Jumat, 22 Januari 2016

KETIKA MULUT TERKUNCI

Walaupun kita termasuk kaum muhajirin dalam era digital, tapi tetap harus mencoba untuk menjadi kaum muhajirin yang baik. Segera beradaptasi, belajar dan membaur menjadi orang digital. Sebab kalau tidak maka kita akan menjadi terkucil, menjadi terpojok, menjadi orang masa lalu yang akhirnya akan ditinggalkan tanpa ada satu orangpun yang akan menoleh. Kalimat ini aku tujukan buat orang yang kadang masih aku temui yang merasa tidak perlu untuk memanfaatkan androidnya walaupun hanya untuk sekedar aktif di media sosial seperti bbm, watch app, line, twitter, dll. Karena hanya menggunakan android sebatas untuk telepon, akhirnya kegiatan bisnis berbasis android seperti transaksi bank dengan mobile banking, e-commerce, toko online, dll tidak pernah dia ikuti. Lebih baik dipakai untuk kegiatan yang bermanfaat dari pada ngerumpi di medsos, toh masih bisa belanja ke Mal sekalian cuci mata, dari pada menggunakan toko on line yang belum tentu terjamin kualitas barangnya, begitu dia mendesis mempertahankan eksistensinya.

Aku juga tidak memungkiri beberapa dampak negatif medsos, tapi percayalah masih banyak hal positifnya, tergantung kita melihat dan tergantung kita menggunakan. Dua sisi mata uang istilahnya. Salah satunya ada hal yang sangat menginspirasiku dari beberapa broadcast group bbm dan wa, yaitu cerita tentang seorang pensiunan petinggi perusahaan atau pejabat pemerintah (aku agak lupa) yang mengabdikan dirinya untuk menjadi merebot masjid. Beliau yang semasa tugas aktifnya selalu ditemani sopir, sekretaris, ajudan, office boy, cleaning service, dan Satpam untuk memenuhi segala kebutuhannya, kok rela mengabdi menjadi merebot sebuah masjid, rela menyapu lantai, membersihkan kamar mandi, mengelap jendela, menyedot debu karpet, mengepel, merawat tanaman di depan mesjid, membersihkan got, dan seterusnya. Apakah sudah bangkrut dia sehingga sudah tidak mampu lagi mengupah orang untuk memelihara masjid. Aku berpikir menerka-nerka berbagai kemungkinan. Akhirnya sampai pada suatu kesimpulan, pasti ada yang beliau dapatkan dari mengerjakan hal tersebut.

Seminggu sebelum peringatan hari besar Islam di mesjid lingkunganku disepakati bahwa akan diadakan kerja bakti pembersihan masjid. Jadi Sabtu kemarin menjelang peringatan Maulid, telah diumumkan pagi-pagi jam 7 kumpul di masjid untuk kerja bakti dan ibu-ibu bawa rebus-rebusan untuk konsumsi. Kebetulan pembangunan masjid hampir selesai jadi perlu banyak orang untuk beres-beres.

Kalau dalam kerja bakti yang lalu-lalu, biasanya aku cuma kerja alakadarnya sekedar berpartisipasi. Tapi kali ini, aku sudah berniat total bekerja. Pekerjaan pertama adalah mengembalikan bambu-bambu pinjaman yang telah selesai digunakan esteger masjid. Ada sekitar 140 batang yang harus kami kembalikan pada 3 warga yang meminjamkan. Tanpa canggung dan tanpa takut kotor, aku ikut ngangkat bambu ke mobil, ikut naik di bak mobil dan ikut menurunkan dan menyusun bambu-bambu tersebut ditempat yang ditentukan pemilik bambu. Waktu aku naik ke bak truk, banyak Bapak-bapak yang minta agar aku naik di depan, tapi aku gak mau dan meminta pak RT saja yang sudah lebih sepuh yang naik di depan, sambil bercanda aku bilang "mari kulinya naik". Begitu juga ketika sedang menurunkan bambu, ada diantaranya orang yang ikut ke truk tapi masih segan untuk ikut turun tangan, dia lebih memilih ngobrol sama penduduk sana yang menonton kami menurunkan bambu. Sepertiku dulu biasanya seperti itu, yang penting kelihatan ada berpartisipasi kerja bakti tapi tangan, baju, dan kaki tetap bersih.

Kerjaan selanjutnya adalah memilah sisa kayu dan bambu yang masih baik, ditumpuk rapi di tanah kosong belakang masjid, kayu dan bambu diangkat oleh beberapa orang yang berbaris tiap 2 meter seperti ban berjalan sampai ke tempat penumpukan yang ditentukan. Aku menjadi motor dan penyemangat pelaksanaan tugas tersebut. Saat matahari agak terik dan aku lihat ada orang yang ingin menghindari matahari, aku segera bertukar tempat dengannya sehingga beliau ada di tempat agak teduh dan aku kena matahari, toh aku pakai topi jadi tidak terlalu terasa panasnya. Bahkan tanganku sedikit berdarah karena kena paku yang masih banyak tertancap pada kayu dan bambu. Sambil menghisap tetesan darah yang keluar aku bilang, mudah-mudahan tangan ini menjadi saksi bahwa aku pernah ikut kerja bakti membersihkan masjid tempat ibadah. Ustadz Karim yang kebetulan jejeran denganku nenimpali "in shaa Allah pak, khan ada dalam al-quran surat 36 yaitu Yasin ayat 65 “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan"

Mendengar hal tersebut, walapun bukan pertama kalinya aku mendengar, aku terkesiap dan langsung teringat akan cerita di medsos tentang mantan pejabat yang jadi marbot. Rupanya beliau sedang menpersiapkan bekal untuk menghadapi kejadian yang pasti terjadi sebagaimana ditulis dalam surat Yasin tersebut. Loh tapi khan sebagai orang berada kita tidak harus ikut bekerja pekerjaan kotor seperti itu, kita cukup memikirkan cara agar masjid selalu bersih, mengatur tugas orang-orang yang kita gaji untuk membersihkan masjid dan menyumbangkan dana untuk dipakai menggaji orang yang membersihkan masjid tersebut. Sebagai orang terpelajar, kita cukup berkontribusi di bidang pikiran dan dana, sedangkan urusan otot dan tenaga biar bagiannya orang yang tidak memiliki cukup wawasan managerial dan orang yang tidak punya dana untuk menyumbang, jadi ada pembagian tugas. Masuk akal banget.

Tapi apakah lantas kalau kita sudah nyumbang pikiran dan dana, kita menjadi tidak punya tenaga ? Tetapi apakah lantas sumbangan pikiran kita tersebut sudah cukup menggerakan kaki dan tangan kita untuk bicara mempertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jangan-jangan pada saat mulut terkunci saat diminta pertanggungjawaban, tangan dan kaki kira bicara bahwa kami tidak pernah digunakan untuk membersihkan tempat ibadahMu, kami dibiarkan nganggur padahal sebenarnya kami mampu melakukannya. Kalau itu yang terjadi, maka celakalah yang akan menimpa. Naudzubillahimindzalik

(salam hangat dari kang sepyan)

Minggu, 17 Januari 2016

KONDANGAN

Dua petinggi warga Kavling Agraria mengadakan resepsi pernikahan putri mereka dalam waktu yang bersamaan. Pak Haji Maulana tokoh berpengaruh yang dituakan warga dan juga pengusaha sukses yang menguasai bisnis di Tanjung Priok, menikahkan putri bungsunya di sebuah Gedung Pertemuan daerah Raden Inten Kalimalang hari Sabtu malam Minggu pukul 19.00 s.d 21.00. Pak Purwanto, ketua RW di Kavling Agraria dan juga merupakan pejabat di kantor DPRD Bekasi menikahkan putri pertamanya yang mendapatkan suami Bule Prancis di Islamic Centre Bekasi pada hari Sabtu malam Minggu pukul 19.00 s.d. 21.00.

Mendadak kedua agenda tersebut menjadi trending topic seluruh warga, baik saat ngobrol selepas sholat berjamaah di Masjid, obrolan di bawah pohon Asem dekat pos Satpam tempat warga kumpul, obrolan ibu-ibu di pasar Mangga, termasuk obrolan dunia maya baik wa, bbm, twitter, dll. Maklum meskipun wilayah kami termasuk di pusat kota Bekasi, tetapi pengalaman melakukan beberapa kegiatan besar dalam hari yang sama merupakan kegiatan yang jarang terjadi dalam kehidupan warga. Ditambah lagi besarnya sebaran demographic warga kavling mulai dari pejabat dan pengusaha sukses sampai dengan penghuni rumah liar, buruh cuci, ob, tukang becak, dll.

Akhirnya pembahasan mengerucut pada penjadwalan menghadiri undangan. Apakah cukup datang ke salah satu tempat saja untuk resepsi dan mendatangi pelaksanaan akadnya kepada tempat yang lain, atau membagi istri dan suami masing-masing berangkat ke tempat yang berbeda, atau berangkat ikut resepsi awal di tempat pertama dan resepsi akhir ditempat yang lain. Tentunya dengan mencari rute terbaik yang tidak macet dengan mengintip maps mbah google. Aku termasuk yang memilih alternatif menghadiri kedua resepsi tersebut. Jaraknya tidak terlalu jauh, cuma memang macet di jalan Kalimalang dalam babarapa bulan terakhir ini karena sedang membangun jalan tol Becakayu atau bekasi cawang kampung melayu di sisi sebelah kiri arah Jakarta melayang di atas kali serta membangun jalur sepeda di sisi sebelah kanan. Kira-kira perlu waktu 30 menit sampai satu jam untuk menempuh jarak sekitar 10 kilometer tersebut.

Selanjutnya beberapa warga terutama aktivis masjid mendata siapa siapa saja yang akan memilih berangkat mengikuti akad di tempat yang satu dan mengikuti resepsi di tempat satunya serta siapa saja yang akan hadir dalam kedua resepsi tersebut, lalu membagi tumpangan terutama untuk warga warga gang tembok (istilah kami untuk warga yang penghuni gubuk-gubuk yang didirikan di tanah kavling kosong). Sehingga semua bisa berangkat menghadiri undangan.

***********

Saat menghadiri resepsi yang kedua yaitu di Islamic Centre, tamu sudah mulai sepi karena kami baru sampai jam 8.40. Setelah salaman ke pengantin sebagaimana biasa, aku berdiri di pojok mengamati beberapa undangan yang masih ada. Pak Rudi menghampiri aku dan bertanya "gimana tadi perjalanan?" "Alhamdulillah" jawabku "tidak begitu macet. Tetapi si Rio anaknya mba Sur kasihan sepanjang jalan pusing. Akhirnya mereka minta turun di Bumi Satria Kencana, lalu naik mobil umum pulang duluan ke rumah". "Sama tuh di mobilku juga bau minyak angin, sampai istriku manyun terus" kata pak Rudi sambil ketawa. "Dia khan paling tidak tahan bau minyak angin. Mau negur enggak enak, takut menyinggung perasaan. Akhirnya terpaksa jendela dibuka, dan menahan bau yang bikin mual sambil manyun sepanjang jalan" lanjut pak Rudi menjelaskan situasi dimobilnya.

Lalu kami terlibat diskusi kecil berdua. Aku bilang "Kok perasaan ribet banget ya baru memiliki 2 acara saja, padahal kita lihat di TV para pejabat bisa memiliki acara yang bertumpuk pada waktu yang sama". Pak Rudi dengan bijak mengomentari "Bahwa sebenarnya kita bisa memilih untuk memikirkan diri sendiri atau keluarga sendiri saja, tidak perlu ribet soal waktu, perjalanan akan lebih nyaman, tidak seperti tadi...mau keluar gedung resepsi yang pertama saja sulit karena harus mencari-cari teman yang semobil. Giliran ketemu, lagi makan. Terus sambil nunggu, yang bantu nyari tadi, ikut antri makanan, akhirnya yang direncanakan harus berangkat dari gedung Raden Inten jam 7.45 mundur hampir setengah jam". "Gak tega juga ya kita nyuruh cepat-cepat. Harus meninggalkan makanan enak-enak yang jarang mereka jumpai" timpalku

Hidup adalah pilihan. Beberapa tahun lalu sebelum aku banyak terlibat di Mesjid, aku tidak pernah terpikir untuk harus memikirkan tetanggaku seperti saat ini. Untuk ikut sedikit "mengorbankan" kenyamanan dan berbagi. Bahkan aku sering protes sama istriku yang bersikukuh pingin tetap tinggal di kavling, enggak mau pindah ke rumah dinas atau perumahan cluster seperti Sumarecon yang memiliki lingkungan yang nyaman dan memiliki tetangga yang relatif berada. Alasannya gak enak kalau di perumahan elite, nanti kita sulit bersyukur karena terlalu sering melihat ke atas. Gak enak, nanti kalau punya makanan lebih, susah mencari orang yang bisa dibagi, nanti malah dibuang. Gak enak nih ninggalin majlis taklim yang sudah susah payah dibangun. Tapi sekarang aku menikmatinya.

Pilihan istriku benar....hidup rasanya menjadi lebih bermakna.....menurutku menyantuni orang miskin tidak cukup hanya dengan mengundang pengajian kerumah lalu membagi-bagi sembako, tidak cukup hanya dengan membuat acara bakti sosial pengobatan gratis, memberi beasiswa, dll.....tetapi harus diimbangi dengan menjadikan mereka teman, menjadikan dia sebagai "orang" yang sejajar, berbagi cerita suka duka, termasuk memberi tanpa dia harus merasa penting mengucapkan terima kasih pada kita.

(salam hangat dari kang sepyan)