“Assalamua’alaikum, kumaha daramang
Geulis.. Menak..?”
Itulah sapaan pembuka setiap aku
menghubungi Ema lewat telpon, begitu khas dan tak akan pernah kudapatkan lagi,
kini. Sebenarnya, kata-kata “Geulis”,
“Menak”, “Juag”, “Raja”, begitu familiar didengar sejak dahulu sebagai bentuk
kasih sayang, ungkapan kerinduan, atau bahkan do’a dan pengharapan bagi kami
keempat anak perempuannya. Tidak
kusadari, ungkapkan itu tertular saat aku menimang, membujuk, meredakan tangis
bayi-bayi kecilku kemudian, ….. “Ooooh sayang,
… gandang, …menak, …. juag/raja,… cup, cup, cup”.
Hari Kamis, 24 September 2015. Hari Raya Idul Adha. Sebagai satu-satunya anak yang merantau jauh
dari rumah, keluarga kecilku merencanakan berqurban di Lumbung. Dari mulai membeli sapi, memotong hingga
mendistribusikan daging qurban dikelola keluarga, dikomando Ema. Ema nampak bersemangat, bahkan disela-sela
aktivitas itu Ema sempat menunjukkan kepadaku tumpukan kayu-kayu berukuran sama
tertata rapi di para-para gudang.
“..Kebetulan ada pohon cengkih di halaman karena umurnya sudah tua, Ema
suruh tukang menebangnya. Kemudian Ema
dibantu Aang menggergajinya menjadi seperti ini.. Ini padung… Ema sengaja
siapkan biar nanti saat perlu tidak susah mencari…” Itu penjelasan Ema sebelum
aku sempat bertanya. Aku yang mendengar
agak terkesiap, sedikit. Tapi semua
kekhawatiran Aku tepis jauh-jauh.
Bukankah hal biasa, seperti nenek kakekku dulu selalu menyiapkan kain
kafan dalam lemari bahkan kayu padung, jauh-jauh hari?.. Itu juga yang Ema
lakukan dan sesekali diungkapkan kepadaku kalau Ema punya tabungan sejumlah
uang khusus dititipkan di Teteh untuk biaya “mulasara” Ema…. toh bertahun-tahun
uang itu utuh, hingga saatnya kemarin..
Hari Minggu, 11 Oktober 2015. Aku mendapat khabar kalau Ema mendadak sakit,
mengeluh pusing, lemes dan muntah-muntah.
Sebelumnya, Ema dalam keadan sehat sedang menghadiri suatu acara
tetangga yang melangsungkan hajatan.
Tiba-tiba telinga Ema berdesingan, pandangan kunang-kunang dan agak
kabur, ulu hati berasa ditonjok. Ema
pamit pulang sontak meninggalkan acara yang sedang berlangsung. Susah payah Ema berjalan sampai pintu pagar
kemudian dari teras merangkak sampai di paviliyun rumah, agak jauh. Aku agak kaget mendengarnya, karena tidak pernah Ema seperti itu. Selain ada gangguan di penglihatan yang sudah
berpuluh tahun dideritanya hingga melewati operasi katarak yang kurang
berhasil, tak ada kendala berarti dalam kesehatannya. Tekanan darah, gula darah…normal. Secara fisik; pendengaran normal, gigi geligi kumplit, tulang belakang agak
sedikit osteo tapi berjalan masih normal, emosi stabil. Lewat pesawat telpon,
Aku memantau perkembangan Ema. Menurut pemeriksaan dokter, tekanan darah Ema
naik. Ema pulang dibekali obat. Namun
sehubungan dengan itu, aktivitas Ema dikurangi, pola makan agak diatur..
Besoknya Aku telpon, dari nada bicaranya Ema menunjukkan keriangannya sedang
“botram” bersama anak incu di beranda dapur, katanya…”Beu, kadieu atuh masihan…
mani raos Emam sareng lauk Emas nu pairing-iring di balong, ngahaja diala!”..
Menurutku itu sebagai bentuk ajakan yang tak mungkin kupenuhi untuk sungguh-sungguh bergabung bersama saat
itu, karena jarak antara Lumbung-Bekasi.
Ema ingin menunjukkan bahwa semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan dari kejadian kemarin. Ema
ingin telingaku menangkap suaranya di pesawat telpon mewakili mataku melihat
wujud fisiknya dengan kesimpulan yang sama, .. Ema baik-baik saja!. (..Walaupun
jauh di hati kecilku, Ting!! Waspadalah, jika suatu saat mendapatkan khabar
yang buruk tentang Ema, misalnya Ema sakit lagi bahkan harus dirawat, Aku
berjaga-jaga dan mulai merubah rutinitasku dan menata hatiku dari sekarang agar
fokus merawat Ema..) Pembicaraan kami tutup dengan ucapan saling
mendo’akan. Beberapa hari kemudian,
belum sampai obat resep dokter habis,
meski masih belum shaum sunah Senin Kamis lagi, Ema sudah pergi taklim,
ngaji seperti biasa. Aku agak mengkhawatirkannya..
***
Biasanya,
aktifitas Ema sepanjang minggu setiap hari, diisi dengan pergi taklim ke
berbagai mesjid/pesantren bergiliran, kegiatan bulanan di organisasi Muslimat
Desa dan Kecamatan, Perkumpulan Haji, bahkan PKK Dusun dan Desa. Selingannya ziarah ke Para Wali dari Banten
sampai Madura. Jembatan Suramadu sampai
Bali sudah disambangi bersama rombongan pengajian. Tak pernah lewati takjiyah
jika ada tetanggga, sahabat dan kerabat yang sakit dan meninggal dunia. Tak sungkan mengantarkan pengantin
hingga ke seberang ke Palembang. Tempo-tempo sambil nunggu
taklim sore, paginya selepas dhuha hingga menjelang dzuhur, Ema berkeliling
nyambangi kebun dekat rumah sambil pulang membawa parab lauk berupa daun
singkong atau daun talas. Atau menata
pekarangan rumah dengan menganak-pinakkan bunga-bunga bougenfil berbunga ungu
dan jingga ke dalam pot-pot baru.
Menjelang musim hujan, dua petak
kebun pekarangan disebelah utara, sudah siap menanti untuk ditanami kacang
tanah.
Sementara
rumahku, sudah lama tidak Ema kunjungi.
Sekalinya berkunjung, Ema suka enggak betah berlama-lama, alasannya
karena takut banyak absen dari kegiatannya, belum lagi kalau menjelang arisan
PKK, sebagai sekertaris, Ema harus dapat memastikan laporan keuangan simpan
pinjam siap dipertanggung-jawabkannya dan tidak boleh diwakilkan. Terakhir, tepatnya tanggal 3 Ramadhan 1435H,
kami berdua berkesempatan umroh bareng.
Umroh di bulan ramadhan itu adalah salah satu cita-cita besar Ema yang
ingin ditunaikan disisa usianya. Kami
sempat membujuk agar berangkat di bulan lain saja. Ema menolak,
karena Ema ingin umrohnya bareng bersama Junjungan Nabi, katanya.
Sebagai pendamping, aku tekadkan dalam diri bahwa harus siap melayani, menjaga,
menuruti apa keinginan Ema diatas kepentinganku sendiri. Berbekal pengalaman naik haji 19 tahun
lalu, Ema sangat siap memenuhi
panggilan-Nya kali ini. Logika
berfikirku sering dipatahkan oleh semangat ghiroh ibadah Ema. Perjalanan pesawat dengan 17 jam puasa,
temperatur 50 derajat Celcius, bahaya dehidrasi, buka puasa tidak makan nasi,
tarawih 23 rakaat durasi 2 jam, tidur malam 2 jam saja.
Contohnya:
Hari ke-3, pagi menjelang siang perjalanan dari Madinah Ke Mekkah ditempuh
selama 6 jam dengan bis. Sepanjang
perjalanan itu kulihat Ema selalu terjaga tak sekejappun memicingkan mata. Ema
memilih duduk didepan samping jendela bersamaku. Memposisikan diri sebagai penjaga dan
pelayan, kuanjurkan Ema untuk istirahat biar stamina terjaga, karena
perhitunganku, sesampainya nanti di Makkah waktu ashar dilanjutkan ritual umroh
tanpa jeda. Sambil bertalbiyah, Ema dengan halus menolak sambil pandangannya
mengintip keluar lewat tirai jendela bis yang sengaja dibiarkannya tersingkap
.. “Ema ingin melihat banyak hal sepanjang perjalanan ini”, meski sejauh mata memandang
hanya nampak hamparan pegunungan batu dan pasir yang menghitam diselingi
gerombolan perdu khas Timur Tengah.
Sungguh membosankan! Sekali saja
bis berhenti di rest area saat masuk waktu dhuhur. Lumayan, setidaknya bagiku, siraman air wudu
ini mampu menyegarkan raga yang kehausan dan kepanasan. Sambil meregangkan
sendi-sendi yang kaku setelah berjam-jam duduk dan bahkan tertidur dan terjaga
di kursi bis. Setiba di Makkah, saat thowaf dan sa’i Aku tawari kursi roda, Ema
menolak ..”Bukan karena uang tapi Ema masih kuat”, itu jawabnya.
Buka puasa di Masjidil Harrom dengan air zam zam dan kurma. Selepas sholat Magrib, kami pulang ke hotel
sebentar untuk sekedar mandi dan ganti baju, tanpa ada waktu untuk mengisi
perut dengan nasi. Ema ingin segera ke
Masjid untuk isya dan tarawih…” Ingat fadilahnya!”, kata Ema. Sambil menunggu Isya, kami isi dengan tadarus
diselingi makan minum air zam-zam dan
kurma atau cemilan sedekah. Jam 9 malam
sholat Isya dimulai, dilanjutkan tarawih.
Pada awal 10 rakaat kedua sholat tarawih, ada jeda waktu sedikit,
biasanya ada pergantian imam sholat. Aku
tawarkan untuk sholat sambil duduk saja.
Perhitunganku rangkaian tarawih ini bisa memakan waktu dua jam,
didominasi dengan lamanya berdiri karena imam sholatnya yang hafidz,
bacaan suratnya urutan juz dan dibaca
dengan tartil pula. Lagi-lagi Ema
menolak. Sehari semalaman ini waktu
terasa begitu panjang namun rasanya tak sempat mendengar bisikan jiwa ragaku
yang lemah yang merengek-rengek minta dimanjakan. Di penghujung malam ini kami berangkat ke
peraduan untuk istirahat dan bangun besok jam 2 dinihari untuk makan sahur
dilanjutkan ke mesjid kembali. Itulah
rutinitas umroh kita, hingga sembilan hari bersama. Alhamdulillah semua
berjalan lancar, begitu terasa nikmat, karena ghiroh ibadah itulah sebagai
bentuk kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadikan hal-hal yang secara
logika berat menjadi ringan. Nampaknya Ema
sangat berkesan. Rasa syukur serta bangganya itu selalu diungkapkan
setelahnya, pada siapapun yang minat atas pengalamannya. Apalagi jika orang tersebut datang berkunjung
ke rumah, Ema tak sungkan memperlihatkan foto-fotonya yang sengaja kuabadikan.
***
Hari Selasa,
17 November 2015. Sore ini, Aku
mendapatkan khabar yang seakan-akan hendak menghentikan laju detak jantungku,
mendadak meriang sekujur tubuhku, melemahlunglaikan semua persendianku, menyumbat laju aliran darahku… Telpon pertama
itu Aku sangat sedikit mengerti situasinya, lewat pertanyaan spontanku mengenai
kondisi Ema, meski diujung telpon Teteh
terus bilang..”Jangan panik, persiapkan segala sesuatunya, doakan yang terbaik
buat Ema. Ema masih hangat mau di bawa
ke Dokter…”.Ada kekhawatiran, penyesalan… dan harapan berkecamuk timbul
tenggelam menepis ketakutan akan sesuatu yang tak jelas. Selang beberapa menit, Teteh kembali
telpon…”Innalilahi wainna ilaihi rojiun… Ema parantos pupus.. sing sabar,
tawakal,.. hati-hati di jalan..”
Sekarang terasa semua benar-benar berhenti…! Kecuali dzikir dan sholawat
yang kulantunkan, memompa kembali aliran darahku, mendorong kembali semangatku yang hampir
terperosok ke titik nadir. Sementara
anak bungsuku yang mendengar khabar itu
bersamaku, duduk tepekur sambil membaca Yasin.
Sekali-sekali kepalanya mendongak sambil mengamati mimikku, tingkah
polahku yang mondar mandir mempersiapkan semua hal yang harus kutata, kubawa,
kupamiti untuk orang yang jaga di rumah, di masjid, di toko, di sekolah,
tetangga… merancang rute perjalanan pulang.
Memastikan diri ini sepenuhnya siap ‘mulasara’ jasad Ema yang sudah
ditinggalkan ruhnya menghadap Penciptanya.
Kusalami
orang-orang yang kulewati. Aku bergegas
menuju sesosok jasad tertutup kain batik.
Kusingkapkan sedikit dibagian wajahnya.. kuelus mukanya.. kuciumi
keningnya dengan semua rasa yang tertahan.. kusapa Ema sambil mengumpulkan
kembali jiwaku yang berserakan…“Allahummagfirlaha warhamha wa’afiha wafuanha..
Allahumma la tahrimna ajroha wala taftina ba’daha wagfirlana walha…” Ema.. tugasmu sebagai khalifah di muka
bumi telah berakhir. Namun jejak-jejak lintasan pengembaraanmu
begitu nampak nyata.. meski tentu perjalanan
yang tak mudah.. Merintis dan membina simpan pinjam PKK di lingkungan Dusun
hingga terkumpul omset lebih dari seperempat miliyar, menghimpun anggota lebih
dari 200an ibu-ibu, membina dan menolong orang-orang yang bermodal lemah,
yang kepepet saat butuh biaya berobat dan anak sekolah, yang mendadak harus
merenovasi rumah, yang kesulitan memperluas langgar yang nyaman dan jalan
setapak yang layak.. sejahtera semua anggota tujuannya.. Tigapuluh enam tahun Ema
abdikan untuk itu, terpampang jelas di Buku Kas PKK Hanjuang (Harapan Maju
Anggota) Dusun IV Talangsari Desa Lumbung hingga bulan November 2015. Meski dengan kelemahan indra penglihatanmu,
semua tercatat rapi, setiap orang yang baca bisa mengerti… dan yang penting
sudah klop. Monumen perjuanganmu
terlihat jelas di bangunan mungil permanen “Gedung Pertemuan PKK Hanjuang
Dusun..” hasil swadaya anggota.
Ema…
sahabatmu yang tak pernah kukenal, saudara jauh yang tak pernah bersua meski
saat mudik lebaran sekalipun..Tak sepi hingga kepergianmu lima hari
berlalu. Seolah-olah ingin lebih afdol
mendo’akanmu dari dekat, sambil menyampaikan salam takjiyah untuk keturunanmu
yang kau tinggalkan… dan saling menasihati dalam sabar dan taqwa.. Kembali
jejak itu kutemukan… Oh, betapa mahadayanya setiap pertemuan-pertemuanmu,
taklim-taklimmu, takjiyah-takjiyahmu, ziarah-ziarahmu.. karena didasari atas
niat ikhlas lillahi ta’ala sebagai media silaturrahim uquwah Islamiyah… bukan
karena sosialita, ambisi politik, ambisi ekonomi atau ambisi-ambisi keduniawian
lainnya.
Aku,
anakmu.. tak akan pernah merasa cukup membalas semua pengorbananmu sampai
kapanpun. Aku merasa seumur hidup tak akan pernah melakukan hal yang sama
seperti yang kau lakukan ketika aku tak berdaya melakukan sendiri saat bayi
sekalipun… Menyuapimu? Membasuhmu ketika
buang air?.... Aku belum sempat melakukannya dan tak akan pernah!!! Seperti katamu…”Ema ingin seperti Bapak yang
pergi 19 tahun yang lalu tanpa merepotkan”.
Padahal kutahu, Ema dan anak-anakmu dulu betapa menyesali karena
tangan-tangan kita ini tak pernah diperlukan oleh Bapak…
Setiap
hari Selasa adalah jadwal libur taklim.
Kemarin masih shaum sunah, hari
ini digunakan Ema untuk menyiapkan kebun yang akan diaseuk kacang tanah. Hujan mulai beberapa kali turun menyiram bumi
setelah tujuh bulan lamanya kawasan dilanda kemarau panjang anomali musim
akibat ‘El Nino’. Harapan besar tertanam di setiap jiwa orang-orang yang menyemai,
menanam, merintis, berjuang, berjihad.. semoga kelak memperoleh hasil yang
baik… Khusnul Khotimah. Siang itu
selepas dhuhur menjelang sore (Wallahu ‘alam).. Malaikat Izroil, Malaikat Sang
Pencabut Nyawa datang menyambangi, menjemput Ema untuk segera datang menghadap
Rabbnya .. Suratan takdir sudah digariskan sejak di lauh mahfuzh. Pengembaraanmu didunia sudah sampai..
berhenti.. tutup buku. Titik. Aku tak sepantasnya menangisi orang yang
pergi, karena sesungguhnya kematian adalah suatu kepastian bagi mahluk yang
bernyawa. Kewajibanku adalah berdo’a
untuk Ema serta memohonkan ampunan atasnya disetiap akhir sholat, memuliakan
sahabat Ema, menyambung tali silaturrahim, menunaikan hutang/wasiat Ema… Semoga
aku menjadi anak sholehah agar menjadi amal jariyah buat Ema….
(salam hangat dari kang sepyan)