Mobil-mobil tiada henti berseliweran di ujung jalan Sudirman. Jalur
lambat kelihatan sangat padat, demikian pula jalur cepat. Beberapa
gerombolan orang yang ada di trotoar, bercampur antara pedagang kaki
lima, calon penumpang, calo atau bahasa keren-nya timer, tukang ojeg,
dan lain-lain. Detilnya tidak terlihat jelas dari tempat aku duduk.
Mobil hanya sebesar kotak korek api. Merk mobil jelas tidak kelihatan,
paling yang bisa di tebak adalah bis, metromini, atau sedan. Terlihat
dari besar dan panjangnya atap mobil. Demikian juga kepala manusia
hanya sebesar pentul korek api. Tidak bisa membedakan kelaminnya apakah
perempuan, lelaki, atau banci. Tidak bisa membedakan profesinya apakah
dia sopir, pegawai, pengamen, pengemis, atau pengusaha. Tidak bisa
melihat raut mukanya apakah sedang sedih, galau, atau gembira. Tidak
bisa melihat apakah mereka sedang kekenyangan atau kelaparan.
Aku
berada di lantai 16 atau kira-kira di ketinggian 80 meter. Dinding
kananku yang seluruhnya terbuat dari kaca menyuguhkan pemandangan jalan
Jendral Sudirman, sehingga aku dengan sangat leluasa memandang hiruk
pikuk jalan tersebut sepanjang hari. Udara yang nyaman cenderung
dingin, membuatku sering mengenakan jaket. Harum ruangan selalu terjaga
dengan dipasangnya alat otomatis yang saban lima menit menyemprotkan
cairan harum di setiap sudut. Sangat kontras dengan keadaan di bawah
sana. Cahaya matahari terik membakar kulit, mengeluarkan bau 'lanus'
kulit dan meningkatkan produksi keringat di ketek. Dicampur dengan debu
asap metromini, komplit sudah panas dan bau jalanan menyatu. Membuat
pikiran buntu dan hati membatu. Kata film tahun 60-an, kejamnya ibu
kota lebih kejam daripada ibu tiri.
*****
Tumpukan map berisi
dokumen-dokumen, foto, denah, narasi hasi analisa dan laporan bertumpuk
memenuhi seluruh sisi meja. Diatas map ada dokumen yang berisi
ekskutive resume, untuk memudahkan dia membaca keseluruhan berkas
tebal. Cukup dengan membaca eksekutive resume yang sekitar 2 - 3 lembar
yang telah dibuat oleh staf yang sekolahannya lebih tinggi, maka dia
'merasa' sudah dapat menguasai berkas tersebut. Lalu dia lirik beberapa
alternatif usulan keputusan yang juga telah dibuat oleh staf, lalu
coret-coret dikit dan tanda-tangan. Tanda-tangan yang bukan tidak
mungkin akan mengubah pola hidup orang, anak-anak, keluarga, atau
kerabat dekat dari yang namanya tercantum dalam berkas. Yang bahkan dia
tidak sempat membukanya.
Begitulah cara eksekutive bekerja
mengambil keputusan, efisien dan cepat. Demikian juga para pejabat,
baik korporasi maupun pemerintahan. Semakin tinggi jabatan, harus bisa
melihat secara global, tidak perlu mengurusi urusan detail dan jelimet.
Manajemen modern mengajarkan seperti itu. Pengalaman urusan detail dan
jelimet, sudah cukup dialami waktu dahulu meniti karir. Artinya
pengalaman masa lalu tersebut, akan menjadi referensi yang dapat
diandalkan dalam membuat keputusan saat ini. Hal yang paling penting
dalam membuat keputusan adalah harus sesuai aturan serta memiliki dasar
logika yang jelas.
*****
Dari lantai 16 aku bisa dengan jelas
melihat kepadatan jalan Sudirman. Aku mencoba berimajinasi, apakah
mungkin aku bisa mengendalikan sebuah mobil remote sebesar mobil beneran
yang sengaja aku simpan di jalan sudirman, tanpa menyenggol mobil yang
lain. Apakah mungkin aku dapat memerintah dengan tepat kepada bawahanku
yang sedang ikut bergerombol di trotoar, kapan saat yang tepat untuk
menyebrang ? Rasanya, kalaupun mungkin atau bisa dengan menggunakan
kalkulasi statistik dan probabilitas, hasilnya tidak akan sempurna.
Keputusan atau perintah yang sempurna, seharusnya dilakukan melalu
pertimbangan logika dan perasaan. Pertimbangan perasaan hanya akan
didapat kalau kita ikut terjun ke lokasi, melihat dengan mata sendiri,
mendengar dengan telinga sendiri, merasakan panas, angin, apek dengan
anggota badan sendiri.
Makanya memang amat sangat pantas kalau
kita sebagai objek hasil keputusan, merasakan ada beberapa keputusan
yang dirasa janggal dan aneh. Naik turunnya harga gas, dapat dijadikan
sebagai salah satu contoh keputusan yang benar secara logika, tetapi
kurang pas secara rasa. Kisruh pedagang kaki lima yang tak kunjung
selesai, bertambahnya rakyat miskin, kesenjangan pembangunan desa dan
kota, impor daging dan kedelai yang terus menerus. Kenapa tidak
selesai-selesai ? Mungkin salah satunya, karena keputusan-keputusan yang
dibuat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, banyak dilakukan di
dalam ruangan yang nyaman. Mungkin si staf yang membuat eksekutive
summary memiliki sudut pandang yang kurang pas, sehingga informasi yang
dibaca pengambil keputusan juga menjadi bias.
Sangat masuk akal
apabila sekarang banyak orang yang berharap pada sosok pejabat yang
merakyat. Yang kerjanya lebih banyak di lapangan dari pada di ruangan.
Sosok seperti pak Jokowi dan bu Tri Rismaharini Walikota Surabaya di pemerintahan.
Sosok seperti pak Jonan PT. KAI dan pak Ismed PT. RNI di korporasi. Hasil kerja mereka
terlihat dan terasa. Ciri-ciri mereka hampir sama, berpakaian
sederhana, bergaya hidup sederhana, tidak banyak sesumbar, mengerjakan
apa yang dia katakan, serta walaupun banyak orang yang 'menggangu'
mereka tetap saja fokus mengerjakan pekerjaan utamanya. Sambil bercanda
istriku pernah bilang "nanti kalau milih pemimpin jangan cari yang
kelimis, karena kerjanya hanya akan memoles-moles biar kelihatan
cantik". Kebetulan orang-orang yang aku sebutkan tadi, kayanya tidak
pernah masuk ke salon.
Kita adalah manusia bumi. Oleh karena itu
kita harus merayap diatas bumi agar kita dapat merasakan, menjaga, dan
menguasai bumi. Terlalu banyak di atas awan dan di udara, membuat kita
tercerabut dari kehidupan bumi.
(Terinspirasi dari salah satu puisi Kang Miswan Nawawi ketika beliau di Hongkong)
(salam hangat dari kang sepyan)
Assalamualaikum wr wb....Luar biasa ulasanya, juga selamat bertugas kembali setelah berlibur.....Di Sunda ada palsafah yang mengatakan "Jadi pamimpin kudu bisa napak sancang neureus bumi sarta ngapung ngawang - ngawang".....Tapi artinya tidak harus seperti yang diceritakan tadi, yang porposional saja. Karena dalam menghadapi masayarakat itu tidak satu kaum tapi bersuku suku dan berbangsa-bangsa yang adat istiadatnya pun berbeda, Ketika inilah ilmu komunikasi diperlukan tanpa harus menyinggung suatu golongan..Pindah cai pindah pileumpangan....Tapi pertanyaanya apakah sama memimpin suatu negara yang penduduk dan budayanya heterogen dengan memimpin sebuak korporasi yang sudah jelas aturan mainya.................? ( Dari grass root Rustam effendi Sastrawijaya)
BalasHapus