Minggu, 27 Mei 2012

MANG ADING


"Wal awalu idhar bisitatin atat fi YARMALUNA ingdahu qod sabatat" salah satu syair yang telah aku hafalkan sejak belum bisa baca al-qur'an atau kira-kira usia 4 tahunan. Aku ingat betul syair itu karena ketika bulan puasa, sehabis sholat subuh berjamaah biasanya semua santri dikumpulkan melingkar, dan baru boleh pulang bila bisa menjawab pertanyaan Mang Ading guru ngaji kami. Semua santri diberikan pertanyaan yang sama tanpa melihat kelas, baik santri yang masih mengeja seperti aku maupun santri yang telah menamatkan beberapa macam kitab. Waktu itu Mang Ading bertanya huruf apa saja yang termasuk kelompok huruf idhar. Banyak santri besar yang tunjuk tangan, dan aku satu-satunya santri kecil yang tunjuk tangan atas pertanyaan itu. Tentu saja Mang Ading penasaran apakah aku tunjuk tangan karena bisa menjawab atau asal tunjuk tangan saja, maka aku disuruh untuk menjawab. Dengan mantaf aku lavalkan keenam huruf idhar tersebut dengan sempurna, dan ketika disebutkan bahwa jawabanku benar dengan gagah aku keluar mesjid sebagai murid pertama yang berhasil memenangkan tantangan guru ngaji.

Itulah metode belajar ngaji yang aku tahu, dimana metode tersebut telah digunakan juga oleh orang tuaku maupun kakek dan nenek sehingga kita semua orang sekampung bisa mengaji. Setiap maghrib sampai isya, tanpa gembar gembor program wajib belajar, semua anak-anak dikampung yang belum menikah atau belum kerja di kota, selalu kumpul di mesjid untuk belajar mengaji, dan untuk bulan puasa ada tambahan waktu mengaji sehabis subuh. Selalu saja ada sukarelawan yang mau menjadi guru ngaji, dan pada generasi aku sukarelawan tersebut adalah Mang Ading. Usianya waktu itu masih muda, baru selesai mesantren selama 6 tahunan di pesantren kecamatan sebelah. Kalau jaman sekarang mungkin sepantaran orang tamat SMA, tapi dikampugku waktu itu jarang orang yang meneruskan ke SMP apalagi SMA, kebanyakan kalau setelah tamat SD meneruskan ke pesantren atau langsung ikut berdagang dengan orang tuanya ke kota.

Dengan metode seperti itu, seluruh masyarakat kampung bisa mengaji, rasanya aib besar apabila ada orang yang tidak bisa mengaji. Boleh tidak bisa baca tulis serta menghitung, tetapi tidak boleh tidak bisa mengaji. Di pundak orang-orang seperti Mang Ading lah tanggung-jawab tersebut dibebankan. Tanggung jawab yang sangat besar menyangkut dunia maupun akhirat. Namun dengan tanggung jawab sebesar itu, tidak ada gaji sedikitpun yang dia terima, paling-paling mendapatkan beras waktu zakat fitrah atau baju lungsuran kalau ada orang meninggal. Mang Ading dan sejawatnya tidak pernah protes pada pemerintah, tidak pernah mogok kerja, atau demo. Padahal menurutku sih perannya sejajar atau bahkan lebih tinggi dibanding peran hakim.  Makanya tidak heran kalau sampai saat ini, mungkin usia beliau sudah diatas 60 tahun, belum ada generasi pengganti guru ngaji di kampungku.

Aku termasuk agak langka dikampungku, karena orang tuaku menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal bahkan terus sampai perguruan tinggi. Rohis di fakultasku bekerjasama dengan dosen mata kuliah Agama Islam mengadakan acara mentoring. Jadi seluruh mahasiwa tingkat 1 dibagi beberapa kelompok masing-masing kelompok sekitar 10 orang, dan dibimbing oleh mentor kakak kelas Rohis untuk melakukan diskusi agama islam seminggu sekali. Diskusi tersebut bisa apa saja mulai belajar ngaji, membahas hadis, bahkan sampai belajar dakwah. Sungguh aku merasa heran karena ternyata banyak diantara teman-temanku orang-orang kota, ternyata tidak bisa baca al-Quran. Ternyata tujuan utama melakukan program mentoring adalah untuk memberantas buta al-Quran, karena disinyalir bahwa di perkotaan budaya belajar ngaji sehabis maghrib telah hilang sehingga banyak anak-anak yang tidak bisa mengaji. Aku sangat bersyukur lahir di kampung, aku sangat bersyukur memiliki Mang Ading.

Kali kedua ditemui banyak orang gak bisa mengaji adalah di daerah perumahanku di Bekasi. Istriku ikut pengajian di majlis taklim mesjid komplek. Di awal-awal tahun terbentuk majlis taklim tersebut ternyata lebih dari setengah ibu-ibu yang pengajian belum bisa mengaji, bahkan ada di antaranya yang tidak tahun alif bingkeng (istilah bagi orang yang tidak tahu huruf sehingga tidak bisa membedakan mana huruf alif dan huruf lam). Alhamdulillah setelah lima tahun lebih majlis taklim berupaya memberikan materi belajar mengaji dalam salah satu pertemuan mingguannya, sekarang ibu-ibu di komplek sudah bisa mengaji tinggal memperbaiki tajwidnya. Setelah ibu-ibu komplek bisa mengaji, Istriku yang kebetulan sekarang menjadi ketua majlis taklim mencoba mengumpulkan ibu-ibu gang tembok (penghuni yang mendirikan rumah di atas tanah orang lain yang belum digunakan), tenyata hampir semuanya mereka belum bisa mengaji. Sekarang setiap malam minggu sekitar 20 ibu-ibu gang tembok ngumpul dirumah mempelajari Iqro jilid 1.

Adanya pergeseran sosial yang mana dahulu lebih mementingkan ilmu agama seperti di kampungku, dengan gencarnya program wajib belajar serta masuknya listrik ke pedesaan, menyebabkan waktu belajar ngaji menjadi tergeser bahkan tersisih. Sehabis magrib rasanya terlalu sayang kalau harus kehilangan serial sinetron yang menarik, toh belajar mengaji bisa dilakukan dalam pelajaran agama di Sekolah....apa benar begitu ? Untuk sekolah yang memiliki dua kurikulum yaitu sekolah biasa dan sekolah agama, memang benar pelajaran mengaji sudah mencukupi. Tetapi bagi sekolah yang hanya mengandalkan pelajaran agama, saya pikir amat sangat wajar bila anak-anak didiknya belum bisa mengaji. Lucunya tetap lulus.

Selalu ada dampak positif dan negatif dari setiap perubahan, termasuk perubahan karena kemajuan peradaban atau modernisasi. Santri mengaji di Mang Ading aku lihat semakin menyusut. Tidak ada lagi lomba mengaji untuk memperingati isro mi'raj, padahal dahulu moment tersebut menjadi ajang pembuktian kepada seluruh masyarakat atas tingkat kemajuan kepandaian kami. Kami semua mengaji satu persatu di depan speaker, dan pulang kerumah siap - siap menerima pujian dari kerabat. Kadang mendapat persenan alakadarnya.

Apakah pandai mengaji itu penting. ? Bukankah yang penting dalam beragama adalah melaksanakan rukun iman dan rukun islam ? Yang penting percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rosul, Hari Akhir, dan Taqdir baik serta buruk. Yang penting membaca dua kalimah Syahadat, menjalankan sholat, membayar zakat, melaksanakan puasa bulan Ramadhan, serta bila mampu naik haji. Tidak ada yang secara tegas menyebutkan harus bisa ngaji, toh percaya pada kitab Allah atau al-qur'an bisa dilakukan dengan mempelajari terjemahannya yang merupakan isi kitab tersebut. Toh percuma saja membaca al-Quran kalau tidak mengerti isinya ? Khan kita bukan orang Arab ? Toh kalau ada cerita bahwa membaca al-Quran  akan mendapatkan cahaya saat di alam kubur tidak dijelaskan apakah membaca dalam bahasa Arab atau membaca terjemahannya. Itulah beberapa logika yang disampaikan oleh mereka yang belum bisa mengaji......hehehehe......padahal sederhananya saja, semua orang melakukan sholat dengan menggunakan bahasa Arab, apakah ada yang pake terjemahan membaca al-Fatihah ?

Terima kasih Mang Ading, insya Allah ilmu yang telah engkau ajarkan dahulu sangat bermanfaat buat kami, insya Allah ilmu tersebut Akan menjadi ladang amal yang akan terus menemanimu di alam kekal. Maafkan aku yang melupakanmu, maafkan aku yang bahkan sampai sekarang tidak pernah mengurusi duniamu kecuali beberapa bagian kecil yang merupakan hakmu. Sebagaimana engkau ajarkan, bahwa Allah yang akan membalasnya.

Jakarta - Surabaya 21 Mei 2012
(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar