Rabu, 23 Januari 2013

BANJIR JAKARTA

Sejak kepindahan kantorku dari daerah semanggi ke daerah dukuh atas awal tahun 2013, pilihan berangkat ke kantor mengunakan commuter line menjadi pilihan utama.  Disamping belum punya kartu parkir di gedung yang baru, juga aku masih mengalami kesulitan men"siasati" jalur tri in one yang harus dilalui.

Seperti biasa, pagi ini tanggal 17 Januari 2013 jam 5.50, dengan sedikit malas karena hujan semaleman belum reda sampai pagi tadi, aku sudah keluar dari rumah menuju statsiun kira-kira perjalanan 3 menit dari rumah ke jalan raya, terus 2 menit menyebrang, dan 5 menit naik angkot dengan jarak sekitar 1,5 kilometer.  Gumpalan awan hitam dan hujan kecil yang konsisten turun sejak semalam, menutup cahaya matahari sehingga rasanya tidak dapat membedakan apakah jamku bener sudah hampir jam enam, atau mungkin salah.  Rasanya seperti masih jam empat pagi.

Alhamdulillah naik commuter line dapat tempat duduk.  Biasanya jarang-jarang dapat tempat duduk.  Sekedar dapat tempat senderan ke tiang dekat pintu saja sudah untung, bisa mengurangi beban pegal di kaki.  Commuter berjalan sangat lambat, sering berhenti baik di statsiun ataupun di jalan.  Seperti biasa, sebagai penumpang, kita tidak atau jarang diinformasikan kenapa hal tersebut terjadi.  Persiapan sabar untuk penumpang angkutan umum di Indonesia, memang harus sangat banyak.  Tapi akupun sudah tidak peduli, karena asik membaca buku tebel biografi Steve Job yang sudah hampir sebulan ini belum selesai.  Hampir sekitar 60 halaman aku baca, mulai halaman awal 500-an sudah nginjak deket ke halaman 600.  Mulai terasa pegal, baik mata maupun punggung, aku lihat sekeliling.  Banyak penumpang terutama yang berdiri bernapas panjang menghilangkan kekesalan.  Diluar tampak hujan belum berhenti.

Sudah jam 7.00 lewat, nampaknya commuter masih ada didaerah Cipinang, belum sampai Jatinegara.  Menunggu lama, aku teruskan lagi membaca.  Menjelang jam 7.30, seharusnya aku mulai berdo'a di kantor, commuterku baru sampai Jatinegara, dan kembali berhenti lama.  Gak kaya lagu "naik kereta api" syairnya menyebutkan "keretaku tak berhenti lama".  Aku menghubungi Stafku, minta segera pimpin do'a.  Kebetulan waktu itu Bos besarku semua sedang ke luar kota, jadi aku secara otomatis yang harusnya menggantikan beliau.  Namun apa daya, masih terjebak di perut commuter.

Sampai Mangarai sudah hampir jam 08.00, hujan diluar makin lebat.  Dan karena commuter yang aku tumpangi jurusan Jakarta Kota, maka aku harus ganti commuter ke yang jurusan Sudirman Tanah Abang.  Kebetulan sudah ada di sebelah jalur, lalu aku pindah ke commuter tersebut.  Untuk memastikan, aku tanya sama salah satu penumpang yang ada disana, dia jawab betul ini commuter yang ke Tanah Abang, namun masih menunggu dari tadi belum jalan.  Tanpa curiga, akupun ikut berdiri di dalam commuter, biasanya paling 5 menitan sudah berangkat.

Hujan diluar makin membesar, dan commuter masih belum bergerak.  Samar-samar terdengar pengumuman yang menginformasikan commuter jurusan Gambir tidak bisa meneruskan perjalanan karena statsiun Jakarta kota terendam banjir.  Sedangkan commuter jurusan Sudirman Tanah Abang masih menunggu pemberangkatan.  Selama dua jam terus-terusan pengumuman tersebut berulang-ulang, dan kadang-kadang berubah-ubah.  Sehingga penumpang dengan berhujan-hujanan pindah-pindah jalur commuter.  Penumpang makin menumpuk, mau keluar cari alternatif moda transportasi lain seperti metromini, taksi, maupun ojek mendadak tidak tersedia diluar statsiun Mangarai, bahkan odong-odong pun menghilang.  Mencari orang yang jualan untuk sarapan tidak ada, padahal banyak penumpang yang mengandalkan sarapan begitu sampai kantor, jadi pagi-pagi tidak sarapan di rumah. Diluar nampak ada ribut-ribut, rupanya ada orang yang dibopong beramai-ramai karena pingsan, aku taksir dia karyawati dengan usia sekitar 30-an.  Suasana dingin, basah, gak jelas, pegal karena lama berdiri, dan lapar.

Setelah bosan mundar-mandir naek turun commuter gunta-ganti lajur, yang lumayan sulit karena harus naik tanpa tangga dari peron ke commuter tingginya sekitar 1 meter, ditambah hujan yang belum berhenti menyebabkan kami kehujanan untuk berlari pindah gerbong sekitar 2 meter, akhirnya aku putuskan untuk duduk di commuter line yang kosong, minimal bisa istirahat.  Aku biarkan nasib membawaku kemana, terserah commuter mau bergerak......hehehe.....pasrah, dan aku kembali membaca buku.  Sampai akhirnya banyak penumpang yang masuk commuter tersebut.  Oooh ternyata aku duduk di commuter yang teat, commuter tersebut tidak jadi berangkat ke kota ataupun ke tanah abang, tetapi kembali ke Bekasi.  Alhamdulillah deh, aku bolos saja kalau begitu hari ini, itung-itung cuti.  Ternyata akibat pindah-pindah commuter, bajuku terutama bagian tangannya lumayan basah.

Perjalanan dari Mangarai ke Bekasi sama saja seperti tadi pagi berangkat, banyak tersendat akibat penumpukan-penumpukan commuter di statsiun yang disinggahi.  Ketika hujan mulai reda.  Sekitar jam 11.35 commuter sampai Bekasi, aku langsung ke rumah, mau tidur.   Namun rupanya, cita-cita tidur tersebut belum dapat terlaksana, karena perjalan ke rumah harus melewati genangan banjir sebetis di daerah jakan Apel depannya rumah pak Maulana dan pak RT, demikian juga di daerah komplek BAKN dan jalan Nangka arah Perumnas 1, jalan telah berubah menjadi danau coklat.  Dengan menggulung celana dan membuka sepatu, aku menerobos genangan air tersebut menuju rumah.  Banyak tetangga-tetangga yang rumahnya kemasukan air, tampak sedang berjaga-jaga diluar.  Aku bergegas, agar segera sampai rumah.  Alhamdulillah jalan pas didepan pintu pagarku belum kerendam air, tapi kalau jalan yang sebelah kiri samping rumah karena letaknya agak menurun telah terdapat genangan. Si babeh tetangga yang ngontrak rumah petak di depan rumah beserta bu de istrinya, sedang duduk di teras depan pagar rumahku. Rupanya air sudah masuk ke dalam rumahnya, jadi mereka duduk-duduk di tempat yang kering.

Setelah ganti baju dengan kaos dan celana pendek serta topi, aku mencoba keliling-keliling komplek.  Berjingkat-jingkat karena langkah terhalang air.  Hampir seluruh jalanan telah dipenuhi air setinggi antara 20 sampai 40 centimeter.  Wajah-wajah kuyu tetanggaku terlihat, sambil saling bergerombol tidak jauh dari rumahnya masing-masing.  Namun banyak anak-anak yang tampak ceria, dengan bermodal bambu yang diujungnya dibentuk lingkaran dan diberi kain, mereka tampak asik mencari ikan.  Tangan kanan memegang alat tersebut, dan tangan kirinya membawa botol aqua kecil yang diisi air setengahnya.  Tampak beberapa ekor ikan kecil menggelepar didalam botol aqua tersebut.  Mereka bergerombol berlari-larian......hehehe, dasar anak-anak.

Siang menjelang sore, mataku manteng televisi, terutama televisi berita seperti Metro TV dan TV One yang secara terus menerus memberikan siaran langsung atas banjir di Jakarta.  Rupanya Statsiun Sudirman terendam hampir 1,5 meter.  Rupanya jalan Thamrin bahkan bundaran HI yang menjadi simbol kota metropolitan, telah berubah menjadi danau.  Rupanya tanggul Latuharhary jebol yang menyebabkan air tanpa ampun menerobos ikut jalan-jalan ke Monas.  Seharian, sampai malem aku manteng siaran lamgsung Televisi dan media on line lainnya.  Meskipun ada orang yang bilang Jokowi pencitraan, tapi terus terang aku salut sama beliau.  Aku baru menemukan ada Gubernur yang benar-benar turun langsung, berada di dekat rakyatnya mengatasi masalah.  Apakah karena pak Jokowi yang "pintar" mengendalikan media, atau memang karena kepemimpinan Jokowi yang memang menarik media.  Menurutku pernyataan yang kedua yang benar.........banjirrrrrrr......dan dua jempol tangan terangkat untuk pak Jokowi. Salut.

(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar