Sejak kepindahan kantorku dari daerah semanggi ke daerah dukuh atas awal
tahun 2013, pilihan berangkat ke kantor mengunakan commuter line
menjadi pilihan utama. Disamping belum punya kartu parkir di gedung
yang baru, juga aku masih mengalami kesulitan men"siasati" jalur tri in
one yang harus dilalui.
Seperti biasa, pagi ini tanggal 17
Januari 2013 jam 5.50, dengan sedikit malas karena hujan semaleman belum
reda sampai pagi tadi, aku sudah keluar dari rumah menuju statsiun
kira-kira perjalanan 3 menit dari rumah ke jalan raya, terus 2 menit
menyebrang, dan 5 menit naik angkot dengan jarak sekitar 1,5 kilometer.
Gumpalan awan hitam dan hujan kecil yang konsisten turun sejak semalam,
menutup cahaya matahari sehingga rasanya tidak dapat membedakan apakah
jamku bener sudah hampir jam enam, atau mungkin salah. Rasanya seperti
masih jam empat pagi.
Alhamdulillah naik commuter line dapat
tempat duduk. Biasanya jarang-jarang dapat tempat duduk. Sekedar dapat
tempat senderan ke tiang dekat pintu saja sudah untung, bisa mengurangi
beban pegal di kaki. Commuter berjalan sangat lambat, sering berhenti
baik di statsiun ataupun di jalan. Seperti biasa, sebagai penumpang,
kita tidak atau jarang diinformasikan kenapa hal tersebut terjadi.
Persiapan sabar untuk penumpang angkutan umum di Indonesia, memang harus
sangat banyak. Tapi akupun sudah tidak peduli, karena asik membaca
buku tebel biografi Steve Job yang sudah hampir sebulan ini belum
selesai. Hampir sekitar 60 halaman aku baca, mulai halaman awal 500-an
sudah nginjak deket ke halaman 600. Mulai terasa pegal, baik mata
maupun punggung, aku lihat sekeliling. Banyak penumpang terutama yang
berdiri bernapas panjang menghilangkan kekesalan. Diluar tampak hujan
belum berhenti.
Sudah jam 7.00 lewat, nampaknya commuter masih
ada didaerah Cipinang, belum sampai Jatinegara. Menunggu lama, aku
teruskan lagi membaca. Menjelang jam 7.30, seharusnya aku mulai berdo'a
di kantor, commuterku baru sampai Jatinegara, dan kembali berhenti
lama. Gak kaya lagu "naik kereta api" syairnya menyebutkan "keretaku
tak berhenti lama". Aku menghubungi Stafku, minta segera pimpin do'a.
Kebetulan waktu itu Bos besarku semua sedang ke luar kota, jadi aku
secara otomatis yang harusnya menggantikan beliau. Namun apa daya,
masih terjebak di perut commuter.
Sampai Mangarai sudah hampir
jam 08.00, hujan diluar makin lebat. Dan karena commuter yang aku
tumpangi jurusan Jakarta Kota, maka aku harus ganti commuter ke yang
jurusan Sudirman Tanah Abang. Kebetulan sudah ada di sebelah jalur,
lalu aku pindah ke commuter tersebut. Untuk memastikan, aku tanya sama
salah satu penumpang yang ada disana, dia jawab betul ini commuter yang
ke Tanah Abang, namun masih menunggu dari tadi belum jalan. Tanpa
curiga, akupun ikut berdiri di dalam commuter, biasanya paling 5 menitan
sudah berangkat.
Hujan diluar makin membesar, dan commuter masih
belum bergerak. Samar-samar terdengar pengumuman yang menginformasikan
commuter jurusan Gambir tidak bisa meneruskan perjalanan karena
statsiun Jakarta kota terendam banjir. Sedangkan commuter jurusan
Sudirman Tanah Abang masih menunggu pemberangkatan. Selama dua jam
terus-terusan pengumuman tersebut berulang-ulang, dan kadang-kadang
berubah-ubah. Sehingga penumpang dengan berhujan-hujanan pindah-pindah
jalur commuter. Penumpang makin menumpuk, mau keluar cari alternatif
moda transportasi lain seperti metromini, taksi, maupun ojek mendadak
tidak tersedia diluar statsiun Mangarai, bahkan odong-odong pun
menghilang. Mencari orang yang jualan untuk sarapan tidak ada, padahal
banyak penumpang yang mengandalkan sarapan begitu sampai kantor, jadi
pagi-pagi tidak sarapan di rumah. Diluar nampak ada ribut-ribut, rupanya
ada orang yang dibopong beramai-ramai karena pingsan, aku taksir dia
karyawati dengan usia sekitar 30-an. Suasana dingin, basah, gak jelas,
pegal karena lama berdiri, dan lapar.
Setelah bosan mundar-mandir
naek turun commuter gunta-ganti lajur, yang lumayan sulit karena harus
naik tanpa tangga dari peron ke commuter tingginya sekitar 1 meter,
ditambah hujan yang belum berhenti menyebabkan kami kehujanan untuk
berlari pindah gerbong sekitar 2 meter, akhirnya aku putuskan untuk
duduk di commuter line yang kosong, minimal bisa istirahat. Aku biarkan
nasib membawaku kemana, terserah commuter mau
bergerak......hehehe.....pasrah, dan aku kembali membaca buku. Sampai
akhirnya banyak penumpang yang masuk commuter tersebut. Oooh ternyata
aku duduk di commuter yang teat, commuter tersebut tidak jadi berangkat
ke kota ataupun ke tanah abang, tetapi kembali ke Bekasi. Alhamdulillah
deh, aku bolos saja kalau begitu hari ini, itung-itung cuti. Ternyata
akibat pindah-pindah commuter, bajuku terutama bagian tangannya lumayan
basah.
Perjalanan dari Mangarai ke Bekasi sama saja seperti tadi
pagi berangkat, banyak tersendat akibat penumpukan-penumpukan commuter
di statsiun yang disinggahi. Ketika hujan mulai reda. Sekitar jam
11.35 commuter sampai Bekasi, aku langsung ke rumah, mau tidur. Namun
rupanya, cita-cita tidur tersebut belum dapat terlaksana, karena
perjalan ke rumah harus melewati genangan banjir sebetis di daerah jakan
Apel depannya rumah pak Maulana dan pak RT, demikian juga di daerah
komplek BAKN dan jalan Nangka arah Perumnas 1, jalan telah berubah
menjadi danau coklat. Dengan menggulung celana dan membuka sepatu, aku
menerobos genangan air tersebut menuju rumah. Banyak tetangga-tetangga
yang rumahnya kemasukan air, tampak sedang berjaga-jaga diluar. Aku
bergegas, agar segera sampai rumah. Alhamdulillah jalan pas didepan
pintu pagarku belum kerendam air, tapi kalau jalan yang sebelah kiri
samping rumah karena letaknya agak menurun telah terdapat genangan. Si
babeh tetangga yang ngontrak rumah petak di depan rumah beserta bu de
istrinya, sedang duduk di teras depan pagar rumahku. Rupanya air sudah
masuk ke dalam rumahnya, jadi mereka duduk-duduk di tempat yang kering.
Setelah
ganti baju dengan kaos dan celana pendek serta topi, aku mencoba
keliling-keliling komplek. Berjingkat-jingkat karena langkah terhalang
air. Hampir seluruh jalanan telah dipenuhi air setinggi antara 20
sampai 40 centimeter. Wajah-wajah kuyu tetanggaku terlihat, sambil
saling bergerombol tidak jauh dari rumahnya masing-masing. Namun banyak
anak-anak yang tampak ceria, dengan bermodal bambu yang diujungnya
dibentuk lingkaran dan diberi kain, mereka tampak asik mencari ikan.
Tangan kanan memegang alat tersebut, dan tangan kirinya membawa botol
aqua kecil yang diisi air setengahnya. Tampak beberapa ekor ikan kecil
menggelepar didalam botol aqua tersebut. Mereka bergerombol
berlari-larian......hehehe, dasar anak-anak.
Siang menjelang
sore, mataku manteng televisi, terutama televisi berita seperti Metro TV
dan TV One yang secara terus menerus memberikan siaran langsung atas
banjir di Jakarta. Rupanya Statsiun Sudirman terendam hampir 1,5
meter. Rupanya jalan Thamrin bahkan bundaran HI yang menjadi simbol
kota metropolitan, telah berubah menjadi danau. Rupanya tanggul
Latuharhary jebol yang menyebabkan air tanpa ampun menerobos ikut
jalan-jalan ke Monas. Seharian, sampai malem aku manteng siaran
lamgsung Televisi dan media on line lainnya. Meskipun ada orang yang
bilang Jokowi pencitraan, tapi terus terang aku salut sama beliau. Aku
baru menemukan ada Gubernur yang benar-benar turun langsung, berada di
dekat rakyatnya mengatasi masalah. Apakah karena pak Jokowi yang
"pintar" mengendalikan media, atau memang karena kepemimpinan Jokowi
yang memang menarik media. Menurutku pernyataan yang kedua yang
benar.........banjirrrrrrr......dan dua jempol tangan terangkat untuk
pak Jokowi. Salut.
(salam hangat dari kang sepyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar