Kamis, 24 Juli 2014

LEBARAN........SELAMAT TINGGAL RAMADHAN

Dengan keterbatasan cara berfikirku waktu itu, aku suka heran kalau ada Ustad yang bilang bahwa kita harus bergembira saat  datangnya bulan Ramadhan, dan kita harus bersedih ketika bulan Ramadhan akan berakhir.  Lalu disampaikannya ayat-ayat dan hadits yang mengabarkan keutamaan bulan Ramadhan dan sang Ustad biasanya menutup dengan doa meminta agar umur kita dipanjangkan sehingga bisa sampai ke bulan Ramadhan yang akan datang.  Jelas aku ikut berdoa dengan khusuk dan meng-amin-kan sepenuh hati untuk do’a minta dipanjangkan usia tersebut.  Tapi untuk urusan bergembira menyambut Ramadhan ?  Bersedih bila Ramadhan berkahir ?

Bukankah selama bulan Ramadhan aku harus berpuasa, menahan lapar dan dahaga, mulai waktu imsyak sampai waktu maghrib.  Padahal di sisi lain aku masih tetap dituntut untuk bekerja seperti biasa ?  Bukankah selama bulan Ramadahan aku harus makan sahur, sehingga harus bangun pagi-pagi,  padahal tidur dini hari antara jam tiga sampai jam empat adalah waktu terlelap dalam tidurku, sehingga aku menjadi kehilangan waktu tidur paling tidak satu sampai dua jam jam setiap malam ?  Bukankah setiap malam aku diharuskan sholat tarawih dan sholat witir di mesjid serta mendengarkan ceramah  yang menyita waktu untuk istirahat di rumah sekitar satu sampai dua jam ? Bukankah kita harus bergembira kalau menyambut Ramadhan, karena itulah hari raya, hari kemenangan, hari dimana kita terbebas dari harus berpuasa, hari kita kembali ke fitri tidak memiliki dosa bagai bayi yang baru lahir ? Beberapa pertanyaan negative lainnya kadang terus berkecamuk di keterbatasan otakku. Memprotes tausiyah yang disampaikan pak Ustadz.

Namun syukurlah, masih ada bagian otak lainnya yang mendengarkan kata hati, bahwa tidak mungkin apa yang disampaikan dan diajarkan Qur’an dan hadist tidak mengandung makna kebenaran hakiki.  Beberapa tahun belakangan ini aku mencoba untuk ‘pura-pura’ gembira bila akan datang bulan Ramadhan dan ‘pura-pura’ sedih apabila bulan Ramadhan akan segera berakhir.  Awal-awal Ramadhan suasana kegembiraan itu dapat dibangun, terutama dengan penambahan variasi menu makanan sahur dan berbuka, serta ditunjang masih memiliki cadangan energy sehingga belum ada gangguan secara fisik. 

Tetapi menjelang tanggal belasan awal, akumulasi kekurangan tidur mulai menganggu.  Sehingga kembali lagi ke pertanyaan, apanya yang harus aku gembirai dari bulan Ramadhan ?  Semakin bertambah hari, tanggal dua puluhan, semakin bertambah keinginan untuk segera menyudahi bulan Ramadhan.  Seperti orang berlari yang telah melihat garis finish.  Seperti orang yang kehausan di padang pasir melihat oase.  Apalagi THR telah dibayar perusahaan, baju baru telah dibeli, dan kendaraan untuk mudik telah siap. 

Menjelang akhir Ramadhan, suara pak Ustadz hanya lamat-lamat terdengar dia menyeru bahwa 10 hari terakhir adalah untuk ‘meminta pembebasan dari apa neraka’, 10 hari terakhir adalah akan datang malam lailatul qodar yang lebih baik dari seribu bulan.  Namun aku, lebih sibuk mengurus izin cuti, merancang acara di hari lebaran, merancang rute perjalanan mudik, dan merancang rencana reuni dengan teman SD, teman SMP, serta teman SMA di kampung.  Tarawih di mesjid telah berganti menjadi belanja di mal.  Tadarus al Qur’an telah berganti dengan mengamati arus mudik di TV.

Ya Allah…..betapa kerasnya hati ini.  Ya Latif…...Engkau yang Maha Lembut, tolong lembutkan hati ini, karena hanya dengan kelembutan hatilah aku bisa menerima kebenaran ajaran-Mu, dan hanya dengan melaksanakan ajaran-Mu, aku bisa selamat di dunia dan di akhirat. 

Hari ini tanggal 26 Ramadhan ya Allah…Ramadhan sudah dipenghujungnya…..tapi aku belum banyak mengisinya dengan amalan-amalan yang berkualitas.  Tadarusku masih tidak tartil dan aku hanya membaca tanpa mengetahui mak’nanya.  Puasaku baru sebatas tidak makan dan minum, karena  mataku masih senang melihat keindahan dunia yang melintas, mulutku masih sering berghibah, telingaku masih tajam mendengar gossip miring, apalagi Ramadhan tahun ini berbarengan dengan Pilpres, demikian juga hatiku kadang masih berprasangka.  Tarawihku, Tahajudku, rasanya masih jauh dari sempurna.  Keinginan agar sholat lebih cepat selesai tidak bisa aku hilangkan.  Menggerutu dalam hati karena imam membaca al-Fatihah berlambat-lambat.  Zakatku masih aku hitung-hitung dengan sangat cermat.  Infak-ku masih tetap aku ingat-ingat.  Kesombonganku, masih belum terkikis dengan hikmah melakukan ibadah puasa yaitu merasakan bagaimana rasanya orang-orang dhuafa yang terpaksa harus menahan lapar karena tidak memiliki makanan.  Nafsu duniaku masih belum bisa benar-benar aku tundukkan.  Dengan pola pikir dan pola tindak seperti ini, apakah aku pantas untuk minta ridho-MU ?  Padahal hanya dengan ridho-Mu aku bisa meraih surga yang Engkau janjikan. 

Tiba-tiba penglihatanku jadi buram, area sekitar hidung dan mata terasa memanas, sehingga cairan-cairan beku  yang ada disekitar hidung dan mata meleleh.  Ya Allah…..aku menangis, aku menyesal.  Ya Allah, jangan kau akhiri Ramadhan ini.  Beri aku kesempatan untuk berbuat lebih baik, mengisi Ramadhan dengan kegiatan ibadah yang berkualitas.  Ya Allah…..dengan segenap kekurangan ibadahku, kumohon Engkau dapat menerima dan menyempurnakannya.  Ya Allah sampaikanlah aku ke Ramadahan yang akan datang.  Berilah aku petunjuk sehingga aku dapat beribadah  mengisi Ramadhan dengan lebih baik.  Ya Allah…aku hanya menginginkan ridho-Mu.  Aamiiiin.


(salam hangat dari kang sepyan)

Jumat, 11 April 2014

BETULKAH INI BUDAYA MEREKA ?

Sejak awal Februari kemaren, untuk alasan penyegaran, aku diberi wilayah kerja baru. Tapi karena ceritera ini agak berbau sara, maka memang sebaiknya aku tidak perlu katakan wilayah propinsi mana, pokoknya masih di Indonesia tercinta.

Hampir tiap bulan aku memiliki jadwal untuk berkunjung ke seluruh wilayah kerja yang telah ditetapkan tersebut, bahkan dalam keadaan tertentu bisa sebulan dua kali ke masing-masing wilayah.  Tiap naik pesawat baik mau berangkat ataupun balik khusus ke daerah ini terasa sekali perbedaannya. Rasanya pasti bising dan kesannya penuh. Rata-rata penumpang membawa kerentilan bawaan yang cukup banyak, kadang-kadang hanya dibungkus kantong keresek Matahari atau dari pasar swalayan lain. Tapi yang mebuat bising adalah suara rebutan tempat duduk. Salah mengambil pintu masuk, yaitu penumpang dengan tempat duduk didepan masuknya dari pintu belakang.  Ada lagi penumpang yang tempat duduknya di belakang masuk dari pintu depan. Aku perhatikan pramugari biasa-biasa saja melihat hal ini, bahkan ketika ada yang rebutan tempat dudukpun dia cuekin. Mungkin karena saking biasanya.....'agak' sulit diatur.

Biasanya aku berangkat dan pulang sama beberapa teman, dan biasanya juga aku masuk naik pesawat duluan, sehingga bisa segera menyimpan tas di atas kabin dan terhindar dari serobotan tempat duduk karena tempat duduk rombongan kami satu blok atau satu baris.

Namun waktu pulang hari ini, aku pulang lebih cepat dibanding temen lainnya, jadi pulang sendiri. Terus kebetulan  juga diberi titipan oleh-oleh satu kardus. Jadi biar gak repot aku masukan saja koper dan kardus tersebut ke bagasi. Sehingga aku melenggang cukup dengan membawa tas kecil berisi dompet dan alat komunikasi. Seperti biasa  malam sebelum keberangkatan aku sudah memilih tempat duduk di nomor 6 D.  Aku memang sukanya didepan karena kalau di belakang rasanya goyangannya lebih besar.  Sedangkan pemilihan kursi urutan D karena aku suka di lorong atau di gang. Paling tidak, sebelah badanku masih longgar tidak dekat sekali dengan penumpang lain. Kalau di sebelah jendela, terus terang suka agak-agak ngeri kalau melihat pesawat mau menembus awan tebal.

Terlambat 10 menit dari waktu boarding yang di jadwalkan ada pengumuman bahwa penumpang yang akan ikut penerbangan agar masuk ruang tunggu. Tapi rupanya pengumuman tersebut ditanggapi lain, bukan hanya masuk ruang tunggu, tetapi para calon penumang tampak hampir seluruhnya berdiri di pintu keberangkatan bergerombol. Males rasanya aku ikutan berdiri nggak jelas, mendingan aku terusin duduk baca koran. Sampai pengumuman di panggil masuk pesawat juga aku tetap tenang saja duduk. Toh aku gak bawa apa-apa, jadi tidak perlu ada yang diperebutkan. Setelah antrian hampir habis  baru aku masuk pesawat.

Begitu sampai ke tempat duduk, nampak nomor 6.F sudah ada yang ngisi dan di tempat duduku nomor 6.D sudah nemplok perempuan emak-emak usia 40-an dengan rambut sebahu, pake celana jin dan kaos putih bermotif bunga-bunga kecil warna hitam, serta menggunakan jaket rajutan warna merah hati dan memegang tas tangan besar warna merah cabe.

"Bu..! ibu tempat duduknya nomor berapa ?" tanyaku baik-baik.  Kemudian ibu itu merespon dengan memiringkan badang menghadap gang dan mengeluarkan kedua belah kakinya. Seolah-olah menyuruh aku masuk menempati nomor 6.E. Tempat duduk di tengah yang paling aku hindari karena terjepit kiri dan kanan.

"Bu...! Ibu tempat duduknya nomor berapa ? Karena kalau 6.D itu tempat duduk saya". Demikian kataku agak tegas.  Rupanya si ibu bukannya mengalah, malahan dia menjawab lebih keras "Sudahlah sama saja.  Lagian aku khan punya penyakit diabetes, jadi harus sering bolak-balik ke kamar mandi".

Karena aku agak kesel, aku mencoba berusaha untuk menjelaskan bahwa aku mendapat tempat duduk tersebut karena hasil usaha, malam-malam melakukan web chek in. Terus aku ngedumel tapi hanya dalam hati, aku bilang bahwa seharusnya urusan diabetes dia ngomong saat chek in, bukan nyerobot tempat orang lain.  Dan si ibu aku lihat, karena gak mau dengar, tetap keukeuh gak mau bergeser tempat duduk sambil nyerocos.

Aku melirik, tampak beberapa orang yang duduk di deretan bangku 5 dan 7 mendongakan kepala melihat ke arahku. Dari sorot matanya, aku merasa mereka semua menyalahkanku. Mungkin mereka berkata "kok gak mau ngalah banget sih ini orang, sama orang sakit ? sama perempuan lagi",  "kok yang begitu aja diributkan".  Rasanya dunia menjadi kebalik, si ibu itu dianggap benar  dan aku dianggap bersalah. Hehehe.....kena juga kejadian ini padaku, yang biasanya aku hanya melihat beberapa kali orang lain diperlakukan seperti aku saat ini.

Dari pada tambah malu, langsung saja aku masuk dan duduk di nomor 6.E. Mataku aku pejamkan, biar segera melupakan kekesalan tadi.  Sambil aku ngomong dalam hati, akan aku hitung, sampai berapa kali dia akan bolak-balik kamar mandi.  Sambil aku merenung, apakah ini karena budaya mereka ? Mudah-mudahan bukan.....ini dapat terjadi dalam perjalanan kemana saja.  Aku juga merenung, memang aku yang salah, terlalu memikirkan ego sendiri, kurang mau berbagi. Ya Allah, terima kasih, aku telah diberikan pelajaran hari ini tentang berbagi dan tentang kerendahan hati.

Terakhir......mau tahu berapa kali ibu sebelah ke kamar mandi ? Satu kali. Mudah-mudahan beliau segera diberi kesembuhan, diangkat penyakitnya. Amin.

(salam hangat dari kang sepyan)

Senin, 07 April 2014

AKU INGIN SHOLAT

Tiap hari bolak-balik Bekasi Jakarta pada saat jam padat, kalau dipikir-pikir sungguh melelahkan.  Tapi memang bukan untuk dipikir, tetapi untuk dijalani.  Mencoba menggunakan berbagai moda transportasi mulai dari mobil sendiri.....ya...ampuuunn, berangkat teng habis sholat subuh dari rumah sekitar jam 5.15 untuk mencapai pintu tol Bekasi barat yang berjarak 2 km saja sudah hampir jam 6.00.  Praktis selama setengah jam berebutan, umpel-umpelan merayap mulai depan Giant, masuk kolong putaran, hingga bisa bayar tol.  Belum lagi di jalan tol, bukan lagi jalan bebas hambatan, karena terus merayap tanpa henti sampai Jakarta. Waktu tempuh sampai di kantor hampir 2 jam dengan tingkat stres level 9 dari skala 10.

Moda transportasi Bis Damri ataupun APTB, tetap lambat karena tetap tidak bisa menghindari jalan umum.  Yang terlanjur sangat padat.  Orang pintar sudah menghitung adanya gap antara penambahan jalan dan penambahan kendaraan.  Tetapi orang pintar juga tidak henti-hentinya memberi ijin penjualan kendaraan, memberi ijin nomor kendaraan bahkan untuk kendaraan yang telah akil balig.  Sehingga terasa sekali bedanya kepadatan lalu lintas dari tahun ke tahun. Tapi sudahlah, ini khan pertanda meningkatnya kesejahteraan.

Akhirnya pilihan yang terbaik diantara yang semuanya kurang menyenangkan, ya naik commuter line.  Sejak dipimpin pak Jonan PT. KAI memang banyak melakukan perubahan, termasuk menghilangkan kereta ekonomi, karcis berkartu, disediakan WC, dll. Sangat brilian meningkatkan pendapatan KAI, jumlah penumpang meningkat drastis dan semuanya bayar, walaupun disisi lain aku harus rela umpel-umpelan, tidak pernah dapat tempat duduk, didorong, digencet serta beradu napas......hehehe kadang-kadang bersebelahan dengan orang yang jarang mandi, jarang ganti baju, dan jarang gosok gigi.

Pulang kantor teeeeettt sih jam 16.30, tapi mana berani pulang pas jam kantor, nanti dibilang apa kata dunia, dibilang kurang dedikasi, dibilang itung-itungan, dan stigma negatif lainnya. Yang cocok itu pulang jam 17.30. Pantes deh, kita lebihin kerja satu jam itung-itung mengganti waktu kerja seharusnya yang kita pake untuk melamun, buka-buka internet, atau ngerumpi.  Kebetulan juga sekitar jam 17.40 ada kereta yang ke Mangarai dan selanjutnya di Mangarai ikut kereta yang dari Kota ke Bekasi.  Masalahnya transit di Mangarai menjadi "horor" karena berjubelnya calon penumpang tidak sebanding dengan kapasitas angkut kereta. Walaupun sudah berhimpitan kaya ikan teri dalam toples.

Sebetulnya ada kereta yang jurusan Mangarai ke Bekasi jam 18.02, namun rasanya lebin banyak dibatalkan jadwal tersebut dibanding berangkat.  Ada-ada saja alasan anak buah pak Jonan, mengalami gangguan lah, ada kerusakan lah, masuk Depo lah, dll. Jadi biasanya di Mangarai bisa nunggu sekitar setengah jam. Akibatnya sampai ke rumah pas adzan Isya. Loh....kapan sholat Magribnya ?

Beberapa kali, aku mencoba untuk sholat Magrib dahulu di kantor, jadi pulang kira-kira jam 18.30.  Tapi ampun deh, tambah malem bukannya tambah sepi orang, malah tambah penuh.  Jadinya perjalanan sangat lambat, sampai di rumah hampir jam sembilan malam.  Mandi, sholat isya  tidur, bangun lagi, sholat subuh, lalu berangkat lagi ke kantor. Benar-benar pulang cuma mau numpang tidur.  Rasanya enggak sehat hidup rutin seperti itu.  Jadi pilihan pulang jam 17.30 agak lebih manusiawi.  Masih memiliki waktu sekitar 90 menit untuk membantu anaku ngerjakan PR, mendengarkan cerita istriku, menonton acara D'terong, dll.  Tapi masalahnya, sholat magrib dimana ?

Di statsiun Mangarai memang ada Mesjid terletak di pojok dekat WC dengan ukuran sekitar 4 x 6 meter ditambah emperannya sekitar 90 centimeter.  Tapi dengan waktu Magrib yang cuma sedikit, maka tempat tersebut menjadi sangat kecil dibandingkan dengan jumlah orang yang ada.  Karpet hijaunya sungguh kotor, berbau dan sudah bercampur debu.  Kalau kita sujud disana, maka akan menempel beberapa kerikil dk kening.  Biasanya pas waktu magrib akan ada dua imam  yaitu imam yang di dalam dan imam yang di emperan.  Imam yang diemperan mengimami sekitar 6 orang yang berbaris dua dua, di ubin kramik warna putih. Diluar orang yang sholat berjubel orang yang ngantri ambil air wudlu dan orang yang ngantri masuk mesjid.  Tampak orang-orang sholeh dan sholehah itu tabah menerima kenyataan yang harus dihadapi, sambil telinga waspada mendengar pengumuman kereta yang dinantikan sedang tertahan di sinyal masuk statsiun mana.

Ya Allah....aku ingin sholat.

Mudah-mudahan ajaran guru ngajiku yang menyebutkan bahwa dalam keadaan seperti itu, sholat Magribnya boleh di 'jama dengan sholat Isya setelah sampai di rumah, adalah benar.  Mudah-mudahan ada kekuatan yang menggerakan sehingga di tempat-tempat umum harus menyediaka Mesjid, sehingga aku bisa sholat tepat waktu dan berjamaah. Tidak harus nunggu pensiun.  Mudah-mudahan pak Jonan baca blogku lalu membangun mesjid yang besar di Mangarai.

Ya Allah........aku ingin sholat.

(salam hangat dari kang sepyan)

Senin, 10 Maret 2014

SAPU LIDI

Kroessssseeekkk, srrreeeeeekkk, srrrreeeeeekkk, kroesssseeeeekkkk, aku dengar suara berirama di halaman belakang, ketika aku asik menonton TV di beranda rumah mertua sambil menikmati "sorabi haneut" dan "goreng bala-bala".  Menu wajib setiap pagi, bila kami sekeluarga pulang kampung liburan.  

Kroesssssseeeekkkk, sssrrrreeeeeeeekkkk, ssrrrrrreeeeeekkkk, kroesssssseeeeekkkk, demikian terus bunyinya tiada henti. Ibu mertuaku sedang menyapu halaman belakang rumah yang banyak ditumbuhi pohon cengkeh yang umurnya sudah puluhan tahun.  Setiap hari, setiap malam, daunnya berguguran. Kalau tidak di sapu maka halaman belakang rumah bisa menjadi seperti hutan.  Daun-daun yang berserakan tersebut disapu oleh sapu lidi yang digerakan ke arah tertentu, sehingga berkumpul, menggunung, lalu dimasukan ke dalam tempat sampah.  Tempat sampahnya sendiri bukan terbuat dari plastik atau drum, tetapi cukup dengan menggali lobang kira-kira satu meter persegi di area halaman. Setelah lobang tersebut penuh, lalu ditutup kembali dengan tanah dan daun tersebut akan diproses oleh mikroorganisma alamiah sehingga kembali menjadi pupuk organik yang menyuburkan tanah. Untuk sampah yang baru, tinggal dibuat lobang yang lain. Praktis, gampang, sehat, dan tidak merusak lingkungan.

Sejak merantau ke Jakarta sekitar 20 tahun terakhir ini, jarang sekali aku mendengar dan melihat orang menyapu dengan sapu lidi.  Maklum saja, rata-rata rumah orang kota hanya seuprit.  Kalaupun memiliki halaman ukurannya paling 10 sampai 20 meter persegi, itupun sebagian besar sudah ditutupi semen atau keramik karena dipakai untuk nyimpen mobil. Dan sebagian lagi telah menjadi ruang bawah tanah untuk menampung residu pencernaan pemilik rumah.

Guru saat aku sekolah dulu di SD pernah cerita, bahwa kita harus bekerja sama. Lihatlah sapu lidi, hanya terbuat dari lidi daun kelapa atau lidi daun enau yang kalau sendirian tidak memiliki kekuatan. Halus, mudah dipatahkan, mudah dibengkokan, cenderung tidak berguna. Bahkan tidak bisa dijadikan tusuk sate ataupun tusuk gigi. Tapi kalau mereka bersatu atau telah dipersatukan dengan sebuah ikatan yang kokoh.  Mereka telah dibuat sama panjang dan sama arahnya, yaitu kepala di atas dan kaki di bawah. Yang panjang dipotong sesuai standar.  Diikat pada titik yang sama. Barulah lidi tersebut berubah menjadi alat yang memiliki kekuatan untuk mengungkit, mengumpulkan, dan mendorong.

Dengan kekuatan ikatan tersebut, maka seluruh lidi akan bergerak bersama. Beberapa batang lidi yang terletak di disi depan menyentuh daun yang gugur di tanah, ditopang dengan kekuatan puluhan batang lidi yang di tengah.  Bila ternyata barisan depan lolos mendorong daun gugur tersebut, maka barisan lidi tengah ikut menyapu di topang barisan belakang. Bersatu padu, berirama, satu arah, dan satu tujuan.

Kadang-kadang, dalam melakukan tugasnya ada lidi yang tersandung sehingga patah.  Ada lidi yang rapuh juga sehingga patah. Ada orang iseng yang mematahkan beberapa batang lidi.  Sehingga lama kelamaan sapu lidi tersebut akan semakin pendek.  Tetapi, selama lidi-lidi yang patah tersebut tidak dicabut atau dibuang, maka ikatannya akan tetap kokoh.  Oleh karena itu, selama Anda masih membutuhkan sapu lidi tersebut, jangan kau coba-coba untuk mencabut lidinya. Karena kalau dicabut, maka lama kelamaan ikatannya akan mengendur, lalu bercerai berai tiada berguna.

Demikian halnya ketika Anda memimpin sebuah organisasi baik berorientasi profit maupun non profit.  Samakan persepsi anak buah Anda, lalu buatlah ikatan yang kuat, maka Anda akan mudah menggerakan mereka ke arah yang sama.  Untuk membuat karya besar.  Jangan buru-buru menghukum anak buah yang patah, karena dia patah karena bekerja, patah karena Anda benturkan, atau mungkin dipatahkan orang lain, saingan Anda misalnya. Ingatlah, mereka masih sangat berkontribusi dalam memperkokoh ikatan........kecuali kalau memang sudah keterlaluan.

Sekarang silahkan Anda renungkan. Sudahkah Anda membuat sapu lidi ? Atau Anda baru memiliki kumpulan lidi berserakan ?

Jakarta - Padang, 27 Februari 2014
Hasil perenungan oleh-oleh seminar James Bwee.

 (salam hangat dari kang sepyan)

Senin, 10 Februari 2014

ULANG TAHUN PERNIKAHAN KE 20

Tidak terasa ternyata aku sudan 20 tahun menikah.  Namun malam ulang tahun pernikahan kemaren rasanya lewat begitu saja.  Tidak ada kiriman bunga, candle light dinner, liburan berdua saja, kado pakaian dalam, atau hal-hal romantis lainnya.  Bukan tidak ingat,  aku ingat dan istriku juga "kayanya" inget.  Tapi kami semua terlanjur tenggelam dalam derasnya kehidupan dunia. Lebih tepatnya dunia masing-masing.  

Aku tenggelam dalam kesibukan melaksanakan "tugas negara" yang tiba-tiba semakin deras membanjir berkejaran dengan musim hujan di Jakarta, menerabas tanggul jam kerja, bahkan sampai warna merah kalender luntur menjadi hitam semua. Istriku juga sibuk disamping masih menjadi aktifis majlis taklim dan koperasi RW, dalam 3 bulan terakhir menambah kesibukan membuka usaha baru.  Farin sulungku yang sekarang sekolah ditempat aku dan istriku dulu belajar (menjadi adik angkatanku), walaupun sedang libur semester tetapi tetap tidak dirumah karena ikut kegiatan ekstrakulikuler, belajar menjadi aktifis.  Viki anakku yg kedua sekolah boarding maksudnya sekolah berasrama, hanya bisa pulang dua minggu sekali, itupun waktunya dibatasi hanya 9 jam yaitu hari minggu mulai jam 6 pagi dan harus masuk lagi jam 3 sore.  Tidak boleh telat semenitpun, atau kena sangsi dua minggu yang akan datang tidak mendapat jatah keluar asrama. Tinggal Rafi anak yang bontot, karena masih SD relatif tidak memiliki kegiatan yang berarti.

Akhirnya aku berembuk sama istriku bahwa hari minggu besok, kebetulan jadwal Viki boleh pulang, kita semua harus bisa kumpul di rumah.  Minimal kita bisa makan siang bareng hari H +10 yaitu Minggu tanggal 9 Februari sekeluarga komplit.  Tempatnya ditentukan di Raja Sunda, kebetulan ada rumah makan baru buka dan tempatnya cuma sekitar 100 meter dari rumahku.  Praktis dan tidak perlu memakan waktu lama perjalanan.  Farin udah berjanji akan pulang kalau tidak hari Sabtu sore, mungkin minggu pagi.  Viki juga sama mau pulang sendiri tanpa dijemput naik kereta api, jam 6 pagi berangkat dari Serpong.  Istriku yang kebetulan harus jaga toko karena pegawai satu-satunya sedang pulang kampung 4 hari, berjanji juga mau menutup tokonya mulai jam 11 sampai jam 2.  Tinggal aku....yang walaupun seharusnya hari Minggu pasti libur, tetapi akhir-akhir ini selalu ada "tugas negara" yang harus diselesaikan hari Minggu.

Ternyata memang benar......rencana pengaturan jadwal kerja yang sudah kami susun dengan teman-teman, harus berubah.   Tiba-tiba Sabtu pagi jam 8 ketika handphone aku tinggal jogging ke stadion, sudah ada enam buah sms berderet, intinya adalah meminta pekerjaan yang sudah dijadwalkan minggu depan harus sudah selesai sebelum hari Senin.  Alamat kacau semua rencana, keluarga protes demikian juga temen-temen di kantor.  Padahal sebenernya tanpa tambahan tugas itupun sudah ada jadwal yang harus dikerjakan Sabtu dan Minggu...oooooo......aaaaaaa.....waduh.

Bagaimanapun show must go on. Tanpa kehadiran anak pertamaku karena pagi-pagi terhalang hujan deras di Jatinangor, kami berempat bisa makan bersama.  Sedikit terburu-buru karena Viki harus makan sambil nengokin jam terus, maklum waktunya mepet padahal jarak Bekasi ke Serpong cukup jauh.  Aku juga makan gak tenang, maklum pikiran inget terus sama "anak-anaku" dikantor yang sedang melakukan "tugas negara" tanpa aku temenin, bisa selesai atau enggak menyedot banjir yang sudah meluber.  Seperti siaga 1 melubernya banjir Jakarta yang sudah hampir sampai pintu istana.

Maafkan aku....mudah-mudahan suatu saat nanti musim segera berganti.  Kita bisa merayakan kembali sambil menikmati indah dan harumnya bunga di musim semi, dimana aku telah lulus "ujian" dan kembali menjadi manusia seutuhnya.  Sekali lagi.....buat semuanya....maafkan aku.  Aku cinta kalian.
(salam hangat dari kang sepyan)

Minggu, 02 Februari 2014

WISUDA

Ketika lagi nyari-nyari dokumen di tumpukan lemari, tiba-tiba aku menemukan 4 lembar teks pidato lama.  Awal tahun 2000 saat aku ditunjuk oleh Prof Eko Rektor UNDIP waktu itu, untuk menjadi wakil wisudawan menyampaikan sambutan.  Sengaja aku share, mudah-mudahan berguna bagi siapa saja yang kebetulan mengalami nasib sepertiku yang tiba-tiba ditunjuk.   Paling tidak bisa dijadikan sebagai salah satu bahan referensi.

Assalau'alaikum wr.wb.

Yang terhormat,
- Bapak Rektor / Ketua Senat Universitas Diponegoro
- Para Pembantu Rektor Universitas Diponegoro
- Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Diponegoro
- Para Dekan di Lingkungan Universitas Diponegoro
- Para Pembantu Dekan, Ketua Jurusan, Dosen dan Karyawan di lingkungan Universitas Diponegoro
- Para Bapak dan Ibu Orang Tua, Suami, dan Isteri Wisudawan/Wisudawati beserta tamu undangan, serta hadirin yang berbahagia.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam suasana yang penuh kebahagiaan, pada upacara wisuda pertama tahun 2000 Universitas Diponegoro hari ini.  Sungguh suatu kehormatan bagi saya, mewakili teman-teman wisudawan dan wisudawati untuk menyampaikan sambutan di hadapan hadirin sekalian.

Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan hadirin yang saya hormati,
Acara wisuda merupakan kebanggaan bagi para mahasiswa, dan acara wisuda kali ini merupakan saat yang bersejarah bagi kami, karena kami telah mampu menunjukkan suatu keberhasilan, yaitu berhasil menempuh satu tahapan akademis.  Namun kami menyadari bahwa ini bukan merupakan akhir perjuangan, karena legalitas dan pengakuan akademis yang telah kami raih tersebut barulah pada tingkat awal teoritis, sedangkan kemampuan yang sebenarnya masih harus banyak belajar dan belajar terus dari dinamika kehidupan masyarakat.  Tapi kami yakin dengan bekal akademis yang telah kami miliki, kami akan mampu memasuki babak baru dalam menjalani kehidupan bermasyarakat secara lebih baik.

Saudaraku, Wisudawan dan Wisudawati yang berbahagia,
Kita mulai memasuki piramida tingkat atas dalam piramida jenjang pendidikan masyarakat Indonesia, marilah kita sama-sama berupaya untuk mampu menjawab tantangan dan tuntutan bangsa, dengan memberikan kontribusi maksimal sesuai dengan kapasitas kita sebagai insan intelektual dan insan pengabdi masyarakat.  Mari kita tunjukkan bahwa kita adalah penyandang predikat mahasiswa dalam era reformasi, kita bukan hanya bisa berdemonstrasi menuntut reformasi, tetapi kita mampu melakukan reformasi dalam dunia nyata, sehingga cita-cita bangsa dan masyarakat Indonesia dapat terwujud.

Hadirin yang saya hormati,
Memasuki era milenium ketiga ini, bangsa Indonesia sedang memasuki tahap pemulihan dalam mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan.  Kita telah membayar mahal akibat "salah urus" pemerintahan di masa lampau, yaitu dengan penjualan aset-aset BUMN, pembengkakan utang luar negeri, penurunan daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat, bahkan kita telah mulai didikte oleh konsultan-konsultan asing dalam melakukan langkah demi langkah, dan ironisnya konsultan asing tersebut tetap harus kita bayar dengan utang yang kita dapat dari pihak mereka.  Guna mencegah terulangnya kembali sejarah orde baru pembangunan kroni di masa lampau, marilah kita sama-sama bertekad untuk menyumbangkan pemikiran dan tenaga.  Marilah kita tunjukkan pada almamater, marilah kita tunjukkan pada bangsa, marilah kita tunjukkan pada dunia, bahwa alumni Universitas Diponegoro mampu berkiprah memperbaiki dan membangun bangsa serta mampu merencanakan dan mengisi masa depan secara lebih baik.

Hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, kami mewakili wisudawan dan wisudawati mengucapkan terima kasih kepada segenap sivitas akademika Universitas Diponegoro, yang telah membimbing dan membina kami sehingga kami memiliki bekal dan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan kehidupan.  Permohonan maaf kami sampaikan kepada Bapak Rektor, dosen dan seluruh staf pengajar, apabila selama kami menuntut ilmu di Universitas yang kita cintai ini, telah melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, dan juga kami mohon jangan sampai upacara wisuda ini, menyebabkan kami dianggap sebagai "bekas murid" dan Insya Allah kami berjanji tidak akan menganggap Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu staf pengajar sebagai "bekas guru". Bapak dan Ibu tetap guru kami dan Universitas Diponegoro tetap almamater kami.

Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu undangan yang berbahagia,
Dalam kesempatan ini pula, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak, Ibu, Suami, Isteri, dan anak-anak tercinta, yang tidak pernah bosan memberikan dorongan semangat dan do'a, sehingga kami mampu menyelesaikan studi ini.

Demikian sambutan kami, atas segala kekurangan kami mohon maaf yang sedalam-dalamnya.

Wassalamu'alaikum wr. wb.
Semarang, 29 Januari 2000
atas nama Wisudawan/wisudawati

Ir. Sepyan Uhyandi, MM


(salam hangat dari kang sepyan)

Kamis, 16 Januari 2014

MANUSIA BUMI

Mobil-mobil tiada henti berseliweran di ujung jalan Sudirman.  Jalur lambat kelihatan sangat padat, demikian pula jalur cepat.  Beberapa gerombolan orang yang ada di trotoar, bercampur antara pedagang kaki lima, calon penumpang, calo atau bahasa keren-nya timer, tukang ojeg, dan lain-lain.  Detilnya tidak terlihat jelas dari tempat aku duduk.  Mobil hanya sebesar kotak korek api.  Merk mobil jelas tidak kelihatan, paling yang bisa di tebak adalah bis, metromini, atau sedan.  Terlihat dari besar dan panjangnya atap mobil.  Demikian juga kepala manusia hanya sebesar pentul korek api. Tidak bisa membedakan kelaminnya apakah perempuan, lelaki, atau banci.  Tidak bisa membedakan profesinya apakah dia sopir, pegawai, pengamen, pengemis, atau pengusaha.  Tidak bisa melihat raut mukanya apakah sedang sedih, galau, atau gembira.  Tidak bisa melihat apakah mereka sedang kekenyangan atau kelaparan.

Aku berada di lantai 16 atau kira-kira di ketinggian 80 meter.  Dinding kananku yang seluruhnya terbuat dari kaca menyuguhkan pemandangan jalan Jendral Sudirman, sehingga aku dengan sangat leluasa memandang hiruk pikuk jalan tersebut sepanjang hari.  Udara yang nyaman cenderung dingin, membuatku sering mengenakan jaket.  Harum ruangan selalu terjaga dengan  dipasangnya alat otomatis yang saban lima menit menyemprotkan cairan harum di setiap sudut.    Sangat kontras dengan keadaan di bawah sana.  Cahaya matahari terik membakar kulit, mengeluarkan bau 'lanus' kulit dan meningkatkan produksi keringat di ketek.  Dicampur dengan debu asap metromini, komplit sudah panas dan bau jalanan menyatu.  Membuat pikiran buntu dan hati membatu.  Kata film tahun 60-an, kejamnya ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri.

*****
Tumpukan map berisi dokumen-dokumen, foto, denah, narasi hasi analisa dan laporan bertumpuk memenuhi seluruh sisi meja.  Diatas map ada dokumen yang berisi ekskutive resume, untuk memudahkan dia membaca keseluruhan berkas tebal.  Cukup dengan membaca eksekutive resume yang sekitar 2 - 3 lembar yang telah dibuat oleh staf yang sekolahannya lebih tinggi, maka dia 'merasa' sudah dapat menguasai berkas tersebut.  Lalu dia lirik beberapa alternatif usulan keputusan yang juga telah dibuat oleh staf, lalu coret-coret dikit dan tanda-tangan.  Tanda-tangan yang bukan tidak mungkin akan mengubah pola hidup orang, anak-anak, keluarga, atau kerabat dekat dari yang namanya tercantum dalam berkas.  Yang bahkan dia tidak sempat membukanya.

Begitulah cara eksekutive bekerja mengambil keputusan, efisien dan cepat.  Demikian juga para pejabat, baik korporasi maupun pemerintahan.  Semakin tinggi jabatan, harus bisa melihat secara global, tidak perlu mengurusi urusan detail dan jelimet.  Manajemen modern mengajarkan seperti itu.  Pengalaman urusan detail dan jelimet, sudah cukup dialami waktu dahulu meniti karir.  Artinya pengalaman masa lalu tersebut, akan menjadi referensi yang dapat diandalkan dalam membuat keputusan saat ini.  Hal yang paling penting dalam membuat keputusan adalah harus sesuai aturan serta memiliki dasar logika yang jelas.

*****
Dari lantai 16 aku bisa dengan jelas melihat kepadatan jalan Sudirman.  Aku mencoba berimajinasi, apakah mungkin aku bisa mengendalikan sebuah mobil remote sebesar mobil beneran yang sengaja aku simpan di jalan sudirman, tanpa menyenggol mobil yang lain.  Apakah mungkin aku dapat memerintah dengan tepat kepada bawahanku yang sedang ikut bergerombol di trotoar, kapan saat yang tepat untuk menyebrang ?  Rasanya, kalaupun mungkin atau bisa dengan menggunakan kalkulasi statistik dan probabilitas, hasilnya tidak akan sempurna.  Keputusan atau perintah yang sempurna, seharusnya dilakukan melalu pertimbangan logika dan perasaan.  Pertimbangan perasaan hanya akan didapat kalau kita ikut terjun ke lokasi, melihat dengan mata sendiri, mendengar dengan telinga sendiri, merasakan panas, angin, apek dengan anggota badan sendiri.

Makanya memang amat sangat pantas kalau kita sebagai objek hasil keputusan, merasakan ada beberapa keputusan yang dirasa janggal dan aneh.  Naik turunnya harga gas, dapat dijadikan sebagai salah satu contoh keputusan yang benar secara logika, tetapi kurang pas secara rasa.  Kisruh pedagang kaki lima yang tak kunjung selesai, bertambahnya rakyat miskin, kesenjangan pembangunan desa dan kota, impor daging dan kedelai yang terus menerus.  Kenapa tidak selesai-selesai ? Mungkin salah satunya, karena keputusan-keputusan yang dibuat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, banyak dilakukan di dalam ruangan yang nyaman.  Mungkin si staf yang membuat eksekutive summary memiliki sudut pandang yang kurang pas, sehingga informasi yang dibaca pengambil keputusan juga menjadi bias.

Sangat masuk akal apabila sekarang banyak orang yang berharap pada sosok pejabat yang merakyat.  Yang kerjanya lebih banyak di lapangan dari pada di ruangan.  Sosok seperti pak Jokowi dan bu Tri Rismaharini Walikota Surabaya di pemerintahan.  Sosok seperti pak Jonan PT. KAI dan pak Ismed PT. RNI di korporasi.  Hasil kerja mereka terlihat dan terasa.  Ciri-ciri mereka hampir sama, berpakaian sederhana, bergaya hidup sederhana, tidak banyak sesumbar, mengerjakan apa yang dia katakan, serta walaupun banyak orang yang 'menggangu'  mereka tetap saja fokus mengerjakan pekerjaan utamanya.  Sambil bercanda istriku pernah bilang "nanti kalau milih pemimpin jangan cari yang kelimis, karena kerjanya hanya akan memoles-moles biar kelihatan cantik".  Kebetulan orang-orang yang aku sebutkan tadi, kayanya tidak pernah masuk ke salon.

Kita adalah manusia bumi.  Oleh karena itu kita harus merayap diatas bumi agar kita dapat merasakan, menjaga, dan menguasai bumi.  Terlalu banyak di atas awan dan di udara, membuat kita tercerabut dari kehidupan bumi.


(Terinspirasi dari salah satu puisi Kang Miswan Nawawi ketika beliau di Hongkong)


(salam hangat dari kang sepyan)

Minggu, 12 Januari 2014

AYO KITA KE BALI !!!

Ini adalah kali kelima aku jalan lagi ke Denpasar, setelah delapan tahun lalu, yaitu jamannya bom Bali kedua, aku sempat bekerja di Denpasar hampir 15 bulan.  Rasanya telah habis seluruh tempat wisata di Bali aku jelajahi.  Setiap jengkal pasir pantai seperti kuta, legian, jimbaran, nusa dua, dream land, peti tenget, tanah lot, sampai lovina telah aku akrabi.  Demikian pula wisata gunung dan wisata daerah keramat seperti besakih, trunyam, bedugul, kintamani, ubud, tirta empul, sangeh, sampai ke daerah Negara maupun Karang Asem, telah aku datangi.  Jadi setiap datang ke Bali, tidak pernah terpikir olehku untuk membuat agenda wisata lagi. Berangkat, kerja, langsung balik.

Dalam kedatangan kali ini, ada hal yang sangat berbeda.  Dari atas pesawat terihat jembatan panjang berliku-liku di atas laut.  Rupanya Bali tengah berbenah membuat jalan Tol  di atas laut yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan Benoa, Nusa Dua, serta Denpasar.  Bandara juga sedang dirombak total, besar-besaran menjadi bandara modern.  Sayang masih dalam masa pembangunan, jadi kami terpaksa harus muter-muter melewati gang-gang untuk dapat masuk atau keluar Bandara.   

Keluar bandara Ngurah Rai, aku melihat beberapa perubahan selain pembangunan jalan tol.  Rupanya sekarang Denpasar telah memiliki under pass di sekitar patung Dewa Rucci atau yang dahulu di sebut Simpang Siur.  Alamat simpang siur bisa hilang kalau begini, karena persimpangan tersebut menjadi tidak siur lagi.  Saking berubahnya kondisi di sana, sampai aku kebingungan mencari jalan sunset road.  Melewati jalan tol, tadinya aku berharap akan melihat ombak dari atas jembatan.  Ternyata entah karena air laut sedang surut atau karena ada perubahan lingkungan.  Yang terlihat adalah lumpur warna hitam dibawah jalan tol.  Mudah-mudahan bukan karena dibangun jalan tol yang menyebabkan perubahan ekosistem pantai Bali.

*****

Waktu masih menunjukkan pukul 04.45 pagi wib, tapi nampak di luar sudah mulai terang.  Karena perbedaan waktu satu jam antara Jakarta dan Denpasar, berarti sudah hampir jam enam pagi di Bali.  Aku memang sengaja tidak mengubah jarum jam tangan.  Segera aku ganti baju dengan baju olah raga dan jogging ke pantai Kuta.  Banyak perubahan di sekitar pantai.  Akses yang dahulu tertutup dari garis pantai yang sejajar dengan jalan pantai kuta ke kiri, sekarang telah dibuka, bahkan diberi jogging track.  Tampak beberapa bule sedang jogging, dari mulai pinggir hotel Ina di Kuta bisa sampai ke depannya Centro bahkan terus sampai ke pantai depannya hotel kartika plaza.  Coca Cola bekerjasama dengan desa Adat Kuta, telah membuka akses tersebut, terlihat dari prasasti yang ditandatangani kedua belah pihak.

Demikian juga ketika sore hari tiba, pantai yang dipenuhi oleh bule berpakaian minimalis, bukan hanya di kuta.  Tetapi menyebar tanpa terputus sampai ke legian, terus nyambung ke seminyak.  Tempat yang dahulu hanya terbatas sekitar satu kilometer sekarang telah berkembang menjadi hampir lima kilometer.  Sebuah kemajuan yang luar biasa yang tentunya sangat menunjang perekonomian masyarakat bali, karena akan menambah jumlah guide, sewa mobil, sewa motor, hotel, tukang pijat, pedagang makanan, pedagang oleh-oleh, pengrajin, tukang tatto, dan lain-lain.

Semakin penasaran dengan kemajuan daerah wisata Bali, maka ketika ada waktu break sore hari, aku minta sopir untuk mengantar ke Garuda Wisnu Kencana, Dreamland, Uluwatu, dan lain-lain.  Banyak sekali perubahan.  GWK yang dahulu sangat sepi, sekarang telah semakin ramai.  Pada sore hari ada pertunjukkan tari kecak dan legong.  Sayang waktu luangku tidak terlalu banyak, jadi aku gak sempat menonton tari kecak yang asli dimainkan orang bali.  Kalau aku nonton tari sekitar 2 jam, berarti tidak bisa mengunjungi tempat lain.  Perbedaan lain di GWK, yang dahulu gratis sekaramg harus bayar tiket masuk, kalau gak salah tarifnya Rp. 50.000,- per orang.

Dreamland yang dahulu hampir 100% berisi bule amat sangat minimalis nongkrong, sekarang bule yang ada hanya satu dua saja.  Selebihnya turis domestik, dan kesannya menjadi agak kotor.  Untuk sampai ke lokasi pantai, kita diangkut dengan mobil khusus dari pelataran parkir ke bibir jalan menuju pantai.  Sebagai imbalannya parkir mobil dikenakan tarif Rp. 15.000,- sekali parkir.

Waktu mau naik ke Uluwatu, sopir memberikan alternatif  "Pak, sekarang ada pantai baru yang sangat bagus, namanya pantai Pandawa.  Kalau kita ke Uluwatu, maka kita tidak bisa ke Pandawa karena akan terlalu malam".  Memang sopir-sopir di Bali, biasa seperti itu merangkap seperti guide.  Akhirnya aku setuju untuk mencoba mengunjungi pantai Pandawa yang letaknya balik arah menuju arah nusa dua.  Pertimbangan lain selain ingin lihat wisata baru juga biar pulangnya lebih dekat ke Jimbaran.  Makan malam di Cafe Menega Jimbaran sambil melihat pesawat landing dan take off, diiringi nyanyian meksikoan dari 6 pengamen dengan alat musik komplit, sudah langsung kebayang lagi.  Sejenak melupakan bahwa di Cafe itulah, bom bali dua diledakan.

Jalan mulus beraspal hotmix, selalu begitu di setiap ruas jalan di Bali.  Mungkin karena tektur tanah dalamnya berkapur, sehingga tempelan aspal cederung lebih tahan lama.  Atau mungkin margin pemborong tidak terlalu banyak dipotong jadi kualitas aspal bisa lebih bagus.  Rupanya pantai pandawa adalah pantai yang berada di bawah tebing, dan desa adat disana telah membuka tebing tersebut sehingga mobil bisa memiliki akses masuk ke pantai.  Dikiri kanan tampak tebing batu karas hitam berundak-undak dan berkelok-kelok.  Nun di depan sana, hamparan laut biru bersih terbentang.  Ya Allah.....betapa indahnya ciptaan-Mu.  Setengah jam aku menikmati saat-saat matahari terbenam.  Memandang laut yang dipenuhi perahu kano.  Ombaknya tenang dan dibawahnya batu karang putih bercampur pasir putih.  Seperti bermain perahu di kolam renang super besar.

Aku puas-puasin foto-foto, dari berbagai sudut dan berbagai arah.  Dan aku setuju kata Wiwit yang ikut seperjalanan denganku, bahwa pemandangan itu tidak bisa dibungkus dibawa pulang.  Tetapi harus dinikmati di tempat.  Jadi.......ayo kita ke Bali.

(salam hangat dari kang sepyan)