Dengan keterbatasan cara berfikirku waktu itu, aku suka heran kalau ada
Ustad yang bilang bahwa kita harus bergembira saat datangnya bulan
Ramadhan, dan kita harus bersedih ketika bulan Ramadhan akan berakhir.
Lalu disampaikannya ayat-ayat dan hadits yang mengabarkan keutamaan
bulan Ramadhan dan sang Ustad biasanya menutup dengan doa meminta agar
umur kita dipanjangkan sehingga bisa sampai ke bulan Ramadhan yang akan
datang. Jelas aku ikut berdoa dengan khusuk dan meng-amin-kan sepenuh
hati untuk do’a minta dipanjangkan usia tersebut. Tapi untuk urusan
bergembira menyambut Ramadhan ? Bersedih bila Ramadhan berkahir ?
Bukankah
selama bulan Ramadhan aku harus berpuasa, menahan lapar dan dahaga,
mulai waktu imsyak sampai waktu maghrib. Padahal di sisi lain aku masih
tetap dituntut untuk bekerja seperti biasa ? Bukankah selama bulan
Ramadahan aku harus makan sahur, sehingga harus bangun pagi-pagi,
padahal tidur dini hari antara jam tiga sampai jam empat adalah waktu
terlelap dalam tidurku, sehingga aku menjadi kehilangan waktu tidur
paling tidak satu sampai dua jam jam setiap malam ? Bukankah setiap
malam aku diharuskan sholat tarawih dan sholat witir di mesjid serta
mendengarkan ceramah yang menyita waktu untuk istirahat di rumah
sekitar satu sampai dua jam ? Bukankah kita harus bergembira kalau
menyambut Ramadhan, karena itulah hari raya, hari kemenangan, hari
dimana kita terbebas dari harus berpuasa, hari kita kembali ke fitri
tidak memiliki dosa bagai bayi yang baru lahir ? Beberapa pertanyaan
negative lainnya kadang terus berkecamuk di keterbatasan otakku. Memprotes tausiyah yang disampaikan pak Ustadz.
Namun
syukurlah, masih ada bagian otak lainnya yang mendengarkan kata hati,
bahwa tidak mungkin apa yang disampaikan dan diajarkan Qur’an dan hadist
tidak mengandung makna kebenaran hakiki. Beberapa tahun belakangan ini
aku mencoba untuk ‘pura-pura’ gembira bila akan datang bulan Ramadhan
dan ‘pura-pura’ sedih apabila bulan Ramadhan akan segera berakhir.
Awal-awal Ramadhan suasana kegembiraan itu dapat dibangun, terutama
dengan penambahan variasi menu makanan sahur dan berbuka, serta
ditunjang masih memiliki cadangan energy sehingga belum ada gangguan
secara fisik.
Tetapi menjelang tanggal belasan awal, akumulasi
kekurangan tidur mulai menganggu. Sehingga kembali lagi ke pertanyaan,
apanya yang harus aku gembirai dari bulan Ramadhan ? Semakin bertambah
hari, tanggal dua puluhan, semakin bertambah keinginan untuk segera
menyudahi bulan Ramadhan. Seperti orang berlari yang telah melihat
garis finish. Seperti orang yang kehausan di padang pasir melihat
oase. Apalagi THR telah dibayar perusahaan, baju baru telah dibeli, dan
kendaraan untuk mudik telah siap.
Menjelang akhir Ramadhan,
suara pak Ustadz hanya lamat-lamat terdengar dia menyeru bahwa 10 hari
terakhir adalah untuk ‘meminta pembebasan dari apa neraka’, 10 hari
terakhir adalah akan datang malam lailatul qodar yang lebih baik dari
seribu bulan. Namun aku, lebih sibuk mengurus izin cuti, merancang
acara di hari lebaran, merancang rute perjalanan mudik, dan merancang
rencana reuni dengan teman SD, teman SMP, serta teman SMA di kampung.
Tarawih di mesjid telah berganti menjadi belanja di mal. Tadarus al
Qur’an telah berganti dengan mengamati arus mudik di TV.
Ya
Allah…..betapa kerasnya hati ini. Ya Latif…...Engkau yang Maha Lembut,
tolong lembutkan hati ini, karena hanya dengan kelembutan hatilah aku
bisa menerima kebenaran ajaran-Mu, dan hanya dengan melaksanakan
ajaran-Mu, aku bisa selamat di dunia dan di akhirat.
Hari ini
tanggal 26 Ramadhan ya Allah…Ramadhan sudah dipenghujungnya…..tapi aku
belum banyak mengisinya dengan amalan-amalan yang berkualitas.
Tadarusku masih tidak tartil dan aku hanya membaca tanpa mengetahui
mak’nanya. Puasaku baru sebatas tidak makan dan minum, karena mataku
masih senang melihat keindahan dunia yang melintas, mulutku masih sering
berghibah, telingaku masih tajam mendengar gossip miring, apalagi
Ramadhan tahun ini berbarengan dengan Pilpres, demikian juga hatiku
kadang masih berprasangka. Tarawihku, Tahajudku, rasanya masih jauh
dari sempurna. Keinginan agar sholat lebih cepat selesai tidak bisa aku
hilangkan. Menggerutu dalam hati karena imam membaca al-Fatihah
berlambat-lambat. Zakatku masih aku hitung-hitung dengan sangat
cermat. Infak-ku masih tetap aku ingat-ingat. Kesombonganku, masih
belum terkikis dengan hikmah melakukan ibadah puasa yaitu merasakan
bagaimana rasanya orang-orang dhuafa yang terpaksa harus menahan
lapar karena tidak memiliki makanan. Nafsu duniaku masih belum bisa
benar-benar aku tundukkan. Dengan pola pikir dan pola tindak seperti
ini, apakah aku pantas untuk minta ridho-MU ? Padahal hanya dengan
ridho-Mu aku bisa meraih surga yang Engkau janjikan.
Tiba-tiba
penglihatanku jadi buram, area sekitar hidung dan mata terasa memanas,
sehingga cairan-cairan beku yang ada disekitar hidung dan mata
meleleh. Ya Allah…..aku menangis, aku menyesal. Ya Allah, jangan kau
akhiri Ramadhan ini. Beri aku kesempatan untuk berbuat lebih baik,
mengisi Ramadhan dengan kegiatan ibadah yang berkualitas. Ya
Allah…..dengan segenap kekurangan ibadahku, kumohon Engkau dapat
menerima dan menyempurnakannya. Ya Allah sampaikanlah aku ke Ramadahan
yang akan datang. Berilah aku petunjuk sehingga aku dapat beribadah
mengisi Ramadhan dengan lebih baik. Ya Allah…aku hanya menginginkan
ridho-Mu. Aamiiiin.
(salam hangat dari kang sepyan)
Kamis, 24 Juli 2014
Jumat, 11 April 2014
BETULKAH INI BUDAYA MEREKA ?
Sejak awal Februari kemaren,
untuk alasan penyegaran, aku diberi wilayah kerja baru. Tapi karena
ceritera ini agak berbau sara, maka memang sebaiknya aku tidak perlu
katakan wilayah propinsi mana, pokoknya masih di Indonesia tercinta.
Hampir
tiap bulan aku memiliki jadwal untuk berkunjung ke seluruh wilayah
kerja yang telah ditetapkan tersebut, bahkan dalam keadaan tertentu bisa
sebulan dua kali ke masing-masing wilayah. Tiap naik pesawat baik mau berangkat ataupun balik
khusus ke daerah ini terasa sekali perbedaannya. Rasanya pasti
bising dan kesannya penuh. Rata-rata penumpang membawa kerentilan bawaan
yang cukup banyak, kadang-kadang hanya dibungkus kantong keresek Matahari atau dari pasar swalayan lain. Tapi
yang mebuat bising adalah suara rebutan tempat duduk. Salah mengambil
pintu masuk, yaitu penumpang dengan tempat duduk didepan masuknya dari
pintu belakang. Ada lagi penumpang yang tempat duduknya di belakang
masuk dari pintu depan. Aku perhatikan pramugari biasa-biasa saja
melihat hal ini, bahkan ketika ada yang rebutan tempat dudukpun dia
cuekin. Mungkin karena saking biasanya.....'agak' sulit diatur.
Biasanya
aku berangkat dan pulang sama beberapa teman, dan biasanya juga aku
masuk naik pesawat duluan, sehingga bisa segera menyimpan tas di atas
kabin dan terhindar dari serobotan tempat duduk karena tempat duduk rombongan kami
satu blok atau satu baris.
Namun
waktu pulang hari ini, aku pulang lebih cepat dibanding temen lainnya,
jadi pulang sendiri. Terus kebetulan juga diberi titipan oleh-oleh satu
kardus. Jadi biar gak repot aku masukan saja koper dan kardus tersebut
ke bagasi. Sehingga aku melenggang cukup dengan membawa tas kecil berisi
dompet dan alat komunikasi. Seperti biasa malam sebelum keberangkatan
aku sudah memilih tempat duduk di nomor 6 D. Aku memang sukanya didepan
karena kalau di belakang rasanya goyangannya lebih besar. Sedangkan
pemilihan kursi urutan D karena aku suka di lorong atau di gang. Paling
tidak, sebelah badanku masih longgar tidak dekat sekali dengan penumpang
lain. Kalau di sebelah jendela, terus terang suka agak-agak ngeri kalau
melihat pesawat mau menembus awan tebal.
Terlambat
10 menit dari waktu boarding yang di jadwalkan ada pengumuman bahwa penumpang
yang akan ikut penerbangan agar masuk ruang tunggu. Tapi rupanya
pengumuman tersebut ditanggapi lain, bukan hanya masuk ruang tunggu, tetapi para calon penumang tampak hampir seluruhnya
berdiri di pintu keberangkatan bergerombol. Males rasanya aku ikutan
berdiri nggak jelas, mendingan aku terusin duduk baca koran. Sampai
pengumuman di panggil masuk pesawat juga aku tetap tenang saja duduk.
Toh aku gak bawa apa-apa, jadi tidak perlu ada yang diperebutkan.
Setelah antrian hampir habis baru aku masuk pesawat.
Begitu
sampai ke tempat duduk, nampak nomor 6.F sudah ada yang ngisi dan di
tempat duduku nomor 6.D sudah nemplok perempuan emak-emak usia 40-an
dengan rambut sebahu, pake celana jin dan kaos putih bermotif
bunga-bunga kecil warna hitam, serta menggunakan jaket rajutan warna
merah hati dan memegang tas tangan besar warna merah cabe.
"Bu..!
ibu tempat duduknya nomor berapa ?" tanyaku baik-baik. Kemudian ibu itu
merespon dengan memiringkan badang menghadap gang dan mengeluarkan
kedua belah kakinya. Seolah-olah menyuruh aku masuk menempati nomor 6.E.
Tempat duduk di tengah yang paling aku hindari karena terjepit kiri dan
kanan.
"Bu...!
Ibu tempat duduknya nomor berapa ? Karena kalau 6.D itu tempat duduk
saya". Demikian kataku agak tegas. Rupanya si ibu bukannya mengalah,
malahan dia menjawab lebih keras "Sudahlah sama saja. Lagian aku khan
punya penyakit diabetes, jadi harus sering bolak-balik ke kamar mandi".
Karena
aku agak kesel, aku mencoba berusaha untuk menjelaskan bahwa aku
mendapat tempat duduk tersebut karena hasil usaha, malam-malam melakukan
web chek in. Terus aku ngedumel tapi hanya dalam hati, aku bilang bahwa
seharusnya urusan diabetes dia ngomong saat chek in, bukan nyerobot
tempat orang lain. Dan si ibu aku lihat, karena gak mau dengar, tetap
keukeuh gak mau bergeser tempat duduk sambil nyerocos.
Aku
melirik, tampak beberapa orang yang duduk di deretan bangku 5 dan 7 mendongakan
kepala melihat ke arahku. Dari sorot matanya, aku merasa mereka semua
menyalahkanku. Mungkin mereka berkata "kok gak mau ngalah banget sih ini
orang, sama orang sakit ? sama perempuan lagi", "kok yang begitu aja diributkan". Rasanya
dunia menjadi kebalik, si ibu itu dianggap benar dan aku dianggap
bersalah. Hehehe.....kena juga kejadian ini padaku, yang biasanya aku
hanya melihat beberapa kali orang lain diperlakukan seperti aku saat
ini.
Dari
pada tambah malu, langsung saja aku masuk dan duduk di nomor 6.E.
Mataku aku pejamkan, biar segera melupakan kekesalan tadi. Sambil aku
ngomong dalam hati, akan aku hitung, sampai berapa kali dia akan
bolak-balik kamar mandi. Sambil aku merenung, apakah ini karena budaya
mereka ? Mudah-mudahan bukan.....ini dapat terjadi dalam perjalanan
kemana saja. Aku juga merenung, memang aku yang salah, terlalu
memikirkan ego sendiri, kurang mau berbagi. Ya Allah, terima kasih, aku
telah diberikan pelajaran hari ini tentang berbagi dan tentang
kerendahan hati.
Terakhir......mau
tahu berapa kali ibu sebelah ke kamar mandi ? Satu kali. Mudah-mudahan
beliau segera diberi kesembuhan, diangkat penyakitnya. Amin.
(salam hangat dari kang sepyan)
Senin, 07 April 2014
AKU INGIN SHOLAT
Tiap hari bolak-balik Bekasi
Jakarta pada saat jam padat, kalau dipikir-pikir sungguh melelahkan.
Tapi memang bukan untuk dipikir, tetapi untuk dijalani. Mencoba
menggunakan berbagai moda transportasi mulai dari mobil
sendiri.....ya...ampuuunn, berangkat teng habis sholat subuh dari rumah
sekitar jam 5.15 untuk mencapai pintu tol Bekasi barat yang berjarak 2
km saja sudah hampir jam 6.00. Praktis selama setengah jam berebutan,
umpel-umpelan merayap mulai depan Giant, masuk kolong putaran, hingga
bisa bayar tol. Belum lagi di jalan tol, bukan lagi jalan bebas
hambatan, karena terus merayap tanpa henti sampai Jakarta. Waktu tempuh
sampai di kantor hampir 2 jam dengan tingkat stres level 9 dari skala
10.
(salam hangat dari kang sepyan)
Moda
transportasi Bis Damri ataupun APTB, tetap lambat karena tetap tidak
bisa menghindari jalan umum. Yang terlanjur sangat padat. Orang pintar
sudah menghitung adanya gap antara penambahan jalan dan penambahan
kendaraan. Tetapi orang pintar juga tidak henti-hentinya memberi ijin
penjualan kendaraan, memberi ijin nomor kendaraan bahkan untuk kendaraan
yang telah akil balig. Sehingga terasa sekali bedanya kepadatan lalu
lintas dari tahun ke tahun. Tapi sudahlah, ini khan pertanda
meningkatnya kesejahteraan.
Akhirnya
pilihan yang terbaik diantara yang semuanya kurang menyenangkan, ya
naik commuter line. Sejak dipimpin pak Jonan PT. KAI memang banyak
melakukan perubahan, termasuk menghilangkan kereta ekonomi, karcis
berkartu, disediakan WC, dll. Sangat brilian meningkatkan pendapatan
KAI, jumlah penumpang meningkat drastis dan semuanya bayar, walaupun
disisi lain aku harus rela umpel-umpelan, tidak pernah dapat tempat
duduk, didorong, digencet serta beradu napas......hehehe kadang-kadang
bersebelahan dengan orang yang jarang mandi, jarang ganti baju, dan
jarang gosok gigi.
Pulang
kantor teeeeettt sih jam 16.30, tapi mana berani pulang pas jam kantor,
nanti dibilang apa kata dunia, dibilang kurang dedikasi, dibilang
itung-itungan, dan stigma negatif lainnya. Yang cocok itu pulang jam
17.30. Pantes deh, kita lebihin kerja satu jam itung-itung mengganti
waktu kerja seharusnya yang kita pake untuk melamun, buka-buka internet,
atau ngerumpi. Kebetulan juga sekitar jam 17.40 ada kereta yang ke
Mangarai dan selanjutnya di Mangarai ikut kereta yang dari Kota ke
Bekasi. Masalahnya transit di Mangarai menjadi "horor" karena
berjubelnya calon penumpang tidak sebanding dengan kapasitas angkut
kereta. Walaupun sudah berhimpitan kaya ikan teri dalam toples.
Sebetulnya
ada kereta yang jurusan Mangarai ke Bekasi jam 18.02, namun rasanya
lebin banyak dibatalkan jadwal tersebut dibanding berangkat. Ada-ada
saja alasan anak buah pak Jonan, mengalami gangguan lah, ada kerusakan
lah, masuk Depo lah, dll. Jadi biasanya di Mangarai bisa nunggu sekitar
setengah jam. Akibatnya sampai ke rumah pas adzan Isya. Loh....kapan
sholat Magribnya ?
Beberapa
kali, aku mencoba untuk sholat Magrib dahulu di kantor, jadi pulang
kira-kira jam 18.30. Tapi ampun deh, tambah malem bukannya tambah sepi
orang, malah tambah penuh. Jadinya perjalanan sangat lambat, sampai di
rumah hampir jam sembilan malam. Mandi, sholat isya tidur, bangun
lagi, sholat subuh, lalu berangkat lagi ke kantor. Benar-benar pulang
cuma mau numpang tidur. Rasanya enggak sehat hidup rutin seperti itu.
Jadi pilihan pulang jam 17.30 agak lebih manusiawi. Masih memiliki
waktu sekitar 90 menit untuk membantu anaku ngerjakan PR, mendengarkan
cerita istriku, menonton acara D'terong, dll. Tapi masalahnya, sholat
magrib dimana ?
Di statsiun Mangarai memang ada
Mesjid terletak di pojok dekat WC dengan ukuran sekitar 4 x 6 meter
ditambah emperannya sekitar 90 centimeter. Tapi dengan waktu Magrib
yang cuma sedikit, maka tempat tersebut menjadi sangat kecil
dibandingkan dengan jumlah orang yang ada. Karpet hijaunya sungguh
kotor, berbau dan sudah bercampur debu. Kalau kita sujud disana, maka
akan menempel beberapa kerikil dk kening. Biasanya pas waktu magrib
akan ada dua imam yaitu imam yang di dalam dan imam yang di emperan.
Imam yang diemperan mengimami sekitar 6 orang yang berbaris dua dua, di
ubin kramik warna putih. Diluar orang yang sholat berjubel orang yang
ngantri ambil air wudlu dan orang yang ngantri masuk mesjid. Tampak
orang-orang sholeh dan sholehah itu tabah menerima kenyataan yang harus
dihadapi, sambil telinga waspada mendengar pengumuman kereta yang
dinantikan sedang tertahan di sinyal masuk statsiun mana.
Ya Allah....aku ingin sholat.
Mudah-mudahan
ajaran guru ngajiku yang menyebutkan bahwa dalam keadaan seperti itu,
sholat Magribnya boleh di 'jama dengan sholat Isya setelah sampai di
rumah, adalah benar. Mudah-mudahan ada kekuatan yang menggerakan
sehingga di tempat-tempat umum harus menyediaka Mesjid, sehingga aku
bisa sholat tepat waktu dan berjamaah. Tidak harus nunggu pensiun.
Mudah-mudahan pak Jonan baca blogku lalu membangun mesjid yang besar di
Mangarai.
Ya Allah........aku ingin sholat.
(salam hangat dari kang sepyan)
Senin, 10 Maret 2014
SAPU LIDI
Kroessssseeekkk,
srrreeeeeekkk, srrrreeeeeekkk, kroesssseeeeekkkk, aku dengar suara
berirama di halaman belakang, ketika aku asik menonton TV di beranda
rumah mertua sambil menikmati "sorabi haneut" dan "goreng bala-bala".
Menu wajib setiap pagi, bila kami sekeluarga pulang kampung liburan.
Kroesssssseeeekkkk,
sssrrrreeeeeeeekkkk, ssrrrrrreeeeeekkkk, kroesssssseeeeekkkk, demikian
terus bunyinya tiada henti. Ibu mertuaku sedang menyapu halaman belakang
rumah yang banyak ditumbuhi pohon cengkeh yang umurnya sudah puluhan
tahun. Setiap hari, setiap malam, daunnya berguguran. Kalau tidak di
sapu maka halaman belakang rumah bisa menjadi seperti hutan. Daun-daun
yang berserakan tersebut disapu oleh sapu lidi yang digerakan ke arah
tertentu, sehingga berkumpul, menggunung, lalu dimasukan ke dalam tempat
sampah. Tempat sampahnya sendiri bukan terbuat dari plastik atau drum,
tetapi cukup dengan menggali lobang kira-kira satu meter persegi di
area halaman. Setelah lobang tersebut penuh, lalu ditutup kembali dengan
tanah dan daun tersebut akan diproses oleh mikroorganisma alamiah
sehingga kembali menjadi pupuk organik yang menyuburkan tanah. Untuk
sampah yang baru, tinggal dibuat lobang yang lain. Praktis, gampang,
sehat, dan tidak merusak lingkungan.
Sejak
merantau ke Jakarta sekitar 20 tahun terakhir ini, jarang sekali aku
mendengar dan melihat orang menyapu dengan sapu lidi. Maklum saja,
rata-rata rumah orang kota hanya seuprit. Kalaupun memiliki halaman
ukurannya paling 10 sampai 20 meter persegi, itupun sebagian besar sudah
ditutupi semen atau keramik karena dipakai untuk nyimpen mobil. Dan
sebagian lagi telah menjadi ruang bawah tanah untuk menampung residu
pencernaan pemilik rumah.
Guru
saat aku sekolah dulu di SD pernah cerita, bahwa kita harus bekerja
sama. Lihatlah sapu lidi, hanya terbuat dari lidi daun kelapa atau lidi
daun enau yang kalau sendirian tidak memiliki kekuatan. Halus, mudah
dipatahkan, mudah dibengkokan, cenderung tidak berguna. Bahkan tidak
bisa dijadikan tusuk sate ataupun tusuk gigi. Tapi kalau mereka bersatu
atau telah dipersatukan dengan sebuah ikatan yang kokoh. Mereka telah
dibuat sama panjang dan sama arahnya, yaitu kepala di atas dan kaki di
bawah. Yang panjang dipotong sesuai standar. Diikat pada titik yang
sama. Barulah lidi tersebut berubah menjadi alat yang memiliki kekuatan
untuk mengungkit, mengumpulkan, dan mendorong.
Dengan
kekuatan ikatan tersebut, maka seluruh lidi akan bergerak bersama.
Beberapa batang lidi yang terletak di disi depan menyentuh daun yang
gugur di tanah, ditopang dengan kekuatan puluhan batang lidi yang di
tengah. Bila ternyata barisan depan lolos mendorong daun gugur
tersebut, maka barisan lidi tengah ikut menyapu di topang barisan
belakang. Bersatu padu, berirama, satu arah, dan satu tujuan.
Kadang-kadang,
dalam melakukan tugasnya ada lidi yang tersandung sehingga patah. Ada
lidi yang rapuh juga sehingga patah. Ada orang iseng yang mematahkan
beberapa batang lidi. Sehingga lama kelamaan sapu lidi tersebut akan
semakin pendek. Tetapi, selama lidi-lidi yang patah tersebut tidak
dicabut atau dibuang, maka ikatannya akan tetap kokoh. Oleh karena itu,
selama Anda masih membutuhkan sapu lidi tersebut, jangan kau coba-coba
untuk mencabut lidinya. Karena kalau dicabut, maka lama kelamaan
ikatannya akan mengendur, lalu bercerai berai tiada berguna.
Demikian
halnya ketika Anda memimpin sebuah organisasi baik berorientasi profit
maupun non profit. Samakan persepsi anak buah Anda, lalu buatlah ikatan
yang kuat, maka Anda akan mudah menggerakan mereka ke arah yang sama.
Untuk membuat karya besar. Jangan buru-buru menghukum anak buah yang
patah, karena dia patah karena bekerja, patah karena Anda benturkan,
atau mungkin dipatahkan orang lain, saingan Anda misalnya. Ingatlah,
mereka masih sangat berkontribusi dalam memperkokoh ikatan........kecuali kalau memang sudah keterlaluan.
Sekarang silahkan Anda renungkan. Sudahkah Anda membuat sapu lidi ? Atau Anda baru memiliki kumpulan lidi berserakan ?
Jakarta - Padang, 27 Februari 2014
Hasil perenungan oleh-oleh seminar James Bwee.
(salam hangat dari kang sepyan)
Senin, 10 Februari 2014
ULANG TAHUN PERNIKAHAN KE 20
Tidak terasa ternyata aku sudan 20 tahun menikah. Namun malam ulang tahun pernikahan kemaren rasanya lewat begitu saja. Tidak ada kiriman bunga, candle light dinner, liburan berdua saja, kado pakaian dalam, atau hal-hal romantis lainnya. Bukan tidak ingat, aku ingat dan istriku juga "kayanya" inget. Tapi kami semua terlanjur tenggelam dalam derasnya kehidupan dunia. Lebih tepatnya dunia masing-masing.
Aku tenggelam dalam kesibukan melaksanakan "tugas negara" yang tiba-tiba semakin deras membanjir berkejaran dengan musim hujan di Jakarta, menerabas tanggul jam kerja, bahkan sampai warna merah kalender luntur menjadi hitam semua. Istriku juga sibuk disamping masih menjadi aktifis majlis taklim dan koperasi RW, dalam 3 bulan terakhir menambah kesibukan membuka usaha baru. Farin sulungku yang sekarang sekolah ditempat aku dan istriku dulu belajar (menjadi adik angkatanku), walaupun sedang libur semester tetapi tetap tidak dirumah karena ikut kegiatan ekstrakulikuler, belajar menjadi aktifis. Viki anakku yg kedua sekolah boarding maksudnya sekolah berasrama, hanya bisa pulang dua minggu sekali, itupun waktunya dibatasi hanya 9 jam yaitu hari minggu mulai jam 6 pagi dan harus masuk lagi jam 3 sore. Tidak boleh telat semenitpun, atau kena sangsi dua minggu yang akan datang tidak mendapat jatah keluar asrama. Tinggal Rafi anak yang bontot, karena masih SD relatif tidak memiliki kegiatan yang berarti.
Akhirnya aku berembuk sama istriku bahwa hari minggu besok, kebetulan jadwal Viki boleh pulang, kita semua harus bisa kumpul di rumah. Minimal kita bisa makan siang bareng hari H +10 yaitu Minggu tanggal 9 Februari sekeluarga komplit. Tempatnya ditentukan di Raja Sunda, kebetulan ada rumah makan baru buka dan tempatnya cuma sekitar 100 meter dari rumahku. Praktis dan tidak perlu memakan waktu lama perjalanan. Farin udah berjanji akan pulang kalau tidak hari Sabtu sore, mungkin minggu pagi. Viki juga sama mau pulang sendiri tanpa dijemput naik kereta api, jam 6 pagi berangkat dari Serpong. Istriku yang kebetulan harus jaga toko karena pegawai satu-satunya sedang pulang kampung 4 hari, berjanji juga mau menutup tokonya mulai jam 11 sampai jam 2. Tinggal aku....yang walaupun seharusnya hari Minggu pasti libur, tetapi akhir-akhir ini selalu ada "tugas negara" yang harus diselesaikan hari Minggu.
Ternyata memang benar......rencana pengaturan jadwal kerja yang sudah kami susun dengan teman-teman, harus berubah. Tiba-tiba Sabtu pagi jam 8 ketika handphone aku tinggal jogging ke stadion, sudah ada enam buah sms berderet, intinya adalah meminta pekerjaan yang sudah dijadwalkan minggu depan harus sudah selesai sebelum hari Senin. Alamat kacau semua rencana, keluarga protes demikian juga temen-temen di kantor. Padahal sebenernya tanpa tambahan tugas itupun sudah ada jadwal yang harus dikerjakan Sabtu dan Minggu...oooooo......aaaaaaa.....waduh.
Bagaimanapun show must go on. Tanpa kehadiran anak pertamaku karena pagi-pagi terhalang hujan deras di Jatinangor, kami berempat bisa makan bersama. Sedikit terburu-buru karena Viki harus makan sambil nengokin jam terus, maklum waktunya mepet padahal jarak Bekasi ke Serpong cukup jauh. Aku juga makan gak tenang, maklum pikiran inget terus sama "anak-anaku" dikantor yang sedang melakukan "tugas negara" tanpa aku temenin, bisa selesai atau enggak menyedot banjir yang sudah meluber. Seperti siaga 1 melubernya banjir Jakarta yang sudah hampir sampai pintu istana.
Maafkan aku....mudah-mudahan suatu saat nanti musim segera berganti. Kita bisa merayakan kembali sambil menikmati indah dan harumnya bunga di musim semi, dimana aku telah lulus "ujian" dan kembali menjadi manusia seutuhnya. Sekali lagi.....buat semuanya....maafkan aku. Aku cinta kalian.
(salam hangat dari kang sepyan)
Minggu, 02 Februari 2014
WISUDA
Ketika lagi nyari-nyari dokumen di tumpukan
lemari, tiba-tiba aku menemukan 4 lembar teks pidato lama. Awal tahun
2000 saat aku ditunjuk oleh Prof Eko Rektor UNDIP waktu itu, untuk menjadi wakil wisudawan
menyampaikan sambutan. Sengaja aku share, mudah-mudahan berguna bagi
siapa saja yang kebetulan mengalami nasib sepertiku yang tiba-tiba
ditunjuk. Paling tidak bisa dijadikan sebagai salah satu bahan referensi.
Assalau'alaikum wr.wb.
Yang terhormat,
- Bapak Rektor / Ketua Senat Universitas Diponegoro
- Para Pembantu Rektor Universitas Diponegoro
- Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Diponegoro
- Para Dekan di Lingkungan Universitas Diponegoro
- Para Pembantu Dekan, Ketua Jurusan, Dosen dan Karyawan di lingkungan Universitas Diponegoro
- Para Bapak dan Ibu Orang Tua, Suami, dan Isteri Wisudawan/Wisudawati beserta tamu undangan, serta hadirin yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam suasana yang penuh kebahagiaan, pada upacara wisuda pertama tahun 2000 Universitas Diponegoro hari ini. Sungguh suatu kehormatan bagi saya, mewakili teman-teman wisudawan dan wisudawati untuk menyampaikan sambutan di hadapan hadirin sekalian.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan hadirin yang saya hormati,
Acara wisuda merupakan kebanggaan bagi para mahasiswa, dan acara wisuda kali ini merupakan saat yang bersejarah bagi kami, karena kami telah mampu menunjukkan suatu keberhasilan, yaitu berhasil menempuh satu tahapan akademis. Namun kami menyadari bahwa ini bukan merupakan akhir perjuangan, karena legalitas dan pengakuan akademis yang telah kami raih tersebut barulah pada tingkat awal teoritis, sedangkan kemampuan yang sebenarnya masih harus banyak belajar dan belajar terus dari dinamika kehidupan masyarakat. Tapi kami yakin dengan bekal akademis yang telah kami miliki, kami akan mampu memasuki babak baru dalam menjalani kehidupan bermasyarakat secara lebih baik.
Saudaraku, Wisudawan dan Wisudawati yang berbahagia,
Kita mulai memasuki piramida tingkat atas dalam piramida jenjang pendidikan masyarakat Indonesia, marilah kita sama-sama berupaya untuk mampu menjawab tantangan dan tuntutan bangsa, dengan memberikan kontribusi maksimal sesuai dengan kapasitas kita sebagai insan intelektual dan insan pengabdi masyarakat. Mari kita tunjukkan bahwa kita adalah penyandang predikat mahasiswa dalam era reformasi, kita bukan hanya bisa berdemonstrasi menuntut reformasi, tetapi kita mampu melakukan reformasi dalam dunia nyata, sehingga cita-cita bangsa dan masyarakat Indonesia dapat terwujud.
Hadirin yang saya hormati,
Memasuki era milenium ketiga ini, bangsa Indonesia sedang memasuki tahap pemulihan dalam mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kita telah membayar mahal akibat "salah urus" pemerintahan di masa lampau, yaitu dengan penjualan aset-aset BUMN, pembengkakan utang luar negeri, penurunan daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat, bahkan kita telah mulai didikte oleh konsultan-konsultan asing dalam melakukan langkah demi langkah, dan ironisnya konsultan asing tersebut tetap harus kita bayar dengan utang yang kita dapat dari pihak mereka. Guna mencegah terulangnya kembali sejarah orde baru pembangunan kroni di masa lampau, marilah kita sama-sama bertekad untuk menyumbangkan pemikiran dan tenaga. Marilah kita tunjukkan pada almamater, marilah kita tunjukkan pada bangsa, marilah kita tunjukkan pada dunia, bahwa alumni Universitas Diponegoro mampu berkiprah memperbaiki dan membangun bangsa serta mampu merencanakan dan mengisi masa depan secara lebih baik.
Hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, kami mewakili wisudawan dan wisudawati mengucapkan terima kasih kepada segenap sivitas akademika Universitas Diponegoro, yang telah membimbing dan membina kami sehingga kami memiliki bekal dan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan kehidupan. Permohonan maaf kami sampaikan kepada Bapak Rektor, dosen dan seluruh staf pengajar, apabila selama kami menuntut ilmu di Universitas yang kita cintai ini, telah melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, dan juga kami mohon jangan sampai upacara wisuda ini, menyebabkan kami dianggap sebagai "bekas murid" dan Insya Allah kami berjanji tidak akan menganggap Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu staf pengajar sebagai "bekas guru". Bapak dan Ibu tetap guru kami dan Universitas Diponegoro tetap almamater kami.
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu undangan yang berbahagia,
Dalam kesempatan ini pula, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak, Ibu, Suami, Isteri, dan anak-anak tercinta, yang tidak pernah bosan memberikan dorongan semangat dan do'a, sehingga kami mampu menyelesaikan studi ini.
Demikian sambutan kami, atas segala kekurangan kami mohon maaf yang sedalam-dalamnya.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Semarang, 29 Januari 2000
atas nama Wisudawan/wisudawati
Ir. Sepyan Uhyandi, MM
(salam hangat dari kang sepyan)
Assalau'alaikum wr.wb.
Yang terhormat,
- Bapak Rektor / Ketua Senat Universitas Diponegoro
- Para Pembantu Rektor Universitas Diponegoro
- Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Diponegoro
- Para Dekan di Lingkungan Universitas Diponegoro
- Para Pembantu Dekan, Ketua Jurusan, Dosen dan Karyawan di lingkungan Universitas Diponegoro
- Para Bapak dan Ibu Orang Tua, Suami, dan Isteri Wisudawan/Wisudawati beserta tamu undangan, serta hadirin yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam suasana yang penuh kebahagiaan, pada upacara wisuda pertama tahun 2000 Universitas Diponegoro hari ini. Sungguh suatu kehormatan bagi saya, mewakili teman-teman wisudawan dan wisudawati untuk menyampaikan sambutan di hadapan hadirin sekalian.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan hadirin yang saya hormati,
Acara wisuda merupakan kebanggaan bagi para mahasiswa, dan acara wisuda kali ini merupakan saat yang bersejarah bagi kami, karena kami telah mampu menunjukkan suatu keberhasilan, yaitu berhasil menempuh satu tahapan akademis. Namun kami menyadari bahwa ini bukan merupakan akhir perjuangan, karena legalitas dan pengakuan akademis yang telah kami raih tersebut barulah pada tingkat awal teoritis, sedangkan kemampuan yang sebenarnya masih harus banyak belajar dan belajar terus dari dinamika kehidupan masyarakat. Tapi kami yakin dengan bekal akademis yang telah kami miliki, kami akan mampu memasuki babak baru dalam menjalani kehidupan bermasyarakat secara lebih baik.
Saudaraku, Wisudawan dan Wisudawati yang berbahagia,
Kita mulai memasuki piramida tingkat atas dalam piramida jenjang pendidikan masyarakat Indonesia, marilah kita sama-sama berupaya untuk mampu menjawab tantangan dan tuntutan bangsa, dengan memberikan kontribusi maksimal sesuai dengan kapasitas kita sebagai insan intelektual dan insan pengabdi masyarakat. Mari kita tunjukkan bahwa kita adalah penyandang predikat mahasiswa dalam era reformasi, kita bukan hanya bisa berdemonstrasi menuntut reformasi, tetapi kita mampu melakukan reformasi dalam dunia nyata, sehingga cita-cita bangsa dan masyarakat Indonesia dapat terwujud.
Hadirin yang saya hormati,
Memasuki era milenium ketiga ini, bangsa Indonesia sedang memasuki tahap pemulihan dalam mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kita telah membayar mahal akibat "salah urus" pemerintahan di masa lampau, yaitu dengan penjualan aset-aset BUMN, pembengkakan utang luar negeri, penurunan daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat, bahkan kita telah mulai didikte oleh konsultan-konsultan asing dalam melakukan langkah demi langkah, dan ironisnya konsultan asing tersebut tetap harus kita bayar dengan utang yang kita dapat dari pihak mereka. Guna mencegah terulangnya kembali sejarah orde baru pembangunan kroni di masa lampau, marilah kita sama-sama bertekad untuk menyumbangkan pemikiran dan tenaga. Marilah kita tunjukkan pada almamater, marilah kita tunjukkan pada bangsa, marilah kita tunjukkan pada dunia, bahwa alumni Universitas Diponegoro mampu berkiprah memperbaiki dan membangun bangsa serta mampu merencanakan dan mengisi masa depan secara lebih baik.
Hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, kami mewakili wisudawan dan wisudawati mengucapkan terima kasih kepada segenap sivitas akademika Universitas Diponegoro, yang telah membimbing dan membina kami sehingga kami memiliki bekal dan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan kehidupan. Permohonan maaf kami sampaikan kepada Bapak Rektor, dosen dan seluruh staf pengajar, apabila selama kami menuntut ilmu di Universitas yang kita cintai ini, telah melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, dan juga kami mohon jangan sampai upacara wisuda ini, menyebabkan kami dianggap sebagai "bekas murid" dan Insya Allah kami berjanji tidak akan menganggap Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu staf pengajar sebagai "bekas guru". Bapak dan Ibu tetap guru kami dan Universitas Diponegoro tetap almamater kami.
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu undangan yang berbahagia,
Dalam kesempatan ini pula, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak, Ibu, Suami, Isteri, dan anak-anak tercinta, yang tidak pernah bosan memberikan dorongan semangat dan do'a, sehingga kami mampu menyelesaikan studi ini.
Demikian sambutan kami, atas segala kekurangan kami mohon maaf yang sedalam-dalamnya.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Semarang, 29 Januari 2000
atas nama Wisudawan/wisudawati
Ir. Sepyan Uhyandi, MM
(salam hangat dari kang sepyan)
Kamis, 16 Januari 2014
MANUSIA BUMI
Mobil-mobil tiada henti berseliweran di ujung jalan Sudirman. Jalur
lambat kelihatan sangat padat, demikian pula jalur cepat. Beberapa
gerombolan orang yang ada di trotoar, bercampur antara pedagang kaki
lima, calon penumpang, calo atau bahasa keren-nya timer, tukang ojeg,
dan lain-lain. Detilnya tidak terlihat jelas dari tempat aku duduk.
Mobil hanya sebesar kotak korek api. Merk mobil jelas tidak kelihatan,
paling yang bisa di tebak adalah bis, metromini, atau sedan. Terlihat
dari besar dan panjangnya atap mobil. Demikian juga kepala manusia
hanya sebesar pentul korek api. Tidak bisa membedakan kelaminnya apakah
perempuan, lelaki, atau banci. Tidak bisa membedakan profesinya apakah
dia sopir, pegawai, pengamen, pengemis, atau pengusaha. Tidak bisa
melihat raut mukanya apakah sedang sedih, galau, atau gembira. Tidak
bisa melihat apakah mereka sedang kekenyangan atau kelaparan.
Aku berada di lantai 16 atau kira-kira di ketinggian 80 meter. Dinding kananku yang seluruhnya terbuat dari kaca menyuguhkan pemandangan jalan Jendral Sudirman, sehingga aku dengan sangat leluasa memandang hiruk pikuk jalan tersebut sepanjang hari. Udara yang nyaman cenderung dingin, membuatku sering mengenakan jaket. Harum ruangan selalu terjaga dengan dipasangnya alat otomatis yang saban lima menit menyemprotkan cairan harum di setiap sudut. Sangat kontras dengan keadaan di bawah sana. Cahaya matahari terik membakar kulit, mengeluarkan bau 'lanus' kulit dan meningkatkan produksi keringat di ketek. Dicampur dengan debu asap metromini, komplit sudah panas dan bau jalanan menyatu. Membuat pikiran buntu dan hati membatu. Kata film tahun 60-an, kejamnya ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri.
*****
Tumpukan map berisi dokumen-dokumen, foto, denah, narasi hasi analisa dan laporan bertumpuk memenuhi seluruh sisi meja. Diatas map ada dokumen yang berisi ekskutive resume, untuk memudahkan dia membaca keseluruhan berkas tebal. Cukup dengan membaca eksekutive resume yang sekitar 2 - 3 lembar yang telah dibuat oleh staf yang sekolahannya lebih tinggi, maka dia 'merasa' sudah dapat menguasai berkas tersebut. Lalu dia lirik beberapa alternatif usulan keputusan yang juga telah dibuat oleh staf, lalu coret-coret dikit dan tanda-tangan. Tanda-tangan yang bukan tidak mungkin akan mengubah pola hidup orang, anak-anak, keluarga, atau kerabat dekat dari yang namanya tercantum dalam berkas. Yang bahkan dia tidak sempat membukanya.
Begitulah cara eksekutive bekerja mengambil keputusan, efisien dan cepat. Demikian juga para pejabat, baik korporasi maupun pemerintahan. Semakin tinggi jabatan, harus bisa melihat secara global, tidak perlu mengurusi urusan detail dan jelimet. Manajemen modern mengajarkan seperti itu. Pengalaman urusan detail dan jelimet, sudah cukup dialami waktu dahulu meniti karir. Artinya pengalaman masa lalu tersebut, akan menjadi referensi yang dapat diandalkan dalam membuat keputusan saat ini. Hal yang paling penting dalam membuat keputusan adalah harus sesuai aturan serta memiliki dasar logika yang jelas.
*****
Dari lantai 16 aku bisa dengan jelas melihat kepadatan jalan Sudirman. Aku mencoba berimajinasi, apakah mungkin aku bisa mengendalikan sebuah mobil remote sebesar mobil beneran yang sengaja aku simpan di jalan sudirman, tanpa menyenggol mobil yang lain. Apakah mungkin aku dapat memerintah dengan tepat kepada bawahanku yang sedang ikut bergerombol di trotoar, kapan saat yang tepat untuk menyebrang ? Rasanya, kalaupun mungkin atau bisa dengan menggunakan kalkulasi statistik dan probabilitas, hasilnya tidak akan sempurna. Keputusan atau perintah yang sempurna, seharusnya dilakukan melalu pertimbangan logika dan perasaan. Pertimbangan perasaan hanya akan didapat kalau kita ikut terjun ke lokasi, melihat dengan mata sendiri, mendengar dengan telinga sendiri, merasakan panas, angin, apek dengan anggota badan sendiri.
Makanya memang amat sangat pantas kalau kita sebagai objek hasil keputusan, merasakan ada beberapa keputusan yang dirasa janggal dan aneh. Naik turunnya harga gas, dapat dijadikan sebagai salah satu contoh keputusan yang benar secara logika, tetapi kurang pas secara rasa. Kisruh pedagang kaki lima yang tak kunjung selesai, bertambahnya rakyat miskin, kesenjangan pembangunan desa dan kota, impor daging dan kedelai yang terus menerus. Kenapa tidak selesai-selesai ? Mungkin salah satunya, karena keputusan-keputusan yang dibuat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, banyak dilakukan di dalam ruangan yang nyaman. Mungkin si staf yang membuat eksekutive summary memiliki sudut pandang yang kurang pas, sehingga informasi yang dibaca pengambil keputusan juga menjadi bias.
Sangat masuk akal apabila sekarang banyak orang yang berharap pada sosok pejabat yang merakyat. Yang kerjanya lebih banyak di lapangan dari pada di ruangan. Sosok seperti pak Jokowi dan bu Tri Rismaharini Walikota Surabaya di pemerintahan. Sosok seperti pak Jonan PT. KAI dan pak Ismed PT. RNI di korporasi. Hasil kerja mereka terlihat dan terasa. Ciri-ciri mereka hampir sama, berpakaian sederhana, bergaya hidup sederhana, tidak banyak sesumbar, mengerjakan apa yang dia katakan, serta walaupun banyak orang yang 'menggangu' mereka tetap saja fokus mengerjakan pekerjaan utamanya. Sambil bercanda istriku pernah bilang "nanti kalau milih pemimpin jangan cari yang kelimis, karena kerjanya hanya akan memoles-moles biar kelihatan cantik". Kebetulan orang-orang yang aku sebutkan tadi, kayanya tidak pernah masuk ke salon.
Kita adalah manusia bumi. Oleh karena itu kita harus merayap diatas bumi agar kita dapat merasakan, menjaga, dan menguasai bumi. Terlalu banyak di atas awan dan di udara, membuat kita tercerabut dari kehidupan bumi.
(Terinspirasi dari salah satu puisi Kang Miswan Nawawi ketika beliau di Hongkong)
(salam hangat dari kang sepyan)
Aku berada di lantai 16 atau kira-kira di ketinggian 80 meter. Dinding kananku yang seluruhnya terbuat dari kaca menyuguhkan pemandangan jalan Jendral Sudirman, sehingga aku dengan sangat leluasa memandang hiruk pikuk jalan tersebut sepanjang hari. Udara yang nyaman cenderung dingin, membuatku sering mengenakan jaket. Harum ruangan selalu terjaga dengan dipasangnya alat otomatis yang saban lima menit menyemprotkan cairan harum di setiap sudut. Sangat kontras dengan keadaan di bawah sana. Cahaya matahari terik membakar kulit, mengeluarkan bau 'lanus' kulit dan meningkatkan produksi keringat di ketek. Dicampur dengan debu asap metromini, komplit sudah panas dan bau jalanan menyatu. Membuat pikiran buntu dan hati membatu. Kata film tahun 60-an, kejamnya ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri.
*****
Tumpukan map berisi dokumen-dokumen, foto, denah, narasi hasi analisa dan laporan bertumpuk memenuhi seluruh sisi meja. Diatas map ada dokumen yang berisi ekskutive resume, untuk memudahkan dia membaca keseluruhan berkas tebal. Cukup dengan membaca eksekutive resume yang sekitar 2 - 3 lembar yang telah dibuat oleh staf yang sekolahannya lebih tinggi, maka dia 'merasa' sudah dapat menguasai berkas tersebut. Lalu dia lirik beberapa alternatif usulan keputusan yang juga telah dibuat oleh staf, lalu coret-coret dikit dan tanda-tangan. Tanda-tangan yang bukan tidak mungkin akan mengubah pola hidup orang, anak-anak, keluarga, atau kerabat dekat dari yang namanya tercantum dalam berkas. Yang bahkan dia tidak sempat membukanya.
Begitulah cara eksekutive bekerja mengambil keputusan, efisien dan cepat. Demikian juga para pejabat, baik korporasi maupun pemerintahan. Semakin tinggi jabatan, harus bisa melihat secara global, tidak perlu mengurusi urusan detail dan jelimet. Manajemen modern mengajarkan seperti itu. Pengalaman urusan detail dan jelimet, sudah cukup dialami waktu dahulu meniti karir. Artinya pengalaman masa lalu tersebut, akan menjadi referensi yang dapat diandalkan dalam membuat keputusan saat ini. Hal yang paling penting dalam membuat keputusan adalah harus sesuai aturan serta memiliki dasar logika yang jelas.
*****
Dari lantai 16 aku bisa dengan jelas melihat kepadatan jalan Sudirman. Aku mencoba berimajinasi, apakah mungkin aku bisa mengendalikan sebuah mobil remote sebesar mobil beneran yang sengaja aku simpan di jalan sudirman, tanpa menyenggol mobil yang lain. Apakah mungkin aku dapat memerintah dengan tepat kepada bawahanku yang sedang ikut bergerombol di trotoar, kapan saat yang tepat untuk menyebrang ? Rasanya, kalaupun mungkin atau bisa dengan menggunakan kalkulasi statistik dan probabilitas, hasilnya tidak akan sempurna. Keputusan atau perintah yang sempurna, seharusnya dilakukan melalu pertimbangan logika dan perasaan. Pertimbangan perasaan hanya akan didapat kalau kita ikut terjun ke lokasi, melihat dengan mata sendiri, mendengar dengan telinga sendiri, merasakan panas, angin, apek dengan anggota badan sendiri.
Makanya memang amat sangat pantas kalau kita sebagai objek hasil keputusan, merasakan ada beberapa keputusan yang dirasa janggal dan aneh. Naik turunnya harga gas, dapat dijadikan sebagai salah satu contoh keputusan yang benar secara logika, tetapi kurang pas secara rasa. Kisruh pedagang kaki lima yang tak kunjung selesai, bertambahnya rakyat miskin, kesenjangan pembangunan desa dan kota, impor daging dan kedelai yang terus menerus. Kenapa tidak selesai-selesai ? Mungkin salah satunya, karena keputusan-keputusan yang dibuat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, banyak dilakukan di dalam ruangan yang nyaman. Mungkin si staf yang membuat eksekutive summary memiliki sudut pandang yang kurang pas, sehingga informasi yang dibaca pengambil keputusan juga menjadi bias.
Sangat masuk akal apabila sekarang banyak orang yang berharap pada sosok pejabat yang merakyat. Yang kerjanya lebih banyak di lapangan dari pada di ruangan. Sosok seperti pak Jokowi dan bu Tri Rismaharini Walikota Surabaya di pemerintahan. Sosok seperti pak Jonan PT. KAI dan pak Ismed PT. RNI di korporasi. Hasil kerja mereka terlihat dan terasa. Ciri-ciri mereka hampir sama, berpakaian sederhana, bergaya hidup sederhana, tidak banyak sesumbar, mengerjakan apa yang dia katakan, serta walaupun banyak orang yang 'menggangu' mereka tetap saja fokus mengerjakan pekerjaan utamanya. Sambil bercanda istriku pernah bilang "nanti kalau milih pemimpin jangan cari yang kelimis, karena kerjanya hanya akan memoles-moles biar kelihatan cantik". Kebetulan orang-orang yang aku sebutkan tadi, kayanya tidak pernah masuk ke salon.
Kita adalah manusia bumi. Oleh karena itu kita harus merayap diatas bumi agar kita dapat merasakan, menjaga, dan menguasai bumi. Terlalu banyak di atas awan dan di udara, membuat kita tercerabut dari kehidupan bumi.
(Terinspirasi dari salah satu puisi Kang Miswan Nawawi ketika beliau di Hongkong)
(salam hangat dari kang sepyan)
Minggu, 12 Januari 2014
AYO KITA KE BALI !!!
Ini adalah kali kelima aku jalan lagi ke Denpasar, setelah delapan
tahun lalu, yaitu jamannya bom Bali kedua, aku sempat bekerja di
Denpasar hampir 15 bulan. Rasanya telah habis seluruh tempat wisata di
Bali aku jelajahi. Setiap jengkal pasir pantai seperti kuta, legian,
jimbaran, nusa dua, dream land, peti tenget, tanah lot, sampai lovina
telah aku akrabi. Demikian pula wisata gunung dan wisata daerah keramat
seperti besakih, trunyam, bedugul, kintamani, ubud, tirta empul,
sangeh, sampai ke daerah Negara maupun Karang Asem, telah aku datangi.
Jadi setiap datang ke Bali, tidak pernah terpikir olehku untuk membuat
agenda wisata lagi. Berangkat, kerja, langsung balik.
Dalam kedatangan kali ini, ada hal yang sangat berbeda. Dari atas pesawat terihat jembatan panjang berliku-liku di atas laut. Rupanya Bali tengah berbenah membuat jalan Tol di atas laut yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan Benoa, Nusa Dua, serta Denpasar. Bandara juga sedang dirombak total, besar-besaran menjadi bandara modern. Sayang masih dalam masa pembangunan, jadi kami terpaksa harus muter-muter melewati gang-gang untuk dapat masuk atau keluar Bandara.
Keluar bandara Ngurah Rai, aku melihat beberapa perubahan selain pembangunan jalan tol. Rupanya sekarang Denpasar telah memiliki under pass di sekitar patung Dewa Rucci atau yang dahulu di sebut Simpang Siur. Alamat simpang siur bisa hilang kalau begini, karena persimpangan tersebut menjadi tidak siur lagi. Saking berubahnya kondisi di sana, sampai aku kebingungan mencari jalan sunset road. Melewati jalan tol, tadinya aku berharap akan melihat ombak dari atas jembatan. Ternyata entah karena air laut sedang surut atau karena ada perubahan lingkungan. Yang terlihat adalah lumpur warna hitam dibawah jalan tol. Mudah-mudahan bukan karena dibangun jalan tol yang menyebabkan perubahan ekosistem pantai Bali.
*****
Waktu masih menunjukkan pukul 04.45 pagi wib, tapi nampak di luar sudah mulai terang. Karena perbedaan waktu satu jam antara Jakarta dan Denpasar, berarti sudah hampir jam enam pagi di Bali. Aku memang sengaja tidak mengubah jarum jam tangan. Segera aku ganti baju dengan baju olah raga dan jogging ke pantai Kuta. Banyak perubahan di sekitar pantai. Akses yang dahulu tertutup dari garis pantai yang sejajar dengan jalan pantai kuta ke kiri, sekarang telah dibuka, bahkan diberi jogging track. Tampak beberapa bule sedang jogging, dari mulai pinggir hotel Ina di Kuta bisa sampai ke depannya Centro bahkan terus sampai ke pantai depannya hotel kartika plaza. Coca Cola bekerjasama dengan desa Adat Kuta, telah membuka akses tersebut, terlihat dari prasasti yang ditandatangani kedua belah pihak.
Demikian juga ketika sore hari tiba, pantai yang dipenuhi oleh bule berpakaian minimalis, bukan hanya di kuta. Tetapi menyebar tanpa terputus sampai ke legian, terus nyambung ke seminyak. Tempat yang dahulu hanya terbatas sekitar satu kilometer sekarang telah berkembang menjadi hampir lima kilometer. Sebuah kemajuan yang luar biasa yang tentunya sangat menunjang perekonomian masyarakat bali, karena akan menambah jumlah guide, sewa mobil, sewa motor, hotel, tukang pijat, pedagang makanan, pedagang oleh-oleh, pengrajin, tukang tatto, dan lain-lain.
Semakin penasaran dengan kemajuan daerah wisata Bali, maka ketika ada waktu break sore hari, aku minta sopir untuk mengantar ke Garuda Wisnu Kencana, Dreamland, Uluwatu, dan lain-lain. Banyak sekali perubahan. GWK yang dahulu sangat sepi, sekarang telah semakin ramai. Pada sore hari ada pertunjukkan tari kecak dan legong. Sayang waktu luangku tidak terlalu banyak, jadi aku gak sempat menonton tari kecak yang asli dimainkan orang bali. Kalau aku nonton tari sekitar 2 jam, berarti tidak bisa mengunjungi tempat lain. Perbedaan lain di GWK, yang dahulu gratis sekaramg harus bayar tiket masuk, kalau gak salah tarifnya Rp. 50.000,- per orang.
Dreamland yang dahulu hampir 100% berisi bule amat sangat minimalis nongkrong, sekarang bule yang ada hanya satu dua saja. Selebihnya turis domestik, dan kesannya menjadi agak kotor. Untuk sampai ke lokasi pantai, kita diangkut dengan mobil khusus dari pelataran parkir ke bibir jalan menuju pantai. Sebagai imbalannya parkir mobil dikenakan tarif Rp. 15.000,- sekali parkir.
Waktu mau naik ke Uluwatu, sopir memberikan alternatif "Pak, sekarang ada pantai baru yang sangat bagus, namanya pantai Pandawa. Kalau kita ke Uluwatu, maka kita tidak bisa ke Pandawa karena akan terlalu malam". Memang sopir-sopir di Bali, biasa seperti itu merangkap seperti guide. Akhirnya aku setuju untuk mencoba mengunjungi pantai Pandawa yang letaknya balik arah menuju arah nusa dua. Pertimbangan lain selain ingin lihat wisata baru juga biar pulangnya lebih dekat ke Jimbaran. Makan malam di Cafe Menega Jimbaran sambil melihat pesawat landing dan take off, diiringi nyanyian meksikoan dari 6 pengamen dengan alat musik komplit, sudah langsung kebayang lagi. Sejenak melupakan bahwa di Cafe itulah, bom bali dua diledakan.
Jalan mulus beraspal hotmix, selalu begitu di setiap ruas jalan di Bali. Mungkin karena tektur tanah dalamnya berkapur, sehingga tempelan aspal cederung lebih tahan lama. Atau mungkin margin pemborong tidak terlalu banyak dipotong jadi kualitas aspal bisa lebih bagus. Rupanya pantai pandawa adalah pantai yang berada di bawah tebing, dan desa adat disana telah membuka tebing tersebut sehingga mobil bisa memiliki akses masuk ke pantai. Dikiri kanan tampak tebing batu karas hitam berundak-undak dan berkelok-kelok. Nun di depan sana, hamparan laut biru bersih terbentang. Ya Allah.....betapa indahnya ciptaan-Mu. Setengah jam aku menikmati saat-saat matahari terbenam. Memandang laut yang dipenuhi perahu kano. Ombaknya tenang dan dibawahnya batu karang putih bercampur pasir putih. Seperti bermain perahu di kolam renang super besar.
Aku puas-puasin foto-foto, dari berbagai sudut dan berbagai arah. Dan aku setuju kata Wiwit yang ikut seperjalanan denganku, bahwa pemandangan itu tidak bisa dibungkus dibawa pulang. Tetapi harus dinikmati di tempat. Jadi.......ayo kita ke Bali.
(salam hangat dari kang sepyan)
Dalam kedatangan kali ini, ada hal yang sangat berbeda. Dari atas pesawat terihat jembatan panjang berliku-liku di atas laut. Rupanya Bali tengah berbenah membuat jalan Tol di atas laut yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan Benoa, Nusa Dua, serta Denpasar. Bandara juga sedang dirombak total, besar-besaran menjadi bandara modern. Sayang masih dalam masa pembangunan, jadi kami terpaksa harus muter-muter melewati gang-gang untuk dapat masuk atau keluar Bandara.
Keluar bandara Ngurah Rai, aku melihat beberapa perubahan selain pembangunan jalan tol. Rupanya sekarang Denpasar telah memiliki under pass di sekitar patung Dewa Rucci atau yang dahulu di sebut Simpang Siur. Alamat simpang siur bisa hilang kalau begini, karena persimpangan tersebut menjadi tidak siur lagi. Saking berubahnya kondisi di sana, sampai aku kebingungan mencari jalan sunset road. Melewati jalan tol, tadinya aku berharap akan melihat ombak dari atas jembatan. Ternyata entah karena air laut sedang surut atau karena ada perubahan lingkungan. Yang terlihat adalah lumpur warna hitam dibawah jalan tol. Mudah-mudahan bukan karena dibangun jalan tol yang menyebabkan perubahan ekosistem pantai Bali.
*****
Waktu masih menunjukkan pukul 04.45 pagi wib, tapi nampak di luar sudah mulai terang. Karena perbedaan waktu satu jam antara Jakarta dan Denpasar, berarti sudah hampir jam enam pagi di Bali. Aku memang sengaja tidak mengubah jarum jam tangan. Segera aku ganti baju dengan baju olah raga dan jogging ke pantai Kuta. Banyak perubahan di sekitar pantai. Akses yang dahulu tertutup dari garis pantai yang sejajar dengan jalan pantai kuta ke kiri, sekarang telah dibuka, bahkan diberi jogging track. Tampak beberapa bule sedang jogging, dari mulai pinggir hotel Ina di Kuta bisa sampai ke depannya Centro bahkan terus sampai ke pantai depannya hotel kartika plaza. Coca Cola bekerjasama dengan desa Adat Kuta, telah membuka akses tersebut, terlihat dari prasasti yang ditandatangani kedua belah pihak.
Demikian juga ketika sore hari tiba, pantai yang dipenuhi oleh bule berpakaian minimalis, bukan hanya di kuta. Tetapi menyebar tanpa terputus sampai ke legian, terus nyambung ke seminyak. Tempat yang dahulu hanya terbatas sekitar satu kilometer sekarang telah berkembang menjadi hampir lima kilometer. Sebuah kemajuan yang luar biasa yang tentunya sangat menunjang perekonomian masyarakat bali, karena akan menambah jumlah guide, sewa mobil, sewa motor, hotel, tukang pijat, pedagang makanan, pedagang oleh-oleh, pengrajin, tukang tatto, dan lain-lain.
Semakin penasaran dengan kemajuan daerah wisata Bali, maka ketika ada waktu break sore hari, aku minta sopir untuk mengantar ke Garuda Wisnu Kencana, Dreamland, Uluwatu, dan lain-lain. Banyak sekali perubahan. GWK yang dahulu sangat sepi, sekarang telah semakin ramai. Pada sore hari ada pertunjukkan tari kecak dan legong. Sayang waktu luangku tidak terlalu banyak, jadi aku gak sempat menonton tari kecak yang asli dimainkan orang bali. Kalau aku nonton tari sekitar 2 jam, berarti tidak bisa mengunjungi tempat lain. Perbedaan lain di GWK, yang dahulu gratis sekaramg harus bayar tiket masuk, kalau gak salah tarifnya Rp. 50.000,- per orang.
Dreamland yang dahulu hampir 100% berisi bule amat sangat minimalis nongkrong, sekarang bule yang ada hanya satu dua saja. Selebihnya turis domestik, dan kesannya menjadi agak kotor. Untuk sampai ke lokasi pantai, kita diangkut dengan mobil khusus dari pelataran parkir ke bibir jalan menuju pantai. Sebagai imbalannya parkir mobil dikenakan tarif Rp. 15.000,- sekali parkir.
Waktu mau naik ke Uluwatu, sopir memberikan alternatif "Pak, sekarang ada pantai baru yang sangat bagus, namanya pantai Pandawa. Kalau kita ke Uluwatu, maka kita tidak bisa ke Pandawa karena akan terlalu malam". Memang sopir-sopir di Bali, biasa seperti itu merangkap seperti guide. Akhirnya aku setuju untuk mencoba mengunjungi pantai Pandawa yang letaknya balik arah menuju arah nusa dua. Pertimbangan lain selain ingin lihat wisata baru juga biar pulangnya lebih dekat ke Jimbaran. Makan malam di Cafe Menega Jimbaran sambil melihat pesawat landing dan take off, diiringi nyanyian meksikoan dari 6 pengamen dengan alat musik komplit, sudah langsung kebayang lagi. Sejenak melupakan bahwa di Cafe itulah, bom bali dua diledakan.
Jalan mulus beraspal hotmix, selalu begitu di setiap ruas jalan di Bali. Mungkin karena tektur tanah dalamnya berkapur, sehingga tempelan aspal cederung lebih tahan lama. Atau mungkin margin pemborong tidak terlalu banyak dipotong jadi kualitas aspal bisa lebih bagus. Rupanya pantai pandawa adalah pantai yang berada di bawah tebing, dan desa adat disana telah membuka tebing tersebut sehingga mobil bisa memiliki akses masuk ke pantai. Dikiri kanan tampak tebing batu karas hitam berundak-undak dan berkelok-kelok. Nun di depan sana, hamparan laut biru bersih terbentang. Ya Allah.....betapa indahnya ciptaan-Mu. Setengah jam aku menikmati saat-saat matahari terbenam. Memandang laut yang dipenuhi perahu kano. Ombaknya tenang dan dibawahnya batu karang putih bercampur pasir putih. Seperti bermain perahu di kolam renang super besar.
Aku puas-puasin foto-foto, dari berbagai sudut dan berbagai arah. Dan aku setuju kata Wiwit yang ikut seperjalanan denganku, bahwa pemandangan itu tidak bisa dibungkus dibawa pulang. Tetapi harus dinikmati di tempat. Jadi.......ayo kita ke Bali.
(salam hangat dari kang sepyan)
Langganan:
Postingan (Atom)