Senin, 07 Januari 2013

RAPORT MERAH PENDIDIKAN

Udara sejuk daerah Talaga di Kabupaten Majalengka  bulan Desember tahun 1978 jam 10 pagi itu terasa agak panas. Aku bersama sekitar 700 siswa SMP Negeri Talaga berdiri di lapangan upacara mendengarkan nasihat pak Suwardi Sastradiredja, Kepala sekolah kami menjelang pembagian raport semester ganjil yang pertama dilakukan di bulan Desember.  Maklum tahun 1978 adalah tahun pertama perubahan kalender akademik yang dimulai bulan Juli, dimana sebelumnya tahun 1977/1978 aku terpaksa menempuh pendidikan kelas satu SMP selama satu setengah tahun, yaitu dari Januari 1977 sampai dengan Juli 1978.

Udara terasa menjadi bertambah panas, ketika tiba saatnya pengumuman juara kelas, entah karena matahari yang semakin tinggi mengiringi setiap menit pidato pak Suwardi, atau karena adrenalin aku yang meningkat, menunggu pengumuman.  Irama detak jantungku terasa kian cepat dan aliran darah mengalir lebih deras dari setiap ujung-ujung jariku, menuju ke otak.  Disetiap pembagian raport sejak aku SD sampai dengan SMP memang selalu ada budaya pengumuman siswa-siswa berprestasi secara akademik. Yaitu siswa-siswa tersebut dipanggil kedepan, dan diberi ucapan selamat serta jabat tangan erat dari Bapak Kepala Sekolah dan guru-guru.  Tanpa piagam penghargaan ataupun hadiah, tetapi sungguh efektif meningkatkan tekad siswanya untuk dapat meraihnya kembali atau merebutnya pada semester yang akan datang.  Sehingga kami selalu berlomba untuk mengerjakan PR dengan baik, menyelesaikan tugas lebih cepat, dan belajar lebih giat.

Yang di panggil kedepan bukan seluruh siswa yang mendapatkan rengking pertama sampai ketiga dari setiap kelas, tetapi hanya siswa atau siswi yang menduduki rengking pertama sampai ketiga yang diadu secara paralel.  Jadi kalau kelas dua SMP memiliki enam kelas paralel, yang dipanggil kedepan hanya 3 orang, bukan 18 orang.  Tiba giliran pengumuman juara kelas untuk kelas dua, dimulai dari juara ketiga temanku Tatan Fathurohman, lalu aku dipanggil menjadi juara kedua, sedangkan juara pertamanya adalah Titin Agustini.  Selama aku SMP memang tidak pernah dapat melampaui prestasi Titin Agustini, anaknya bu bidan yang sekarang menurut kabar menjadi salah satu dokter yang praktek di Kimia Farma Bandung.  Untuk urusan rangking ini, mulai SMP dan SMA bahkan mahasiswa, rasanya selalu ada perempuan yang sulit dikejar.  Setelah Titin Agustini di SMP, di SMA menghadang Titin Atikah, dan ketika mahasiswa pun ada Santi tok yang IP setiap semesternya selalu lebih tinggi. 

Budaya atau ritual pembagian raport yang menurutku cukup baik meningkatkan motivasi belajar siswa, ternyata dipandang tidak baik menurut ilmu psikologi, sehingga pada generasi anakku hal tersebut sudah tidak ada lagi.  Pembagian raport sekarang harus dilakukan oleh orang tua.  Setahun empat kali yaitu raport bayangan semester pertama, raport semester pertama, raport bayangan semester kedua, dan raport kenaikan kelas, kami para orang tua harus ngantri dihadapan gurunya anak-anak, berjejer-jejer duduk di kursi dan meja kekecilan.  Maklum kursi untuk ukuran anak-anak digunakan oleh orang tua yang kelebihan berat badan, jadinya waktu menunggu tersebut menjadi terasa tambah lama.  Menurut psikolog tersebut, pembagian raport bisa dijadikan sebagai media komunikasi antara orang tua siswa dan guru untuk mencari cara terbaik mendidik anaknya.  Menurutku Anda ???

Dalam kesempatan pembagian raport tersebut, ada di antara orang tua yang memanfaatkan kesempatan sehingga cukup lama berkonsultasi, ngobrol segala macam kebiasaan anaknya di rumah menghadapi tugas-tugas yang diberikan guru ataupun cara belajar anaknya dalam menghadapi ujian, tetapi ada juga yang sekedar mengambil.  Namun yang agak seragam adalah, kalau ibu-ibu yang ngambil raport biasanya bawa buah tangan bisa berupa bungkusan dengan kertas bergambar, ataupun hanya berupa amplop yang diselipkan sebagai ucapan terima kasih, saat bersalaman pamitan. Kalau yang datangnya bapak-bapak, umumnya tidak ada kado ataupun selipan amplop.  Tapi aku percaya kalau Bapak dan Ibu guru tersebut, tidak membedakan cara mendidik berdasarkan apa yang dilakukan orang tuanya saat pengambilan raport.  Makanya, aku jadi sering disuruh istriku untuk ngantri ngambil raport tersebut.  Makanya aku suka sering senewen kalau nunggu ibu-ibu yang konsultasinya lama.  Menurutku, kenapa enggak minta nomor HP gurunya saja dan minta alamat emailnya, lebih praktis khan ?

Disisi lain, berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa teman, ternyata nilai yang tercantum dalam raport pun telah berbeda antara raport generasiku dengan raport generasi anaku.  Kalau dahulu ada mata pelajaran yang nilainya dibawah 60 maka akan di tulis dengan tinta warna merah.  Kalau sekarang tidak ada lagi warna merah dalam raport, karena sekolah telah mengantisipasi dengan sistem remedy atau ujian ulangan bagi siswa yang nilai ulangannya berada di bawah KKM.  Angka KKM kira-kira terjemahan awamnya adalah angka standar kelulusan minimum.  Kalau dahulu seluruh mata pelajaran di seluruh sekolah yang ada di Indonesia nilai KKM adalah 60.  Tapi sekarang nilai KKM menjadi semacam target sekolah, yaitu ditentukan oleh dewan guru.  Angkanya berbeda-beda tiap mata pelajaran maupun tiap sekolah bervariasi antara 60 sampai dengan 80.  Namun secara kualitas angka 80 tidak menjamin siswanya menguasai 80 persen mata pelajaran tersebut, karena ini menyangkut gengsi-gengsian sekolah. 

Penentuan angka KKM menjadi semcam target sekolah, semakin tinggi nilai KKM menunjukkan semakin tinggi kualitas sekolah tersebut.  Walaupun pada kenyataannya malahan menjadi sumber awal budaya "semua bisa diatur" yang dipelajari siswa.  Untuk mencapai KKM tersebut bisa dimainkan dari kualitas soal atau sebelumnya diberi latihan soal yang mirip dengan soal ujian.  Kisi-kisi soal ujian yang jaman aku sekolah tabu disampaikan oleh guru, sekarang menjadi diperbolehkan.  Jadi kita tidak bisa memperbandingkan nilai raport terhadap siswa yang sekolah di tempat yang berbeda.

Pemerintah menyadari adanya perbedaan kualitas sekolah tersebut atau menyadari bahwa standar angka setiap sekolah berbeda.  Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa lulusan sekolah telah memenuhi kriteria minimum maka dibuat ujian nasional (UN).  Sebelumnya nilai UN tidak menentukan kelulusan sehingga walaupun mendapat nilai UN 1,0 atau bahkan di bawah 1,0 masih tetap lulus.  Namun seiring berjalannya waktu, sekarang sudah ada nilai minimum UN yang dapat menentukan kelulusan siswa.   Apakah seluruh siswa yang lulus memang telah memiliki kemampuan yang cukup sehingga mampu menjawab soal dan mendapatkan nilai di atas nilai minimal ? Diatas kertas iya.......tapi kalau kita telusuri lebih jauh, ternyata jawabannya belum tentu......loh...kok bisa ???

Ternyata telah tejadi perlombaan yang cukup sengit antara pembuat rambu-rambu dalam hal ini  kementrian pendidikan dengan pihak pelaksana UN.  Pembuat kebijakan berusaha memastikan agar tidak terjadi kecurangan pelaksanaan UN sehingga hasil penilaiannya dapat dipertanggung-jawabkan, sedangkan pelaksana UN berusaha untuk mensiasati agar murid-muridnya dapat lolos UN bagaimanapun caranya.  Mengingat mereka sebelumnya telah ditarget oleh pak Walikota atau pak Bupati.  Kalau ternyata sekolah di daerahnya banyak yang tidak lulus UN itu menunjukkan Kepala Daerah tidak mampu mengelola Dinas Pendidikan.  Dinas pendidikan meneruskan target tersebut kepada Kepala Sekolah.  Maksudnya baik, agar Kepala Sekolah dapat berusaha memberikan pembelajaran yang baik sehingga seluruh muridnya dapat lolos UN. Tetapi, alih-alih berusaha dengan cara yang benar, kebanyakan yang diusahakan adalah "bagaimanapun caranya".  Tidak semua sekolah begitu, tetapi berdasarkan hasil diskusi aku dengan beberapa teman yang menjad guru, menunjukkan indikasi ke arah itu.

Temenku yang berprofesi menjadi guru sekolah swasta di pinggiran kota berceritera bahwa waktu menghadapi UN dilakukan pembagian tugas para guru.  Ada yang bertugas memberikan "bimbingan" maksudnya membimbing langsung murid waktu mengerjakan UN, ada yang bertugas melobi pengawas, ada yang bertugas "menjaga" pemantau, dan ada pula yang bertugas melakukan "revisi akhir".   Hehehe.....sebaiknya trik-trik ini tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, kayanya kurang baik.  Bisa saja ada yang bilang bahwa hal diatas hanyalah sebuah kebohonan, mengada-ada, atau membesar-besarkan......tapi biar saja.  Hasil akhirnya adalah ketika murid-murid diajak belajar tambahan atau pengayaan materi, dijawab gak perlu pak guru,  toh tanpa belajar juga kita bisa lulus.  Hasilnya adalah, banyak murid yang biasanya memiliki nilai tidak baik, ketika UN nilainya menjadi jauh lebih baik dibandingkan anak yang pintar.  Hasilnya adalah, banyak murid yang tidak sempat mengerjakan seluruh soal, bisa mendapat nilai 100.  Hasilnya adalah, ketika seorang pengawas dari sekolah lain menemukan adanya kecurangan, misalnya ada guru yang memberikan kunci jawaban atau ada murid yang ketahuan memiliki kunci jawaban, buru-buru pak Kepala Sekolah tersebut turun tangan minta jangan dibesar-besarkan, karena memang sudah perintah dari atasnya begitu.   Budaya kerja keras dihilangkan, diganti dengan budaya "semua bisa diatur".

Mungkin inilah barangkali salah satu penyebab semakin terpuruknya bangsa ini.  Sogok menyogok, suap menyuap, mencari jalan pintas, merupakan salah satu kerja keras yang "dianggap" suatu hal biasa.  Tidak ada perbedaan terhadap orang yang berhasil karena kerja keras yang benar-benar kerja dibandingkan orang yang berhasil karena kerja keras hanya dengan mencari jalan pintas.  Semua hanya melihat hasil akhir, cepat kaya, cepat naik pangkat, cepat punya mobil baru, itulah ukuran keberhasilan.  Tidak heran bahwa banyak sekali anak-anak muda yang menjadi tersangka baik karena politik, pajak, narkoba, dan lain-lain. 

Seandainya saja kembali ke penggunaan tinta merah untuk nilai dibawah standar......inilah raport merah dunia pendidikan kita......mari sama-sama kita selamatkan.

(salam hangat dari kang sepyan)

1 komentar:

  1. Wilujeng siang

    Miskinkan , Bodohkan, Hancurkan
    Itulah semboyan mereka yg tidak senang dgn tegaknya Indonesia Raya...

    Misi mereka merambah ke semua lini tidak haya sektor ekonomi bahkan pendidikan pun yg menjadi tiangya tegaknya suatu negara, mereka gerogoti...

    BalasHapus