Rabu, 29 April 2009

KELAS AKSELERASI (lanjutan)

Belum genap umur 10 tahun (tepatnya 9 tahun 8 bulan), aku sudah harus belajar berpisah dari orang tua untuk menempuh pendidikan SMP. Kalo harus pulang pergi dari rumah tidak memungkinkan karena jarak tempuh yang jauh tentu akan menguras energi terutama bagi anak kecil seumuran itu. Inilah pengalaman pertama kos, mengurus diri sendiri, membuat nasi (ngaliwet), bikin telur dadar, nyuci baju sendiri (nggak pake disetrika), dan mengelola keuangan sendiri. Dengan pesatnya pembangunan seperti saat ini saya pikir hal ini tidak akan terjadi lagi, bahkan mungkin anak-anak sekarang akan mengalami kesulitan membayangkannya. Sebagaimana aku kesulitan membayangkan kegiatan orang tuaku waktu sekolah dahulu harus ikut membantu kakak jauhnya mengambil air, menumbuk padi, de el el. agar bisa menitipkan diri untuk bersekolah di tempat yang jauh dari rumah orang tua.
Hal lain yang perlu juga menjadi bahan pemikiran calon orang tua murid yang mau memasukkan anaknya ke kelas akselerasi, yaitu pengalaman waktu SMA. Jaman itu lagi meroketnya film gita cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati yang dibintangi oleh Rano Karno dan Yesi Gusman. Aku pingiiin sekali nyobain pacaran (waktu itu khan udah mulai puber). Aku pingin seperti mereka, kalo di sekolah itu punya pacar, kayanya dunia akan menjadi tambah semarak. Teman-teman laki-laki SMA-ku rata-rata memiliki pacar temen sekelas atau temen beda kelas. Ada sih beberapa yang aku taksir.....tapi sayang, sama mereka aku tetep aja dianggap anak kecil. Kalo aku deket-deket temen perempuan sudah deg-degan karena naksir, eeehh temen perempuannya nganggap aku anak kecil. Cinta pertamaku kandas....hahaha..... Akhirnya aku banting stir, nyari pacar anak SMP saja, adik dari temen sekelasku. ".i....s...w." ....entah dimana kamu berada ???? padahal aku udah sampe bela-belain pindah sekolah untuk mengejar dia.
Dari sisi pelajaran di sekolah (kecuali olah raga), nilai SMP dan SMA tidak ada masalah. Bahkan aku tidak mengalami kesulitan untuk dapat sekolah di SMA favorit ataupun masuk Perguruan Tinggi Negeri. Tapi dari sisi kejiwaan, tolong para orang tua, hal itu dapat dipikirkan ulang. Hidup anakmu bukan hanya dinilai dari angka raport dan angka ijazah, tetapi harus dinilai juga dari sisi perkembangan mental dan kejiwaan. Kadang aku merasa, karena sering dijadikan anak bawang (terus berlanjut sampe SMA), maka kadang-kadang aku suka memiliki mental anak bawang. Seperti menganggap wajar bila tidak bisa seperti orang lain karena aku lebih kecil dibanding orang lain, sifat kekanak-kanakan sangat sulit untuk dibuang, kurang tegas dan kurang berani beradu fisik, kadang sombongan atau kadang minderan, de el el.
Aku pernah dapat informasi dari kakak iparku yang jadi guru senior di SMA, ternyata anak-anak dari kelas akselerasi itu walaupun awalnya merupakan bibit yang bagus (pintar-pintar), tetapi kalo untuk urusan mewakili sekolah di olimpide matematika, mengikuti lomba cerdas-cermat, biasanya bukan diambil dari kelas tersebut. Karena dalam kelas akselerasi banyak hal yang terlewati (disuruh dipelajari di rumah sama orang tua). Dari sisi pelajaran mungkin menjadi matang karena karbitan bukan matang di pohon. Kalo diibaratkan duren, harganya menjadi lebih murah dibanding yang matang di pohon apalagi duren jatuhan.
Jadikan anakmu manusia seutuhnya. Jangan anggap anakmu sebagai faktor produksi. Banggalah pada anakmu yang bisa bergaul dengan baik bersama anak-anak miskin, banggalah pada anakmu yang mampu menciptakan gol dalam pertandingan sepak bola antar sekolah, banggalah pada anakmu yang bisa membuat dan membaca puisi, banggalah pada anakmu yang pintar berceritera atas komik yang dibacanya, banggalah pada anakmu yang telah mampu merapikan tempat tidurnya sendiri, banggalah pada anakmu yang mau disuruh anda untuk membeli garam ke warung atau mau disuruh mengantar makanan ke tetangga, banggalah pada anakmu yang rajin sholat berjamaan dimesjid, banggalah pada anakmu yang soleh. Sebab tugas kita di dunia adalah mengumpulkan amal soleh untuk bekal perjalanan di akhirat yang tak berujung. Dan salah satu yang mampu menambah bekal tersebut saat kita sudah tidak ada di dunia ini adalah do'a anak soleh (model derivatif amal kali ?). Membuat anak menjadi anak soleh, itulah cara cerdas dari orang tua dalam mengumpulkan amal/bekal. Anda setuju ?????
(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar