Kamis, 20 September 2012

PILKADA BEKASI

Bersama Ade, Arief, Dadang, Nana, Iban, kami bekerjasama memotong kertas, membuat huruf, membentuk logo kampus, lalu dengan lem kami tempelkan huruf-huruf dan potongan gambar log tersebut ke atas kain tetoron warna coklat ukuran 5 meter. Jadilah spanduk yang selanjutnya dipasang di tempat kegiatan.  Jadi dalam proposal selalu dianggarkan biaya spanduk adalah Rp. 35.000,- yaitu Rp. 30.000,- untuk beli kain dan sisanya untuk beli lem serta kertas karton dengan warna mengkilap.  Maklum anggaran terbatas, jadi harus buat sendiri spanduk, karena kalau pesan ke tukang spanduk hitungannya per meter bisa sampai Rp. 25.000,-

Kadang-kadang kalau dananya agak lebih, huruf-huruf dan logo dibuat dengan cat. Caranya adalah kita membuat bolongan berbentuk huruf ataupun logo, lalu nanti kertas tersebut di cat diatas kain, dan ketika kertasnya diangkat, akan tersisa cat berbentuk huruf di atas kain tersebut.  Tingkat kesulitannya adalah mengepaskan kerapatan huruf dan kalimat sehingga tetep simetris dan tidak naik turun atau miring pemasangannya.

Dengan perkembangan teknologi printing, pembuatan spanduk menjadi semakin mudah.  Ukuran tidak hanya sebatas kain dengan lebar satu meter. Demikian juga bukan hanya huruf yang ditampilkan, tetapi dapat berupa gambar dengan gradasi warna yang sempurna.  Waktunyapun, kalau dahulu membuat satu spanduk rame-rame bisa semaleman, kalau pesan ke tukang spanduk juga sama akan meminta waktu sehari, kalau lebih cepat harganya akan naik berlipat-lipat. Sekarang waktu pencetakan spanduk cukup dalam hitungan menit, buat design di komputer, lalu di print deh di plastik spanduk.

Ternyata yang paling banyak memanfaatkan teknologi tersebut adalah politisi. Maklum kalau politisi yang dihitung biayanya hanya biaya membuat spanduk, sedangkan kalau pengusaha harus menghitung juga biaya pajak yang tarifnya amat sangat mahal. Akibatnya suasana kota menjadi sumpek, karena dimana-mana terdapat spanduk yang dipasang sembarangan.  Mata rasanya seperti melihat sampah kemana-mana.  Pengamatanku, semakin tidak beres suasana politik disuatu kota atau daerah, maka akan semakin tidak jelas pemasangan spanduk dilakukan oleh para bakal calon pemimpin daerah tersebut.

Demikian pula di Bekasi, tiba-tiba di akhir tahun 2011, hampir diseluruh jalan ada spanduk bergambar ema-ema bertuliskan the next mayor.....oh ternyata beliau adalah istrinya mantan walikota yang sekarang sedang dibui, entah apa kiprah sebelumnya.  Seluruh kota bekasi penuh dengan foto dan tulisan the next mayor....dan aku....cuma bisa ngedumel, karena kemanapun arah mata memandang, selalu ada spanduk tersebut.

Sebulan berselang, tambah banyak spanduk-spanduk berfoto. Hampir seluruh tiang jalanan baik listrik, telepon, lampu, serta seluruh pepohonan ditempeli dengan gambar berbagai ukuran. Ada I'm Pario meniru iklannya Agnes, ada Adhi Firdaus dengan gelar doktornya, ada perempuan yang menamakan diri Srikandi Bekasi, ada perempuan berkerudung bergelar insinyur, ada ketua koperasi yang aku lupa namanya, ada artis jadi walikota siapa takut tapi terus terang aku gak ingat apakah dia artis film, sinetron, penyanyi atau presenter, ada Andi Jabidi ketua DPRD, ada Haji Awing yang dahulu nyalon tapi kalah suara, ada orang yang menyatakan dukungan pada Walikota sekarang, pokoknya ada berbagai rupa gambar dijalanan. Sekitar 20 orang atau lebih calon pemimpin atau orang yang merasa pantas memimpin Bekasi, memulai kiprahnya dengan mengotori kota Bekasi.  Dalam satu tiang atau pohon terdapat berbagai gambar.

Memang jadinya serba salah, karena dengan sistem Pemilukada yang berlaku sekarang, maka pemilihan pemimpin kepala daerah ditentukan langsung oleh masyarakat.  Logikanya masyarakat akan memilih calon pemimpin berdasarkan pengenalan pemilih terhadap tokoh tersebut. Artinya tokoh tersebut seharusnya terkenal di masyarakat, terutama terkenal dari sisi kompetensi dan kepantasan menjadi pemimpin. Masalahnya para calon tersebut merasa masih kurang 'pede' atas apa yang telah diperbuatnya kepada masyarakat.  Jadilah digunakan logika bisnis yaitu memasang iklan, agar masyarakat kenal, agar masyarakat inget gambar tersebut waktu nanti ada di bilik suara.  Toh masyarakat pemilih dianggapnya masih bodoh, sebodoh-bodohnya manusia.

Pemasangan iklan foto dijalanan dilakukan hanya dengan mengandalkan keberanian memasang, dan siap ribut apabila ada yang melakukan pencopotan.  Yang aku heran, kenapa petugas yang biasanya sangat sigap menegur perusahaan yang memasang spanduk bahkan tetap ditegur dan ditagih walau hanya memasang di dinding rumahnya sendiri, kok dengan kondisi seperti ini pada diam saja. Pada kemana mereka ? Ataukah mereka sudah tidak berani berkutik karena yang nempel-nempel iklan khan calon bos ? Jadi sudah diperbolehkan mengatur penempatan iklan dikota tersebut.

Oleh karena itu wahai para calon pemilih, marilah kita melakukan penilaian terhadap tingkat kecenderungan calon pemimpin kita berdasarkan iklan foto yang ditempelkan.  Semakin banyak iklan yang ditempelkan dan semakin semaunya menempelkan iklan foto dirinya, mengindikasikan kalau dia sudah menjadi pemimpin akan semakin korup. Buktinya belum jadi pemimpin saja, mereka telah mengutamakan kepentingan pribadi dibanding kepentingan umum, buktinya mereka menganggap kita sebagai pemilih hanya objek yang gampang dibodoh-bodohi, buktinya mereka sudah bertindak semaunya mengotori kota kita.

Belum menjadi pemimpin saja sudah bertindak seperti itu, bagaimana kalo telah menjadi pemimpin ? Waspadalah......waspadalah.

  (salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar