Sabtu, 24 Agustus 2013

PERSPEKTIF ETIKA

Aura statsiun commuter line emang berbeda.  Menjelang 100 meter dari pintu gerbang statsiun, gerakan orang 50% lebih cepat dari gerakan ditempat lain.  Dan setelah melewati pintu gerbang, ada lagi penambahan gerakan.  Apalagi kalau ditimpali dengan suara khas peluit masinis, ning nong ning nong statsiun, dan suara pengumuman petugas yang menyebutkan di jalur mana kereta akan melintas, tujuan, pemberangkatan, dan lain-lain yang campur baur, semakin menambah energi kinetik terhadap gerakan orang untuk dapat segera melihat apa yang terjadi di jalur statsiun.

Gerombolan orang di peron Bekasi jalur 3 telah mulai penuh, walaupun suasana menjelang jam enam pagi masih remang-remang.  Sebagian ada yang saling kenal sehingga berkelompok bercanda 3-4 orang, tapi kebanyakan lainnya walaupun tiap hari bareng, tampak tidak ada komunikasi.  Mereka adalah rombongan pegawai, pekerja, mulai buruh sampai manajer yang bekerja di Jakarta namun domisili rumahnya di daerah Bekasi.  Semua berada dalam alur pikirannya masing-masing.  Berjejer menghadap rel kereta dua sampai tiga lapis.  Bahkan pada titik-titik tertentu sampai lima atau enam lapis.  Mungkin titik tersebut diperkirakan tempat pintu kereta berhenti.

Ada sebagian yang tampak santai, duduk di bangku peron yang terbuat dari kursi plastik seperti kursi bis kota jaman dahulu.  Sebagian lagi duduk di bangku yang terbuat dari dua buah rel bekas yang dijejerkan dan disangga tiga buah tiang beton.  Agar kelihatan bersih rel bekas tersebut di pernish, hehehe bersih sih tapi kueras banget menekan pantat.  Namun sesantai-santainya orang di statsiun, sambil baca koran ataupun buka-buka gadget, telinga tetap harus tajam mendengarkan pengumuman kedatangan kereta.  Karena begitu ada pengumuman kereta sesuai jurusan yang akan tiba, maka semua melompat merapat agar berada di dalam barisan siap-siap menyerbu.

Begitu kereta berhenti dan pintu terbuka, maka semua orang berdesakan menuju pintu tersebut, walaupun harus dengan jurus sedikit sikut, dorong, dan desak.  Lalu berlari kencang sambil mata jelalatan mencari bangku yang kosong.  Bila dirasa ketemu ada bangku kosong, maka pantat akan dibuat mendahului badan untuk dapat menyentuh permukaan bangku tersebut.  Semua melakukan hal serupa, seperti pelari sprint yang mendorong kepalanya agar dianggap lebih dahulu mencapai garis finish.  Bedanya disini yang didorong adalah pantat.  Jadi kalau yang tidak terbiasa, jangan heran apabila dalam perebutan bangku, orang yang berjarak satu langkah bisa kalah dengan orang yang berjarak lima langkah.  

Betapa berat perjuangan pagi hari untuk memperebutkan bangku.  Karena apabila kita mendapat bangku, artinya selama 30 menit kedepan kita bisa meneruskan tidur yang kepotong tadi pagi, terus kita juga akan terhindar dari desakan-desakan dan himpitan-himpitan penumpang lain yang akan merangsek masuk, naik pada statsiun-statsiun berikutnya.  Maklum commuter line di kita tidak mengenal batas maksimal penumpang.  Satu gerbong kereta dengan kapasitas 48 tempat duduk dan untuk orang berdiri 20 orang, bisa diisi sampai 400 orang.  Selagi masih bisa masuk dengan cara didorong-dorong, terus masuk.  Sampai semua orang didalam tidak bisa lagi bergerak, walaupun hanya untuk menggaruk.  Seperti orang memasukan beras ke karung, digoyang-goyang dan dicucuk-cucuk pake bambu agar isinya padat, sehingga bisa masuk beras yang baru di lapisan atas.

Didalam kereta disediakan di masing-masing ujung gerbong 8 tempat duduk atau totalnya 16 tempat duduk per gerbong yang dikhususkan untuk penyandang cacat, ibu hamil, orang lanjut usia, dan ibu yang membawa balita.  Ada tulisan himbauan dari perusahaan ; "mohon partisipasi pelanggan untuk mengingatkan kepada yang tidak berhak atas tempat duduk prioritas ini". Tapi pada kenyataannya, dengan sesaknya jalan menuju ke bangku tersebut, maka mereka tidak bisa sampai ke bangku prioritas.  Jadi sasarannya adalah kami para laki-laki muda atau laki-laki setengah tua yang mendapat jatah tempat duduk yang memang diperuntukan untuk penumpang sehat (bukan tempat duduk prioritas). Harus mengalah dong ? masa tega membiarkan anak kecil berdiri terhimpit ? masa tega membiarkan orang tua berdiri ? apakah kamu tidak memiliki rasa hormat sama orang tua ?  masa tega membiarkan perempuan didepanmu berdiri sedangkan kamu enak-enakan duduk ?

Kadang-kadang, bila aku berada pada posisi itu, dengan tulus aku berikan kursi yang dengan sepenuh hati beberapa menit lalu aku perjuangkan.  Tapi kadang-kadang, aku berpikir emangnya gue pikirin ! Aku khan udah berjuang bangun lebih pagi. Aku khan sudah berjuang berdiri menunggu kereta tiba sehingga dapat lapisan paling depan.  Aku khan sudah mendapatkan untung berdiri pas didepan pintu kereta.  Aku khan sudah berhasil mengalahkan puluhan saingan untuk mencapai bangku lebih cepat.  Maka pura-pura tidur adalah jalan yang menurutku paling aman.  Duduk langsung mata dimeremkan walaupun tidak ngantuk, biar tidak melihat perkembangan penumpang di sekeliling kita.  Apalagi bila mendengar suara anak menangis, maka mata atas aku katupkan erat-erat, biar tidak sempat melihat,dan telinga disumpal dengan speaker yang dihubungkan dengan handphone di saku.  Sekedar untuk mengurangi rasa bersalah.

Kerasnya kehidupan ibu kota memang bisa merubah perspektif etika.  Aku berpikir kenapa kok suaminya tega membiarkan istrinya bekerja sehingga harus berdiri terhimpit di kereta ? kenapa kok anaknya tega membiarkan orang tuanya berjalan sendirian di kereta ? mengapa kok orang pergi mengajak anak-anak naek kereta pada jam sibuk ?  kenapa tidak tunggu jam 9- an saat kereta sudah agak sepi ?  Jadi siapa yang tidak punya etika ?

Tergantung dari sudut mana peresfektif etika kita lihat......bukan begitu ???  Atau....jangan-jangan......hanya untuk menutupi rasa bersalah.


(salam hangat dari kang sepyan)

Kamis, 22 Agustus 2013

GONJING

Jarak dari rumahku ke SMP tidak terlalu jauh, namun waktu itu belum ada jalan yang bisa dilalui kendaraan, jadi harus ditempuh dengan jalan kaki.  Memerlukan waktu sekitar 2 jam perjalanan, melewati gunung Genter dan gunung Picung.  Kedua gunung itulah yang menghalangi akses untuk menuju Desaku, karena di kedua gunung itu jalan yang tersedia hanya berupa jalan setapak yang kadang berundak-undak melewati batu-batu besar.  Menyebabkan desaku tampak seperti daerah terisolir.  Tahun tujuhpuluhan, lebih dari setengah penduduk desa belum pernah melakukan perjalanan ke "kota" yang jaraknya hanya 7,5 km.  Sehingga beberapa di antara mereka sampai akhir hayatnya belum pernah melihat pasar, sekolah menengah, jalan aspal, mobil, motor, dan tentunya pak Camat.    

Alhamdulillah, aku dilahirkan dari orang tua yang memiliki pola pikir diluar orang kebanyakan penduduk desa.  Walaupun didesaku hanya ada sekolah sampai tingkat sekolah dasar, namun kami anak-anaknya harus sekolah tinggi.  Kalau perlu sekolah sampai ke Bandung, seperti lagu "nelengnengkung" yang selalu dinyanyikan ibuku waktu aku masih kecil.  

Nelengnengkung-nelengnengkung
Geura gede, geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Sing bisa nyenangkeun indung

Ketika usiaku 10 tahun 8 bulan, aku pergi ke "kota" untuk meneruskan sekolah ke SMP.  Aku harus berpisah dari orang tua, mencoba mandiri.  Walaupun sebenernya gak mandiri-mandiri banget karena aku tinggal bersama keluarga kakaku yang paling besar yang sudah menjadi guru di "kota".  Pelajaran mandiri yang harus aku lakukan adalah cuci baju dan mengelola uang jajan bulanan.  Untuk cuci baju tidak susah-susah amat, karena kadang-kadang di rumah juga aku sudah pernah belajar, dan kadang-kadang aku titipin juga sama si bibi.  Tapi untuk urusan mengelola uang jajan, ini adalah pelajaran yang sangat baru.

Jaman sekarang mungkin aneh kedengarannya, ada anak usia hampir 11 tahun gak bisa jajan. Tetapi di desaku memang tidak ada tukang jualan di sekolah, kalaupun ada tukang jajanan hanya terjadi saat ada pesta dimana yang punya pesta menyediakan hiburan seperti wayang golek, kuda renggong, atau lais (sejenis debus dimana ada orang yang bisa beraktifitas di sebuah tambang yang direntangkan diatas dua bambu setinggi 15-20 meter).  Biasanya bila ada acara seperti itu aku jajan rujak kucur dan goreng tempe gembus bareng kakakku.  Pengalaman belanja sendiri yang aku pernah lakukan hanyalah kalau disuruh beli "lotek" di bi Nunu dan "kerecek daging" di warung wa Rum'ah, bila ibuku tidak masak.  Dan itu sangat jarang terjadi.

Dengan pengalaman seminim itulah, saat aku diberi uang jajan Seribu rupiah, aku kebingungan.  Bapakku tidak menyebutkan itu untuk jatah seminggu, sebulan atau setahun, tapi silahkan dipakai untuk keperluan.  Kalau sudah habis boleh minta lagi, tapi harus dicatat dalam buku dan dilaporkan kalau meminta tambahan dana.  Mungkin Bapak mendidik agar aku terbiasa membuat laporan pertanggung-jawaban.  

Saat bel istirahat sekolah semua anak meninggalkan kelas, menuju ke kantin belakang.  Ibu penjaga kantin sibuk melayani pembelian yang hanya berlangsung sekitar 15 menit.  Hampir semua jajanan ada disana, ada bala-bala, comro, buras, kerupuk, tahu, dll.  Seluruh sisi warung yaitu kiri, kanan, dan depan penuh dengan anak-anak yang akan jajan. Aku bingung bagaimana cara masuk ke celah-celah orang yang mengerumuni menutup sisi warung.  Sedangkan mereka  tampak santai menyuap jajanan, sambil bercanda.  Padahal kalaupun aku bisa masuk ke sisi warung, aku masih bingung bagaimana cara merangkai kata ijab kabul jual beli jajanan, sebagaimana yang selalu diajarkan guru ngajiku.

Akhirnya aku putuskan untuk ke luar pagar sekolah, disana juga banyak tukang jajanan seperti cilok, baso tahu, es goyobod, es mambo, gorengan aci, dll.  Hampir seluruhnya penuh dikerubuti anak-anak.  Aku lihat rata-rata orang yang berjejal jajan adalah orang-orang kota, sedangkan kami orang-orang desa cuma bisa bersender di pinggir pagar yang agak jauh dari tukang jajanan sambil menikmati matahari. Maklum sinar matahari khan gratis, serta tidak harus pake ijab kabul. Mereka menjauh dari tukang jualan entah karena pada enggak punya duit, atau mungkin seperti aku yang kebingungan cara bertransaksi di tengah kerumunan.

Minggu kedua hari ketiga, baru aku berani melakukan transaksi pertama.  Diantara tukang jajanan yang jualan di luar pagar sekolah, ada pedagang yang peminatnya hanya sedikit.  Bahkan cenderung sepi pembeli.  Yaitu tukang Gonjing.  Gonjing terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan kelapa parut, air, dan sedikit garam.  Lalu dimasukan ke dalam cetakan berbentuk setengah lingkaran dengan tebal sekitar 2 cm dan diameter 12 cm.  Cetakan setengah lingkaran tersebut berjejer 6 lobang, dan tukang gonjing memiliki 4 cetakan, sehingga satu kali nyetak bisa menghasilkan 24 gonjing atau 12 pasang gonjing.  Cetakan terbuat dari aluminium, dan dibakar diatas kompor.  Hasilnya adalah sebuah penganan yang gurih, berkulit renyah, panas, namun dalamnya lembek.  Menurutku enak, mungkin menurut orang kota jajanan seperti itu kurang bonafid, sehingga sepi peminat.  Harganya untuk tiap sepasang gonjing lima rupiah saja.  

Setelah aku melihat kota-kota lainnya, tenyata ada juga penganan yang hampir sama dengan gonjing namun disebutnya adalah banros.  Banros biasanya disajikan dengan ditaburi gula pasir dipermukaannya.  Penganan lainnya yang serupa gonjing adalah kue pukis, perbedaannya adalah bahan adonannya terbuat dari terigu dan gula serta telur seperti bahan bolu.

Sebelum jajan gonjing aku sudah tanya dulu kiri-kanan berapa harganya, dan berapa minimum pembelian.  Sehingga aku juga sudah siapkan uang pas untuk membelinya.  Dan pada siang hari pulang sekolah, mulailah aku mencatat pengeluaran pertamaku dan merupakan pengeluaran pertama dan terakhir yang aku tulis dalam buku tulis letjes warna biru isi 18 lembar.  Karena setelah itu, aku lancar jajan waktu istirahat sekolah, tapi jadi males menulis.  Apalagi Bapaku juga tetep memberikan tambahan uang jajan, tanpa harus memberikan laporan pertanggung-jawaban.

Tiga puluh lima tahun kemudian, saat liburan kemarin kami seluruh keluarga besar nginep di Ciater.  Pagi-pagi telah mangkal tukang gonjing didepan bungalow.  Harganya sudah naik 400 kali lipat, yaitu sepasang yang semula Rp. 5,- menjadi Rp. 2.000,-.  Entah harga sebenarnya atau karena harga lebaran.  Tapi penampilan tukang gonjing masih tetap, berbadan kurus, bertopi lusuh, membawa dagangan dengan cara di pikul, yaitu pikulan yang satu bersisi adonan dan bangku kayu kecil, adapun pikulan satu lagi tempat cetakan dan kompor.  Bila sedang membuat gonjing dia duduk dibangku kecil tersebut, menunggu sekitar 15 menit sampai adonan matang.  

Aku dan kakak-kakaku membeli beberapa loyang gonjing untuk dimakan bersama.  Aku amati, bahwa kami para orang tua menikmati kerenyahan, kegurihan, dan kehangatan gonjing di pagi hari, mungkin sambil pikiran menerawang ke masa lalu.  Sedangkan ketika anak-anak ditawari, mereka cuma melihat dan mencoba sedikit, tanpa minat.  Perbedaan generasi......generasi gonjing dan generasi sosis...hehehe.

(salam hangat dari kang sepyan)

Jumat, 16 Agustus 2013

TEBOY

Kebiasaanku selama bulan puasa ini adalah sahur menjelang akhir.  Kira-kira jam 3.45 bangun, lalu menyiapkan makanan dan jam 4.10 menit kami mulai makan sahur sampai jam 4.30.  Kata pak ustadz kita disunahkan mengakhirkan makan sahur.  Sunnah yang menurut aku sangat bermanfaat karena jangka waktu dari makan sahur ke buka puasa menjadi semakin pendek, jadi akan mengurangi rasa lapar.  Terus jangka waktu ke sholat subuh tinggal 10 menit pas banget untuk persiapan bersuci dan pergi ke mesjid.  Waktu tidur malam juga bisa cukup panjang, cukup untuk istirahat untuk mengerjakan tugas rutin esok hari.

Tapi malam kemaren aku dibangunkan oleh suara hp istriku yang terus berbunyi sekitar jam 2 malam.  Lagi enak-enaknya kami terlelap, rupanya ada teman istriku tetangga RT yang mebangunkan kami.  Katanya ketika mau persiapan makan sahur, dia keluar sebentar dan melihat didepan rumahnya ada kucing angora warna putih.  Dia mengabarkan mungkin kucing itu adalah kucing kami yang hilang.  Sambil merem-merem terpaksa deh aku ngeluarin motor jalan ke rumahnya .  Dan sampai disana, kucingnya sudah tidak ada di tempat yang tadi.

Sudah dua minggu ini si Teboy, begitu kami memanggil kucing kami, hilang.  Awalnya adalah ketika sedang mempersiapkan makan sahur, orang yang bantu-bantu di rumah membuka pintu keluar, mungkin ingin cari angin atau mau buang sampah.  Setelah itu pintu dibiarkan terbuka, dan si Teboy memanfaatkan kesempatan tersebut untuk jalan-jalan keluar.  Entah tersesat, entah ada orang yang ngambil, atau entah karena apa karena sejak saat itu dia gak pernah pulang ke rumah.

Istriku cenderung menganggap si Teboy tersesat, sehingga setiap pagi dia keliling perumahan yang hampir meliputi dua RW.  Memperhatikan selokan, halaman rumah orang, tempat-tempat sampah, yang diperkirakan bisa dijadikan persembunyian si Teboy.  Sehingga hampir seluruh tetangga tahu akan kehilangan si Teboy, ciri-cirinya adalah kucing angora besar, hidungnya pesek, berbulu putih dengan sedikit abu-abu di kepala dan buntutnya.  Akibatnya, begitu mereka melihat ada kucing warna putih, sering telepon ke rumah.  Walaupun sampai sekarang yang mereka lihat ternyata kucing kampung biasa, bukan Teboy kami.

Sedangkan kalau aku lebih cenderung menduga si Teboy ada yang ngambil.  Karena akhir-akhir ini, kalau setiap pagi aku mau berangkat subuh ke mesjid, kok banyak sekali tukang "pulung" dengan ciri khas membawa besi panjang yang ujungnya dibengkokan dan membawa karung plastik besar.  Demikian pula kalau sore-sore jalan-jalan ke sekitar mesjid Al-Ahar komplek Jaka Permai, di sepanjang jalan berderet orang-orang duduk di trotoar.  Ibu-ibu muda membawa anak kecil, dan di depannya ada gerobak sampah.  Kesannya adalah mereka para pemulung.

Aku kadang berpikir, apakah mereka benar-benar pemulung atau sekedar menyamar menjadi pemulung ?  Memanfaatkan moment bulan puasa, bulan penuh barokah, dimana Allah melipat-gandakan pahala.  Sehingga banyak sekali orang ingin berbuat baik, membantu sesama untuk bersyukur atas karuna yang diberikan, diantaranya dengan cara bersedekah. 

Entah ini pikiran aku saja atau mungkin sama dengan pikiran yang lain, kalau misalnya mau bersedekah maka aku lebih senang memberikan pada pemulung dibandingkan kepada peminta-minta, dengan catatan kedua-duanya sama-sama secara fisik sehat.  Apalagi pemulung perempuan yang bawa anak kecil.  Kesannya mereka adalah pejuang tangguh, yang mau berusaha keras namun masih miskin.  Rasanya sangat layak diberi sedekah, rasana tidak sia-sia memberi sedekah pada mereka.  Syukur-syukur bisa dijadikan tambahan modal sehingga kehidupannya yang semula jadi tukang pulung berubah menjadi pengepul, selanjutnya menjadi pengusaha.  amin.

Tapi apakah benar-benar mereka pemulung ??? Nah itulah yang sekarang meragukan, dengan semakin bertambahnya komunitas mereka.  Jangan-jangan, modus seperti ini pun telah diorganisir sebagaimana pengemis ?? Jangan-jangan, mereka memiliki Bos yang telah mempelajari psikologi orang sedekah ?  Ini megapolitan....semua bisa terjadi.


Seperti tayangan hitam putih di Trans TV, ternyata menjadi peminta-minta walaupun bukan sebagai cita-cita tetapi telah menjadi mata pencaharian, bahkan menjadi profesi.  Dengan penghasilan setara penghasilan sarjana baru lulus yang kerja di sektor keuangan, bahkan mungkin lebih besar.  Serta ada koordinatornya atau mungkin semacam "mucikari" atau semacam "manajer" yang akan membantu dalam hal mencarikan tempat mangkal dan berurusan dengan pihak berwajib.  mmmmmmmhhhhhhh.......

 (salam hangat dari kang sepyan)

Selasa, 13 Agustus 2013

BAJU LEBARAN

Malam ini setelah sholat isya kami tidak taraweh lagi, tapi kami ganti dengan takbiran.  Orang-orang tua kami jaman dulu tidak perlu menunggu sidang istbat selesai untuk menetapkan hari lebaran.  Bukan karena tidak mengikuti ketentuan pemerintah, tetapi karena waktu itu belum ada siaran TV ke kampungku.  Jadi cukup dengan melihat warna merah di kalender ditambah dengan rembugan orang-orang sedesa, yang telah diputuskan seminggu sebelum lebaran.  Nampak Bapaku, kakekku dan bapak-bapak lainnya yang biasanya duduk di shaf paling depan menghadap ke kiblat, sekarang berbalik jadi menghadap ruangan langgar, bersender pada kayu-kayu berwarna coklat kelabu yang menjadi tiang penyangga dinding langgar.  Dindingnya sendiri terbuat dari bilah anyaman bambu.  Kayu-kayu tersebut tampak berwarna coklat ke abu-abuan, bukan karena di pernis, tetapi warna asli kayu yang telah terkombinasi dengan udara, debu, panas, dan gosokan punggung-punggung baju waktu orang bersender.

Waktu tadi berangkat isya, ayahku sengaja membawa lampu petromak yang ada di rumah.  Sehingga langgarku malam ini terasa lebih semarak dengan sinar lampu petromak menerangi ruangan langgar ukuran 6 x 10 meter.  Kalo lagi tarawih malam-malam sebelumnya, mushola kami cukup diterangi dengan dua lampu templok.  Satu lampu templok digantungkan di paku yang di pasang di tiang kayu penyangga mimbar.  Dan satu lagi dipasang disalah satu kayu tiang penyangga tengah mushola.  Kalau kita melakukan tadarusan sehabis sholat taraweh, maka salah satu lampu diturunkan, dan orang-orang yang tadarusan akan duduk mengelilingi lampu.  Memicingkan mata menyesuikan besarnya iris mata dengan keremangan sinar yang tersedia, untuk memastikan tidak ada titik ataupun tasjid yang kelewat.

Aku bersama Kodir anaknya mang Asbul imam mushola dan Sahlan anaknya mang Alasan, berkumpul bertiga di tengah ruang mushola.  Kadang-kadang ikut takbir yang dipimpin mang Asbul, tapi kadang-kadang enggak karena sibuk ngobrol sambil ketawa-ketiwi.  Bila kami lupa diri saking asyknya ngobrol, Embah panggilan untuk kakekku akan melotot dan mengangkat tangan dengan ibu jari dan telunjuk dibuat bentuk O, maksudnya isyarat mengancam, kalau ribut terus mau di sentil.  Biasanya kami segera pura-pura khusuk ikut takbir.  Tapi lima menit kemudian, kembali kami ribut.  Topik obrolan yang membuat kami lupa diri adalah tentang baju lebaran.  Kami saling menceritakan pengalaman masing-masing sampai mendapat baju lebaran, misalnya bagaimana proses meminta, pilihan baju, bagimana proses membeli di pasar, dll.  Selalu menarik kalau sudah membicarakan topik tersebut, kalau istilah sekarang di dunia maya mungkin trending topik.  Ada yang cerita bahwa waktu meminta baju lebaran sampai harus pura-pura kabur dulu, untuk meluluhkan hati orang tuanya agar mau menjual beberapa ekor ayam.  Ada yang membeli baju lebaran berupa baju pramuka yaitu celananya coklat tua dan bajunya coklat muda, agar bisa sekalian dipakai untuk seragam pramuka sekolah.  Dan mata kami pun, menerawang membayangkan bagaimana rupa kami besok waktu mengenakan baju lebaran.

Moment lebaran memang merupakan salah satu, bahkan untuk kebanyakan kami warga kampung merupakan satu-satunya moment yang memperbolehkan kami, anak-anak, meminta baju baru.  Sehingga kalau lebaran tahun ini tidak membeli baju baru, artinya baru lebaran tahun depan ada kemungkinan dibelikan baju baru lagi. 

Zaman telah berubah, dan generasi pun telah berubah.  Generasi lampu templok mushola telah berubah menjadi generasi listrik dan gadget.  Terjadi perubahan yang sangat drastis antara generasi aku sebagai anak-anak dibandingkan generasi sekarang, yaitu generasi aku sebagai orang tua.  Sampai menjelang lebaran, tidak ada satupun anaku yang meminta baju lebaran.  Bahkan kamilah orang tuanya yang memaksa-maksa mereka ke mal untuk membelikan baju lebaran.  Setelah datang ke mal pun, disuruh memilih bahkan tanpa dibatasi budget, tetap saja mereka kelihaan ogah-ogahan.  Dunia rasanya menjadi kebalik-balik.  Aku merasa memiliki kewajiban untuk membelikan semua anak-anak baju lebaran, mungkin sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi atau sekedar sebagai upaya untuk balas dendam.  Sedangkan anak-anak merasa bahwa lebaran tidak perlu baju baru.  Toh beli baju baru bisa kapan saja.

Aku jadi teringat sama ibuku, ketika aku sudah mulai bekerja dan ibuku melihat lemari pakaian, beliau bilang "jangan terlalu banyak membeli sampah, mendingan dipakai menabung atau dibelikan saja uangnya untuk hal-hal yang lebih berguna".  Tumpukan bajuku di lemari dianggap ibuku sebagai tumpukan sampah.  Padahal jaman sekarang khan harus ada pakaian olah raga, pakaian tidur, pakaian kerja sehari-hari, pakaian resmi, pakaian santai, belum lagi semuanya harus matching dengan sepatu, ikat pinggang, jam tangan, dan lain-lain.  Kalau berbeda-beda warna bisa diketawain teman-teman, nanti dibilangnya kampungan tidak mengikuti mode, tidak pantes jadi eksekutif muda.  Bahkan untuk pakaian olah raga saja harus banyak karena berbeda jebis olah raga perlu berbeda juga bentuk baju maupun sepatunya, untuk lari, senam, tenis, golf, renang, dll.  Jadi memang pakaian harus banyak.  Setidaknya menurut versi-ku.

Kalau ada mode yang baru harus beli lagi, walaupun telah bertumpuk pakaian di rumah.  Baju lama juga tida bisa langsung dibuang atau diberikan sama orang lain, karena disamping masih bagus, juga untuk jaga-jaga siapa tahu suatu saat baju tersebut masih diperlukan untuk di matching-matchingkan sesuai tema pertemuan.  Padahal pada kenyataannya banyak diantara baju-baju tersebut yang sudah sangat lama tidak pernah dipakai.  Karena toh walaupun bajunya banyak, tetap saja yang dipakai baju setiap kali hanya satu stel.  Banyak diantara baju-baju tersebut yang hanya diakai sekali atau dua kali saja, setelah itu tidak pernah disentuh sama sekali karena telah kehilangan moment.

Padahal kawan......kata guru ngajiku dulu, baju-baju tersebut kelak akan menghisab kita.  Mengapa rezeki yang telah Allah berikan tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.  Kenapa baju tersebut dibeli tetapi tidak dipakai.  Kenapa baju-baju yang sudah jarang dipakai tidak segera diberikan pada orang lain yang membutuhkan.  Dan kenapa-kenapa lainnya.

Jadi......masih mau beli baju baru ???


(salam hangat dari kang sepyan)