Jumat, 07 Desember 2012

SORABI HANEUT

Kalau aku pulang kampung baik ke rumah sendiri ataupun ke rumah mertua, pasti pagi-pagi telah tersedia sorabi (dalam bahasa Indonesia biasa disebut kue serabi) di meja dihidangkan bersama gorengan.  Sebetulnya ada sedikit perbedaan antara kue serabi dan sorabi.  Kalau kue serabi sejenis kue sehingga umumnya dinikmat dalam keadaan manis yaitu dimakan bersama air gula.  Sedangkan kalau sorabi umumnya dinikmati dengan rasa asin, sehingga disandingkannya dengan gorengan. Gorengannya bisa berupa bakwan, atau gorengan tepung lainnya yang didalamnya berisi tempe, kentang, atau tahu.  Kadang-kadang gorengan tersebut langsung dimasukkan ke dalam adonan sorabi, dan sungguh nikmat kalau dimakan langsung di depan pedagangnya, masih panas dan gampang kalau mau nambah.

Namun sekarang gambaran tukang sorabi yang original sangat sulit didapatkan.  Menurut aku tukang sorabi original itu adalah tukang sorabi yang duduk di bangku kecil dan pendek menghadapi beberapa tungku kecil yang terbentuk dari tanah liat. Diatas tungku ada kuali kecil cetakan sorabi beserta tutupnya yang kesemuanya terbuat dari tanah.  Tungku tersebut dinyalakan dengan kayu bakar, sehingga bau asap dan kehangatan api menjadi bagian hidangan yang disajikan. 

Dua minggu lalu ketika aku bertugas ke daerah dan nginep di Hotel Santika Tasik, pagi-pagi aku jalan-jalan keliling kota berolah raga pagi, sambil mencari tukang sorabi.  Sepanjang perjalanan kurang lebih satu jam menyusuri kota Tasik, aku menemukan 3 tukang sorabi.  Tukang sorabi pertama posisinya duduk namun aku lihat kuali kecilnya terbuat dari logam.  Tukang sorabi kedua dan ketiga lebih parah lagi karena dengan posisi berdiri menghadapi meja.  Diatas meja dijejerkan kompor kecil yang diatasnya ada kuali dan tutup cetakan sorabi terbuat dari logam.  Karena tidak mendapatkan sorabi yang ideal, maka hari pertama aku gagal makan serabi.

Keesokan harinya aku kembali menyusuri jalan yang sama dengan sasaran mencoba mencicipi sorabi dari tukang sorabi yang berjualan di pinggir jalan antara jalan HZ Mustofa arah jalan Cihideung Balong (sorry nama jalannya gak tercatat). Ma Idoh, nenek-nenek berusia 80 tahun, berkulit putih dan masih tampak sisa-sisa kecantikan diwajahnya, sedang  duduk di bangku kecil mengadapi 4 buah tungku.  Tangannya lincah sekali-kali membuka penutup kuali kecil cetakan sorabi menggunakan bambu kecil untuk mengecek apakah sorabinya telah matang atau belum.  Bila dirasa belum cukup matang maka akan beralih ke cetakan berikutnya.  Bila dirasa telah matang, tangan kiri ma Idoh dengan cekatan menjepit kuali dan tangan kanan dengan menggunakan alat terbuat dari besi tipis akan mengeluarkan sorabi dari cetakan.  Diteruskan dengan menyapu cetakan kuali dengan sapu kecil, lalu mengocek adonan dan memasukan adonan baru ke kuali.  Tahap terakhir adalah menutup kuali tersebut dengan tutupnya.  Ada tahapan yang jangan sampai lupa, yaitu bila tutup tersebut dibuat dari tanah, maka selama proses pembersihan dan penyiapan adonan, tutup tersebut harus dijaga kehangatannya dengan disimpan di depan tungku, kata ma Idoh tak segan membagi triknya.

Selama kurang lebih 50 tahun berjualan, ma Idoh  termasuk yang setia menjaga ke'asli'an pembuatan sorabi yaitu tetap mempertahankan memasak menggunakan kayu bakar.  Banyak orang yang sengaja membeli kesini untuk di bawa ke Bandung, ke Jakarta kadang-kadang beli sampai 30 buah, karena mereka mencari sorabi yang dimasak dengan kayu bakar kata ma Idoh.  Walaupun sebenarnya tidak asli-asli banget, karena untuk urusan kuali cetakan sorabinya ma Idoh telah berubah menggunakan logam.  Untuk hal ini si ema berkilah, kalau pakai cetakan tanah susah kalau ada pembeli yang ingin cepat (teu tiasa kamurungsung), tapi kalau pakai cetakan logam bisa memenuhi permintaan cepat.  Suami ma Idoh telah lama meninggal dunia yaitu sekitar 40 tahun lalu, dan Alhamdulillah setiap bulan masih memberikan nafkah berupa gaji pensiunan veteran, walaupun jumlahnya tidak sampai enam digit.  Ketika ditanya kenapa ma Idoh gak nikah lagi, dengan mata menerawang dan senyum malu si Ema berkilah bahwa gak tega sama suaminya yang lama, katanya banyak sih dulu yang ngajak nikah, tapi ema mah mau setia saja sama si Bapak almarhum.........sebagaimana dia setia pada penggunaan kayu bakar dalam membuat sorabi.

Lain di Tasik lain di Bandung, ketika minggu berikutnya aku jalan ke Bandung dan nginep di hotel jalan Setiabudi pas depannya Rumah Mode, aku menemukan tukang sorabi yang lain modelnya.  Lokasinya dapat ditemui dengan berjalan dari Cihampelas masuk jalan Cemara, di ujung jalan cemara nyebrang jalan Sukajadi kira-kira 100 meter akan ada pertigaan, dan dipertigaan tersebut berjualan ibu muda cantik berusia 35 tahunan dibantu satu orang asisten. Terdapat sekitar 8 cetakan sorabi yang disimpan di meja dan katanya setiap hari bisa menjual sekitar 500 sorabi dari pagi sampai jam 9-an.  Bahkan kalau hari Minggu bisa menjual sekitar 800 sorabi dengan berbagai rasa, ada yang pakai gula, polos, atau oncom.  Namun sayang sorabi tersebut kurang 'asli' karena menggunakan cetakan dan tutup dari logam.  Demikian pula campuran adonannya terlampau banyak menggunakan terigu, jadi rasanya menurut seleraku kurang 'sorabi', bahkan buat adonannyapun mendadak.  Ketika aku mau beli dan kebetulan adonannya habis, si teteh langsung buat adonan baru dengan mencampur kelapa parut, tepung beras, tepung terigu, air, dan garam, lalu di kocek pakai centong. Padahal yang aku tahu, kalau tukang sorabi yang 'asli' pengocekan adonan membutuhkan waktu yang lama (sekitar 30 menit sampai 1 jam) dan harus dibiarkan dahulu sebelum dapat dicetak/dibakar, serta kalau tidak salah biasanya adonan sorabi tidak menggunakan terigu.

Harga sorabi di Bandung lebih mahal dibandingkan di Tasik ataupun di kota lainnya yaitu 1.500, sedangkan kalau di kota lain Rp. 1.000.  Jadi tukang Sorabi di Bandung bisa mendapatkan keuntungan kotor sekitar 800 sampai 1.000 rupiah per buah.  Bayangkan dengan menjual sorabi per hari 500 buah dan keuntungan 800 per buah, maka si teteh tukang sorabi mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 400 ribu per hari, jadi per bulan bisa sekitar Rp. 12 juta dengan kerja cukup 4 jam per hari dari jam 5 sampai jam 9.  Bisnis sampingan yang cukup menggiurkan.   Tinggal cari lokasi, dengan modal satu sampai dua juta saja dapat pengasilan setara pegawai kantoran level manajer tingkat pertama.....hehehe........sok atuh mangga.....sorabi haneut.

(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar