Sabtu, 16 Maret 2013

TUKANG PARKIR

Gubernur Jokowi memang fenomenal. Dengan kesederhanaannya, dengan gaya atau tampang kampungnya, dengan keseriusannya bekerja, membuat beliau berbeda.  Menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya.  Bahkan bukan hanya rakyat Jakarta, rakyat Jawa Barat dan rakyat Sumatera Utara pun ikut mengidolakan Jokowi.  Buktinya sambutan sangat antusias dari masyarakat Jabar dan Sumut ketika Jokowi ikut membantu kolega nya berkampanye Gubernur di kedua wilayah tersebut.

Salah satu kiat menghadapi kemacetan Jakarta yang diprogramkan Jokowi adalah dengan segera akan direalisasikan proyek monorel, proyek pembatasan kendaraan dengan mengatur ganjil genap, termasuk proyek meningkatkan biaya parkir menjadi Rp. 4.000 per jam.  Maksudnya agar orang yang punya mobil mikir dengan mahalnya biaya parkir kalau harus bekerja membawa mobil ke Jakarta.  Maklum proyek mengatasi macet harus banyak kitanya karena merupakan proyek prioritas yang ditunggu keberhasilannya oleh semua orang.

Kenaikan tarif parkir tersebut ternyata tidak hanya terbatas pada kenaikan parkir di gedung-gedung.  Tapi berlaku juga untuk tarif parkir di pinggir jalan.  Sehingga kalau dahulu parkir di pinggir jalan cukup seribu, sekarang harganya terus meningkat.....tidak berbeda jauh dengan tarif parkir di gedung.

Mengamati fenomena parkir, marilah kita coba sedikit bahasa tentang  profesi tukang parkir.  Umumnya untuk parkir di tempat-tempat umum seperti lapangan, pelataran mal, dikuasai oleh salah satu ormas kepemudaan.  Atau kadang-kadang di kelola oleh anak pejabat di wilayah tersebut.  Dengan slogan terima uang tetapi risiko tanggung sendiri, usaha mengelola parkir merupakan salah satu usaha yang cukup menggiurkan.  Dengan modal sedikit, bisa menghasilkan keuntungan yang banyak, nyaris tanpa risiko.  Kalau mobil baret, risiko yang punya mobil.  Kalo barang di mobil hilang, risiko yang punya mobil.  Bahkan kalau mobilnya pun hilang, risiko sepenuhnya sebagai risiko yang punya mobil.  Pengelola parkir hanya seperti orang yang menyewakan lahan parkir.

Demikian juga untuk parkir di pinggir jalan.  Sangat jelas, setiap meter jalan apalagi di keramaian telah ada yang menguasai.  Petugas parkir tersebut ada yang berseragam serta dilengkapi karcis parkir yang dikeluarkan Pemda, namun banyak pula tukang parkir yang tidak jelas.  Bahkan sering ketika kita susah payah memarkir mobil, rasanya sendirian gak ada tukang parkir di daerah tersebut.  Tetapi begitu kita mau keluar dari jalan, langsung muncul orang bermodalkan peluit, meminta jasa parkir.  Menurut aku ini lebih mirip pemalakan dari pada menjual jasa. Tapi sayangnya kok hal ini terjadi dimana-mana.  Seolah-olah semua orang menjadi maklum, dan dianggap itu merupakan cara mendapat mata pencaharian yang benar.

Terus terang, walaupun hanya bayar Rp. 2.000,- kadang aku suka gusar kalo melihat tukang parkir jenis pemalak ini.  Bukankah kita sama-sama masyarakat yang berhak untuk menggunakan jalan atau pinggir jalan ?  Aku amat sangat tidak yakin kalau mereka itu menyetorkan hasil parkirnya ke Pemda. Mungkin dia cuma nyetor ke preman atau ke "oknum".  Kalaulah jasa parkir jalanan tersebut dapat dikelola dengan baik.  Berapa banyak penghasilan yang akan didapat Pemda.

Rasanya tidak ada ruas jalan semeterpun di daerah Jabidetabek yang bebas dari tukang parkir.  Aku pernah parkir di tempat sepi yang rasanya mustahil ada tukang parkir.  Ketika aku mau pergi, tiba-tiba ada orang yang aku pikir sedang jualan rokok, minta parkir juga......ckckckckck.....pemalakan berjamaah.  Mungkin orang sungkan membicarakan ini, nanti dikira pelit.  Masa Rp. 2.000,- aja diributin.

Premanisme jalanan memang sudah terjadi di segala bidang.  Kemaren sore waktu mau nganter anakku ke terminal Bekasi, tidak biasanya pas di pintu masuk terminal ada oknum petugas yang memberhentikanku.  Dia meminta aku membayar Rp. 2.000,-.  Ketika aku minta bukti atas pungutan uang tersebut, dia jawab sudah habis, enggak apa-apa, enggak perlu ? Aku jadi bingung.....khan yang perlu aku sebagai orang yang bayar, minta bukti.  Dia seolah-olah menjawab bahwa dia tidak memerlukan bukti tersebut.......jadi enggak nyambung.  Ini dia yang keliru atau aku yang aneh, kok minta bukti.

Kalau untuk pengemis, sudah banyak lembaga yang ingin mengatur.  Misalnya MUI mengeluarkan fatwa haram memberi pada pengemis di jalanan.  Tantrib juga kadang-kadang melakukan penertiban terhadap keberadaan pengemis di jalanan.  Namun untuk masalah parkir liar, rasaya belum ada yang peduli.  Kalau kita hitung penghasilannya, hampir sama bahkan bisa lebih besar di banding pengemis dan pak ogah.  Tapi......sampai sekarang.....tukang parkir masih leluasa berkuasa.  Mungkin dinas  perparkiran belum mampu berpikir sampai ke arah itu........kita tunggu.

Atau silahkan pejabat Dinas Perparkiran studi banding ke Pulau Bali khususnya Denpasar.  Disana, rasanya tukang parkir liar kalaupun ada, tidak sebanyak di Jakarta.......jadi, selamat jalan-jalan ke Bali.

(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar