Bersama Ade, Arief, Dadang, Nana, Iban, kami bekerjasama memotong
kertas, membuat huruf, membentuk logo kampus, lalu dengan lem kami
tempelkan huruf-huruf dan potongan gambar log tersebut ke atas kain
tetoron warna coklat ukuran 5 meter. Jadilah spanduk yang selanjutnya
dipasang di tempat kegiatan. Jadi dalam proposal selalu dianggarkan
biaya spanduk adalah Rp. 35.000,- yaitu Rp. 30.000,- untuk beli kain dan
sisanya untuk beli lem serta kertas karton dengan warna mengkilap.
Maklum anggaran terbatas, jadi harus buat sendiri spanduk, karena kalau
pesan ke tukang spanduk hitungannya per meter bisa sampai Rp. 25.000,-
Kadang-kadang kalau dananya agak lebih, huruf-huruf dan logo dibuat
dengan cat. Caranya adalah kita membuat bolongan berbentuk huruf ataupun
logo, lalu nanti kertas tersebut di cat diatas kain, dan ketika
kertasnya diangkat, akan tersisa cat berbentuk huruf di atas kain
tersebut. Tingkat kesulitannya adalah mengepaskan kerapatan huruf dan
kalimat sehingga tetep simetris dan tidak naik turun atau miring
pemasangannya.
Dengan perkembangan teknologi printing, pembuatan spanduk menjadi
semakin mudah. Ukuran tidak hanya sebatas kain dengan lebar satu meter.
Demikian juga bukan hanya huruf yang ditampilkan, tetapi dapat berupa
gambar dengan gradasi warna yang sempurna. Waktunyapun, kalau dahulu
membuat satu spanduk rame-rame bisa semaleman, kalau pesan ke tukang
spanduk juga sama akan meminta waktu sehari, kalau lebih cepat harganya
akan naik berlipat-lipat. Sekarang waktu pencetakan spanduk cukup dalam
hitungan menit, buat design di komputer, lalu di print deh di plastik
spanduk.
Ternyata yang paling banyak memanfaatkan teknologi tersebut adalah
politisi. Maklum kalau politisi yang dihitung biayanya hanya biaya
membuat spanduk, sedangkan kalau pengusaha harus menghitung juga biaya
pajak yang tarifnya amat sangat mahal. Akibatnya suasana kota menjadi
sumpek, karena dimana-mana terdapat spanduk yang dipasang sembarangan.
Mata rasanya seperti melihat sampah kemana-mana. Pengamatanku, semakin
tidak beres suasana politik disuatu kota atau daerah, maka akan semakin
tidak jelas pemasangan spanduk dilakukan oleh para bakal calon pemimpin
daerah tersebut.
Demikian pula di Bekasi, tiba-tiba di akhir tahun 2011, hampir diseluruh
jalan ada spanduk bergambar ema-ema bertuliskan the next mayor.....oh
ternyata beliau adalah istrinya mantan walikota yang sekarang sedang
dibui, entah apa kiprah sebelumnya. Seluruh kota bekasi penuh dengan
foto dan tulisan the next mayor....dan aku....cuma bisa ngedumel, karena
kemanapun arah mata memandang, selalu ada spanduk tersebut.
Sebulan berselang, tambah banyak spanduk-spanduk berfoto. Hampir seluruh
tiang jalanan baik listrik, telepon, lampu, serta seluruh pepohonan
ditempeli dengan gambar berbagai ukuran. Ada I'm Pario meniru iklannya
Agnes, ada Adhi Firdaus dengan gelar doktornya, ada perempuan yang
menamakan diri Srikandi Bekasi, ada perempuan berkerudung bergelar
insinyur, ada ketua koperasi yang aku lupa namanya, ada artis jadi
walikota siapa takut tapi terus terang aku gak ingat apakah dia artis
film, sinetron, penyanyi atau presenter, ada Andi Jabidi ketua DPRD, ada
Haji Awing yang dahulu nyalon tapi kalah suara, ada orang yang
menyatakan dukungan pada Walikota sekarang, pokoknya ada berbagai rupa
gambar dijalanan. Sekitar 20 orang atau lebih calon pemimpin atau orang
yang merasa pantas memimpin Bekasi, memulai kiprahnya dengan mengotori
kota Bekasi. Dalam satu tiang atau pohon terdapat berbagai gambar.
Memang jadinya serba salah, karena dengan sistem Pemilukada yang berlaku
sekarang, maka pemilihan pemimpin kepala daerah ditentukan langsung
oleh masyarakat. Logikanya masyarakat akan memilih calon pemimpin
berdasarkan pengenalan pemilih terhadap tokoh tersebut. Artinya tokoh
tersebut seharusnya terkenal di masyarakat, terutama terkenal dari sisi
kompetensi dan kepantasan menjadi pemimpin. Masalahnya para calon
tersebut merasa masih kurang 'pede' atas apa yang telah diperbuatnya
kepada masyarakat. Jadilah digunakan logika bisnis yaitu memasang
iklan, agar masyarakat kenal, agar masyarakat inget gambar tersebut
waktu nanti ada di bilik suara. Toh masyarakat pemilih dianggapnya
masih bodoh, sebodoh-bodohnya manusia.
Pemasangan iklan foto dijalanan dilakukan hanya dengan mengandalkan
keberanian memasang, dan siap ribut apabila ada yang melakukan
pencopotan. Yang aku heran, kenapa petugas yang biasanya sangat sigap
menegur perusahaan yang memasang spanduk bahkan tetap ditegur dan
ditagih walau hanya memasang di dinding rumahnya sendiri, kok dengan
kondisi seperti ini pada diam saja. Pada kemana mereka ? Ataukah mereka
sudah tidak berani berkutik karena yang nempel-nempel iklan khan calon
bos ? Jadi sudah diperbolehkan mengatur penempatan iklan dikota
tersebut.
Oleh karena itu wahai para calon pemilih, marilah kita melakukan
penilaian terhadap tingkat kecenderungan calon pemimpin kita berdasarkan
iklan foto yang ditempelkan. Semakin banyak iklan yang ditempelkan dan
semakin semaunya menempelkan iklan foto dirinya, mengindikasikan kalau
dia sudah menjadi pemimpin akan semakin korup. Buktinya belum jadi
pemimpin saja, mereka telah mengutamakan kepentingan pribadi dibanding
kepentingan umum, buktinya mereka menganggap kita sebagai pemilih hanya
objek yang gampang dibodoh-bodohi, buktinya mereka sudah bertindak
semaunya mengotori kota kita.
Belum menjadi pemimpin saja sudah bertindak seperti itu, bagaimana kalo telah menjadi pemimpin ? Waspadalah......waspadalah.
(salam hangat dari kang sepyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar