Kamis, 22 Agustus 2013

GONJING

Jarak dari rumahku ke SMP tidak terlalu jauh, namun waktu itu belum ada jalan yang bisa dilalui kendaraan, jadi harus ditempuh dengan jalan kaki.  Memerlukan waktu sekitar 2 jam perjalanan, melewati gunung Genter dan gunung Picung.  Kedua gunung itulah yang menghalangi akses untuk menuju Desaku, karena di kedua gunung itu jalan yang tersedia hanya berupa jalan setapak yang kadang berundak-undak melewati batu-batu besar.  Menyebabkan desaku tampak seperti daerah terisolir.  Tahun tujuhpuluhan, lebih dari setengah penduduk desa belum pernah melakukan perjalanan ke "kota" yang jaraknya hanya 7,5 km.  Sehingga beberapa di antara mereka sampai akhir hayatnya belum pernah melihat pasar, sekolah menengah, jalan aspal, mobil, motor, dan tentunya pak Camat.    

Alhamdulillah, aku dilahirkan dari orang tua yang memiliki pola pikir diluar orang kebanyakan penduduk desa.  Walaupun didesaku hanya ada sekolah sampai tingkat sekolah dasar, namun kami anak-anaknya harus sekolah tinggi.  Kalau perlu sekolah sampai ke Bandung, seperti lagu "nelengnengkung" yang selalu dinyanyikan ibuku waktu aku masih kecil.  

Nelengnengkung-nelengnengkung
Geura gede, geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Sing bisa nyenangkeun indung

Ketika usiaku 10 tahun 8 bulan, aku pergi ke "kota" untuk meneruskan sekolah ke SMP.  Aku harus berpisah dari orang tua, mencoba mandiri.  Walaupun sebenernya gak mandiri-mandiri banget karena aku tinggal bersama keluarga kakaku yang paling besar yang sudah menjadi guru di "kota".  Pelajaran mandiri yang harus aku lakukan adalah cuci baju dan mengelola uang jajan bulanan.  Untuk cuci baju tidak susah-susah amat, karena kadang-kadang di rumah juga aku sudah pernah belajar, dan kadang-kadang aku titipin juga sama si bibi.  Tapi untuk urusan mengelola uang jajan, ini adalah pelajaran yang sangat baru.

Jaman sekarang mungkin aneh kedengarannya, ada anak usia hampir 11 tahun gak bisa jajan. Tetapi di desaku memang tidak ada tukang jualan di sekolah, kalaupun ada tukang jajanan hanya terjadi saat ada pesta dimana yang punya pesta menyediakan hiburan seperti wayang golek, kuda renggong, atau lais (sejenis debus dimana ada orang yang bisa beraktifitas di sebuah tambang yang direntangkan diatas dua bambu setinggi 15-20 meter).  Biasanya bila ada acara seperti itu aku jajan rujak kucur dan goreng tempe gembus bareng kakakku.  Pengalaman belanja sendiri yang aku pernah lakukan hanyalah kalau disuruh beli "lotek" di bi Nunu dan "kerecek daging" di warung wa Rum'ah, bila ibuku tidak masak.  Dan itu sangat jarang terjadi.

Dengan pengalaman seminim itulah, saat aku diberi uang jajan Seribu rupiah, aku kebingungan.  Bapakku tidak menyebutkan itu untuk jatah seminggu, sebulan atau setahun, tapi silahkan dipakai untuk keperluan.  Kalau sudah habis boleh minta lagi, tapi harus dicatat dalam buku dan dilaporkan kalau meminta tambahan dana.  Mungkin Bapak mendidik agar aku terbiasa membuat laporan pertanggung-jawaban.  

Saat bel istirahat sekolah semua anak meninggalkan kelas, menuju ke kantin belakang.  Ibu penjaga kantin sibuk melayani pembelian yang hanya berlangsung sekitar 15 menit.  Hampir semua jajanan ada disana, ada bala-bala, comro, buras, kerupuk, tahu, dll.  Seluruh sisi warung yaitu kiri, kanan, dan depan penuh dengan anak-anak yang akan jajan. Aku bingung bagaimana cara masuk ke celah-celah orang yang mengerumuni menutup sisi warung.  Sedangkan mereka  tampak santai menyuap jajanan, sambil bercanda.  Padahal kalaupun aku bisa masuk ke sisi warung, aku masih bingung bagaimana cara merangkai kata ijab kabul jual beli jajanan, sebagaimana yang selalu diajarkan guru ngajiku.

Akhirnya aku putuskan untuk ke luar pagar sekolah, disana juga banyak tukang jajanan seperti cilok, baso tahu, es goyobod, es mambo, gorengan aci, dll.  Hampir seluruhnya penuh dikerubuti anak-anak.  Aku lihat rata-rata orang yang berjejal jajan adalah orang-orang kota, sedangkan kami orang-orang desa cuma bisa bersender di pinggir pagar yang agak jauh dari tukang jajanan sambil menikmati matahari. Maklum sinar matahari khan gratis, serta tidak harus pake ijab kabul. Mereka menjauh dari tukang jualan entah karena pada enggak punya duit, atau mungkin seperti aku yang kebingungan cara bertransaksi di tengah kerumunan.

Minggu kedua hari ketiga, baru aku berani melakukan transaksi pertama.  Diantara tukang jajanan yang jualan di luar pagar sekolah, ada pedagang yang peminatnya hanya sedikit.  Bahkan cenderung sepi pembeli.  Yaitu tukang Gonjing.  Gonjing terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan kelapa parut, air, dan sedikit garam.  Lalu dimasukan ke dalam cetakan berbentuk setengah lingkaran dengan tebal sekitar 2 cm dan diameter 12 cm.  Cetakan setengah lingkaran tersebut berjejer 6 lobang, dan tukang gonjing memiliki 4 cetakan, sehingga satu kali nyetak bisa menghasilkan 24 gonjing atau 12 pasang gonjing.  Cetakan terbuat dari aluminium, dan dibakar diatas kompor.  Hasilnya adalah sebuah penganan yang gurih, berkulit renyah, panas, namun dalamnya lembek.  Menurutku enak, mungkin menurut orang kota jajanan seperti itu kurang bonafid, sehingga sepi peminat.  Harganya untuk tiap sepasang gonjing lima rupiah saja.  

Setelah aku melihat kota-kota lainnya, tenyata ada juga penganan yang hampir sama dengan gonjing namun disebutnya adalah banros.  Banros biasanya disajikan dengan ditaburi gula pasir dipermukaannya.  Penganan lainnya yang serupa gonjing adalah kue pukis, perbedaannya adalah bahan adonannya terbuat dari terigu dan gula serta telur seperti bahan bolu.

Sebelum jajan gonjing aku sudah tanya dulu kiri-kanan berapa harganya, dan berapa minimum pembelian.  Sehingga aku juga sudah siapkan uang pas untuk membelinya.  Dan pada siang hari pulang sekolah, mulailah aku mencatat pengeluaran pertamaku dan merupakan pengeluaran pertama dan terakhir yang aku tulis dalam buku tulis letjes warna biru isi 18 lembar.  Karena setelah itu, aku lancar jajan waktu istirahat sekolah, tapi jadi males menulis.  Apalagi Bapaku juga tetep memberikan tambahan uang jajan, tanpa harus memberikan laporan pertanggung-jawaban.

Tiga puluh lima tahun kemudian, saat liburan kemarin kami seluruh keluarga besar nginep di Ciater.  Pagi-pagi telah mangkal tukang gonjing didepan bungalow.  Harganya sudah naik 400 kali lipat, yaitu sepasang yang semula Rp. 5,- menjadi Rp. 2.000,-.  Entah harga sebenarnya atau karena harga lebaran.  Tapi penampilan tukang gonjing masih tetap, berbadan kurus, bertopi lusuh, membawa dagangan dengan cara di pikul, yaitu pikulan yang satu bersisi adonan dan bangku kayu kecil, adapun pikulan satu lagi tempat cetakan dan kompor.  Bila sedang membuat gonjing dia duduk dibangku kecil tersebut, menunggu sekitar 15 menit sampai adonan matang.  

Aku dan kakak-kakaku membeli beberapa loyang gonjing untuk dimakan bersama.  Aku amati, bahwa kami para orang tua menikmati kerenyahan, kegurihan, dan kehangatan gonjing di pagi hari, mungkin sambil pikiran menerawang ke masa lalu.  Sedangkan ketika anak-anak ditawari, mereka cuma melihat dan mencoba sedikit, tanpa minat.  Perbedaan generasi......generasi gonjing dan generasi sosis...hehehe.

(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar