Dengan keterbatasan cara berfikirku waktu itu, aku suka heran kalau ada
Ustad yang bilang bahwa kita harus bergembira saat datangnya bulan
Ramadhan, dan kita harus bersedih ketika bulan Ramadhan akan berakhir.
Lalu disampaikannya ayat-ayat dan hadits yang mengabarkan keutamaan
bulan Ramadhan dan sang Ustad biasanya menutup dengan doa meminta agar
umur kita dipanjangkan sehingga bisa sampai ke bulan Ramadhan yang akan
datang. Jelas aku ikut berdoa dengan khusuk dan meng-amin-kan sepenuh
hati untuk do’a minta dipanjangkan usia tersebut. Tapi untuk urusan
bergembira menyambut Ramadhan ? Bersedih bila Ramadhan berkahir ?
Bukankah
selama bulan Ramadhan aku harus berpuasa, menahan lapar dan dahaga,
mulai waktu imsyak sampai waktu maghrib. Padahal di sisi lain aku masih
tetap dituntut untuk bekerja seperti biasa ? Bukankah selama bulan
Ramadahan aku harus makan sahur, sehingga harus bangun pagi-pagi,
padahal tidur dini hari antara jam tiga sampai jam empat adalah waktu
terlelap dalam tidurku, sehingga aku menjadi kehilangan waktu tidur
paling tidak satu sampai dua jam jam setiap malam ? Bukankah setiap
malam aku diharuskan sholat tarawih dan sholat witir di mesjid serta
mendengarkan ceramah yang menyita waktu untuk istirahat di rumah
sekitar satu sampai dua jam ? Bukankah kita harus bergembira kalau
menyambut Ramadhan, karena itulah hari raya, hari kemenangan, hari
dimana kita terbebas dari harus berpuasa, hari kita kembali ke fitri
tidak memiliki dosa bagai bayi yang baru lahir ? Beberapa pertanyaan
negative lainnya kadang terus berkecamuk di keterbatasan otakku. Memprotes tausiyah yang disampaikan pak Ustadz.
Namun
syukurlah, masih ada bagian otak lainnya yang mendengarkan kata hati,
bahwa tidak mungkin apa yang disampaikan dan diajarkan Qur’an dan hadist
tidak mengandung makna kebenaran hakiki. Beberapa tahun belakangan ini
aku mencoba untuk ‘pura-pura’ gembira bila akan datang bulan Ramadhan
dan ‘pura-pura’ sedih apabila bulan Ramadhan akan segera berakhir.
Awal-awal Ramadhan suasana kegembiraan itu dapat dibangun, terutama
dengan penambahan variasi menu makanan sahur dan berbuka, serta
ditunjang masih memiliki cadangan energy sehingga belum ada gangguan
secara fisik.
Tetapi menjelang tanggal belasan awal, akumulasi
kekurangan tidur mulai menganggu. Sehingga kembali lagi ke pertanyaan,
apanya yang harus aku gembirai dari bulan Ramadhan ? Semakin bertambah
hari, tanggal dua puluhan, semakin bertambah keinginan untuk segera
menyudahi bulan Ramadhan. Seperti orang berlari yang telah melihat
garis finish. Seperti orang yang kehausan di padang pasir melihat
oase. Apalagi THR telah dibayar perusahaan, baju baru telah dibeli, dan
kendaraan untuk mudik telah siap.
Menjelang akhir Ramadhan,
suara pak Ustadz hanya lamat-lamat terdengar dia menyeru bahwa 10 hari
terakhir adalah untuk ‘meminta pembebasan dari apa neraka’, 10 hari
terakhir adalah akan datang malam lailatul qodar yang lebih baik dari
seribu bulan. Namun aku, lebih sibuk mengurus izin cuti, merancang
acara di hari lebaran, merancang rute perjalanan mudik, dan merancang
rencana reuni dengan teman SD, teman SMP, serta teman SMA di kampung.
Tarawih di mesjid telah berganti menjadi belanja di mal. Tadarus al
Qur’an telah berganti dengan mengamati arus mudik di TV.
Ya
Allah…..betapa kerasnya hati ini. Ya Latif…...Engkau yang Maha Lembut,
tolong lembutkan hati ini, karena hanya dengan kelembutan hatilah aku
bisa menerima kebenaran ajaran-Mu, dan hanya dengan melaksanakan
ajaran-Mu, aku bisa selamat di dunia dan di akhirat.
Hari ini
tanggal 26 Ramadhan ya Allah…Ramadhan sudah dipenghujungnya…..tapi aku
belum banyak mengisinya dengan amalan-amalan yang berkualitas.
Tadarusku masih tidak tartil dan aku hanya membaca tanpa mengetahui
mak’nanya. Puasaku baru sebatas tidak makan dan minum, karena mataku
masih senang melihat keindahan dunia yang melintas, mulutku masih sering
berghibah, telingaku masih tajam mendengar gossip miring, apalagi
Ramadhan tahun ini berbarengan dengan Pilpres, demikian juga hatiku
kadang masih berprasangka. Tarawihku, Tahajudku, rasanya masih jauh
dari sempurna. Keinginan agar sholat lebih cepat selesai tidak bisa aku
hilangkan. Menggerutu dalam hati karena imam membaca al-Fatihah
berlambat-lambat. Zakatku masih aku hitung-hitung dengan sangat
cermat. Infak-ku masih tetap aku ingat-ingat. Kesombonganku, masih
belum terkikis dengan hikmah melakukan ibadah puasa yaitu merasakan
bagaimana rasanya orang-orang dhuafa yang terpaksa harus menahan
lapar karena tidak memiliki makanan. Nafsu duniaku masih belum bisa
benar-benar aku tundukkan. Dengan pola pikir dan pola tindak seperti
ini, apakah aku pantas untuk minta ridho-MU ? Padahal hanya dengan
ridho-Mu aku bisa meraih surga yang Engkau janjikan.
Tiba-tiba
penglihatanku jadi buram, area sekitar hidung dan mata terasa memanas,
sehingga cairan-cairan beku yang ada disekitar hidung dan mata
meleleh. Ya Allah…..aku menangis, aku menyesal. Ya Allah, jangan kau
akhiri Ramadhan ini. Beri aku kesempatan untuk berbuat lebih baik,
mengisi Ramadhan dengan kegiatan ibadah yang berkualitas. Ya
Allah…..dengan segenap kekurangan ibadahku, kumohon Engkau dapat
menerima dan menyempurnakannya. Ya Allah sampaikanlah aku ke Ramadahan
yang akan datang. Berilah aku petunjuk sehingga aku dapat beribadah
mengisi Ramadhan dengan lebih baik. Ya Allah…aku hanya menginginkan
ridho-Mu. Aamiiiin.
(salam hangat dari kang sepyan)