Sabtu, 12 Mei 2012

EHA


Diluar terdengar ada orang menghampiri istriku yang sedang menyapu halaman,

"Bu bagi beras dong, sedikit aja, nih bocah pada belum makan".

Lalu istriku masuk kedapur dan mengisikan beberapa gelas beras kedalam kantong plastik hitam. Walaupun aku sudah dapat menduga, aku bertanya "buat siapa Mah ?",

"biasa buat si Eha, kasihan dia masih kecil sudah punya anak empat, suaminya gak jelas penghasilannya. Malahan kayanya gak jelas keberadaannya juga, karena kadang-kadang balik, kadang berbulan-bulan gak balik. Sekalinya balik hanya untuk membuahi dan tanpa memikirkan risiko membesarkan anak yang harus diberi makan setiap hari, disekolahkan, diberi baju, dibawa ke Puskesmas kalau sakit, dan lain-lain". Istriku panjang lebar menerangkan kekesalannya, mungkin karena sesama wanita ikut merasakan penderitaannya.
Pikiranku melayang pada kejadian 12-13 tahun yang lalu sekitar tahun 1997-an, kami sekeluarga baru pindah rumah, menempati rumah pertama kami hasil utang sana-sini. Kami membangun rumah disebuah tanah kapling, letaknya dekat dengan jalan raya, kira-kira cuma masuk 100 meter dengan ukuran jalan masuk 6 meter. Dengan pertimbangan bisa masuk mobil dan apabila mau menggunakan kendaraan umum mudah, tidak terlalu jauh jalan kakinya, tidak perlu menggunakan ojek atau becak yang tentunya akan menambah biaya transportasi.

Kavling itu merupakan kavlingan pegawai-pegawai Agraria serta pegawai Pusat Otoritas Jatiluhur (POJ), sehingga dikenal dengan sebutan kavling POJ Agraria. Waktu pertama kali bangun rumah tersebut, jalan kami keraskan secara swadaya bareng-bareng sama tetangga, dengan membeli puing-puing, dan pak RT membuat peraturan agar semua orang yang akan membangun rumah harus menyumbang 10 truk puing. Di wilayah RT kami baru ada sekitar 8 rumah permanen, sedangkan rumah-rumah lainnya berisi gubuk-gubuk darurat yang didirikan oleh para pendatang, dengan memanfaatkan lahan kosong yang untuk sementara waktu belum dimanfaatkan oleh pemiliknya.  Biasanya kita namakan mereka itu sebagai orang gang tembok, karena lokasi tempat gubuk-gubuk tersebut berada dekat dengan pagar pembatas kavling yang telah dibuat tembok sebelumnya. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena memudahkan  pembangunan gubuk yang telah mempunyai satu sisi permanen.

Waktu itu si Eha merupakan salah satu anak gang tembok dengan usia 8 tahunan, dengan muka kusam dan rambut tipis serta kucai, sering lewat di depan rumah. Dan kadang-kadang istriku suka memberi dia makanan-makanan yang ada di rumah, misalya kalau kelebihan membeli martabak tadi malam, ya dikasih martabak. Kalau adanya pisang atau jeruk, ya dikasih pisang atau jeruk. Dia sudah tidak sekolah, karena untuk orang gang tembok sama saja, sekolah tidak sekolah ujung-ujungnya hanya jadi pengemis atau tukang cuci gosok. Sekolah cukup sampai kelas 2 saja, yang penting sudah bisa berhitung.

Tahun berikutnya keluarga kami pindah mengikuti tugasku dari kantor dan baru dua tahun kemudian, kami kembali menempati lagi rumah tersebut. Waktu itu si Eha sudah mulai besar, dan pernah beberapa bulan kerja cuci gosok dirumahku. Tapi tidak lama karena dia bilang, mendingan "ngangon" neneknya diperempatan jalan jadi pengemis. Kerjanya lebih mudah dan hasilnya lebih banyak.
Lima tahun kemudian kami sekeluarga kembali harus pindah keluar kota mengikuti tugas kantor ke Denpasar dan ke Pekanbaru sekitar 4 tahun, kembali lagi ke rumah kavling POJ Agraria, Eha sudah menikah dan sudah memiliki 3 anak, Anak pertamanya sudah mau masuk SD bareng dengan anak kami yang ketiga.

Informasi-informasi itu biasanya kudengar dari istriku, karena pernah suatu kali kami membeli seragam SD di pasar, istriku sekalian beli tambahan katanya buat anaknya si Eha. Ya....kira-kira seperti itulah interaksi keluarga kami dengan Eha, termasuk minta beras. Pernah aku menyarankan pada istriku agar suruh dia kembali kerja cuci gosok, namun istriku bilang tidak mungkin dia jadi buruh cuci gosok, sedangkan untuk melihara ketiga anaknya termasuk sedang hamil anak keempat saja, sudah sulit.

Dalam beberapa bulan terakhir, aku kok rasanya jarang melihat istriku komunikasi sama Eha, ketika aku konfirmasikan istriku bilang, kayanya dia malu ketemu kita karena pernah dia pinjam uang 100 ribu, tapi belum dikembalikan. Serta anaknya sudah tidak sekolah lagi, tetapi baju seragam tetap diterima, dan dia malu karena rupanya baju seragam itu malahan dijual. Istriku menambahkan, bahkan sekarang dia kalau pergi kewarung enggak berani lewat depan rumah, tetapi dia menggunakan jalan lain yang memutar.
Eha.....Eha.....kasihan banget nasibmu.

Dalam 15 tahun telah ada dua generasi.......generasi Eha dan generasi anaknya Eha, tanpa ada perbaikan generasi. Sama-sama miskin, tertindas, tidak bependidikan. Rasanya tidak ada orang yang menyadari dan peduli akan hal ini.  Semua dianggap biasa sebagai hukum alam, salahnya sendiri tidak mau mengubah nasib, bukankah para ustadz sudah menyampaikan bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila dia sendiri tidak mearubahnya. Salah sendiri dia tidak mau belajar dari pengalaman, salah sendiri dia tidak mau berusaha, dan lain-lain. Apakah benar semua kesalahan tersebut ada di pihak si Eha ?

Bukankah para pendiri bangsa ini rela berkorban jiwa raga agar dapat merdeka, dapat melindungi "segenap" bangsa Indonesia termasuk si Eha ? Bukankah kita telah diberi tauladan oleh gadis Jepara yang dalam kondisi tertekanpun tetap memperjuangkan pendidikan bagi teman sesama dan sebangsanya ? Bukankah Ki Hajar Dewantoro berjuang mendidik semua elemen bangsa agar mengikuti pendidikan agar cara berfikir, bercita-cita, dan cara bertindaknya berubah menjadi lebih maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain ? Bukankah sudah ada program pendidikan wajib belajar 9 tahun ? Bukankah para politisi berjuang untuk rakyat, terutama wong cilik ? Bukankah si Eha itu temasuk secilik-ciliknya wong yang patut diperjuangkan dalam prioritas pertama ?

Generasi Eha hanyalah sebuah contoh, dan disekeliling dia masih ada Wa Pendek yang merupakan neneknya Eha dimana dia meninggal karena korban tabrak lari kendaraan ketika sedang memgemis diperempatan MM depan pintu tol Bekasi barat.  Ada juga si A'ing keponakannya Eha yang sedikit teganggu jiwanya dan setiap hari selalu ada jalanan komplek Kavling. Ada juga tetangga-tetangga Eha, ibu-ibu yang berjumlah belasan yang setiap malam minggu kumpul dirumah kami belajar Iqro jilid 1......benar-benar hampir sebagian masih jilid satu, masih menghapal abatasa.

Bukannya kemajuan yang didapat, ini malahan kemunduran generasi bangsa kita. Ketika aku di kampung rasanya tidak ada satu orangpun yang tidak bisa mengaji, karena di mesjid atau dilanggar selalu ada guru ngaji yang mengajar mengaji kepada semua anak-anak dari Magrib sampai Isya. Tanpa dibayar, tetapi hanya sebagai kesadaran untuk membuat sesama teman sekampung bisa ngaji sehingga bisa sama-sama masuk sorga.

Mari kita bertanya apa yang sduah kita perbuat untuk bangsa kita, apa yang sudah kita perbuat untuk sesama kita, apakah hidup kita telah bermakna ?

Jakarta-Banda Aceh, 07 Mei 2012(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar