Selasa, 28 April 2009

KELAS AKSELERASI

SBI, SBN, RSBI, Akselerasi, tiba-tiba menjadi hal yang akrab di telingaku. Tahun ini dua anaku yaitu Farin dan Viki masing-masing mau masuk SMA dan SMP. Sebagai orang tua tentunya kami berdua istri, sibuk mencari informasi kesana kemari untuk memilihkan yang "menurut kami" sekolah terbaik buat mereka. Tentunya dengan asumsi, bila bisa masuk sekolah terbaik, maka akan mudah mencari sekolah terbaik berikutnya, yang ujung-ujungnya akan memudahkan anak-anaku mendapatkan pekerjaan untuk bekal hidup mereka nanti.
Aku cukup terperangah, karena ternyata sekolah jaman sekarang kok sangat berbeda dengan sekolah jaman aku 25 s.d. 30 tahun lalu. Standar yang aku tahu adalah lulus dahulu dari sekolah sebelumnya, baru mencari sekolah baru. Tapi sekarang dunia telah berputar lebih cepat, semua serba terburu-buru, telat sedikit rezeki dan kesempatan bisa diambil orang, dahulu mendahului, seakan-akan telah berakar kemana-mana. Sebelum dilakukan ujian nasional (UN), sekolah berikutnya telah membuka pendaftaran murid baru. Jadi bisa saja ada anak SD yang diterima di SMP padahal dia tidak lulus SD. Mungkin ini ketularan dari sistim "hedging" diperbankan, atau sistim "salam" pada kegiatan jual beli syariah. Atau mungkin juga ini adalah salah satu bentuk aplikasi ilmu manajemen risiko bagi sekolah, karena dapar sedini mungkin memiliki kepastian mendapat murid, yang ujung-ujungnya akan memiliki kepastian akan "going concern"nya sekolah di masa yang akan datang.
Jenis sekolah SMP atau SMA yang dahulu berupa sekolah umum dengan standar yang sama, sekarang ramai-ramai membuat diversifikasi seperti yang aku cantumkan di muka (ini pasti kena virus Kotler), yaitu ada Sekolah Berstandar Internasional (btw guru-gurunya udah pada lancar bahasa inggris belum ya ?), Rintisan Sekolah Berstandar Internasional, Sekolah Berstandar Nasional, de el el. dan ada lagi istilah baru yaitu KELAS AKSELERASI.
Kelas akselerasi adalah kelas yang dipercepat yaitu bila standar umum SMA dan SMP adalah 3 tahun, maka dalam kelas akselerasi waktu tempuhnya dipersingkat sehingga cukup 2 tahun saja. Apakah ini baik ? entahlah. Tapi banyak sekali orang tua yang berminat menyekolahkan anaknya di kelas akselerasi. Kadang aku berpikir, jaman sekarang sudah menganggap anak-anak itu sebagai faktor produksi. Kalo bisa dapat segera diproses menjadi barang jadi dalam waktu secepat-cepatnya, sehingga bisa segera menghasilkan (kejam juga ya ?). Kalo SD 5 tahun (seperti SD punya IKIP dahulu), SMP 2 tahun dan SMA 2 tahun serta PT. 3,5 tahun. Maka waktu tempuh sekolah anak hanya cukup 12,5 tahun untuk menjadi Sarjana. Bila masuk SD umur 5,5 tahun, maka dalam umur 18 tahun si anak telah menjadi sarjana dan bersiap untuk masuk bursa kerja. Bila masa kerja produktif sampai dengan 55 tahun, maka anak tersebut dapat memiliki masa kerja 37 tahun....waw.....waw.....
Sekedar sharing pengalaman saja.....aku termasuk orang yang memiliki waktu tempuh SD relatif singkat yaitu hanya 4 tahun. Jadi jauh sebelum dibuka kelas akselerasi, tanpa disengaja orang tuaku telah menciptakan model kelas akselerasi (tapi cuma aku sendiri). Karena ayah sebagai Kepala Sekolah dan Ibu menjadi guru kelas 1 dan 2 (dahulu biasa dirangkap, kelas 1 sampai jam 10 dan kelas 2 sampai jam 13.00), karena tidak ada pembantu di rumah, maka aku selalu ikut ibuku ke sekolah sejak kecil. Aku juga suka ikut belajar, ikut ulangan, bahkan ikut menerima raport walaupun raportnya hanya bohong-bohongan saja. Akibatnya waktu aku telah berumur 5,5 tahun aku didaftarkan masuk kelas 1, tapi jadinya aku terlalu pintar karena sudah hampir 4 tahun selalu mengikuti pelajaran akan kelas 1. Seminggu kemudian aku dinaikkan ke kelas 2, sama halnya dengan di kelas 1 aku masih terlalu pintar untuk ukuran anak kelas 2 karena sudah 4 tahun juga duduk di kelas 2. Akhirnya seminggu kemudian aku dinaikan ke kelas 3. Dikelas 3 aku mendapatkan pelajaran baru yaitu pelajaran Bahasa Indonesia (kalo jaman dahulu anak kecil pasti tidak bisa bahasa Indonesia karena tidak ada TV, tidak ada sinetron, tidak ada komik, dll).
Orang tuaku sangat bangga karena mempunyai anak yang kecil-kecil sudah bisa baca. Aku sering dipamerkan ke orang-orang bahwa aku sudah bica baca koran (bekas bungkusan) saat usia masih 4 tahun, dan tentu akupun bangga karenanya. Pelajaranku di kelas 3, 4, 5, dan 6 cukup menonjol. Bahkan dalam STTB SD aku mendapatkan nilai 10 dan 9 untuk mata pelajaran lainnya, kecuali mata pelajaran Olah Raga hanya mendapatkan nilai 6. Karena badanku relatif jauh lebih kecil dibanding yang lain, sehingga kalo olah raga yang biasanya cuma sepak bola , Volley, atau kasti, aku selalu jadi anak bawang. Anak kecil yang lemah hanya akan menjadi beban bagi Tim untuk mengalahkan Tim lainnya. Aku selalu minder kalo tiba pelajaran olah raga.
Kejadian lucu terjadi waktu test masuk SMP. Umurku waktu itu 9,5 tahun, dan karena kebiasaan ibuku agar celana tidak merosot, celanaku selalu memakai tali yang disangkutkan di pundak. Kebetulan SMP-ku berada di kota yang jaraknya kira-kira 7,5 Km atau waktu tempuh 2 jam perjalanan (perjalanan kaki karena belum ada kendaraan dan jalan). Waktu mau masuk ruangan test, aku sempet ditolak sama guru yang mengawas, karena dikiranya adik peserta yang mau ikut masuk......ha...ha...ha....belum tahu dia bahwa ternyata hasilnya kelak, kertas jawabanku menempati urutan ranking pertama test masuk SMP (maklum gak pake pelajaran Olah Raga)............(bersambung ya........)
(salam hangat dari kang sepyan)

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Subahanallah.., betapa bangganya jika seandainya anakku seperti Sampeyan Kang..,
    Pernyataan akang bener, "JAMAN SDH BERUBAH".
    Dulu Akang menikmati bahagianya di akselerasi pendidikan..,
    sekarang EKSPAT yg menikmati akselerasi di "Rumah kita sendiri"
    Alhamdulillah Yaa Allah.., Engkau masih cukupkan stock sabar dlm diri ini.

    BalasHapus