Ini adalah kali kelima aku jalan lagi ke Denpasar, setelah delapan
tahun lalu, yaitu jamannya bom Bali kedua, aku sempat bekerja di
Denpasar hampir 15 bulan. Rasanya telah habis seluruh tempat wisata di
Bali aku jelajahi. Setiap jengkal pasir pantai seperti kuta, legian,
jimbaran, nusa dua, dream land, peti tenget, tanah lot, sampai lovina
telah aku akrabi. Demikian pula wisata gunung dan wisata daerah keramat
seperti besakih, trunyam, bedugul, kintamani, ubud, tirta empul,
sangeh, sampai ke daerah Negara maupun Karang Asem, telah aku datangi.
Jadi setiap datang ke Bali, tidak pernah terpikir olehku untuk membuat
agenda wisata lagi. Berangkat, kerja, langsung balik.
Dalam kedatangan kali ini, ada hal yang sangat berbeda. Dari atas
pesawat terihat jembatan panjang berliku-liku di atas laut. Rupanya Bali tengah
berbenah membuat jalan Tol di atas laut yang menghubungkan Bandara
Ngurah Rai dengan Benoa, Nusa Dua, serta Denpasar. Bandara juga sedang
dirombak total, besar-besaran menjadi bandara modern. Sayang masih
dalam masa pembangunan, jadi kami terpaksa harus muter-muter melewati
gang-gang untuk dapat masuk atau keluar Bandara.
Keluar bandara Ngurah Rai, aku melihat beberapa perubahan selain
pembangunan jalan tol. Rupanya sekarang Denpasar telah memiliki under
pass di sekitar patung Dewa Rucci atau yang dahulu di sebut Simpang
Siur. Alamat simpang siur bisa hilang kalau begini, karena persimpangan
tersebut menjadi tidak siur lagi. Saking berubahnya kondisi di sana,
sampai aku kebingungan mencari jalan sunset road. Melewati jalan tol,
tadinya aku berharap akan melihat ombak dari atas jembatan. Ternyata
entah karena air laut sedang surut atau karena ada perubahan
lingkungan. Yang terlihat adalah lumpur warna hitam dibawah jalan tol.
Mudah-mudahan bukan karena dibangun jalan tol yang menyebabkan
perubahan ekosistem pantai Bali.
*****
Waktu masih menunjukkan pukul 04.45 pagi wib, tapi nampak di luar sudah
mulai terang. Karena perbedaan waktu satu jam antara Jakarta dan
Denpasar, berarti sudah hampir jam enam pagi di Bali. Aku memang
sengaja tidak mengubah jarum jam tangan. Segera aku ganti baju dengan
baju olah raga dan jogging ke pantai Kuta. Banyak perubahan di sekitar
pantai. Akses yang dahulu tertutup dari garis pantai yang sejajar
dengan jalan pantai kuta ke kiri, sekarang telah dibuka, bahkan diberi
jogging track. Tampak beberapa bule sedang jogging, dari mulai pinggir
hotel Ina di Kuta bisa sampai ke depannya Centro bahkan terus sampai ke
pantai depannya hotel kartika plaza. Coca Cola bekerjasama dengan desa
Adat Kuta, telah membuka akses tersebut, terlihat dari prasasti yang
ditandatangani kedua belah pihak.
Demikian juga ketika sore hari tiba, pantai yang dipenuhi oleh bule
berpakaian minimalis, bukan hanya di kuta. Tetapi menyebar tanpa
terputus sampai ke legian, terus nyambung ke seminyak. Tempat yang
dahulu hanya terbatas sekitar satu kilometer sekarang telah berkembang
menjadi hampir lima kilometer. Sebuah kemajuan yang luar biasa yang
tentunya sangat menunjang perekonomian masyarakat bali, karena akan
menambah jumlah guide, sewa mobil, sewa motor, hotel, tukang pijat,
pedagang makanan, pedagang oleh-oleh, pengrajin, tukang tatto, dan
lain-lain.
Semakin penasaran
dengan kemajuan daerah wisata Bali, maka ketika ada waktu break sore
hari, aku minta sopir untuk mengantar ke Garuda Wisnu Kencana,
Dreamland, Uluwatu, dan lain-lain. Banyak sekali perubahan. GWK yang
dahulu sangat sepi, sekarang telah semakin ramai. Pada sore hari ada
pertunjukkan tari kecak dan legong. Sayang waktu luangku tidak terlalu
banyak, jadi aku gak sempat menonton tari kecak yang asli dimainkan
orang bali. Kalau aku nonton tari sekitar 2 jam, berarti tidak bisa
mengunjungi tempat lain. Perbedaan lain di GWK, yang dahulu gratis
sekaramg harus bayar tiket masuk, kalau gak salah tarifnya Rp. 50.000,-
per orang.
Dreamland yang
dahulu hampir 100% berisi bule amat sangat minimalis nongkrong, sekarang
bule yang ada hanya satu dua saja. Selebihnya turis domestik, dan
kesannya menjadi agak kotor. Untuk sampai ke lokasi pantai, kita
diangkut dengan mobil khusus dari pelataran parkir ke bibir jalan menuju
pantai. Sebagai imbalannya parkir mobil dikenakan tarif Rp. 15.000,-
sekali parkir.
Waktu mau naik
ke Uluwatu, sopir memberikan alternatif "Pak, sekarang ada pantai baru
yang sangat bagus, namanya pantai Pandawa. Kalau kita ke Uluwatu, maka
kita tidak bisa ke Pandawa karena akan terlalu malam". Memang
sopir-sopir di Bali, biasa seperti itu merangkap seperti guide.
Akhirnya aku setuju untuk mencoba mengunjungi pantai Pandawa yang
letaknya balik arah menuju arah nusa dua. Pertimbangan lain selain
ingin lihat wisata baru juga biar pulangnya lebih dekat ke Jimbaran.
Makan malam di Cafe Menega Jimbaran sambil melihat pesawat landing dan
take off, diiringi nyanyian meksikoan dari 6 pengamen dengan alat musik
komplit, sudah langsung kebayang lagi. Sejenak melupakan bahwa di Cafe
itulah, bom bali dua diledakan.
Jalan mulus beraspal hotmix, selalu begitu di setiap ruas jalan di
Bali. Mungkin karena tektur tanah dalamnya berkapur, sehingga tempelan
aspal cederung lebih tahan lama. Atau mungkin margin pemborong tidak
terlalu banyak dipotong jadi kualitas aspal bisa lebih bagus. Rupanya
pantai pandawa adalah pantai yang berada di bawah tebing, dan desa adat
disana telah membuka tebing tersebut sehingga mobil bisa memiliki akses
masuk ke pantai. Dikiri kanan tampak tebing batu karas hitam
berundak-undak dan berkelok-kelok. Nun di depan sana, hamparan laut
biru bersih terbentang. Ya Allah.....betapa indahnya ciptaan-Mu.
Setengah jam aku menikmati saat-saat matahari terbenam. Memandang laut
yang dipenuhi perahu kano. Ombaknya tenang dan dibawahnya batu karang
putih bercampur pasir putih. Seperti bermain perahu di kolam renang
super besar.
Aku puas-puasin
foto-foto, dari berbagai sudut dan berbagai arah. Dan aku setuju kata
Wiwit yang ikut seperjalanan denganku, bahwa pemandangan itu tidak bisa
dibungkus dibawa pulang. Tetapi harus dinikmati di tempat.
Jadi.......ayo kita ke Bali.
(salam hangat dari kang sepyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar