Kroessssseeekkk,
srrreeeeeekkk, srrrreeeeeekkk, kroesssseeeeekkkk, aku dengar suara
berirama di halaman belakang, ketika aku asik menonton TV di beranda
rumah mertua sambil menikmati "sorabi haneut" dan "goreng bala-bala".
Menu wajib setiap pagi, bila kami sekeluarga pulang kampung liburan.
Kroesssssseeeekkkk,
sssrrrreeeeeeeekkkk, ssrrrrrreeeeeekkkk, kroesssssseeeeekkkk, demikian
terus bunyinya tiada henti. Ibu mertuaku sedang menyapu halaman belakang
rumah yang banyak ditumbuhi pohon cengkeh yang umurnya sudah puluhan
tahun. Setiap hari, setiap malam, daunnya berguguran. Kalau tidak di
sapu maka halaman belakang rumah bisa menjadi seperti hutan. Daun-daun
yang berserakan tersebut disapu oleh sapu lidi yang digerakan ke arah
tertentu, sehingga berkumpul, menggunung, lalu dimasukan ke dalam tempat
sampah. Tempat sampahnya sendiri bukan terbuat dari plastik atau drum,
tetapi cukup dengan menggali lobang kira-kira satu meter persegi di
area halaman. Setelah lobang tersebut penuh, lalu ditutup kembali dengan
tanah dan daun tersebut akan diproses oleh mikroorganisma alamiah
sehingga kembali menjadi pupuk organik yang menyuburkan tanah. Untuk
sampah yang baru, tinggal dibuat lobang yang lain. Praktis, gampang,
sehat, dan tidak merusak lingkungan.
Sejak
merantau ke Jakarta sekitar 20 tahun terakhir ini, jarang sekali aku
mendengar dan melihat orang menyapu dengan sapu lidi. Maklum saja,
rata-rata rumah orang kota hanya seuprit. Kalaupun memiliki halaman
ukurannya paling 10 sampai 20 meter persegi, itupun sebagian besar sudah
ditutupi semen atau keramik karena dipakai untuk nyimpen mobil. Dan
sebagian lagi telah menjadi ruang bawah tanah untuk menampung residu
pencernaan pemilik rumah.
Guru
saat aku sekolah dulu di SD pernah cerita, bahwa kita harus bekerja
sama. Lihatlah sapu lidi, hanya terbuat dari lidi daun kelapa atau lidi
daun enau yang kalau sendirian tidak memiliki kekuatan. Halus, mudah
dipatahkan, mudah dibengkokan, cenderung tidak berguna. Bahkan tidak
bisa dijadikan tusuk sate ataupun tusuk gigi. Tapi kalau mereka bersatu
atau telah dipersatukan dengan sebuah ikatan yang kokoh. Mereka telah
dibuat sama panjang dan sama arahnya, yaitu kepala di atas dan kaki di
bawah. Yang panjang dipotong sesuai standar. Diikat pada titik yang
sama. Barulah lidi tersebut berubah menjadi alat yang memiliki kekuatan
untuk mengungkit, mengumpulkan, dan mendorong.
Dengan
kekuatan ikatan tersebut, maka seluruh lidi akan bergerak bersama.
Beberapa batang lidi yang terletak di disi depan menyentuh daun yang
gugur di tanah, ditopang dengan kekuatan puluhan batang lidi yang di
tengah. Bila ternyata barisan depan lolos mendorong daun gugur
tersebut, maka barisan lidi tengah ikut menyapu di topang barisan
belakang. Bersatu padu, berirama, satu arah, dan satu tujuan.
Kadang-kadang,
dalam melakukan tugasnya ada lidi yang tersandung sehingga patah. Ada
lidi yang rapuh juga sehingga patah. Ada orang iseng yang mematahkan
beberapa batang lidi. Sehingga lama kelamaan sapu lidi tersebut akan
semakin pendek. Tetapi, selama lidi-lidi yang patah tersebut tidak
dicabut atau dibuang, maka ikatannya akan tetap kokoh. Oleh karena itu,
selama Anda masih membutuhkan sapu lidi tersebut, jangan kau coba-coba
untuk mencabut lidinya. Karena kalau dicabut, maka lama kelamaan
ikatannya akan mengendur, lalu bercerai berai tiada berguna.
Demikian
halnya ketika Anda memimpin sebuah organisasi baik berorientasi profit
maupun non profit. Samakan persepsi anak buah Anda, lalu buatlah ikatan
yang kuat, maka Anda akan mudah menggerakan mereka ke arah yang sama.
Untuk membuat karya besar. Jangan buru-buru menghukum anak buah yang
patah, karena dia patah karena bekerja, patah karena Anda benturkan,
atau mungkin dipatahkan orang lain, saingan Anda misalnya. Ingatlah,
mereka masih sangat berkontribusi dalam memperkokoh ikatan........kecuali kalau memang sudah keterlaluan.
Sekarang silahkan Anda renungkan. Sudahkah Anda membuat sapu lidi ? Atau Anda baru memiliki kumpulan lidi berserakan ?
Jakarta - Padang, 27 Februari 2014
Hasil perenungan oleh-oleh seminar James Bwee.
(salam hangat dari kang sepyan)