Minggu, 27 Mei 2012

MANG ADING


"Wal awalu idhar bisitatin atat fi YARMALUNA ingdahu qod sabatat" salah satu syair yang telah aku hafalkan sejak belum bisa baca al-qur'an atau kira-kira usia 4 tahunan. Aku ingat betul syair itu karena ketika bulan puasa, sehabis sholat subuh berjamaah biasanya semua santri dikumpulkan melingkar, dan baru boleh pulang bila bisa menjawab pertanyaan Mang Ading guru ngaji kami. Semua santri diberikan pertanyaan yang sama tanpa melihat kelas, baik santri yang masih mengeja seperti aku maupun santri yang telah menamatkan beberapa macam kitab. Waktu itu Mang Ading bertanya huruf apa saja yang termasuk kelompok huruf idhar. Banyak santri besar yang tunjuk tangan, dan aku satu-satunya santri kecil yang tunjuk tangan atas pertanyaan itu. Tentu saja Mang Ading penasaran apakah aku tunjuk tangan karena bisa menjawab atau asal tunjuk tangan saja, maka aku disuruh untuk menjawab. Dengan mantaf aku lavalkan keenam huruf idhar tersebut dengan sempurna, dan ketika disebutkan bahwa jawabanku benar dengan gagah aku keluar mesjid sebagai murid pertama yang berhasil memenangkan tantangan guru ngaji.

Itulah metode belajar ngaji yang aku tahu, dimana metode tersebut telah digunakan juga oleh orang tuaku maupun kakek dan nenek sehingga kita semua orang sekampung bisa mengaji. Setiap maghrib sampai isya, tanpa gembar gembor program wajib belajar, semua anak-anak dikampung yang belum menikah atau belum kerja di kota, selalu kumpul di mesjid untuk belajar mengaji, dan untuk bulan puasa ada tambahan waktu mengaji sehabis subuh. Selalu saja ada sukarelawan yang mau menjadi guru ngaji, dan pada generasi aku sukarelawan tersebut adalah Mang Ading. Usianya waktu itu masih muda, baru selesai mesantren selama 6 tahunan di pesantren kecamatan sebelah. Kalau jaman sekarang mungkin sepantaran orang tamat SMA, tapi dikampugku waktu itu jarang orang yang meneruskan ke SMP apalagi SMA, kebanyakan kalau setelah tamat SD meneruskan ke pesantren atau langsung ikut berdagang dengan orang tuanya ke kota.

Dengan metode seperti itu, seluruh masyarakat kampung bisa mengaji, rasanya aib besar apabila ada orang yang tidak bisa mengaji. Boleh tidak bisa baca tulis serta menghitung, tetapi tidak boleh tidak bisa mengaji. Di pundak orang-orang seperti Mang Ading lah tanggung-jawab tersebut dibebankan. Tanggung jawab yang sangat besar menyangkut dunia maupun akhirat. Namun dengan tanggung jawab sebesar itu, tidak ada gaji sedikitpun yang dia terima, paling-paling mendapatkan beras waktu zakat fitrah atau baju lungsuran kalau ada orang meninggal. Mang Ading dan sejawatnya tidak pernah protes pada pemerintah, tidak pernah mogok kerja, atau demo. Padahal menurutku sih perannya sejajar atau bahkan lebih tinggi dibanding peran hakim.  Makanya tidak heran kalau sampai saat ini, mungkin usia beliau sudah diatas 60 tahun, belum ada generasi pengganti guru ngaji di kampungku.

Aku termasuk agak langka dikampungku, karena orang tuaku menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal bahkan terus sampai perguruan tinggi. Rohis di fakultasku bekerjasama dengan dosen mata kuliah Agama Islam mengadakan acara mentoring. Jadi seluruh mahasiwa tingkat 1 dibagi beberapa kelompok masing-masing kelompok sekitar 10 orang, dan dibimbing oleh mentor kakak kelas Rohis untuk melakukan diskusi agama islam seminggu sekali. Diskusi tersebut bisa apa saja mulai belajar ngaji, membahas hadis, bahkan sampai belajar dakwah. Sungguh aku merasa heran karena ternyata banyak diantara teman-temanku orang-orang kota, ternyata tidak bisa baca al-Quran. Ternyata tujuan utama melakukan program mentoring adalah untuk memberantas buta al-Quran, karena disinyalir bahwa di perkotaan budaya belajar ngaji sehabis maghrib telah hilang sehingga banyak anak-anak yang tidak bisa mengaji. Aku sangat bersyukur lahir di kampung, aku sangat bersyukur memiliki Mang Ading.

Kali kedua ditemui banyak orang gak bisa mengaji adalah di daerah perumahanku di Bekasi. Istriku ikut pengajian di majlis taklim mesjid komplek. Di awal-awal tahun terbentuk majlis taklim tersebut ternyata lebih dari setengah ibu-ibu yang pengajian belum bisa mengaji, bahkan ada di antaranya yang tidak tahun alif bingkeng (istilah bagi orang yang tidak tahu huruf sehingga tidak bisa membedakan mana huruf alif dan huruf lam). Alhamdulillah setelah lima tahun lebih majlis taklim berupaya memberikan materi belajar mengaji dalam salah satu pertemuan mingguannya, sekarang ibu-ibu di komplek sudah bisa mengaji tinggal memperbaiki tajwidnya. Setelah ibu-ibu komplek bisa mengaji, Istriku yang kebetulan sekarang menjadi ketua majlis taklim mencoba mengumpulkan ibu-ibu gang tembok (penghuni yang mendirikan rumah di atas tanah orang lain yang belum digunakan), tenyata hampir semuanya mereka belum bisa mengaji. Sekarang setiap malam minggu sekitar 20 ibu-ibu gang tembok ngumpul dirumah mempelajari Iqro jilid 1.

Adanya pergeseran sosial yang mana dahulu lebih mementingkan ilmu agama seperti di kampungku, dengan gencarnya program wajib belajar serta masuknya listrik ke pedesaan, menyebabkan waktu belajar ngaji menjadi tergeser bahkan tersisih. Sehabis magrib rasanya terlalu sayang kalau harus kehilangan serial sinetron yang menarik, toh belajar mengaji bisa dilakukan dalam pelajaran agama di Sekolah....apa benar begitu ? Untuk sekolah yang memiliki dua kurikulum yaitu sekolah biasa dan sekolah agama, memang benar pelajaran mengaji sudah mencukupi. Tetapi bagi sekolah yang hanya mengandalkan pelajaran agama, saya pikir amat sangat wajar bila anak-anak didiknya belum bisa mengaji. Lucunya tetap lulus.

Selalu ada dampak positif dan negatif dari setiap perubahan, termasuk perubahan karena kemajuan peradaban atau modernisasi. Santri mengaji di Mang Ading aku lihat semakin menyusut. Tidak ada lagi lomba mengaji untuk memperingati isro mi'raj, padahal dahulu moment tersebut menjadi ajang pembuktian kepada seluruh masyarakat atas tingkat kemajuan kepandaian kami. Kami semua mengaji satu persatu di depan speaker, dan pulang kerumah siap - siap menerima pujian dari kerabat. Kadang mendapat persenan alakadarnya.

Apakah pandai mengaji itu penting. ? Bukankah yang penting dalam beragama adalah melaksanakan rukun iman dan rukun islam ? Yang penting percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rosul, Hari Akhir, dan Taqdir baik serta buruk. Yang penting membaca dua kalimah Syahadat, menjalankan sholat, membayar zakat, melaksanakan puasa bulan Ramadhan, serta bila mampu naik haji. Tidak ada yang secara tegas menyebutkan harus bisa ngaji, toh percaya pada kitab Allah atau al-qur'an bisa dilakukan dengan mempelajari terjemahannya yang merupakan isi kitab tersebut. Toh percuma saja membaca al-Quran kalau tidak mengerti isinya ? Khan kita bukan orang Arab ? Toh kalau ada cerita bahwa membaca al-Quran  akan mendapatkan cahaya saat di alam kubur tidak dijelaskan apakah membaca dalam bahasa Arab atau membaca terjemahannya. Itulah beberapa logika yang disampaikan oleh mereka yang belum bisa mengaji......hehehehe......padahal sederhananya saja, semua orang melakukan sholat dengan menggunakan bahasa Arab, apakah ada yang pake terjemahan membaca al-Fatihah ?

Terima kasih Mang Ading, insya Allah ilmu yang telah engkau ajarkan dahulu sangat bermanfaat buat kami, insya Allah ilmu tersebut Akan menjadi ladang amal yang akan terus menemanimu di alam kekal. Maafkan aku yang melupakanmu, maafkan aku yang bahkan sampai sekarang tidak pernah mengurusi duniamu kecuali beberapa bagian kecil yang merupakan hakmu. Sebagaimana engkau ajarkan, bahwa Allah yang akan membalasnya.

Jakarta - Surabaya 21 Mei 2012
(salam hangat dari kang sepyan)

Minggu, 20 Mei 2012

FOKUS KE PROSES


Pak Marzuki Ali, Ketua DPR RI periode 2009- 2014 mengatakan dihadapan wartawan bahwa banyak alumni dari perguruan-perguruan tinggi terbaik di Indonesia seperti UI, ITB, dan UGM melakukan korupsi. Pernyataan tersebut cukup ramai ditanggapi oleh berbagai kalangan mulai dari politikus, artis, kalangan perguruan tinggi, pedagang pasar, sampai ke pedagang sayur keliling. Termasuk ramai dibicarakan dalam milist alumni fakultas ku.  Diawali dengan pernyataan salah satu teman yang merasa beruntung karena bukan alumni UI, ITB, atau UGM......hehehe padahal yang dimaksud pak Marzuki adalah perguruan tinggi terbaik yang dia sebut itu, artinya temanku sealmamater itu bangga karena dulu tidak masuk perguruan tinggi terbaik. Dikalangan orang terpelajar konsumsi politik bisa berubah makna, apalagi obrolan yang tejadi dikalangan lebih bawah lagi tingkat pendidikannya.

Namun bukan berarti pembahasan dalam milist alumniku tidak bermutu, justru dalam perkembangannya aku merasa ada suatu hal yang bersifat hakiki yang benar, yaitu komentar dari Kang Dicky salah satu alumni yang katanya beliau sekarang sedang belajar sekaligus menjadi asisten dosen di salah satu perguruan tinggi di United Kingdom (UK). Terus terang karena tulisan Kang Dicky lah maka aku coba sampaikan kembali dalam tulisan ini.  Padahal aku sendiri tidak kenal sama Kang Dicky, apakah dia angkatan diatas atau dibawah aku.

Kang Dicky menyebutkan bahwa waktu dulu saat menjadi dosen di Indonesia hampir dalam setiap ujian melakukan pengkatrolan nilai, hanya mahasiswa dengan kriteria "khusus" yang menndapatkan nilai "D" atau "E", sedangkan untuk mahasiswa yang tidak "keterlaluan" maka nilainya akan dinaikkan dari "D" menjadi "C" dan otomatis yang "C" akan menjadi "B" dan yang tadinya "B" menjadi "A". Kalau tidak melakukan seperti itu maka akan di"cap" sebagai dosen killer yang menghambat mahasiswa berkembang, selanjutnya mata kuliah pilihannya menjadi tidak akan laku, lebih lanjut secara berjamaah pihak perguruan tinggi akan menilai dosen tersebut tidak bisa mengajar......ya begitulah kejadian saat ini di negara kita, sesuatu yang bagus kalau berbeda dari umum, maka akan menjadi salah.

Lain halnya ketika menjadi asisten dosen di UK, Kang Dicky menggambarkan bahwa mahasiswa disana tidak pernah protes dan menerima apa adanya hasil penilaian dosen. Seluruh dosen tidak ada yang melakukan pengkatrolan nilai. Mereka mengerti ungkapan "rajin pangkal pandai" bukan sekedar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kalau tidak rajin ya mendapat nilai jelek, kalau rajin belajar, rajin membaca journal yang ditugaskan, mempersiapkan diri waktu ujian, maka akan mendapatkan nilai yang bagus. Dengan kebiasaan pengkatrolan nilai menyebabkan mahasiswa menjadi tidak mengerti kenapa harus belajar ? Mengapa harus rajin baca journal ? Toh tanpa melakukan itu semua, dia dapat lulus dengan mudah.....belum lagi ditambah dengan budaya saling tolong menolong waktu ujian, membuat orang yang tidak mau memberitahu jawaban "seperti" atau dianggap orang yang sulit dan tidak bisa bekerjasama. Terus hilanganya budaya malu mencontek atau mencontek waktu ujian dianggap sebagai suatu usaha untuk mendapatkan nilai, kesemuanya itu menyebabkan kualitas lulusan pendidikan kita menjadi beberapa grade lebih rendah.

Kenapa katrol mengkatrol nilai, kerjasama waktu ujian, dan mencontek terjadi dikalangan pelajar ataupun perguruan tinggi ? Pangkal persoalannya adalah karena segala sistim pendidikan ataupun tata kehidupan kita terlalu berorientasi pada hasil. Semua fokus pandangan dan fokus penilaian hanya dilihat hasil akhirnya. Amat jarang sekali orang yang mempertanyakan prosesnya.  Hal seperti ini sungguh sangat menyesatkan, dan terus terbawa dalam kehidupan sehari-hari.  Gurunya dan keluarganya bangga apabila seorang anak mendapatkan nilai "A" atau angka 9 bahkan 10. Adakah yang mempertanyakan apa benar anak tersebut telah memilki kemampuan "istimewa" ? Hasil akhir angka tersebut telah dapat membius semua orang tentang kualitas seorang anak, padahal sebenarnya mereka sadar bahwa bukan tidak mungkin angka nilai terrsebut bersifat semu mengingat sistim yang berjalan seperti itu

Dalam perjalanan pulang kantor aku mendengarkan acara "smart from home" bersama Ayah Edi, merupakan sebuah acara edukatif dari radio Smart FM. Dalam siaran tersebut dibahas bahwa ada seorang ayah yang bangga bahwa walaupun anaknya "begitu" tapi nilai agama di raportnya dapat angka 9 loh ? Maksudnya "begitu" itu, ya kurang sopan sama yang lebih tua, tidak pergi kemesjid untuk sholat berjamaah, dan masih sering meninggalkan sholat walaupun sudah aqil balig. Terus mengapa anak seperti itu mendapatkan nilai 9 untuk mata pelajaran agama ? Mengapa tidak ada korelasi antara nilai pelajaran agama yang didapat dengan pelaksanaan anak tersebut menjalankan agama ? Ada suatu kesenjangan yang cukup lebar antara teori dan kenyataan, ada kesalahan dalam sistim pendidikan kita yang lebih atau bahkan hanya mementingkan hasil akhir berupa hasil jawaban kertas ujian dibandingkan dengan kompetensi yang dimiliki anak tersebut yang seharusnya mencerminkan nilai yang didapat.

Fatalnya kesalahan tersebut khususnya lebih mementingkan hasil atau terlalu berorientasi pada hasil yang terjadi dalam pendidikan kita, menyebabkan otak terprogram bahwa yang penting dalam kehidupan ataupun dalam pekerjaan adalah hasil yang dapat ditunjukkan.  Orang bekerja mencari uang, maka berlomba-lombalah mencari uang waktu bekerja tanpa mementingkan apakah uang tersebut didapat dengan proses yang benar atau tidak, misalnya dengan cara korupsi ? Yang penting dia bisa segera menunjukkan kepada orang tuanya ataupun kepada orang sekampungnya dan orang- orang sekitarnya bahwa dia mampu menghasilkan uang, mampu membeli rumah baru, mobil baru, dan lain- lain. Yang lebih fatal lagi, masyarakat kita juga sangat memaklumi dan tetap menghormati koruptor yang sekarang banyak disampaikan dalam berita TV, karena mereka kaya.....bahkan, salah satunya tetap dapat mempertahankan jabatan sebagai ketua umum PSSI.

Terlalu berorientasi pada hasil, itulah masalahnya.  Padahal seharusnya berorientasi pada proses, karena dengan proses yang benar akan menghasilkan sesuatu yang benar, dan dengan melakukan proses sesuai ketentuan akhirnya hasil akan didapatkan.  Dengan selalu berorientasi pada proses, maka korupsi, sogok menyogok, saling sikut, saling injak, akan hilang dengan sendirinya.

Hargailah orang yang melakukan proses yang benar walaupun belum berhasil, karena percayalah pada suatu saat orang tersebut akan berhasil karena dia telah melakukan yang benar. Jangan terlalu silau dengan keberhasilan orang, telitilah apakah keberhasilan yang dia dapatkan dengan proses yang benar atau tidak. Kalau ternyata prosesnya salah jangan ditiru, karena suatu saat akan terbongkar juga kesalahannya.  Marilah mulai hari ini kita fokus pada proses.

Palembang, 13 Mei 2012
(salam hangat dari kang sepyan)

Sabtu, 12 Mei 2012

MANAGEMENT TREADMILL


Perusahaan tempatku bekerja memiliki peraturan bahwa seluruh pegawai dengan pangkat serta usia tertentu diberi kesempatan untuk melakukan GMCU (general medical cheek up), ramai-ramailah pada hari yang ditentukan kami mendatangi Rumah Sakit yang ditunjuk dan telah bekerjasama dengan perusahaan. Beberapa hari kemudian kami mendapatkan "rapport" kesehatan masing-masing dalam bentuk buku warna hijau disertai map coklat besar berisi gambar dada bagian dalam.

Ternyata aku mendapatkan banyak nilai merah, dan mau tidak mau, serta suka tidak suka harus memperhatikan serta menjalankan apa yang direkomemdasikan dalam buku hijau diantaranya adalah harus menurunkan berat badan dan harus melakukan olah raga sekitar 150 sampai 200 menit seminggu. Inilah balasan bagi orang yang malas berolah raga, malas memelihara diri sendiri, malas menjaga organ-organ badan yang begitu berharga yang telah diberikan secara cuma-cuma dari pencipta.

Aku mulai putar otak mengutak-ngatik waktu yang mungkin luang untuk melakukan olah raga secara rutin. Kalau pagi-pagi rasanya enggak mungkin karena habis subuh sekitar jam 5.15 atau paling lambat jam 5.30 harus sudah berangkat keluar rumah. Terlambat sedikit perjalanan ke kantor bisa memakan waktu 1,5 jam bahkan bisa 2 jam, dan hampir bisa dipastikan sepanjang ruas jalan tol 25 kilometer tersebut seluruh badan jalan selebar 15 meter plus bahu jalan padat dengan mobil-mobil merayap dan berebut salip menyalip, membuat pagi yang cerah menjadi sumpek.

Karena waktu pagi tidak mungkin maka aku coba lihat hari libur, sepertinya memungkinkan, hari Sabtu sembilan puluh menit dan hari Minggu sembilan puluh menit sisanya. Namun ada dua kendala, pertama seharusnya olah raga tersebut dibagi dalam minimal empat kali seminggu serta kendala yang kedua apa mungkin setiap hari libur tersebut tidak ada kegiatan keluarga lain ?

Akhirnya waktu yang paling memungkinkan adalah malam hari, rasanya itu lebih masuk akal. Apabila ternyata banyak pekerjaan sehingga target waktu olah raga kurang, masih bisa ditambah dengan hari Sabtu atau Minggu. Tapi olah raga apa yang dapat dilakukan malam-malam sendirian ? Kalau olah raga lari malam-malam, jangan-jangan bukannya sehat malahan babak belur ditangkap orang sekampung disangka maling.

Berdasarkan referensi kiri-kanan, aku membeli sebuah alat olah raga yang dapat digunakan dirumah untuk berjalan atau berlari-lari kecil, aku menyebutnya "Treadmill" karena mirip alat yang ada di Rumah Sakit untuk melihat kesehatan jantung sewaktu GMCU kemarin.  Treadmill yang aku beli memiliki kecepatan yang bisa diatur sampai dengan maksimal 12 km per jam serta kemiringannya bisa sampai 15 derajat, serta ada program-program otomatis untuk kesehatan jantung, membakar lemak, dll. Alhamdlillah dengan kedisiplinan yang tinggi, dengan bantuan alat tersebut disertai pengurangan jumlah asupan makanan, lemak dan air yang berlebihan di badan dapat diturunkan sekitar 10 kg setelah berjalan 3 bulan.

Ada hal rutin yang selalu aku rasakan waktu melakukan treadmill, rasanya diawal-awal dengan kecepatan rendah saja misalnya dimulai dari kecepatan 3 terus dinaikkan ke 5 terasa sudah berjalan sangat cepat dan mulai ngos-ngosan. Rasanya kecepatan 5 tersebut sudah merupakan kecepatan maksimal dan menyiksa badan. Namun minggu-minggu berikutnya kecepatan mulai berani dinaikkan sampai 6 bahkan sampai 7 dan sekali-kali dicoba dengan kecepatan 8 atau 9 km perjam walaupun dengan waktu yang sangat terbatas tidak lebih dari lima menit. Selebihnya berada stabil di kecepatan antara 5 sampai 7 dengan melakukan variasi bersama derajat kemiringan.

Setiap kali melakukan treadmill rasa berat ketika kecepatan dinaikkan dari 3 sampai 7 selalu terasa, namun ketika kecepatan diturunkan dari 9 ke 7 maka rasanya dengan kecepatan yang sama yaitu 7 km perjam menjadi ringan dan tanpa beban. Apalagi ketika kecepatan diturunkan menjadi 5 km per jam terasa seperti sedang berdiam diri, karena badan kita telah tebiasa dengan kecepatan lebih tinggi dan kaki kita juga sudah otomatis bergerak, semuanya terasa ringan. Kalau tidak melakukan pendinginan dengan menurunkan kecepatan secara berangsur-angsur, langsung menstop alat treadmill pada kecepatan 5 ataupun 3, maka badan akan limbung karena kaki tidak mau berhenti harus terus melangkah, sedangkan tempat pijakan treadmill sudah berhenti.

Tubuh manusia diciptakan Tuhan untuk selalu dilatih bergerak, baik untuk berolah-raga maupun untuk bekerja. Maka aku coba berteori bahwa dalam bekerja di kantor atau di pabrik sekalipun "manajemen treadmill" dapat diterapkan. Karyawan harus dibiasakan untuk selalu berada dalam kecepatan yang ditentukan sehingga menghasilkan produktifitas yang optimal. Misalnya untuk tenaga pemasar harus dibuat target bahwa setiap hari setiap karyawan harus dapat menghubungi atau menelpon 15 calon customer dan harus bertatap muka atau presentasi minimal dengan 5 customer. Kalau target  minimal tersebut belum dicapai maka karyawan tersebut tidak boleh pulang atau boleh pulang tetapi sisanya menjadi tambahan target di hari berikutnya.

Pada awal-awal melakukan tentu target tersebut akan dirasakan berat oleh karyawan, tetapi harus dipaksakan dan dibimbing serta diyakinkan kalau mereka bisa, dan akan lebih baik lagi kalau diberi contoh bagaimana cara melakukannya. Kalau sudah terbiasa, maka cara kerja seperti itu akan dirasakan ringan oleh karyawan. Bahkan mungkin sekali-sekali dengan program-program tertentu target bisa dinaikkan, sehingga ketika program sudah selesai kembali ke "kecepatan" standar karyawan kita akan bekerja dengan ringan namun tetap menghasilkan produktifitas yang optimal. Manajemen treadmill ini dapat juga kita terapkan pada diri sendiri misalnya kebiasaan sholat malam, kebiasaan jam berapa bangun dan jam berapa mandi pagi, kebiasaan berolah raga, kebiasaan waktu berangkat kerja, dan lain-lain. Sepatutnya diri kita juga harus dipacu untuk membuat target dengan berapa orang kita harus bertemu untuk menambah jaringan, berapa buku yang harus dibaca dalam seminggu untuk menambah wawasan, berapa tulisan harus dibuat, dll.
Manajemen treadmill ini walaupun sampai saat ini sepengetahuanku belum ada orang yang menyebutnya, telah diterapkan oleh orang-orang besar seperti Donald Trump ataupun oleh gadis muda Indonesia yang menjadi inspirasi banyak orang Merry Riana.

Dalam bukunya Merry bercerita bagaimana perjuangan dia saat menjadi tenaga pemasar produk keuangan di Singapura. Gadis manis korban peristiwa kerusuhan 1998 di Jakarta tersebut, akhirnya harus memilih sekolah di NTU Singapura dengan modal pinjaman dan harus bisa bertahan hidup di Asrama dengan uang SGD 10 per bulan. Uang tersebut merupakan selisih uang yang diterima dari pinjaman dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya Asrama tanpa diberi makanan. Mungkin besar uang tersebut ada hanya karena faktor pembulatan saat bank menghitung besar pinjaman, namun uang tersebut sangat berarti bagi Merry karena berarti perutnya akan terisi satu slice roti pagi hari dan terisi satu bungkus mie instan malam hari.

Dengan tempaan yang berbeda dari teman-temannya membuat cara berfikir dan cara pandang dia agak berbeda. Disaat yang lain lulus kuliah segera masuk untuk bekerja di pabrik elektronik yang memang dengan sangat mudah menerima lulusan NTU, Merry melihat bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat menghasilkan uang yang banyak. Besar pendapatannya sudah bisa ditebak mulai dari belasan juta pertama kali masuk, kemudian dengan grafik lambat akan meningkat seiring jabatan, tetapi tetap saja ada batasnya dan akan terus begitu sampai tua. Merry mencari tantangan lain dengan menjadi pemasar jasa keuangan mulai dari bawah dengan menyebarkan brosur dijalanan, dengan perhitungan walaupun pada awalnya penghasilan dia akan jauh lebih kecil dibanding bekerja jadi Staf pabrik, tetapi dia yakin pada akhirnya dengan kerja keras akan bisa mempunyai penghasilan yang tidak terbatas.

Merry menetapkan target harus melakukan presentasi minimal 20 kali dalam sehari, dia menghitung berarti harus menyebarkan atau memberikan brosur kepada 400 orang setiap hari, karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya hanya satu orang dari 20 orang yang dibagi brosur mau mendengarkan presentasi, serta hanya satu orang dari 20 orang yang diberi presentasi akhirnya mau membeli produk keuangan yang ditawarkan. Dia menceritakan bahwa pada suatu hari sampai jam 12 malam masih kurang 2 presentasi lagi, dengan kekuatan hati dan menahan lapar tetap dilanjutkan sampai jam 2 pagi, padahal keesokan harinya dia harus sudah "ngantor" lagi di halte tersebut.

Hasil akhirnya, dalam usia 26 tahun sudah memiliki penghasilan diatas satu milyar perbulan, tanpa harus bekerja lagi penghasilan tersebut akan tetap mengalir lewat organisasinya. Suatu penghasilan yang jauh lebih besar dibanding teman-temannya yang masih berkutat dan berdesak-desakan mengambil hati atasan agar dapat diangkat menjadi Supervisor.

Kita tidak boleh melihat hanya dari ujungnya, tetapi harus dilihat dari bagaimana dia ditempa alam sehingga seluruh otot, otak, maupun nalurinya terbiasa bergerak lebih dari rata-rata. Diawal-awal Merry juga menyampaikan bahwa hal tersebut terasa berat, tetapi lama-lama tubuh, otak, dan nalurinya menjadi terbiasa. Persis seperti anggota badan kita waktu  treadmill.

Mau kah Anda melakukan manajemen treadmill ???


NAD - Jakarta, 09 Mei 201
(salam hangat dari kang sepyan)

EHA


Diluar terdengar ada orang menghampiri istriku yang sedang menyapu halaman,

"Bu bagi beras dong, sedikit aja, nih bocah pada belum makan".

Lalu istriku masuk kedapur dan mengisikan beberapa gelas beras kedalam kantong plastik hitam. Walaupun aku sudah dapat menduga, aku bertanya "buat siapa Mah ?",

"biasa buat si Eha, kasihan dia masih kecil sudah punya anak empat, suaminya gak jelas penghasilannya. Malahan kayanya gak jelas keberadaannya juga, karena kadang-kadang balik, kadang berbulan-bulan gak balik. Sekalinya balik hanya untuk membuahi dan tanpa memikirkan risiko membesarkan anak yang harus diberi makan setiap hari, disekolahkan, diberi baju, dibawa ke Puskesmas kalau sakit, dan lain-lain". Istriku panjang lebar menerangkan kekesalannya, mungkin karena sesama wanita ikut merasakan penderitaannya.
Pikiranku melayang pada kejadian 12-13 tahun yang lalu sekitar tahun 1997-an, kami sekeluarga baru pindah rumah, menempati rumah pertama kami hasil utang sana-sini. Kami membangun rumah disebuah tanah kapling, letaknya dekat dengan jalan raya, kira-kira cuma masuk 100 meter dengan ukuran jalan masuk 6 meter. Dengan pertimbangan bisa masuk mobil dan apabila mau menggunakan kendaraan umum mudah, tidak terlalu jauh jalan kakinya, tidak perlu menggunakan ojek atau becak yang tentunya akan menambah biaya transportasi.

Kavling itu merupakan kavlingan pegawai-pegawai Agraria serta pegawai Pusat Otoritas Jatiluhur (POJ), sehingga dikenal dengan sebutan kavling POJ Agraria. Waktu pertama kali bangun rumah tersebut, jalan kami keraskan secara swadaya bareng-bareng sama tetangga, dengan membeli puing-puing, dan pak RT membuat peraturan agar semua orang yang akan membangun rumah harus menyumbang 10 truk puing. Di wilayah RT kami baru ada sekitar 8 rumah permanen, sedangkan rumah-rumah lainnya berisi gubuk-gubuk darurat yang didirikan oleh para pendatang, dengan memanfaatkan lahan kosong yang untuk sementara waktu belum dimanfaatkan oleh pemiliknya.  Biasanya kita namakan mereka itu sebagai orang gang tembok, karena lokasi tempat gubuk-gubuk tersebut berada dekat dengan pagar pembatas kavling yang telah dibuat tembok sebelumnya. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena memudahkan  pembangunan gubuk yang telah mempunyai satu sisi permanen.

Waktu itu si Eha merupakan salah satu anak gang tembok dengan usia 8 tahunan, dengan muka kusam dan rambut tipis serta kucai, sering lewat di depan rumah. Dan kadang-kadang istriku suka memberi dia makanan-makanan yang ada di rumah, misalya kalau kelebihan membeli martabak tadi malam, ya dikasih martabak. Kalau adanya pisang atau jeruk, ya dikasih pisang atau jeruk. Dia sudah tidak sekolah, karena untuk orang gang tembok sama saja, sekolah tidak sekolah ujung-ujungnya hanya jadi pengemis atau tukang cuci gosok. Sekolah cukup sampai kelas 2 saja, yang penting sudah bisa berhitung.

Tahun berikutnya keluarga kami pindah mengikuti tugasku dari kantor dan baru dua tahun kemudian, kami kembali menempati lagi rumah tersebut. Waktu itu si Eha sudah mulai besar, dan pernah beberapa bulan kerja cuci gosok dirumahku. Tapi tidak lama karena dia bilang, mendingan "ngangon" neneknya diperempatan jalan jadi pengemis. Kerjanya lebih mudah dan hasilnya lebih banyak.
Lima tahun kemudian kami sekeluarga kembali harus pindah keluar kota mengikuti tugas kantor ke Denpasar dan ke Pekanbaru sekitar 4 tahun, kembali lagi ke rumah kavling POJ Agraria, Eha sudah menikah dan sudah memiliki 3 anak, Anak pertamanya sudah mau masuk SD bareng dengan anak kami yang ketiga.

Informasi-informasi itu biasanya kudengar dari istriku, karena pernah suatu kali kami membeli seragam SD di pasar, istriku sekalian beli tambahan katanya buat anaknya si Eha. Ya....kira-kira seperti itulah interaksi keluarga kami dengan Eha, termasuk minta beras. Pernah aku menyarankan pada istriku agar suruh dia kembali kerja cuci gosok, namun istriku bilang tidak mungkin dia jadi buruh cuci gosok, sedangkan untuk melihara ketiga anaknya termasuk sedang hamil anak keempat saja, sudah sulit.

Dalam beberapa bulan terakhir, aku kok rasanya jarang melihat istriku komunikasi sama Eha, ketika aku konfirmasikan istriku bilang, kayanya dia malu ketemu kita karena pernah dia pinjam uang 100 ribu, tapi belum dikembalikan. Serta anaknya sudah tidak sekolah lagi, tetapi baju seragam tetap diterima, dan dia malu karena rupanya baju seragam itu malahan dijual. Istriku menambahkan, bahkan sekarang dia kalau pergi kewarung enggak berani lewat depan rumah, tetapi dia menggunakan jalan lain yang memutar.
Eha.....Eha.....kasihan banget nasibmu.

Dalam 15 tahun telah ada dua generasi.......generasi Eha dan generasi anaknya Eha, tanpa ada perbaikan generasi. Sama-sama miskin, tertindas, tidak bependidikan. Rasanya tidak ada orang yang menyadari dan peduli akan hal ini.  Semua dianggap biasa sebagai hukum alam, salahnya sendiri tidak mau mengubah nasib, bukankah para ustadz sudah menyampaikan bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila dia sendiri tidak mearubahnya. Salah sendiri dia tidak mau belajar dari pengalaman, salah sendiri dia tidak mau berusaha, dan lain-lain. Apakah benar semua kesalahan tersebut ada di pihak si Eha ?

Bukankah para pendiri bangsa ini rela berkorban jiwa raga agar dapat merdeka, dapat melindungi "segenap" bangsa Indonesia termasuk si Eha ? Bukankah kita telah diberi tauladan oleh gadis Jepara yang dalam kondisi tertekanpun tetap memperjuangkan pendidikan bagi teman sesama dan sebangsanya ? Bukankah Ki Hajar Dewantoro berjuang mendidik semua elemen bangsa agar mengikuti pendidikan agar cara berfikir, bercita-cita, dan cara bertindaknya berubah menjadi lebih maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain ? Bukankah sudah ada program pendidikan wajib belajar 9 tahun ? Bukankah para politisi berjuang untuk rakyat, terutama wong cilik ? Bukankah si Eha itu temasuk secilik-ciliknya wong yang patut diperjuangkan dalam prioritas pertama ?

Generasi Eha hanyalah sebuah contoh, dan disekeliling dia masih ada Wa Pendek yang merupakan neneknya Eha dimana dia meninggal karena korban tabrak lari kendaraan ketika sedang memgemis diperempatan MM depan pintu tol Bekasi barat.  Ada juga si A'ing keponakannya Eha yang sedikit teganggu jiwanya dan setiap hari selalu ada jalanan komplek Kavling. Ada juga tetangga-tetangga Eha, ibu-ibu yang berjumlah belasan yang setiap malam minggu kumpul dirumah kami belajar Iqro jilid 1......benar-benar hampir sebagian masih jilid satu, masih menghapal abatasa.

Bukannya kemajuan yang didapat, ini malahan kemunduran generasi bangsa kita. Ketika aku di kampung rasanya tidak ada satu orangpun yang tidak bisa mengaji, karena di mesjid atau dilanggar selalu ada guru ngaji yang mengajar mengaji kepada semua anak-anak dari Magrib sampai Isya. Tanpa dibayar, tetapi hanya sebagai kesadaran untuk membuat sesama teman sekampung bisa ngaji sehingga bisa sama-sama masuk sorga.

Mari kita bertanya apa yang sduah kita perbuat untuk bangsa kita, apa yang sudah kita perbuat untuk sesama kita, apakah hidup kita telah bermakna ?

Jakarta-Banda Aceh, 07 Mei 2012(salam hangat dari kang sepyan)

BLUE OCEAN STRATEGY


Entah benar atau tidak cara menulis strategy ini, tapa kata tersebut didapat tadi siang saat diajak jalan-jalan pak Haliman yang ramah dalam perjalanan jalan kaki dari ruang rapat menuju salah satu outlet  Indomaret yang berada di kawasan kantor pusat PT. Indomarco Prismatama di kawasan ancol Jakarta.

Setelah pertemuan yang hangat dan banyak menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang mudah-mudahan cukup membumi untuk dapat ditindak lanjuti, jam masih menunjukkan pukul 11.15 sehingga merupakan jam yang sangat tanggung.....nasi kotak yang dipesan untuk konsumsi meeting belum hadir, sementara deal sudah tercapai. Maka diputuskan dilaksanakan pertemuan informal, masing-masing anggota dapat ngobrol masing-masing. Kebetulan aku diajak sama pak Haliman (direktur kebijakan) dan pak Wiwiek (managing direktur) untuk meninjau salah satu outletnya. Sepanjang perjalanan sekitar 400 meter inilah, aku menjejeri pak Haliman ngobrol tentang bagaimana hubungan antara Indomaret dengan Alfa.

Jawaban yang keluar dari beliau sungguh diluar dugaan, alih-alih aku berfikir dia akan bilang bahwa Alfa itu merupakan pesaing dan pengganggu karena mereka dibesarkan oleh alumni Indomaret, ternyata sambil tersenyum simpatik beliau bilang "kami adalah keluarga" seperti kakak adik. Konsumen dapat dilayani oleh Indomaret atau oleh Alfa. Kalau tidak ada Indomaret, maka ditempat tersebut akan didirikan Alfa, demikian juga kalau tidak ada Alfa maka ditempat tersebut akan didirikan Indomaret. Ketika aku coba chalenge dengan menanyakan kenyatannya dilapangan bahwa banyak Indomaret yang letaknya bersebelahan dengan Alfa ? Pak Haliman menyatakan bahwa kami ini seperti kakak adik, jadi kadang perlu kumpul juga. 240 juta konsumen itu bukan angka yang mudah untuk dapat dilayani oleh hanya satu perusahaan peritel.

Salah satu misi Indomaret adalah mencetak sumber daya manusia yang tangguh dibidang ritel, dan itu cukup berhasil dengan banyaknya alumni Indomaret yang berkarya di Alfa. Disamping itu dengan adanya perusahaan sejenis asli pribumi, menjadi sparing partner yang baik untuk terus menerus meningkatkan pelayanan, yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan bagi konsumen serta sebagai modal awal persiapan masuknya peritel asing seperi seven eleven ataupun circle K. Bagaimana coba, seandainya tidak ada Alfa ? Maka hal-hal tersebut tidak akan tercapai ujar pak Haliman dengan serius.

Pikiran saya langsung melayang kepada cerita Bapak petani jagung di Amerika yang setiap tahun mendapat penghargaan sebagai petani yng dapat mengasilkan jagung terbaik. Ketika ditanyakan resepnya, sederana saja bahwa beliau membagi-bagikan benih jagungnya kepada petani lain disekitarnya. Beliau menyebutkan, bukankah perkawinan antara serbuk sari dengan putik itu dilakukan dengan perantaraan angin ? Coba seandainya tetangga kami menanam varietas yang tidak baik ? Bukannya tidak mungkin pada akhirnya, benih kami juga menjadi tidak baik, sehingga pada musim berikutnya produktifitas jagung kami akan menurun.

Betapa indah andai persaingan-persaingan bisnis disikapi oleh orang-orang seperti pak Haliman dan petani jagung tersebut. Itulah yang dinamakan blue ocean strategy, kata bosku berbisik, mungkin karena aku kelihatan masih menatap kosong seakan tidak percaya ? Oooooooo blue ocean strategy ? Ternyata indah ya ? Seperti cerita di dongeng-dongeng. Andai partai politik, cabup, cagub, atau pengurus pssi tahu akan hal ini.........hehehehehe, tidak ada kejadian 10 - 0 yang bukan hanya memalukan tetapi juga memilukan.

Aku teringat pada pelajaran agama yang diajarkan oleh guru-guruku, bahwa yang akan dibawa ke akhirat nanti hanya 3 hal yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do'a anak soleh. ternyata ketiga hal tersebut semuanya adalah manfaat kita selama hidup terhadap orang lain. Orang yang paling beruntung adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat pada orang lain. Jadi, mengapa seluruh fokus dan pikiran kita, energi kita, hampir seluruhnya selalu ditujukan pada diri sendiri ?


(salam hangat dari kang sepyan)