Senin, 28 Desember 2015

EMA


Assalamua’alaikum, kumaha daramang Geulis.. Menak..?”

Itulah sapaan pembuka setiap aku menghubungi Ema lewat telpon, begitu khas dan tak akan pernah kudapatkan lagi, kini.  Sebenarnya, kata-kata “Geulis”, “Menak”, “Juag”, “Raja”, begitu familiar didengar sejak dahulu sebagai bentuk kasih sayang, ungkapan kerinduan, atau bahkan do’a dan pengharapan bagi kami keempat anak perempuannya.  Tidak kusadari, ungkapkan itu tertular saat aku menimang, membujuk, meredakan tangis bayi-bayi kecilku kemudian, ….. “Ooooh sayang,  … gandang, …menak, …. juag/raja,… cup, cup, cup”.
Hari Kamis, 24 September 2015.  Hari Raya Idul Adha.  Sebagai satu-satunya anak yang merantau jauh dari rumah, keluarga kecilku merencanakan berqurban di Lumbung.  Dari mulai membeli sapi, memotong hingga mendistribusikan daging qurban dikelola keluarga, dikomando Ema.  Ema nampak bersemangat, bahkan disela-sela aktivitas itu Ema sempat menunjukkan kepadaku tumpukan kayu-kayu berukuran sama tertata rapi di para-para gudang.  “..Kebetulan ada pohon cengkih di halaman karena umurnya sudah tua, Ema suruh tukang menebangnya.  Kemudian Ema dibantu Aang menggergajinya menjadi seperti ini.. Ini padung… Ema sengaja siapkan biar nanti saat perlu tidak susah mencari…” Itu penjelasan Ema sebelum aku sempat bertanya.  Aku yang mendengar agak terkesiap, sedikit.  Tapi semua kekhawatiran Aku tepis jauh-jauh.  Bukankah hal biasa, seperti nenek kakekku dulu selalu menyiapkan kain kafan dalam lemari bahkan kayu padung, jauh-jauh hari?.. Itu juga yang Ema lakukan dan sesekali diungkapkan kepadaku kalau Ema punya tabungan sejumlah uang khusus dititipkan di Teteh untuk biaya “mulasara” Ema…. toh bertahun-tahun uang itu utuh, hingga saatnya kemarin..
Hari Minggu, 11 Oktober 2015.  Aku mendapat khabar kalau Ema mendadak sakit, mengeluh pusing, lemes dan muntah-muntah.  Sebelumnya, Ema dalam keadan sehat sedang menghadiri suatu acara tetangga yang melangsungkan hajatan.  Tiba-tiba telinga Ema berdesingan, pandangan kunang-kunang dan agak kabur, ulu hati berasa ditonjok.  Ema pamit pulang sontak meninggalkan acara yang sedang berlangsung.  Susah payah Ema berjalan sampai pintu pagar kemudian dari teras merangkak sampai di paviliyun rumah, agak jauh.  Aku agak kaget mendengarnya,  karena tidak pernah Ema seperti itu.  Selain ada gangguan di penglihatan yang sudah berpuluh tahun dideritanya hingga melewati operasi katarak yang kurang berhasil, tak ada kendala berarti dalam kesehatannya.  Tekanan darah, gula darah…normal.  Secara fisik; pendengaran normal,  gigi geligi kumplit, tulang belakang agak sedikit osteo tapi berjalan masih normal, emosi stabil. Lewat pesawat telpon, Aku memantau perkembangan Ema. Menurut pemeriksaan dokter, tekanan darah Ema naik. Ema pulang dibekali obat.  Namun sehubungan dengan itu, aktivitas Ema dikurangi, pola makan agak diatur.. Besoknya Aku telpon, dari nada bicaranya Ema menunjukkan keriangannya sedang “botram” bersama anak incu di beranda dapur, katanya…”Beu, kadieu atuh masihan… mani raos Emam sareng lauk Emas nu pairing-iring di balong, ngahaja diala!”.. Menurutku itu sebagai bentuk ajakan yang tak mungkin kupenuhi  untuk sungguh-sungguh bergabung bersama saat itu, karena jarak antara Lumbung-Bekasi.  Ema ingin menunjukkan bahwa semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kejadian kemarin.  Ema ingin telingaku menangkap suaranya di pesawat telpon mewakili mataku melihat wujud fisiknya dengan kesimpulan yang sama, .. Ema baik-baik saja!. (..Walaupun jauh di hati kecilku, Ting!! Waspadalah, jika suatu saat mendapatkan khabar yang buruk tentang Ema, misalnya Ema sakit lagi bahkan harus dirawat, Aku berjaga-jaga dan mulai merubah rutinitasku dan menata hatiku dari sekarang agar fokus merawat Ema..) Pembicaraan kami tutup dengan ucapan saling mendo’akan.  Beberapa hari kemudian, belum sampai obat resep dokter habis,  meski masih belum shaum sunah Senin Kamis lagi, Ema sudah pergi taklim, ngaji seperti biasa. Aku agak mengkhawatirkannya..
***
Biasanya, aktifitas Ema sepanjang minggu setiap hari, diisi dengan pergi taklim ke berbagai mesjid/pesantren bergiliran, kegiatan bulanan di organisasi Muslimat Desa dan Kecamatan, Perkumpulan Haji, bahkan PKK Dusun dan Desa.  Selingannya ziarah ke Para Wali dari Banten sampai Madura.  Jembatan Suramadu sampai Bali sudah disambangi bersama rombongan pengajian. Tak pernah lewati takjiyah jika ada tetanggga, sahabat dan kerabat yang sakit dan meninggal dunia.  Tak sungkan mengantarkan pengantin hingga  ke seberang  ke Palembang. Tempo-tempo sambil nunggu taklim sore, paginya selepas dhuha hingga menjelang dzuhur, Ema berkeliling nyambangi kebun dekat rumah sambil pulang membawa parab lauk berupa daun singkong atau daun talas.  Atau menata pekarangan rumah dengan menganak-pinakkan bunga-bunga bougenfil berbunga ungu dan jingga ke dalam pot-pot baru.  Menjelang musim hujan,  dua petak kebun pekarangan disebelah utara, sudah siap menanti untuk ditanami kacang tanah.
Sementara rumahku, sudah lama tidak Ema kunjungi.  Sekalinya berkunjung, Ema suka enggak betah berlama-lama, alasannya karena takut banyak absen dari kegiatannya, belum lagi kalau menjelang arisan PKK, sebagai sekertaris, Ema harus dapat memastikan laporan keuangan simpan pinjam siap dipertanggung-jawabkannya dan tidak boleh diwakilkan.  Terakhir, tepatnya tanggal 3 Ramadhan 1435H, kami berdua berkesempatan umroh bareng.  Umroh di bulan ramadhan itu adalah salah satu cita-cita besar Ema yang ingin ditunaikan disisa usianya.  Kami sempat membujuk agar berangkat di bulan lain saja.  Ema menolak,  karena Ema ingin umrohnya bareng bersama Junjungan Nabi, katanya. Sebagai pendamping, aku tekadkan dalam diri bahwa harus siap melayani, menjaga, menuruti apa keinginan Ema diatas kepentinganku sendiri.  Berbekal pengalaman naik haji 19 tahun lalu,  Ema sangat siap memenuhi panggilan-Nya kali ini.  Logika berfikirku sering dipatahkan oleh semangat ghiroh ibadah Ema.  Perjalanan pesawat dengan 17 jam puasa, temperatur 50 derajat Celcius, bahaya dehidrasi, buka puasa tidak makan nasi, tarawih 23 rakaat durasi 2 jam, tidur malam 2 jam saja.
Contohnya: Hari ke-3, pagi menjelang siang perjalanan dari Madinah Ke Mekkah ditempuh selama 6 jam dengan bis.  Sepanjang perjalanan itu kulihat Ema selalu terjaga tak sekejappun memicingkan mata. Ema memilih duduk didepan samping jendela bersamaku.  Memposisikan diri sebagai penjaga dan pelayan, kuanjurkan Ema untuk istirahat biar stamina terjaga, karena perhitunganku, sesampainya nanti di Makkah waktu ashar dilanjutkan ritual umroh tanpa jeda. Sambil bertalbiyah, Ema dengan halus menolak sambil pandangannya mengintip keluar lewat tirai jendela bis yang sengaja dibiarkannya tersingkap .. “Ema ingin melihat banyak hal sepanjang perjalanan ini”, meski sejauh mata memandang hanya nampak hamparan pegunungan batu dan pasir yang menghitam diselingi gerombolan perdu khas Timur Tengah.  Sungguh membosankan!  Sekali saja bis berhenti di rest area saat masuk waktu dhuhur.  Lumayan, setidaknya bagiku, siraman air wudu ini mampu menyegarkan raga yang kehausan dan kepanasan. Sambil meregangkan sendi-sendi yang kaku setelah berjam-jam duduk dan bahkan tertidur dan terjaga di kursi bis. Setiba di Makkah, saat thowaf dan sa’i Aku tawari kursi roda, Ema menolak ..”Bukan karena uang tapi Ema masih kuat”,  itu jawabnya.  Buka puasa di Masjidil Harrom dengan air zam zam dan kurma.  Selepas sholat Magrib, kami pulang ke hotel sebentar untuk sekedar mandi dan ganti baju, tanpa ada waktu untuk mengisi perut dengan nasi.  Ema ingin segera ke Masjid untuk isya dan tarawih…” Ingat fadilahnya!”, kata Ema.  Sambil menunggu Isya, kami isi dengan tadarus diselingi  makan minum air zam-zam dan kurma atau cemilan sedekah.  Jam 9 malam sholat Isya dimulai, dilanjutkan tarawih.  Pada awal 10 rakaat kedua sholat tarawih, ada jeda waktu sedikit, biasanya ada pergantian imam sholat.  Aku tawarkan untuk sholat sambil duduk saja.  Perhitunganku rangkaian tarawih ini bisa memakan waktu dua jam, didominasi dengan lamanya berdiri karena imam sholatnya yang hafidz, bacaan  suratnya urutan juz dan dibaca dengan tartil pula.  Lagi-lagi Ema menolak.  Sehari semalaman ini waktu terasa begitu panjang namun rasanya tak sempat mendengar bisikan jiwa ragaku yang lemah yang merengek-rengek minta dimanjakan.  Di penghujung malam ini kami berangkat ke peraduan untuk istirahat dan bangun besok jam 2 dinihari untuk makan sahur dilanjutkan ke mesjid kembali.  Itulah rutinitas umroh kita, hingga sembilan hari bersama. Alhamdulillah semua berjalan lancar, begitu terasa nikmat, karena ghiroh ibadah itulah sebagai bentuk kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadikan hal-hal yang secara logika berat menjadi ringan.  Nampaknya Ema sangat berkesan.  Rasa syukur  serta bangganya itu selalu diungkapkan setelahnya, pada siapapun yang minat atas pengalamannya.  Apalagi jika orang tersebut datang berkunjung ke rumah, Ema tak sungkan memperlihatkan foto-fotonya yang sengaja kuabadikan.


***   
Hari Selasa, 17 November 2015.  Sore ini, Aku mendapatkan khabar yang seakan-akan hendak menghentikan laju detak jantungku, mendadak meriang sekujur tubuhku, melemahlunglaikan semua persendianku,  menyumbat laju aliran darahku… Telpon pertama itu Aku sangat sedikit mengerti situasinya, lewat pertanyaan spontanku mengenai kondisi Ema,  meski diujung telpon Teteh terus bilang..”Jangan panik, persiapkan segala sesuatunya, doakan yang terbaik buat Ema.  Ema masih hangat mau di bawa ke Dokter…”.Ada kekhawatiran, penyesalan… dan harapan berkecamuk timbul tenggelam menepis ketakutan akan sesuatu yang tak jelas.  Selang beberapa menit, Teteh kembali telpon…”Innalilahi wainna ilaihi rojiun… Ema parantos pupus.. sing sabar, tawakal,.. hati-hati di jalan..”  Sekarang terasa semua benar-benar berhenti…! Kecuali dzikir dan sholawat yang kulantunkan, memompa kembali aliran darahku,  mendorong kembali semangatku yang hampir terperosok ke titik nadir.  Sementara anak bungsuku  yang mendengar khabar itu bersamaku, duduk tepekur sambil membaca Yasin.  Sekali-sekali kepalanya mendongak sambil mengamati mimikku, tingkah polahku yang mondar mandir mempersiapkan semua hal yang harus kutata, kubawa, kupamiti untuk orang yang jaga di rumah, di masjid, di toko, di sekolah, tetangga… merancang rute perjalanan pulang.  Memastikan diri ini sepenuhnya siap ‘mulasara’ jasad Ema yang sudah ditinggalkan ruhnya menghadap Penciptanya.
Kusalami orang-orang yang kulewati.  Aku bergegas menuju sesosok jasad tertutup kain batik.  Kusingkapkan sedikit dibagian wajahnya.. kuelus mukanya.. kuciumi keningnya dengan semua rasa yang tertahan.. kusapa Ema sambil mengumpulkan kembali jiwaku yang berserakan…“Allahummagfirlaha warhamha wa’afiha wafuanha.. Allahumma la tahrimna ajroha wala taftina ba’daha wagfirlana walha…”  Ema.. tugasmu sebagai khalifah di muka bumi  telah berakhir.  Namun jejak-jejak lintasan pengembaraanmu begitu nampak nyata.. meski  tentu perjalanan yang tak mudah.. Merintis dan membina simpan pinjam PKK di lingkungan Dusun hingga terkumpul omset lebih dari seperempat miliyar, menghimpun anggota lebih dari 200an ibu-ibu,  membina dan  menolong orang-orang yang bermodal lemah, yang kepepet saat butuh biaya berobat dan anak sekolah, yang mendadak harus merenovasi rumah, yang kesulitan memperluas langgar yang nyaman dan jalan setapak yang layak.. sejahtera semua anggota tujuannya.. Tigapuluh enam tahun Ema abdikan untuk itu, terpampang jelas di Buku Kas PKK Hanjuang (Harapan Maju Anggota) Dusun IV Talangsari Desa Lumbung hingga bulan November 2015.  Meski dengan kelemahan indra penglihatanmu, semua tercatat rapi, setiap orang yang baca bisa mengerti… dan yang penting sudah klop.  Monumen perjuanganmu terlihat jelas di bangunan mungil permanen “Gedung Pertemuan PKK Hanjuang Dusun..”  hasil swadaya anggota.  
Ema… sahabatmu yang tak pernah kukenal, saudara jauh yang tak pernah bersua meski saat mudik lebaran sekalipun..Tak sepi hingga kepergianmu lima hari berlalu.  Seolah-olah ingin lebih afdol mendo’akanmu dari dekat, sambil menyampaikan salam takjiyah untuk keturunanmu yang kau tinggalkan… dan saling menasihati dalam sabar dan taqwa.. Kembali jejak itu kutemukan… Oh, betapa mahadayanya setiap pertemuan-pertemuanmu, taklim-taklimmu, takjiyah-takjiyahmu, ziarah-ziarahmu.. karena didasari atas niat ikhlas lillahi ta’ala sebagai media silaturrahim uquwah Islamiyah… bukan karena sosialita, ambisi politik, ambisi ekonomi atau ambisi-ambisi keduniawian lainnya.
Aku, anakmu.. tak akan pernah merasa cukup membalas semua pengorbananmu sampai kapanpun. Aku merasa seumur hidup tak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan ketika aku tak berdaya melakukan sendiri saat bayi sekalipun… Menyuapimu?  Membasuhmu ketika buang air?.... Aku belum sempat melakukannya dan tak akan pernah!!!   Seperti katamu…”Ema ingin seperti Bapak yang pergi 19 tahun yang lalu tanpa merepotkan”.  Padahal kutahu, Ema dan anak-anakmu dulu betapa menyesali karena tangan-tangan kita ini tak pernah diperlukan oleh Bapak… 
Setiap hari Selasa adalah jadwal libur taklim.  Kemarin masih shaum sunah,  hari ini digunakan Ema untuk menyiapkan kebun yang akan diaseuk kacang tanah.  Hujan mulai beberapa kali turun menyiram bumi setelah tujuh bulan lamanya kawasan dilanda kemarau panjang anomali musim akibat ‘El Nino’. Harapan besar tertanam di setiap jiwa orang-orang yang menyemai, menanam, merintis, berjuang, berjihad.. semoga kelak memperoleh hasil yang baik… Khusnul Khotimah.  Siang itu selepas dhuhur menjelang sore (Wallahu ‘alam).. Malaikat Izroil, Malaikat Sang Pencabut Nyawa datang menyambangi, menjemput Ema untuk segera datang menghadap Rabbnya .. Suratan takdir sudah digariskan sejak di lauh mahfuzh.  Pengembaraanmu didunia sudah sampai.. berhenti.. tutup buku.  Titik.  Aku tak sepantasnya menangisi orang yang pergi, karena sesungguhnya kematian adalah suatu kepastian bagi mahluk yang bernyawa.  Kewajibanku adalah berdo’a untuk Ema serta memohonkan ampunan atasnya disetiap akhir sholat, memuliakan sahabat Ema, menyambung tali silaturrahim, menunaikan hutang/wasiat Ema… Semoga aku menjadi anak sholehah agar menjadi amal jariyah buat Ema….


 Tulisan Istriku Enung Rima Sabariah, untuk Ibunya (Mertuaku) Alm Ema Hj. Juju Julaeha

(salam hangat dari kang sepyan)