangunannya dua tingkat dengan luas 5 kali 10 meter termasuk kamar mandi dan tempat wudlu.  Cukup asri dan bersih dengan karpet seragam berwarna hijau bergambar masjidil haram dilihat dari atas.

Selesai shalat shubuh, aku hitung ada sepuluh jamaah laki-laki termasuk imam dan ada lima jamaah perempuan.  Alhamdulillah.  Memang biasanya hanya sejumlah itulah orang-orang yang mau datang  ke mesjid.  Mesjid kecil itupun rasanya mash longgar.  Sembilan orang berdiri sholat, pas untuk ukuran lebar mesjid lima meter.  Hanya satu shaf.  "Andai mereka tahu betapa besarnya pahala sholat shubuh berjamaah di mesjid ? yaitu lebih besar dari dunia dan seluruh isinya ?, maka andai dia hanya bisa datang dengan merangkak, mereka akan merangkak untuk mendapatkan keistimewaan tersebut". Demikian para kiai menyeru di atas mimbar.  

Anjing menggonggong, khafilah berlalu.......bagaimana dengan Anda ?

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan-kebaikan (amal saleh), mereka itulah sebaik-baik mahluk" (QS Al-Bayyinah ; 7).


(salam hangat dari kang sepyan)

Kamis, 11 Juli 2013

WAROQAH

Setelah membaca buku "pagar hati" karya kang Yatna, pendiri SMA Bina Putera.  Aku menjadi semakin penasaran untuk bisa mengunjungi sekolah tersebut.  Jadi ketika mas Iqbal mengundangku untuk ikut kegiatan jambore pelajar Indonesia yang dipusatkan di SMA Bina Putera, aku langsung mengatur dan menyisihkan jadwal agar bisa mengikutinya.  "Jum'at sore kita berangkat, dan insya Allah aku nginap semalam" kataku.

Sehabis sholat ashar berjamaah di mesjid Landmark, kami berangkat.  Alhamdulillah perjalanan di tol tangerang cukup lancar, karena kami sengaja ngambil waktu sebelum bubaran kantor.  Rupanya perjalanan dari pintu keluar tol ke lokasi cukup jauh, melewati pemukiman padat, perkampungan, melalui jembatan kecil, dan akhirnya belok ke hutan.  Dibalik pepohonan yang aku bilang "hutan" itulah SMA Bina Putera didirikan, sehingga memang cocok dijadikan tempat Jambore.  Dalam keremangan menjelang magrib, tampak peserta dan panitia sedang menggelar plastik untuk shalat berjamaah dilapangan. 

Peserta jambore sekitar 200 orang, yaitu pelajar-pelajar SLTA se Jabodetabek yang mendapat beasiswa dari yayasan Baitul Mal BRI (YBM BRI).  Panitianya sekitar 25 orang, sebagian penerima beasiswa kader surau YBM BRI dan sebagian lagi mahasiswa biasa.  "Saya sengaja campur panitia dari mahasiswa kader surau dan mahasiswa umum biasa, agar acara lebih hidup" mas Iqbal menjelaskan.  "Takutnya, kalau dari kader surau semua, acara pengajian terus" candanya.

Setelah masuk waktu Maghrib, semua peserta berdiri bershaf-shaf untuk menunaikan sholat Maghrib dan Isya berjamaah.  Salah satu panitia dari kader surau tampil sebagai imam.  

Malam hari, ketika peserta Jambore sedang mendapatkan materi dari Ustadz Fadhlan Garamatan atau yang dikenal ustadz sabun mandi, yang banyak mengislamkan saudara-saudara di papua dengan pendekatan budaya, aku minta agar seluruh panitia berkumpul.  Kami masing-masing berkenalan, dan mendiskusikan misi yang harus dicapai dari kegiatan Jambore. Panitia dari kader surau adalah semuanya utusan kader surau yang kuliah di SEBI, sedangkan mahasiswa lainnya adalah teman diskusi mas Iqbal yang kuliahnya macam-macam, ada yang di UI, UIN, UNJ, dll.  Rata-rata kuliah semester IV.  

Yang aku ingat tiga orang di antara mereka adalah Giri yang paling dominan kalau sedang memimpin acara di depan peserta.  Iqbal (namanya sama dengan mas Iqbal) yang menjadi arsitek keseluruhan acara.  Terus ada Waraqah yang tidak begitu kelihatan perannya, tetapi setiap dia ngomong orang-orang pada tertawa.  Seperti pelengkap penderita, bagian di "gojlog" oleh semua panitia.  Dan dia cuma menanggapi dengan cengengesan.

Jam 03.30 dini hari, kami semua kembali berdiri di atas karpet plastik di tengah lapangan, untuk melaksanakan qiyamul lail berjamaah.  Udara dingin dini hari terasa menusuk tulang, walaupun telah dilapisi jaket.  Karpet plastik yang dijadikan alas sholat, terasa dingin menembus telapak kaki, rasanya karpet plastik tersebut tidak mampu melapisi ujung runcing dan dingin rumput gajah.  Demikian juga kantuk serasa menggelayut di ujung mata, karena baru tidur beberapa jam, setelah semalaman banyak acara.  Tapi aku coba kuatkan untuk ikut berdiri bersama seluruh peserta.

Ketika imam membacakan surat Al-Fatihah dan ayat-ayat lainnya yang aku tidak hafal karena diluar juz amma.  (hehehe, maklum biasanya surat yang dibaca juz amma terus, itupun surat-surat terakhir dan terpendek), rasanya kantuk, udara dingin, dan tusukan rumput gajah dingin di bawah kaki menjadi hilang.  Imam membaca ayat-ayat tersebut dengan sepenuh hati, tartil, dan serasa mengisi seuruh sudut rongga jiwa yang kosong.  Delapan rakaat qiyamul lail, tiga rakaat witir, dan dua rakaat sholat subuh, serasa membawa jiwa ini bertamasya, mengelilingi tempat-tempat terbaik yang bahkan belum terbayangkan.

Aku intip, siapa yang menjadi imam pagi itu ? tidak begitu jelas.  Dilihat dari posturnya pasti salah satu panitia, dan tentu kader surau dari SEBI pikirku.  Yang aku lihat, dia mengenakan kaos lengan panjang, dan dibagian depannya dibagi miring dua warna.  Dibawahnya warna terang dan atasnya warna gelap.

Acara senam pagi cukup kacau balau, Waraqah memimpin di depan dengan gerakan-gerakan yang tidak jelas, sekali-sekali kalau lagi gerakan tangan ke atas celananya hampir merosot dan diketawain semua orang, dan bahkan pemanasan yang biasanya dilakukan di awal, baru dilakukan ditengah-tengah setelah gerakan inti.  Rupanya tidak ada satupun panitia yang biasa memimpin senam pagi, akhirnya Waraqah yang memiliki peran "pelengkap penderita" lah yang disuruh tampil memimpin.  Aku perhatikan kaos yang dia pakai, kok seperti kaos imam tadi pagi ya ?  "Tapi tidak mungkin, anak seperti Waraqah menjadi imam sebaik imam tadi pagi.  Dia khan bukan anak SEBI" hati kecilku berbisik.  Karena penasaran, aku coba tanya pada salah satu panitia.  Dan......benar.....ternyata Waraqah lah yang menjadi imam tadi pagi.

Rupanya dibalik keceriaan, kepolosan, kekacauan pakaian dan gaya rambut, serta ketidak-terbatasan canda, mereka adalah para penghapal al-quran.  Mas iqbal menunjukkan "tuh pak, yang sedang membagi-bagikan nasi itu sudah hapal 30 juz, itu juga yang bercelana pendek hapal 30 juz, yang itu yang badannya gemuk baru 25 juz".......Deg....hatiku terasa kena tonjokan.

Aku coba lihat diriku, jangankan hapal al-quran 30 juz.  Hapal juz 30 saja enggak (eh...belum kali).  Aku coba hitung-hitung, rasanya kok jumlah hapalan suratku paling sejumlah jari-jari tangan dan kakiku.  Padahal tadi malem aku "merasa" lebih hebat dari mereka.  Karena secara duniawi, aku khan yang menyelengarakan acara ? mereka hanya panitia.  Sepertinya aku lupa bahwa dimata Tuhan, yang dilihat hanya dari sisi ketaqwaan.  Orang yang paling mulia adalah orang yang paling taqwa.

Bagaimana dengan Anda ? Apakah seperti aku atau seperti Waraqah.  Kalau masih seperti aku, mari kita sama-sama niatkan untuk mulai menambah hapalan al-quran.  Kapan mulainya ? ya sekarang.  Khan udah tua ? Apalagi kalau mulai besok, pasti lebih tua.


(salam hangat dari kang sepyan)

Senin, 08 Juli 2013

ABDULAH DAN ATIKAH

Suara anaknya "Abdullah" dan menantu baru nya "Atikah" terdengar  oleh orang tua itu ketika sedang berjalan menuju mesjid melalui halaman rumah Abdullah.  Dipikirannya terbersit, kok Abdullah belum siap-siap sholat dhuhur ya, padahal sebentar lagi waktu adzan akan tiba.  Sebagai orang tua cukup mafhum, maklum pengantin baru.  Akhirnya orang tua itupun berjalan sendiri ke mesjid, dan sholat tahiatul mesjid.

Sehabis salam, dia melirik ke belakang, "kok Abdullah belum juga datang ?" hati kecilnya berkata, mungkin sekarang sedang bersiap-siap.  Lalu orang tua itupun berdzikir menunggu waktu sholat dhuhur.

Setelah waktunya tiba, Adzan dhuhur dikumandangkan muadzin sampai selesai.  Jemaah sholat dhuhur sudah mulai penuh.  Lalu mereka masing-masing mendirikan sholat kobliyah dhuhur.  Orang tua itupun bareng bersama jamaah lainnya menunaikan sholat kobliyah.  Sehabis salam, kembali melirik ke belakang, mengamati jamaah yang ada dalam mesjid, rupanya Abdulah tidak tampak di dalam rombongan orang yang shalat.  Hingga akhirnya dikumandankan iqomat, dan semua jamaah menunaikan sholat dhuhur berjamaah.

Selesai shalat fardu berjamaah, kembali orang tua itu mencari-cari anaknya di antara rombongan jamaah shalat fardu.  Abdullah tetap tidak kelihatan.  Hingga selesai sholat ba'diyah dan selesai berdo'a, Abdullah tidak datang ke mesjid untuk sholat dhuhur berjamaah.

Dengan langkah gontai dan menahan perasaan duka serta marah yang mendalam, orang tua itu mengetuk pintu rumah anaknya setelah pulang dari mesjid.  Abdullah membukakan pintu, tampaknya mereka berdua baru selesai menunaikan sholat dhuhur di rumah.  Melihat raut muka orang tua yang biasanya penyabar tiba-tiba berubah menjadi tegang menahan amarah, Abdullah dan Atikah bergetar, menunduk, dan mereka langsung menyadari kesalahannya.  Lalu orang tua itu berkata dengan tegas dan tidak terbantah "Abdullah, kalau Atikah ternyata menjadi penghalang kecintaanmu kepada sang pencipta Allah SWT, maka sekarang juga ceraikan Atikah".

Abdullah berada pada posisi yang sulit, bertahun-tahun dia merindukan untuk dapat meminang Atikah.  Beribu lembar puisi telah ditulis untuk melukiskan keindahan yang akan ditempuh seandainya dia bisa hidup bersama Atikah.  Dan ketika impian itu baru saja terwujud, orang tuanya meminta menceraikan istri yang sangat dicintanya.  Tapi perkataan orang tua itu benar, dan Abdullah harus tunduk pada orang tuanya.  Orang tua tersebut adalah Abu Bakar Ashidiq, sahabat tercinta Rosulullah Muhamad SAW, yang juga menjadi Raja atau Khalifah.  Dengan sangat berat hati, dia ceraikan Atikah.

Ceritera ini berakhir happy ending, karena setelah seminggu kemudian, Abu Bakar melihat bahwa Abdullah menyesali perbuatannya meninggalkan sholat dhuhur berjamaah di mesjid demi menemani istrinya, maka beliau menyuruh anaknya untuk rujuk dengan Atikah.  Betapa taatnya orang-orang jaman dahulu menjalankan perintah Allah yang disampaikan oleh nabi dan rosulnya.  Betapa tegasnya orang tua mendidik anaknya agar selalu melakukan sholat berjamaah di mesjid bagi laki-laki.  Betapa konsistennya khalifah sahabat nabi, meneruskan dan melestarikan ajaran-ajaran yang telah disampaikan oleh sahabatnya nabi Muhamad SAW.

Dalam ceritera lain, di masa Umar bin Khatab menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar.  Ketika akan melantik gubernur yang ada di wilayahnya, maka pertanyaan yang Khalifah Umar sampaikan kepada masyarakat yang mengenal calon gubernur tersebut, kalau jaman sekarang mungkin seperti "fit and proper test" adalah "apakah dia selalu sholat berjamaah di mesjid ?".  Beliau hanya mau melantik gubernur yang sholatnya benar sesuai ketentuan.  Sebab, apabila ketentuan sholat yang telah diperintahkan agar dilakukan di mesjid bagi laki-laki saja telah dia langgar, maka sudah bisa dipastikan dia akan mampu dengan mudah untuk melanggar ketentuan-ketentuan yang lain.

Aku duduk terpekur di shaf kelima berjejal diantara ratusan orang yang duduk di lantai parkir basement P-4 Plaza Indonesia.  Berada sekitar 20 meter dibawah permukaan jalan Thamrin, memanfaatkan celah antara akar-akar beton penahan gedung pencakar langit yang menjulang 100 meter lebih ke langit.  Mendengarkan khutbah jum'at yang disampaikan khotib tentang ceritera Abdullah di atas.

Mari kita merefleksikan diri.  Tidak perlu melihat orang lain.  Lihat diri kita sendiri, lalu lanjutkan ke anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita.  Lalu teruskan ke anak buah yang juga menjadi tanggung jawab kita.  Berapa kalikah pergi ke mesjid untuk sholat berjamaah setiap hari ?  Berapa luaskah ruangan mushola yang ada di kantor kita ? Berapa luaskah ruangan mesjid yang dibangun sebuah gedung perkantoran atau mal ?  Apakah adzan selalu berkumandang dari tempat tersebut setiap datangnya waktu sholat ? Apakah tempat sholat tersebut telah terisi penuh oleh jamaah ?  Apakah kita telah rela meninggalkan sejenak kesibukan memenuhi panggilan Allah ?

Jangan-jangan ritme kita masih mengikuti lagu qasidah yang didendangkan untuk menyindir "Subuh kesiangan, Dhuhur kesibukan, Ashar kecapean, Magrib perjalanan, Isya ketiduran".  Ya Allah, ampunilah hambamu ini.  Hamba bukan ahli ibadah yang layak dapat surga,  tapi hamba takut dan gak akan kuat di neraka.  Oleh karena itu hamba mohon pertolonganMu mohon keridhoanMu. Amin.


(salam hangat dari kang sepyan)