Minggu, 20 Mei 2012

FOKUS KE PROSES


Pak Marzuki Ali, Ketua DPR RI periode 2009- 2014 mengatakan dihadapan wartawan bahwa banyak alumni dari perguruan-perguruan tinggi terbaik di Indonesia seperti UI, ITB, dan UGM melakukan korupsi. Pernyataan tersebut cukup ramai ditanggapi oleh berbagai kalangan mulai dari politikus, artis, kalangan perguruan tinggi, pedagang pasar, sampai ke pedagang sayur keliling. Termasuk ramai dibicarakan dalam milist alumni fakultas ku.  Diawali dengan pernyataan salah satu teman yang merasa beruntung karena bukan alumni UI, ITB, atau UGM......hehehe padahal yang dimaksud pak Marzuki adalah perguruan tinggi terbaik yang dia sebut itu, artinya temanku sealmamater itu bangga karena dulu tidak masuk perguruan tinggi terbaik. Dikalangan orang terpelajar konsumsi politik bisa berubah makna, apalagi obrolan yang tejadi dikalangan lebih bawah lagi tingkat pendidikannya.

Namun bukan berarti pembahasan dalam milist alumniku tidak bermutu, justru dalam perkembangannya aku merasa ada suatu hal yang bersifat hakiki yang benar, yaitu komentar dari Kang Dicky salah satu alumni yang katanya beliau sekarang sedang belajar sekaligus menjadi asisten dosen di salah satu perguruan tinggi di United Kingdom (UK). Terus terang karena tulisan Kang Dicky lah maka aku coba sampaikan kembali dalam tulisan ini.  Padahal aku sendiri tidak kenal sama Kang Dicky, apakah dia angkatan diatas atau dibawah aku.

Kang Dicky menyebutkan bahwa waktu dulu saat menjadi dosen di Indonesia hampir dalam setiap ujian melakukan pengkatrolan nilai, hanya mahasiswa dengan kriteria "khusus" yang menndapatkan nilai "D" atau "E", sedangkan untuk mahasiswa yang tidak "keterlaluan" maka nilainya akan dinaikkan dari "D" menjadi "C" dan otomatis yang "C" akan menjadi "B" dan yang tadinya "B" menjadi "A". Kalau tidak melakukan seperti itu maka akan di"cap" sebagai dosen killer yang menghambat mahasiswa berkembang, selanjutnya mata kuliah pilihannya menjadi tidak akan laku, lebih lanjut secara berjamaah pihak perguruan tinggi akan menilai dosen tersebut tidak bisa mengajar......ya begitulah kejadian saat ini di negara kita, sesuatu yang bagus kalau berbeda dari umum, maka akan menjadi salah.

Lain halnya ketika menjadi asisten dosen di UK, Kang Dicky menggambarkan bahwa mahasiswa disana tidak pernah protes dan menerima apa adanya hasil penilaian dosen. Seluruh dosen tidak ada yang melakukan pengkatrolan nilai. Mereka mengerti ungkapan "rajin pangkal pandai" bukan sekedar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kalau tidak rajin ya mendapat nilai jelek, kalau rajin belajar, rajin membaca journal yang ditugaskan, mempersiapkan diri waktu ujian, maka akan mendapatkan nilai yang bagus. Dengan kebiasaan pengkatrolan nilai menyebabkan mahasiswa menjadi tidak mengerti kenapa harus belajar ? Mengapa harus rajin baca journal ? Toh tanpa melakukan itu semua, dia dapat lulus dengan mudah.....belum lagi ditambah dengan budaya saling tolong menolong waktu ujian, membuat orang yang tidak mau memberitahu jawaban "seperti" atau dianggap orang yang sulit dan tidak bisa bekerjasama. Terus hilanganya budaya malu mencontek atau mencontek waktu ujian dianggap sebagai suatu usaha untuk mendapatkan nilai, kesemuanya itu menyebabkan kualitas lulusan pendidikan kita menjadi beberapa grade lebih rendah.

Kenapa katrol mengkatrol nilai, kerjasama waktu ujian, dan mencontek terjadi dikalangan pelajar ataupun perguruan tinggi ? Pangkal persoalannya adalah karena segala sistim pendidikan ataupun tata kehidupan kita terlalu berorientasi pada hasil. Semua fokus pandangan dan fokus penilaian hanya dilihat hasil akhirnya. Amat jarang sekali orang yang mempertanyakan prosesnya.  Hal seperti ini sungguh sangat menyesatkan, dan terus terbawa dalam kehidupan sehari-hari.  Gurunya dan keluarganya bangga apabila seorang anak mendapatkan nilai "A" atau angka 9 bahkan 10. Adakah yang mempertanyakan apa benar anak tersebut telah memilki kemampuan "istimewa" ? Hasil akhir angka tersebut telah dapat membius semua orang tentang kualitas seorang anak, padahal sebenarnya mereka sadar bahwa bukan tidak mungkin angka nilai terrsebut bersifat semu mengingat sistim yang berjalan seperti itu

Dalam perjalanan pulang kantor aku mendengarkan acara "smart from home" bersama Ayah Edi, merupakan sebuah acara edukatif dari radio Smart FM. Dalam siaran tersebut dibahas bahwa ada seorang ayah yang bangga bahwa walaupun anaknya "begitu" tapi nilai agama di raportnya dapat angka 9 loh ? Maksudnya "begitu" itu, ya kurang sopan sama yang lebih tua, tidak pergi kemesjid untuk sholat berjamaah, dan masih sering meninggalkan sholat walaupun sudah aqil balig. Terus mengapa anak seperti itu mendapatkan nilai 9 untuk mata pelajaran agama ? Mengapa tidak ada korelasi antara nilai pelajaran agama yang didapat dengan pelaksanaan anak tersebut menjalankan agama ? Ada suatu kesenjangan yang cukup lebar antara teori dan kenyataan, ada kesalahan dalam sistim pendidikan kita yang lebih atau bahkan hanya mementingkan hasil akhir berupa hasil jawaban kertas ujian dibandingkan dengan kompetensi yang dimiliki anak tersebut yang seharusnya mencerminkan nilai yang didapat.

Fatalnya kesalahan tersebut khususnya lebih mementingkan hasil atau terlalu berorientasi pada hasil yang terjadi dalam pendidikan kita, menyebabkan otak terprogram bahwa yang penting dalam kehidupan ataupun dalam pekerjaan adalah hasil yang dapat ditunjukkan.  Orang bekerja mencari uang, maka berlomba-lombalah mencari uang waktu bekerja tanpa mementingkan apakah uang tersebut didapat dengan proses yang benar atau tidak, misalnya dengan cara korupsi ? Yang penting dia bisa segera menunjukkan kepada orang tuanya ataupun kepada orang sekampungnya dan orang- orang sekitarnya bahwa dia mampu menghasilkan uang, mampu membeli rumah baru, mobil baru, dan lain- lain. Yang lebih fatal lagi, masyarakat kita juga sangat memaklumi dan tetap menghormati koruptor yang sekarang banyak disampaikan dalam berita TV, karena mereka kaya.....bahkan, salah satunya tetap dapat mempertahankan jabatan sebagai ketua umum PSSI.

Terlalu berorientasi pada hasil, itulah masalahnya.  Padahal seharusnya berorientasi pada proses, karena dengan proses yang benar akan menghasilkan sesuatu yang benar, dan dengan melakukan proses sesuai ketentuan akhirnya hasil akan didapatkan.  Dengan selalu berorientasi pada proses, maka korupsi, sogok menyogok, saling sikut, saling injak, akan hilang dengan sendirinya.

Hargailah orang yang melakukan proses yang benar walaupun belum berhasil, karena percayalah pada suatu saat orang tersebut akan berhasil karena dia telah melakukan yang benar. Jangan terlalu silau dengan keberhasilan orang, telitilah apakah keberhasilan yang dia dapatkan dengan proses yang benar atau tidak. Kalau ternyata prosesnya salah jangan ditiru, karena suatu saat akan terbongkar juga kesalahannya.  Marilah mulai hari ini kita fokus pada proses.

Palembang, 13 Mei 2012
(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar