Sabtu, 24 Agustus 2013

PERSPEKTIF ETIKA

Aura statsiun commuter line emang berbeda.  Menjelang 100 meter dari pintu gerbang statsiun, gerakan orang 50% lebih cepat dari gerakan ditempat lain.  Dan setelah melewati pintu gerbang, ada lagi penambahan gerakan.  Apalagi kalau ditimpali dengan suara khas peluit masinis, ning nong ning nong statsiun, dan suara pengumuman petugas yang menyebutkan di jalur mana kereta akan melintas, tujuan, pemberangkatan, dan lain-lain yang campur baur, semakin menambah energi kinetik terhadap gerakan orang untuk dapat segera melihat apa yang terjadi di jalur statsiun.

Gerombolan orang di peron Bekasi jalur 3 telah mulai penuh, walaupun suasana menjelang jam enam pagi masih remang-remang.  Sebagian ada yang saling kenal sehingga berkelompok bercanda 3-4 orang, tapi kebanyakan lainnya walaupun tiap hari bareng, tampak tidak ada komunikasi.  Mereka adalah rombongan pegawai, pekerja, mulai buruh sampai manajer yang bekerja di Jakarta namun domisili rumahnya di daerah Bekasi.  Semua berada dalam alur pikirannya masing-masing.  Berjejer menghadap rel kereta dua sampai tiga lapis.  Bahkan pada titik-titik tertentu sampai lima atau enam lapis.  Mungkin titik tersebut diperkirakan tempat pintu kereta berhenti.

Ada sebagian yang tampak santai, duduk di bangku peron yang terbuat dari kursi plastik seperti kursi bis kota jaman dahulu.  Sebagian lagi duduk di bangku yang terbuat dari dua buah rel bekas yang dijejerkan dan disangga tiga buah tiang beton.  Agar kelihatan bersih rel bekas tersebut di pernish, hehehe bersih sih tapi kueras banget menekan pantat.  Namun sesantai-santainya orang di statsiun, sambil baca koran ataupun buka-buka gadget, telinga tetap harus tajam mendengarkan pengumuman kedatangan kereta.  Karena begitu ada pengumuman kereta sesuai jurusan yang akan tiba, maka semua melompat merapat agar berada di dalam barisan siap-siap menyerbu.

Begitu kereta berhenti dan pintu terbuka, maka semua orang berdesakan menuju pintu tersebut, walaupun harus dengan jurus sedikit sikut, dorong, dan desak.  Lalu berlari kencang sambil mata jelalatan mencari bangku yang kosong.  Bila dirasa ketemu ada bangku kosong, maka pantat akan dibuat mendahului badan untuk dapat menyentuh permukaan bangku tersebut.  Semua melakukan hal serupa, seperti pelari sprint yang mendorong kepalanya agar dianggap lebih dahulu mencapai garis finish.  Bedanya disini yang didorong adalah pantat.  Jadi kalau yang tidak terbiasa, jangan heran apabila dalam perebutan bangku, orang yang berjarak satu langkah bisa kalah dengan orang yang berjarak lima langkah.  

Betapa berat perjuangan pagi hari untuk memperebutkan bangku.  Karena apabila kita mendapat bangku, artinya selama 30 menit kedepan kita bisa meneruskan tidur yang kepotong tadi pagi, terus kita juga akan terhindar dari desakan-desakan dan himpitan-himpitan penumpang lain yang akan merangsek masuk, naik pada statsiun-statsiun berikutnya.  Maklum commuter line di kita tidak mengenal batas maksimal penumpang.  Satu gerbong kereta dengan kapasitas 48 tempat duduk dan untuk orang berdiri 20 orang, bisa diisi sampai 400 orang.  Selagi masih bisa masuk dengan cara didorong-dorong, terus masuk.  Sampai semua orang didalam tidak bisa lagi bergerak, walaupun hanya untuk menggaruk.  Seperti orang memasukan beras ke karung, digoyang-goyang dan dicucuk-cucuk pake bambu agar isinya padat, sehingga bisa masuk beras yang baru di lapisan atas.

Didalam kereta disediakan di masing-masing ujung gerbong 8 tempat duduk atau totalnya 16 tempat duduk per gerbong yang dikhususkan untuk penyandang cacat, ibu hamil, orang lanjut usia, dan ibu yang membawa balita.  Ada tulisan himbauan dari perusahaan ; "mohon partisipasi pelanggan untuk mengingatkan kepada yang tidak berhak atas tempat duduk prioritas ini". Tapi pada kenyataannya, dengan sesaknya jalan menuju ke bangku tersebut, maka mereka tidak bisa sampai ke bangku prioritas.  Jadi sasarannya adalah kami para laki-laki muda atau laki-laki setengah tua yang mendapat jatah tempat duduk yang memang diperuntukan untuk penumpang sehat (bukan tempat duduk prioritas). Harus mengalah dong ? masa tega membiarkan anak kecil berdiri terhimpit ? masa tega membiarkan orang tua berdiri ? apakah kamu tidak memiliki rasa hormat sama orang tua ?  masa tega membiarkan perempuan didepanmu berdiri sedangkan kamu enak-enakan duduk ?

Kadang-kadang, bila aku berada pada posisi itu, dengan tulus aku berikan kursi yang dengan sepenuh hati beberapa menit lalu aku perjuangkan.  Tapi kadang-kadang, aku berpikir emangnya gue pikirin ! Aku khan udah berjuang bangun lebih pagi. Aku khan sudah berjuang berdiri menunggu kereta tiba sehingga dapat lapisan paling depan.  Aku khan sudah mendapatkan untung berdiri pas didepan pintu kereta.  Aku khan sudah berhasil mengalahkan puluhan saingan untuk mencapai bangku lebih cepat.  Maka pura-pura tidur adalah jalan yang menurutku paling aman.  Duduk langsung mata dimeremkan walaupun tidak ngantuk, biar tidak melihat perkembangan penumpang di sekeliling kita.  Apalagi bila mendengar suara anak menangis, maka mata atas aku katupkan erat-erat, biar tidak sempat melihat,dan telinga disumpal dengan speaker yang dihubungkan dengan handphone di saku.  Sekedar untuk mengurangi rasa bersalah.

Kerasnya kehidupan ibu kota memang bisa merubah perspektif etika.  Aku berpikir kenapa kok suaminya tega membiarkan istrinya bekerja sehingga harus berdiri terhimpit di kereta ? kenapa kok anaknya tega membiarkan orang tuanya berjalan sendirian di kereta ? mengapa kok orang pergi mengajak anak-anak naek kereta pada jam sibuk ?  kenapa tidak tunggu jam 9- an saat kereta sudah agak sepi ?  Jadi siapa yang tidak punya etika ?

Tergantung dari sudut mana peresfektif etika kita lihat......bukan begitu ???  Atau....jangan-jangan......hanya untuk menutupi rasa bersalah.


(salam hangat dari kang sepyan)

1 komentar:

  1. Kalau perempuan muda atau perempuan centil sih biarin, giliran nonton super junior berdiri 6 jam bisa, berarti kaum yg lemah. seyogyanya penupang prioritas juga tau etika dengan meminta ke penumpang non prioritas yg duduk di kursi prioritas dulu. Kalau saya dapat duduk (dan tidak duduk di kursi prioritas) secara etika saya tinggal bilang "mungkin bisa minta di kursi prioritas dulu bu/nek/kek?" hehehe, kalau mbak2 gak hamil sih "anggap aja saya anggota boyband" kan kalau udah ngeliatin boyband favoritnya cewek2 kuat tuh berdiri lama, jadi scr etika saya gak salah hehehe.

    BalasHapus