Gubernur Jokowi memang fenomenal. Dengan kesederhanaannya, dengan gaya
atau tampang kampungnya, dengan keseriusannya bekerja, membuat beliau
berbeda. Menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Bahkan bukan
hanya rakyat Jakarta, rakyat Jawa Barat dan rakyat Sumatera Utara pun
ikut mengidolakan Jokowi. Buktinya sambutan sangat antusias dari
masyarakat Jabar dan Sumut ketika Jokowi ikut membantu kolega nya
berkampanye Gubernur di kedua wilayah tersebut.
Salah satu kiat
menghadapi kemacetan Jakarta yang diprogramkan Jokowi adalah dengan
segera akan direalisasikan proyek monorel, proyek pembatasan kendaraan
dengan mengatur ganjil genap, termasuk proyek meningkatkan biaya parkir
menjadi Rp. 4.000 per jam. Maksudnya agar orang yang punya mobil mikir
dengan mahalnya biaya parkir kalau harus bekerja membawa mobil ke
Jakarta. Maklum proyek mengatasi macet harus banyak kitanya karena merupakan proyek prioritas yang
ditunggu keberhasilannya oleh semua orang.
Kenaikan tarif parkir
tersebut ternyata tidak hanya terbatas pada kenaikan parkir di
gedung-gedung. Tapi berlaku juga untuk tarif parkir di pinggir jalan.
Sehingga kalau dahulu parkir di pinggir jalan cukup seribu, sekarang
harganya terus meningkat.....tidak berbeda jauh dengan tarif parkir di
gedung.
Mengamati fenomena parkir, marilah kita coba sedikit bahasa tentang profesi
tukang parkir. Umumnya untuk parkir di tempat-tempat umum seperti
lapangan, pelataran mal, dikuasai oleh salah satu ormas kepemudaan.
Atau kadang-kadang di kelola oleh anak pejabat di wilayah tersebut.
Dengan slogan terima uang tetapi risiko tanggung sendiri, usaha
mengelola parkir merupakan salah satu usaha yang cukup menggiurkan.
Dengan modal sedikit, bisa menghasilkan keuntungan yang banyak, nyaris
tanpa risiko. Kalau mobil baret, risiko yang punya mobil. Kalo barang
di mobil hilang, risiko yang punya mobil. Bahkan kalau mobilnya pun
hilang, risiko sepenuhnya sebagai risiko yang punya mobil. Pengelola
parkir hanya seperti orang yang menyewakan lahan parkir.
Demikian
juga untuk parkir di pinggir jalan. Sangat jelas, setiap meter jalan
apalagi di keramaian telah ada yang menguasai. Petugas parkir tersebut
ada yang berseragam serta dilengkapi karcis parkir yang dikeluarkan
Pemda, namun banyak pula tukang parkir yang tidak jelas. Bahkan sering
ketika kita susah payah memarkir mobil, rasanya sendirian gak ada tukang
parkir di daerah tersebut. Tetapi begitu kita mau keluar dari jalan,
langsung muncul orang bermodalkan peluit, meminta jasa parkir. Menurut
aku ini lebih mirip pemalakan dari pada menjual jasa. Tapi sayangnya kok
hal ini terjadi dimana-mana. Seolah-olah semua orang menjadi maklum,
dan dianggap itu merupakan cara mendapat mata pencaharian yang benar.
Terus
terang, walaupun hanya bayar Rp. 2.000,- kadang aku suka gusar kalo
melihat tukang parkir jenis pemalak ini. Bukankah kita sama-sama
masyarakat yang berhak untuk menggunakan jalan atau pinggir jalan ? Aku
amat sangat tidak yakin kalau mereka itu menyetorkan hasil parkirnya ke
Pemda. Mungkin dia cuma nyetor ke preman atau ke "oknum". Kalaulah
jasa parkir jalanan tersebut dapat dikelola dengan baik. Berapa banyak
penghasilan yang akan didapat Pemda.
Rasanya tidak ada ruas jalan
semeterpun di daerah Jabidetabek yang bebas dari tukang parkir. Aku
pernah parkir di tempat sepi yang rasanya mustahil ada tukang parkir.
Ketika aku mau pergi, tiba-tiba ada orang yang aku pikir sedang jualan
rokok, minta parkir juga......ckckckckck.....pemalakan berjamaah.
Mungkin orang sungkan membicarakan ini, nanti dikira pelit. Masa Rp.
2.000,- aja diributin.
Premanisme jalanan memang sudah terjadi
di segala bidang. Kemaren sore waktu mau nganter anakku ke terminal
Bekasi, tidak biasanya pas di pintu masuk terminal ada oknum petugas
yang memberhentikanku. Dia meminta aku membayar Rp. 2.000,-. Ketika
aku minta bukti atas pungutan uang tersebut, dia jawab sudah habis,
enggak apa-apa, enggak perlu ? Aku jadi bingung.....khan yang perlu aku
sebagai orang yang bayar, minta bukti. Dia seolah-olah menjawab bahwa
dia tidak memerlukan bukti tersebut.......jadi enggak nyambung. Ini dia
yang keliru atau aku yang aneh, kok minta bukti.
Kalau untuk
pengemis, sudah banyak lembaga yang ingin mengatur. Misalnya MUI
mengeluarkan fatwa haram memberi pada pengemis di jalanan. Tantrib juga
kadang-kadang melakukan penertiban terhadap keberadaan pengemis di
jalanan. Namun untuk masalah parkir liar, rasaya belum ada yang
peduli. Kalau kita hitung penghasilannya, hampir sama bahkan bisa lebih
besar di banding pengemis dan pak ogah. Tapi......sampai
sekarang.....tukang parkir masih leluasa berkuasa. Mungkin dinas
perparkiran belum mampu berpikir sampai ke arah itu........kita tunggu.
Atau
silahkan pejabat Dinas Perparkiran studi banding ke Pulau Bali
khususnya Denpasar. Disana, rasanya tukang parkir liar kalaupun ada,
tidak sebanyak di Jakarta.......jadi, selamat jalan-jalan ke Bali.
(salam hangat dari kang sepyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar