Kalau aku pulang kampung baik ke rumah sendiri ataupun ke rumah mertua,
pasti pagi-pagi telah tersedia sorabi (dalam bahasa Indonesia biasa
disebut kue serabi) di meja dihidangkan bersama gorengan. Sebetulnya ada sedikit
perbedaan antara kue serabi dan sorabi. Kalau kue serabi sejenis kue
sehingga umumnya dinikmat dalam keadaan manis yaitu dimakan bersama air
gula. Sedangkan kalau sorabi umumnya dinikmati dengan rasa asin,
sehingga disandingkannya dengan gorengan. Gorengannya bisa berupa
bakwan, atau gorengan tepung lainnya yang didalamnya berisi tempe,
kentang, atau tahu. Kadang-kadang gorengan tersebut langsung dimasukkan
ke dalam adonan sorabi, dan sungguh nikmat kalau dimakan langsung di
depan pedagangnya, masih panas dan gampang kalau mau nambah.
Namun
sekarang gambaran tukang sorabi yang original sangat sulit didapatkan.
Menurut aku tukang sorabi original itu adalah tukang sorabi yang duduk
di bangku kecil dan pendek menghadapi beberapa tungku kecil yang
terbentuk dari tanah liat. Diatas tungku ada kuali kecil cetakan sorabi
beserta tutupnya yang kesemuanya terbuat dari tanah. Tungku tersebut
dinyalakan dengan kayu bakar, sehingga bau asap dan kehangatan api
menjadi bagian hidangan yang disajikan.
Dua minggu lalu ketika
aku bertugas ke daerah dan nginep di Hotel Santika Tasik, pagi-pagi aku
jalan-jalan keliling kota berolah raga pagi, sambil mencari tukang
sorabi. Sepanjang perjalanan kurang lebih satu jam menyusuri kota
Tasik, aku menemukan 3 tukang sorabi. Tukang sorabi pertama posisinya
duduk namun aku lihat kuali kecilnya terbuat dari logam. Tukang sorabi
kedua dan ketiga lebih parah lagi karena dengan posisi berdiri
menghadapi meja. Diatas meja dijejerkan kompor kecil yang diatasnya ada
kuali dan tutup cetakan sorabi terbuat dari logam. Karena tidak
mendapatkan sorabi yang ideal, maka hari pertama aku gagal makan serabi.
Keesokan
harinya aku kembali menyusuri jalan yang sama dengan sasaran mencoba
mencicipi sorabi dari tukang sorabi yang berjualan di pinggir jalan
antara jalan HZ Mustofa arah jalan Cihideung Balong (sorry nama jalannya
gak tercatat). Ma Idoh, nenek-nenek berusia 80 tahun, berkulit putih
dan masih tampak sisa-sisa kecantikan diwajahnya, sedang duduk di
bangku kecil mengadapi 4 buah tungku. Tangannya lincah sekali-kali
membuka penutup kuali kecil cetakan sorabi menggunakan bambu kecil untuk
mengecek apakah sorabinya telah matang atau belum. Bila dirasa belum
cukup matang maka akan beralih ke cetakan berikutnya. Bila dirasa telah
matang, tangan kiri ma Idoh dengan cekatan menjepit kuali dan tangan kanan dengan
menggunakan alat terbuat dari besi tipis akan mengeluarkan sorabi dari
cetakan. Diteruskan dengan menyapu cetakan kuali dengan sapu kecil,
lalu mengocek adonan dan memasukan adonan baru ke kuali. Tahap terakhir
adalah menutup kuali tersebut dengan tutupnya. Ada tahapan yang jangan
sampai lupa, yaitu bila tutup tersebut dibuat dari tanah, maka selama
proses pembersihan dan penyiapan adonan, tutup tersebut harus dijaga
kehangatannya dengan disimpan di depan tungku, kata ma Idoh tak segan
membagi triknya.
Selama kurang lebih 50 tahun berjualan, ma Idoh
termasuk yang setia menjaga ke'asli'an pembuatan sorabi yaitu tetap
mempertahankan memasak menggunakan kayu bakar. Banyak orang yang
sengaja membeli kesini untuk di bawa ke Bandung, ke Jakarta
kadang-kadang beli sampai 30 buah, karena mereka mencari sorabi yang
dimasak dengan kayu bakar kata ma Idoh. Walaupun sebenarnya tidak asli-asli banget, karena untuk
urusan kuali cetakan sorabinya ma Idoh telah berubah menggunakan logam. Untuk hal ini si ema berkilah, kalau pakai cetakan tanah
susah kalau ada pembeli yang ingin cepat (teu tiasa kamurungsung), tapi
kalau pakai cetakan logam bisa memenuhi permintaan cepat. Suami ma
Idoh telah lama meninggal dunia yaitu sekitar 40 tahun lalu, dan Alhamdulillah
setiap bulan masih memberikan nafkah berupa gaji pensiunan veteran,
walaupun jumlahnya tidak sampai enam digit. Ketika ditanya kenapa ma
Idoh gak nikah lagi, dengan mata menerawang dan senyum malu si Ema
berkilah bahwa gak tega sama suaminya yang lama, katanya banyak sih dulu
yang ngajak nikah, tapi ema mah mau setia saja sama si Bapak
almarhum.........sebagaimana dia setia pada penggunaan kayu bakar dalam
membuat sorabi.
Lain di Tasik lain di Bandung, ketika minggu
berikutnya aku jalan ke Bandung dan nginep di hotel jalan Setiabudi pas
depannya Rumah Mode, aku menemukan tukang sorabi yang lain modelnya.
Lokasinya dapat ditemui dengan berjalan dari Cihampelas masuk jalan
Cemara, di ujung jalan cemara nyebrang jalan Sukajadi kira-kira 100
meter akan ada pertigaan, dan dipertigaan tersebut berjualan ibu muda
cantik berusia 35 tahunan dibantu satu orang asisten. Terdapat sekitar
8 cetakan sorabi yang disimpan di meja dan katanya setiap hari bisa
menjual sekitar 500 sorabi dari pagi sampai jam 9-an. Bahkan kalau hari
Minggu bisa menjual sekitar 800 sorabi dengan berbagai rasa, ada yang
pakai gula, polos, atau oncom. Namun sayang sorabi tersebut kurang
'asli' karena menggunakan cetakan dan tutup dari logam. Demikian
pula campuran adonannya terlampau banyak menggunakan terigu, jadi
rasanya menurut seleraku kurang 'sorabi', bahkan buat adonannyapun
mendadak. Ketika aku mau beli dan kebetulan adonannya habis, si teteh
langsung buat adonan baru dengan mencampur kelapa parut, tepung beras,
tepung terigu, air, dan garam, lalu di kocek pakai centong. Padahal yang
aku tahu, kalau tukang sorabi yang 'asli' pengocekan adonan membutuhkan
waktu yang lama (sekitar 30 menit sampai 1 jam) dan harus dibiarkan dahulu sebelum dapat dicetak/dibakar, serta kalau tidak salah biasanya adonan sorabi tidak menggunakan terigu.
Harga sorabi di
Bandung lebih mahal dibandingkan di Tasik ataupun di kota lainnya yaitu
1.500, sedangkan kalau di kota lain Rp. 1.000. Jadi tukang Sorabi di
Bandung bisa mendapatkan keuntungan kotor sekitar 800 sampai 1.000
rupiah per buah. Bayangkan dengan menjual sorabi per hari 500 buah dan
keuntungan 800 per buah, maka si teteh tukang sorabi mendapatkan
penghasilan sebesar Rp. 400 ribu per hari, jadi per bulan bisa sekitar
Rp. 12 juta dengan kerja cukup 4 jam per hari dari jam 5 sampai jam 9.
Bisnis sampingan yang cukup menggiurkan. Tinggal cari lokasi, dengan
modal satu sampai dua juta saja dapat pengasilan setara pegawai kantoran level manajer tingkat pertama.....hehehe........sok atuh mangga.....sorabi haneut.
(salam hangat dari kang sepyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar