Kamis, 16 Januari 2014

MANUSIA BUMI

Mobil-mobil tiada henti berseliweran di ujung jalan Sudirman.  Jalur lambat kelihatan sangat padat, demikian pula jalur cepat.  Beberapa gerombolan orang yang ada di trotoar, bercampur antara pedagang kaki lima, calon penumpang, calo atau bahasa keren-nya timer, tukang ojeg, dan lain-lain.  Detilnya tidak terlihat jelas dari tempat aku duduk.  Mobil hanya sebesar kotak korek api.  Merk mobil jelas tidak kelihatan, paling yang bisa di tebak adalah bis, metromini, atau sedan.  Terlihat dari besar dan panjangnya atap mobil.  Demikian juga kepala manusia hanya sebesar pentul korek api. Tidak bisa membedakan kelaminnya apakah perempuan, lelaki, atau banci.  Tidak bisa membedakan profesinya apakah dia sopir, pegawai, pengamen, pengemis, atau pengusaha.  Tidak bisa melihat raut mukanya apakah sedang sedih, galau, atau gembira.  Tidak bisa melihat apakah mereka sedang kekenyangan atau kelaparan.

Aku berada di lantai 16 atau kira-kira di ketinggian 80 meter.  Dinding kananku yang seluruhnya terbuat dari kaca menyuguhkan pemandangan jalan Jendral Sudirman, sehingga aku dengan sangat leluasa memandang hiruk pikuk jalan tersebut sepanjang hari.  Udara yang nyaman cenderung dingin, membuatku sering mengenakan jaket.  Harum ruangan selalu terjaga dengan  dipasangnya alat otomatis yang saban lima menit menyemprotkan cairan harum di setiap sudut.    Sangat kontras dengan keadaan di bawah sana.  Cahaya matahari terik membakar kulit, mengeluarkan bau 'lanus' kulit dan meningkatkan produksi keringat di ketek.  Dicampur dengan debu asap metromini, komplit sudah panas dan bau jalanan menyatu.  Membuat pikiran buntu dan hati membatu.  Kata film tahun 60-an, kejamnya ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri.

*****
Tumpukan map berisi dokumen-dokumen, foto, denah, narasi hasi analisa dan laporan bertumpuk memenuhi seluruh sisi meja.  Diatas map ada dokumen yang berisi ekskutive resume, untuk memudahkan dia membaca keseluruhan berkas tebal.  Cukup dengan membaca eksekutive resume yang sekitar 2 - 3 lembar yang telah dibuat oleh staf yang sekolahannya lebih tinggi, maka dia 'merasa' sudah dapat menguasai berkas tersebut.  Lalu dia lirik beberapa alternatif usulan keputusan yang juga telah dibuat oleh staf, lalu coret-coret dikit dan tanda-tangan.  Tanda-tangan yang bukan tidak mungkin akan mengubah pola hidup orang, anak-anak, keluarga, atau kerabat dekat dari yang namanya tercantum dalam berkas.  Yang bahkan dia tidak sempat membukanya.

Begitulah cara eksekutive bekerja mengambil keputusan, efisien dan cepat.  Demikian juga para pejabat, baik korporasi maupun pemerintahan.  Semakin tinggi jabatan, harus bisa melihat secara global, tidak perlu mengurusi urusan detail dan jelimet.  Manajemen modern mengajarkan seperti itu.  Pengalaman urusan detail dan jelimet, sudah cukup dialami waktu dahulu meniti karir.  Artinya pengalaman masa lalu tersebut, akan menjadi referensi yang dapat diandalkan dalam membuat keputusan saat ini.  Hal yang paling penting dalam membuat keputusan adalah harus sesuai aturan serta memiliki dasar logika yang jelas.

*****
Dari lantai 16 aku bisa dengan jelas melihat kepadatan jalan Sudirman.  Aku mencoba berimajinasi, apakah mungkin aku bisa mengendalikan sebuah mobil remote sebesar mobil beneran yang sengaja aku simpan di jalan sudirman, tanpa menyenggol mobil yang lain.  Apakah mungkin aku dapat memerintah dengan tepat kepada bawahanku yang sedang ikut bergerombol di trotoar, kapan saat yang tepat untuk menyebrang ?  Rasanya, kalaupun mungkin atau bisa dengan menggunakan kalkulasi statistik dan probabilitas, hasilnya tidak akan sempurna.  Keputusan atau perintah yang sempurna, seharusnya dilakukan melalu pertimbangan logika dan perasaan.  Pertimbangan perasaan hanya akan didapat kalau kita ikut terjun ke lokasi, melihat dengan mata sendiri, mendengar dengan telinga sendiri, merasakan panas, angin, apek dengan anggota badan sendiri.

Makanya memang amat sangat pantas kalau kita sebagai objek hasil keputusan, merasakan ada beberapa keputusan yang dirasa janggal dan aneh.  Naik turunnya harga gas, dapat dijadikan sebagai salah satu contoh keputusan yang benar secara logika, tetapi kurang pas secara rasa.  Kisruh pedagang kaki lima yang tak kunjung selesai, bertambahnya rakyat miskin, kesenjangan pembangunan desa dan kota, impor daging dan kedelai yang terus menerus.  Kenapa tidak selesai-selesai ? Mungkin salah satunya, karena keputusan-keputusan yang dibuat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, banyak dilakukan di dalam ruangan yang nyaman.  Mungkin si staf yang membuat eksekutive summary memiliki sudut pandang yang kurang pas, sehingga informasi yang dibaca pengambil keputusan juga menjadi bias.

Sangat masuk akal apabila sekarang banyak orang yang berharap pada sosok pejabat yang merakyat.  Yang kerjanya lebih banyak di lapangan dari pada di ruangan.  Sosok seperti pak Jokowi dan bu Tri Rismaharini Walikota Surabaya di pemerintahan.  Sosok seperti pak Jonan PT. KAI dan pak Ismed PT. RNI di korporasi.  Hasil kerja mereka terlihat dan terasa.  Ciri-ciri mereka hampir sama, berpakaian sederhana, bergaya hidup sederhana, tidak banyak sesumbar, mengerjakan apa yang dia katakan, serta walaupun banyak orang yang 'menggangu'  mereka tetap saja fokus mengerjakan pekerjaan utamanya.  Sambil bercanda istriku pernah bilang "nanti kalau milih pemimpin jangan cari yang kelimis, karena kerjanya hanya akan memoles-moles biar kelihatan cantik".  Kebetulan orang-orang yang aku sebutkan tadi, kayanya tidak pernah masuk ke salon.

Kita adalah manusia bumi.  Oleh karena itu kita harus merayap diatas bumi agar kita dapat merasakan, menjaga, dan menguasai bumi.  Terlalu banyak di atas awan dan di udara, membuat kita tercerabut dari kehidupan bumi.


(Terinspirasi dari salah satu puisi Kang Miswan Nawawi ketika beliau di Hongkong)


(salam hangat dari kang sepyan)

1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr wb....Luar biasa ulasanya, juga selamat bertugas kembali setelah berlibur.....Di Sunda ada palsafah yang mengatakan "Jadi pamimpin kudu bisa napak sancang neureus bumi sarta ngapung ngawang - ngawang".....Tapi artinya tidak harus seperti yang diceritakan tadi, yang porposional saja. Karena dalam menghadapi masayarakat itu tidak satu kaum tapi bersuku suku dan berbangsa-bangsa yang adat istiadatnya pun berbeda, Ketika inilah ilmu komunikasi diperlukan tanpa harus menyinggung suatu golongan..Pindah cai pindah pileumpangan....Tapi pertanyaanya apakah sama memimpin suatu negara yang penduduk dan budayanya heterogen dengan memimpin sebuak korporasi yang sudah jelas aturan mainya.................? ( Dari grass root Rustam effendi Sastrawijaya)

    BalasHapus