Minggu, 27 Januari 2013

A'ING

Masih inget sama Eha ? tetanggaku yang menikah muda dan sekarang telah beranak empat dengan kehidupan miskin, kurang pendidikan, tidak beranjak dari generasi sebelumnya ?  Nah kali aku ingin bercerita tentang oom-nya Eha.  Nama aslinya aku enggak tahu, tetapi orang bilang si A-ing.  Aing sama ibunya Eha, sama-sama anak pungut wak pendek yang tinggal di gang tembok, di perumahan liar memanfaatkan lahan yang belum dibangun oleh pemiliknya. 

Sekitar 15 tahun yang lalu Aing, walapun kelihatan mentalnya agak terbelakang, tetapi masih hidup normal.  Badan dan bajunya walaupun tidak bagus, tetapi lumayan bersih.  Bahkan kadang-kadang dia pergi ke mushola ikut sholat berjamaah.  Namun lama-lama mental Aing tampak mengalami kemunduran, setiap hari baik pagi, siang, ataupun malam, kerjanya duduk di pinggir jalan. Badannya semakin tidak terawat, baju tidak ganti dan kotor, serta mukanya juga kotor.  Rambutnya menjadi berwarna kecoklatan, gimbal seperti bulu domba.  Giginya menghitam, kalau menyeringai cukup menakutkan anak kecil yang melihatnya.  Orang-orang menyebut Aing adalah orang gila.

Suatu hari aku dan istriku karena tidak masak, membeli nasi goreng ke depan.  Enggak tahu kenapa istriku membeli nasi gorengnya di lebihkan satu bungkus.  Rupanya nasi goreng tersebut di peruntukan untuk Aing, kita berikan ke dia sambil pulang ke rumah.  Aing memang sudah biasa nongkrong di jalan Apel, duduk diantara rumput-rumput.  Jalan Apel sendiri kira-kira jaraknya 70 meter dari rumahku, dilalui apabila mau ke depan perumahan daerah pertigaan jalan Nangka depan Mal Bekasi tempat banyak pedagang kaki lima penjual makanan.  Menurut istriku, biasanya kakaknya (ibu nya Eha) yang setiap hari memberi jatah makan sama Aing.  Tapi maklum saja, mereka itu untuk makan sendiri saja susah, jadi pemberian jatah makan ke Aing pun tidak menentu.  Tidak seperti pengiriman ransum makanan yang diberikan keluarga tersangka di tahanan KPK, yang bisa rutin dilaksanakan dengan gizi memadai.

Akhirnya setiap membeli makanan diluar, kami upayakan untuk menghitung Aing.  Kadang-kadang kalau malam hari makanan di rumah masih ada, istriku membungkus makanan tersebut dan diserahkan ke Aing.  Demikian juga apabila pulang pengajian malam, kebetulan mendapatkan nasi kotak atau snack, Aing lah yang mendapatkan jatah tersebut.  Sembari bercanda aku suka bilang, gimana Mah ? anak nomor satu udah dikirim makanan ?  Pernah suatu waktu, Aing tidak berada di tempat, hilang kira-kira seminggu lebih.  'Jangan-jangan, Aing  diculik untuk diambil organ tubuhnya' kata istriku.  Alhamdulilah, beberapa waktu kemudian Aing muncul lagi di tempat semula dalam keadaan seperti sedia kala.  Hehehe aku gak berani bilang sehat seperti sedia kala, karena kenyataannya sakit ingatan.  Tapi kami sekeluarga merasa lega ketika melihat Aing kembali.

Rupanya Aing 'merasa' kalau kami kadang-kadang mengalami kesulitan menyambangi dia di jalan Apel.  Kira-kira sudah setahun ini, 'pos' Aing pindah ke jalan Agraria, persis di depan pintu pagar rumah tetanggaku.  Kebetulan rumah tersebut kosong, jadi Aing dengan tenang dapat 'bersemedi' ditempat tersebut tanpa terganggu.  Setiap hari baik pagi-pagi, siang hari yang panas dan terik, sore hari,  malam-malam yang dingin, maupun hujan besar, Aing tetap setia bertahan di tempat tersebut.  Duduk dengan siku ditekuk, asik bergumam sendiri.   Dia baru pindah dari sana, apabila mau makan dan mungkin mau buang 'hajat'.

Untuk urusan disiplin, Aing memang jagonya.  Setiap di beri makanan, Aing akan langsung ngeloyor pergi ke jalan Apel tempatnya terdahulu dan menghabiskan makanan di sana.  Sampahnya juga dibuang dengan tertib, jauh lebih tertib dibanding orang 'waras' yang masih membuang sampah sembarangan.  Menyebabkan Jakarta banjir karena saluran mampet dipenuhi sampah.

Satu karunia yang diberikan oleh Allah kepada dia adalah, walaupun dengan kondisi kurang makan, badan kotor, kena angin, hujan, panas, dan debu setiap hari, namun Aing kelihatannya tidak pernah sakit.  Padahal dia tidak pernah olah raga.  Allah maha pengasih dan maha penyayang.  Aing, kalau kamu di dunia keadaanya tetap seperti itu, mudah-mudahan di akhirat kelak mendapat kebahagiaan sejati.  Amin.




(salam hangat dari kang sepyan)

Rabu, 23 Januari 2013

BANJIR JAKARTA

Sejak kepindahan kantorku dari daerah semanggi ke daerah dukuh atas awal tahun 2013, pilihan berangkat ke kantor mengunakan commuter line menjadi pilihan utama.  Disamping belum punya kartu parkir di gedung yang baru, juga aku masih mengalami kesulitan men"siasati" jalur tri in one yang harus dilalui.

Seperti biasa, pagi ini tanggal 17 Januari 2013 jam 5.50, dengan sedikit malas karena hujan semaleman belum reda sampai pagi tadi, aku sudah keluar dari rumah menuju statsiun kira-kira perjalanan 3 menit dari rumah ke jalan raya, terus 2 menit menyebrang, dan 5 menit naik angkot dengan jarak sekitar 1,5 kilometer.  Gumpalan awan hitam dan hujan kecil yang konsisten turun sejak semalam, menutup cahaya matahari sehingga rasanya tidak dapat membedakan apakah jamku bener sudah hampir jam enam, atau mungkin salah.  Rasanya seperti masih jam empat pagi.

Alhamdulillah naik commuter line dapat tempat duduk.  Biasanya jarang-jarang dapat tempat duduk.  Sekedar dapat tempat senderan ke tiang dekat pintu saja sudah untung, bisa mengurangi beban pegal di kaki.  Commuter berjalan sangat lambat, sering berhenti baik di statsiun ataupun di jalan.  Seperti biasa, sebagai penumpang, kita tidak atau jarang diinformasikan kenapa hal tersebut terjadi.  Persiapan sabar untuk penumpang angkutan umum di Indonesia, memang harus sangat banyak.  Tapi akupun sudah tidak peduli, karena asik membaca buku tebel biografi Steve Job yang sudah hampir sebulan ini belum selesai.  Hampir sekitar 60 halaman aku baca, mulai halaman awal 500-an sudah nginjak deket ke halaman 600.  Mulai terasa pegal, baik mata maupun punggung, aku lihat sekeliling.  Banyak penumpang terutama yang berdiri bernapas panjang menghilangkan kekesalan.  Diluar tampak hujan belum berhenti.

Sudah jam 7.00 lewat, nampaknya commuter masih ada didaerah Cipinang, belum sampai Jatinegara.  Menunggu lama, aku teruskan lagi membaca.  Menjelang jam 7.30, seharusnya aku mulai berdo'a di kantor, commuterku baru sampai Jatinegara, dan kembali berhenti lama.  Gak kaya lagu "naik kereta api" syairnya menyebutkan "keretaku tak berhenti lama".  Aku menghubungi Stafku, minta segera pimpin do'a.  Kebetulan waktu itu Bos besarku semua sedang ke luar kota, jadi aku secara otomatis yang harusnya menggantikan beliau.  Namun apa daya, masih terjebak di perut commuter.

Sampai Mangarai sudah hampir jam 08.00, hujan diluar makin lebat.  Dan karena commuter yang aku tumpangi jurusan Jakarta Kota, maka aku harus ganti commuter ke yang jurusan Sudirman Tanah Abang.  Kebetulan sudah ada di sebelah jalur, lalu aku pindah ke commuter tersebut.  Untuk memastikan, aku tanya sama salah satu penumpang yang ada disana, dia jawab betul ini commuter yang ke Tanah Abang, namun masih menunggu dari tadi belum jalan.  Tanpa curiga, akupun ikut berdiri di dalam commuter, biasanya paling 5 menitan sudah berangkat.

Hujan diluar makin membesar, dan commuter masih belum bergerak.  Samar-samar terdengar pengumuman yang menginformasikan commuter jurusan Gambir tidak bisa meneruskan perjalanan karena statsiun Jakarta kota terendam banjir.  Sedangkan commuter jurusan Sudirman Tanah Abang masih menunggu pemberangkatan.  Selama dua jam terus-terusan pengumuman tersebut berulang-ulang, dan kadang-kadang berubah-ubah.  Sehingga penumpang dengan berhujan-hujanan pindah-pindah jalur commuter.  Penumpang makin menumpuk, mau keluar cari alternatif moda transportasi lain seperti metromini, taksi, maupun ojek mendadak tidak tersedia diluar statsiun Mangarai, bahkan odong-odong pun menghilang.  Mencari orang yang jualan untuk sarapan tidak ada, padahal banyak penumpang yang mengandalkan sarapan begitu sampai kantor, jadi pagi-pagi tidak sarapan di rumah. Diluar nampak ada ribut-ribut, rupanya ada orang yang dibopong beramai-ramai karena pingsan, aku taksir dia karyawati dengan usia sekitar 30-an.  Suasana dingin, basah, gak jelas, pegal karena lama berdiri, dan lapar.

Setelah bosan mundar-mandir naek turun commuter gunta-ganti lajur, yang lumayan sulit karena harus naik tanpa tangga dari peron ke commuter tingginya sekitar 1 meter, ditambah hujan yang belum berhenti menyebabkan kami kehujanan untuk berlari pindah gerbong sekitar 2 meter, akhirnya aku putuskan untuk duduk di commuter line yang kosong, minimal bisa istirahat.  Aku biarkan nasib membawaku kemana, terserah commuter mau bergerak......hehehe.....pasrah, dan aku kembali membaca buku.  Sampai akhirnya banyak penumpang yang masuk commuter tersebut.  Oooh ternyata aku duduk di commuter yang teat, commuter tersebut tidak jadi berangkat ke kota ataupun ke tanah abang, tetapi kembali ke Bekasi.  Alhamdulillah deh, aku bolos saja kalau begitu hari ini, itung-itung cuti.  Ternyata akibat pindah-pindah commuter, bajuku terutama bagian tangannya lumayan basah.

Perjalanan dari Mangarai ke Bekasi sama saja seperti tadi pagi berangkat, banyak tersendat akibat penumpukan-penumpukan commuter di statsiun yang disinggahi.  Ketika hujan mulai reda.  Sekitar jam 11.35 commuter sampai Bekasi, aku langsung ke rumah, mau tidur.   Namun rupanya, cita-cita tidur tersebut belum dapat terlaksana, karena perjalan ke rumah harus melewati genangan banjir sebetis di daerah jakan Apel depannya rumah pak Maulana dan pak RT, demikian juga di daerah komplek BAKN dan jalan Nangka arah Perumnas 1, jalan telah berubah menjadi danau coklat.  Dengan menggulung celana dan membuka sepatu, aku menerobos genangan air tersebut menuju rumah.  Banyak tetangga-tetangga yang rumahnya kemasukan air, tampak sedang berjaga-jaga diluar.  Aku bergegas, agar segera sampai rumah.  Alhamdulillah jalan pas didepan pintu pagarku belum kerendam air, tapi kalau jalan yang sebelah kiri samping rumah karena letaknya agak menurun telah terdapat genangan. Si babeh tetangga yang ngontrak rumah petak di depan rumah beserta bu de istrinya, sedang duduk di teras depan pagar rumahku. Rupanya air sudah masuk ke dalam rumahnya, jadi mereka duduk-duduk di tempat yang kering.

Setelah ganti baju dengan kaos dan celana pendek serta topi, aku mencoba keliling-keliling komplek.  Berjingkat-jingkat karena langkah terhalang air.  Hampir seluruh jalanan telah dipenuhi air setinggi antara 20 sampai 40 centimeter.  Wajah-wajah kuyu tetanggaku terlihat, sambil saling bergerombol tidak jauh dari rumahnya masing-masing.  Namun banyak anak-anak yang tampak ceria, dengan bermodal bambu yang diujungnya dibentuk lingkaran dan diberi kain, mereka tampak asik mencari ikan.  Tangan kanan memegang alat tersebut, dan tangan kirinya membawa botol aqua kecil yang diisi air setengahnya.  Tampak beberapa ekor ikan kecil menggelepar didalam botol aqua tersebut.  Mereka bergerombol berlari-larian......hehehe, dasar anak-anak.

Siang menjelang sore, mataku manteng televisi, terutama televisi berita seperti Metro TV dan TV One yang secara terus menerus memberikan siaran langsung atas banjir di Jakarta.  Rupanya Statsiun Sudirman terendam hampir 1,5 meter.  Rupanya jalan Thamrin bahkan bundaran HI yang menjadi simbol kota metropolitan, telah berubah menjadi danau.  Rupanya tanggul Latuharhary jebol yang menyebabkan air tanpa ampun menerobos ikut jalan-jalan ke Monas.  Seharian, sampai malem aku manteng siaran lamgsung Televisi dan media on line lainnya.  Meskipun ada orang yang bilang Jokowi pencitraan, tapi terus terang aku salut sama beliau.  Aku baru menemukan ada Gubernur yang benar-benar turun langsung, berada di dekat rakyatnya mengatasi masalah.  Apakah karena pak Jokowi yang "pintar" mengendalikan media, atau memang karena kepemimpinan Jokowi yang memang menarik media.  Menurutku pernyataan yang kedua yang benar.........banjirrrrrrr......dan dua jempol tangan terangkat untuk pak Jokowi. Salut.

(salam hangat dari kang sepyan)

Senin, 07 Januari 2013

RAPORT MERAH PENDIDIKAN

Udara sejuk daerah Talaga di Kabupaten Majalengka  bulan Desember tahun 1978 jam 10 pagi itu terasa agak panas. Aku bersama sekitar 700 siswa SMP Negeri Talaga berdiri di lapangan upacara mendengarkan nasihat pak Suwardi Sastradiredja, Kepala sekolah kami menjelang pembagian raport semester ganjil yang pertama dilakukan di bulan Desember.  Maklum tahun 1978 adalah tahun pertama perubahan kalender akademik yang dimulai bulan Juli, dimana sebelumnya tahun 1977/1978 aku terpaksa menempuh pendidikan kelas satu SMP selama satu setengah tahun, yaitu dari Januari 1977 sampai dengan Juli 1978.

Udara terasa menjadi bertambah panas, ketika tiba saatnya pengumuman juara kelas, entah karena matahari yang semakin tinggi mengiringi setiap menit pidato pak Suwardi, atau karena adrenalin aku yang meningkat, menunggu pengumuman.  Irama detak jantungku terasa kian cepat dan aliran darah mengalir lebih deras dari setiap ujung-ujung jariku, menuju ke otak.  Disetiap pembagian raport sejak aku SD sampai dengan SMP memang selalu ada budaya pengumuman siswa-siswa berprestasi secara akademik. Yaitu siswa-siswa tersebut dipanggil kedepan, dan diberi ucapan selamat serta jabat tangan erat dari Bapak Kepala Sekolah dan guru-guru.  Tanpa piagam penghargaan ataupun hadiah, tetapi sungguh efektif meningkatkan tekad siswanya untuk dapat meraihnya kembali atau merebutnya pada semester yang akan datang.  Sehingga kami selalu berlomba untuk mengerjakan PR dengan baik, menyelesaikan tugas lebih cepat, dan belajar lebih giat.

Yang di panggil kedepan bukan seluruh siswa yang mendapatkan rengking pertama sampai ketiga dari setiap kelas, tetapi hanya siswa atau siswi yang menduduki rengking pertama sampai ketiga yang diadu secara paralel.  Jadi kalau kelas dua SMP memiliki enam kelas paralel, yang dipanggil kedepan hanya 3 orang, bukan 18 orang.  Tiba giliran pengumuman juara kelas untuk kelas dua, dimulai dari juara ketiga temanku Tatan Fathurohman, lalu aku dipanggil menjadi juara kedua, sedangkan juara pertamanya adalah Titin Agustini.  Selama aku SMP memang tidak pernah dapat melampaui prestasi Titin Agustini, anaknya bu bidan yang sekarang menurut kabar menjadi salah satu dokter yang praktek di Kimia Farma Bandung.  Untuk urusan rangking ini, mulai SMP dan SMA bahkan mahasiswa, rasanya selalu ada perempuan yang sulit dikejar.  Setelah Titin Agustini di SMP, di SMA menghadang Titin Atikah, dan ketika mahasiswa pun ada Santi tok yang IP setiap semesternya selalu lebih tinggi. 

Budaya atau ritual pembagian raport yang menurutku cukup baik meningkatkan motivasi belajar siswa, ternyata dipandang tidak baik menurut ilmu psikologi, sehingga pada generasi anakku hal tersebut sudah tidak ada lagi.  Pembagian raport sekarang harus dilakukan oleh orang tua.  Setahun empat kali yaitu raport bayangan semester pertama, raport semester pertama, raport bayangan semester kedua, dan raport kenaikan kelas, kami para orang tua harus ngantri dihadapan gurunya anak-anak, berjejer-jejer duduk di kursi dan meja kekecilan.  Maklum kursi untuk ukuran anak-anak digunakan oleh orang tua yang kelebihan berat badan, jadinya waktu menunggu tersebut menjadi terasa tambah lama.  Menurut psikolog tersebut, pembagian raport bisa dijadikan sebagai media komunikasi antara orang tua siswa dan guru untuk mencari cara terbaik mendidik anaknya.  Menurutku Anda ???

Dalam kesempatan pembagian raport tersebut, ada di antara orang tua yang memanfaatkan kesempatan sehingga cukup lama berkonsultasi, ngobrol segala macam kebiasaan anaknya di rumah menghadapi tugas-tugas yang diberikan guru ataupun cara belajar anaknya dalam menghadapi ujian, tetapi ada juga yang sekedar mengambil.  Namun yang agak seragam adalah, kalau ibu-ibu yang ngambil raport biasanya bawa buah tangan bisa berupa bungkusan dengan kertas bergambar, ataupun hanya berupa amplop yang diselipkan sebagai ucapan terima kasih, saat bersalaman pamitan. Kalau yang datangnya bapak-bapak, umumnya tidak ada kado ataupun selipan amplop.  Tapi aku percaya kalau Bapak dan Ibu guru tersebut, tidak membedakan cara mendidik berdasarkan apa yang dilakukan orang tuanya saat pengambilan raport.  Makanya, aku jadi sering disuruh istriku untuk ngantri ngambil raport tersebut.  Makanya aku suka sering senewen kalau nunggu ibu-ibu yang konsultasinya lama.  Menurutku, kenapa enggak minta nomor HP gurunya saja dan minta alamat emailnya, lebih praktis khan ?

Disisi lain, berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa teman, ternyata nilai yang tercantum dalam raport pun telah berbeda antara raport generasiku dengan raport generasi anaku.  Kalau dahulu ada mata pelajaran yang nilainya dibawah 60 maka akan di tulis dengan tinta warna merah.  Kalau sekarang tidak ada lagi warna merah dalam raport, karena sekolah telah mengantisipasi dengan sistem remedy atau ujian ulangan bagi siswa yang nilai ulangannya berada di bawah KKM.  Angka KKM kira-kira terjemahan awamnya adalah angka standar kelulusan minimum.  Kalau dahulu seluruh mata pelajaran di seluruh sekolah yang ada di Indonesia nilai KKM adalah 60.  Tapi sekarang nilai KKM menjadi semacam target sekolah, yaitu ditentukan oleh dewan guru.  Angkanya berbeda-beda tiap mata pelajaran maupun tiap sekolah bervariasi antara 60 sampai dengan 80.  Namun secara kualitas angka 80 tidak menjamin siswanya menguasai 80 persen mata pelajaran tersebut, karena ini menyangkut gengsi-gengsian sekolah. 

Penentuan angka KKM menjadi semcam target sekolah, semakin tinggi nilai KKM menunjukkan semakin tinggi kualitas sekolah tersebut.  Walaupun pada kenyataannya malahan menjadi sumber awal budaya "semua bisa diatur" yang dipelajari siswa.  Untuk mencapai KKM tersebut bisa dimainkan dari kualitas soal atau sebelumnya diberi latihan soal yang mirip dengan soal ujian.  Kisi-kisi soal ujian yang jaman aku sekolah tabu disampaikan oleh guru, sekarang menjadi diperbolehkan.  Jadi kita tidak bisa memperbandingkan nilai raport terhadap siswa yang sekolah di tempat yang berbeda.

Pemerintah menyadari adanya perbedaan kualitas sekolah tersebut atau menyadari bahwa standar angka setiap sekolah berbeda.  Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa lulusan sekolah telah memenuhi kriteria minimum maka dibuat ujian nasional (UN).  Sebelumnya nilai UN tidak menentukan kelulusan sehingga walaupun mendapat nilai UN 1,0 atau bahkan di bawah 1,0 masih tetap lulus.  Namun seiring berjalannya waktu, sekarang sudah ada nilai minimum UN yang dapat menentukan kelulusan siswa.   Apakah seluruh siswa yang lulus memang telah memiliki kemampuan yang cukup sehingga mampu menjawab soal dan mendapatkan nilai di atas nilai minimal ? Diatas kertas iya.......tapi kalau kita telusuri lebih jauh, ternyata jawabannya belum tentu......loh...kok bisa ???

Ternyata telah tejadi perlombaan yang cukup sengit antara pembuat rambu-rambu dalam hal ini  kementrian pendidikan dengan pihak pelaksana UN.  Pembuat kebijakan berusaha memastikan agar tidak terjadi kecurangan pelaksanaan UN sehingga hasil penilaiannya dapat dipertanggung-jawabkan, sedangkan pelaksana UN berusaha untuk mensiasati agar murid-muridnya dapat lolos UN bagaimanapun caranya.  Mengingat mereka sebelumnya telah ditarget oleh pak Walikota atau pak Bupati.  Kalau ternyata sekolah di daerahnya banyak yang tidak lulus UN itu menunjukkan Kepala Daerah tidak mampu mengelola Dinas Pendidikan.  Dinas pendidikan meneruskan target tersebut kepada Kepala Sekolah.  Maksudnya baik, agar Kepala Sekolah dapat berusaha memberikan pembelajaran yang baik sehingga seluruh muridnya dapat lolos UN. Tetapi, alih-alih berusaha dengan cara yang benar, kebanyakan yang diusahakan adalah "bagaimanapun caranya".  Tidak semua sekolah begitu, tetapi berdasarkan hasil diskusi aku dengan beberapa teman yang menjad guru, menunjukkan indikasi ke arah itu.

Temenku yang berprofesi menjadi guru sekolah swasta di pinggiran kota berceritera bahwa waktu menghadapi UN dilakukan pembagian tugas para guru.  Ada yang bertugas memberikan "bimbingan" maksudnya membimbing langsung murid waktu mengerjakan UN, ada yang bertugas melobi pengawas, ada yang bertugas "menjaga" pemantau, dan ada pula yang bertugas melakukan "revisi akhir".   Hehehe.....sebaiknya trik-trik ini tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, kayanya kurang baik.  Bisa saja ada yang bilang bahwa hal diatas hanyalah sebuah kebohonan, mengada-ada, atau membesar-besarkan......tapi biar saja.  Hasil akhirnya adalah ketika murid-murid diajak belajar tambahan atau pengayaan materi, dijawab gak perlu pak guru,  toh tanpa belajar juga kita bisa lulus.  Hasilnya adalah, banyak murid yang biasanya memiliki nilai tidak baik, ketika UN nilainya menjadi jauh lebih baik dibandingkan anak yang pintar.  Hasilnya adalah, banyak murid yang tidak sempat mengerjakan seluruh soal, bisa mendapat nilai 100.  Hasilnya adalah, ketika seorang pengawas dari sekolah lain menemukan adanya kecurangan, misalnya ada guru yang memberikan kunci jawaban atau ada murid yang ketahuan memiliki kunci jawaban, buru-buru pak Kepala Sekolah tersebut turun tangan minta jangan dibesar-besarkan, karena memang sudah perintah dari atasnya begitu.   Budaya kerja keras dihilangkan, diganti dengan budaya "semua bisa diatur".

Mungkin inilah barangkali salah satu penyebab semakin terpuruknya bangsa ini.  Sogok menyogok, suap menyuap, mencari jalan pintas, merupakan salah satu kerja keras yang "dianggap" suatu hal biasa.  Tidak ada perbedaan terhadap orang yang berhasil karena kerja keras yang benar-benar kerja dibandingkan orang yang berhasil karena kerja keras hanya dengan mencari jalan pintas.  Semua hanya melihat hasil akhir, cepat kaya, cepat naik pangkat, cepat punya mobil baru, itulah ukuran keberhasilan.  Tidak heran bahwa banyak sekali anak-anak muda yang menjadi tersangka baik karena politik, pajak, narkoba, dan lain-lain. 

Seandainya saja kembali ke penggunaan tinta merah untuk nilai dibawah standar......inilah raport merah dunia pendidikan kita......mari sama-sama kita selamatkan.

(salam hangat dari kang sepyan)