Rabu, 13 Maret 2013

ACEH GAYO

Akhirnya aku pilih pesawat yang brangkat subuh dari Jakarta menuju Banda Aceh.  Kebetulan sejak ditutupnya Batavia air, pesawat Lion yang biasanya berangkat agak siangan dari Jakarta langsung ke Aceh, dalam bulan Februari 2013 tidak terbang. Jadi agar bisa sampai di Aceh tengah hari, harus naik Garuda yang transit di Medan.  Perjalanan Jakarta ke Aceh yang biasanya di tempuh dalam waktu 3 jam kurang, menjadi lebih panjang sekitar 4 jam 30 menit.  Dan yang bikin malas sebetulnya karena harus turun naik pesawatnya.  Maklum sampai sekarang, setiap proses pesawat turun ataupun naik, hati ini masih belum bisa kompromi.  Denyut jantung terasa lebih cepat, dan perasaan was-was tidak bisa dihilangkan.

Hari itu aku akan melakukan perjalanan ke Takengon, kira-kira  7 jam perjalanan dari  Banda Aceh. Menurut kang Omang, saudaraku satu daerah yang kebetulan menjadi Bos besar disana, perjalanannya akan melewati Sigli kira-kira 2 jam, dari Sigli ke Bieureun kira-kira 2 jam, lalu masuk ke jalur tengah dari Biereun arah Takengon kira-kira 3 jam.  Sehingga diusahakan pake pesawat pagi agar tidak kemalaman di jalan.  Perjalanan dari Banda Aceh sampai Bieureun menyusuri pantai timur Aceh. Jalannya lumayan lurus dan besar, hanya sekitar 25 kilometer sebelum masuk kota Sigli jalanan lumayan berbelok naik turun menembus pegunungan Seulawah.  Seulawah pernah ngetop karena jaman perjuangan dahulu pernah dijadikan nama pesawat terbang perintis di Indonesia.


Perjalanan yang dirasa cukup berbeda adalah ketika telah belok dari jalan pantai timur, menuju ke Aceh Tengah.  Jalan mulai mengecil dan sebagian besar jalan sedang diperlebar.  Tampak tebing-tebing curam disebelah kanan kendaraan dan di sebelah kiri terdapat jurang yang sangat tinggi. Konon pada tahun 2012 jalan ini baru diperlebar, dan sampai sekarang belum selesai.  Namun proses pengerjaannya tidak lagi buka tutup seperti dahulu (jalan ditutup mulai jam 8 pagi sampai jam 12, kemudian dibuka 2 jam, lalu ditutup lagi sampai sore).  Dahulu harus buka tutup karena untuk mengoperasikan mobil pengeruk, diperlukan seluruh badan jalan.  Dengan selesai pelebaran, tinggal tahap pengerasan tidak memerlukan buka tutup lagi.

Kalau hujan deras, cukup ngeri melewati jalan ini.  Takutnya tebing yang baru dipapas dengan tinggi sekitar 50 meter dan kemiringan hampir 88 derajat, tentunya bila longsor akan tanpa ampun menutupi badan jalan seperti di Tol Cipularang kemaren.  Belum lagi dengan bumbu cerita dari pak sopir yang dengan sangat bersemangat menuturkan bahwa baru 5 hari yang lalu, ada Avanza yang mengangkut lima orang terjun bebas ke jurang.  Katanya 3 meninggal di tempat, selanjutnya 3 hari dan seminggu kemudian yang dua lagi menyusul.  Bikin tambah ngeri aja.

Aceh tengah, terbagi dalam 3 Kabupaten, yaitu Bandar Meriah kabupaten baru pecahan dari Aceh Tengah, dan Takengon.  Serta satu kabupaten lagi pecahan dari Kotacane yaitu Kabupaten Blang Kejeren.  Kalau digambarkan dalam peta perjalanan, dari Bieureun akan melewati Bandar Meriah, lalu masuk Takengon, diteruskan lagi ke Blang Kejeren dan terus menembus sampai ke Kutacanae yang sudah masuk wilayah pantai barat Aceh.  Tiga kabupaten yaitu Bandar Meriah, Takengon, dan Blang Kejeren tidak mau di sebut sebagai orang Aceh, mereka menyebutnya orang Gayo.  Demikian juga Kutacane, disebutnya bukan orang Aceh dan juga bukan orang Gayo, tetapi disebut orang Alas. Mungkin seperti orang Sunda, kalau kata orang luar pulau Jawa disebutnya orang Jawa, tetapi biasanya orang Jawa Barat tidak mau disebut orang Jawa, mereka menyebutnya orang Sunda.  Dan untuk orang Alas, padanannya mungkin seperti orang Cirebon.  Mohon maaf bila padanan ini kurang pas.

Takengon terkenal sebagai daerah dingin di propinsi NAD, jalannya menanjak dan berkelak-kelok. Sangat terkenal sebagai daerah penghasil kopi terbaik di Indonesia.  Ada dua jenis kopi yang diproduksi, yaitu kopi Robusta dan kopi Arabika.  Kopi Robusta pohonnya tinggi-tinggi, namun bijinya lebih kecil, dan harga jualnya kurang baik.  Oleh karena itu di Takengon sekarang banyak dikembangkan kopi Arabika.  Umumnya pohonnya di"buat" tidak terlalu tinggi, bijinya lebih besar, dan menghasilkan kopi kualitas ekspor.

Proses pengolahan kopi umumnya dilakukan dengan skala rumah tangga.  Dimulai dari panen bibit yang berwarna merah.  Lalu kulit merahnya dikupas atau dipisahkan dari bijinya dengan cara digiling, hasil penggilingan tersebut disebut sebagai gabah kopi.  Gabah kopi kemudian dijemur dan kemudian digiling kembali sehingga menjadi biji kopi.  Biji kopi di jemur kembali sampai kadar airnya kira-kira 12%.  Kemudian di gongseng atau dipanaskan, baru menjadi kopi yang siap diminum.  Kualitas biji, ketepatan waktu panen, kecepatan proses penjemuran, hal-hal itulah yang sangat mempengaruhi kulitas kopi dan keasaman kopi.  Sepanjang perjalanan, tampak penduduk banyak yang menjemur di pinggir jalan, baik gabah kopi maupun biji kopi.

Terus apa yang disebut kopi luwak ?  ternyata kopi luwak proses produksinya hampir sama dengan kopi biasa.  Yang berbeda adalah, saat biji kopi telah dipetik, kopi di"suguh"kan kepada Luwak untuk dikonsumsi.  Luwak tersebut tidak akan mampu mencerna gabah kopi.  Sehingga setelah dimakan, maka kulitnya di cerna sedangkan gabah kopinya akan utuh keluar bersama kotoran Luwak.  Jadi Luwak berfungsi sebagai pengganti mesin giling untuk mengupas kulit kopi.  Ternyata selama biji kopi berada dalam pencernaan Luwak, mungkin ada proses fermentasi, sehingga mampu memberikan kontribusi pada keasaman kopi yang "pas" menurut penggemar kopi.

Selain kopi dan udara dingin, di Takengon terdapat lapangan pacuan kuda "Blang Bebangka".  Sayang sekali waktu aku kesana sedang tidak ada lomba pacuan kuda.  Menurut teman-teman disana, bila tiba musim pacuan kuda, biasanya rame. Namun jangan membayangkan joki seperti di tivi-tivi. Biasanya joki tersebut memacu kuda, tanpa pelana......jadi asli....alami....seperti kpbpy jimen.

Tempat wisata lainnya di Takengon adalah Danau Laut Tawar, yang sekelilingnya terdapat jalan kecil serta dapat dilalui kendaraan.  Sayang waktu aku di Takengon agak sempit karena perjalanan sambil bekerja, jadi tidak sempat berkeliling danau.  Kalau mengelilingi danau kira-kira memerlukan waktu satu jam perjalanan.  Namun walaupun tidak sempat berkeliling, aku sempatkan mampir ke salah satu pantainya, yaitu wilayah one-one.  Tersedia menu ikan bakar biasanya ikan Nila yang fresh, manis, dan akan membuat Anda lupa diet.  Jangan lupa coba juga ikan khas danau laut tawar, yaitu ikan depik.  Kalau rasa dan bentuknya mirip ikan balita di Jawa, ikan Saluang di Padang, atau ikan Wader di Makasar.

Dua puluh empat jam di Takengon, rasanya terlalu cepat.  Menjelang magrib aku kembali ke Bieureun dengan diiringi hujan yang sangat lebat.  Sampai-sampai jalan seperti berubah menjadi sungai besar.  Tidak di Jakarta, tidak juga di Aceh Tengah......kadang-kadang pembuat jalan suka lupa membuat solokan.  Seperti halnya pembuat rumah lupa membuat tempat sampah........Beberapa bungkus kopi, aku lihat sudah berada di jok belakang, untuk dibagikan ke teman-teman di Jakarta.........ayo.......siapa mau ngupi ???

(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar