Minggu, 15 Juli 2012

GORONTALO.....HOLONDALO

Setelah 20 tahun lebih kerja di perusahaan yang memiliki 8.000 kantor yang tersebar hampir diseluruh kecamatan di Indonesia, ternyata masih terdapat beberapa kota yang belum sempat aku singgahi. Padahal rasanya hampir tiap minggu aku pergi keluar kota untuk mengunjungi kantor-kantor tersebut.  Kalau dihitung-hitung setiap minggu lebih dari 2 jam terbang, sehingga setiap tahun bisa mencapai 100 jam, jadi dalam sepuluh tahun saja sudah bisa dipasang wing penerbang karena sudah lebih dari 1.000 jam terbang.  Jangankan seluruh kota di Indonesia, bahkan ibukota propinsipun ada yang belum pernah aku datangi, diantaranya Gorontalo. Indonesia memang luas.

Ketika ada undangan dari Hipmikindo untuk memberikan seminar di Gorontalo hari Kamis sore, serta bertepatan dengan acara Yayasan Baitul Mal dimana aku menjadi Pengurusnya telah menetapkan akan melakukan bakti sosial sunatan masal dan pengobatan gratis di Gorontalo  hari Sabtu pagi,  maka sekalian dibuat juga acara kunjungan ke kantor cabang disana untuk mengisi kegiatan hari Jumat. Berangkatlah aku ke Gorontalo dengan tiga agenda tersebut, serta agenda pribadi ingin melihat seperti apa kota Gorontalo yang telah melahirkan manusia pintar Indonesia pak Habibie, melahirkan sastrawan terkenal pak H.B. Yasin, serta membesarkan pengusaha terkenal pak Fadel.

Ketika aku memesan tiket perjalanan, aku kaget karena harga tiket ekonomi untuk perjalanan pulang pergi Jakarta Gorontalo hampir sama dengan harga tiket Jakarta Hongkong pulang pergi, mencapai hampir 5 juta. Penjual tiket menjelaskan bahwa harga tersebut karena musim libur, semua penerbangan penuh. Memang begitulah prilaku maskapai penerbangan Indonesia, masih menggunakan manajemen aji mumpung, yang menurutku merupakan salah satu aliran sesat manajemen.

Perjalanan Jakarta Gorontalo memerlukan waktu sekitar 4,5 jam termasuk transit di Makasar. Perjalanan udaranya sendiri paling sekitar 3,5 jam yaitu 2 jam 15 menit untuk penerbangan Jakarta Makasar dan 1 jam 15 menit untuk penerbangan Makasar Gorontalo. Transit di Makasar sekitar 1 jam.

Bandara Jalaludin terletak sekitar 30 kilometer dari Gorontalo, berada di wilayah Kabupaten Gorontalo. Bandaranya masih kecil, seperti bandara udara di Indonesia timur pada umumnya. Batas antara terminal kedatangan dan pemberangkatan hanya berjarak beberapa meter saja. Baru saja turun hujan, sehingga masih tampak awan tipis menghiasi udara Limboto. Penjemputku pak Suroto dan pak John bilang bahwa cukup baik perjalanan bisa tepat waktu, artinya awan bersahabat sehingga pesawat tidak perlu muter-muter dulu di udara sebelum turun. Karena sebagaimana halnya Manado, curah hujan di Gorontalo juga cukup tinggi yang menyebabkan banyak awan di udara, sehingga kadang-kadang cukup menguji mental penumpang pesawat untuk turun menembus awan.

Sepanjang perjalanan 30 kilometer dari bandara ke Gorontalo memerlukan waktu tempuh 45 menit melewati Limboto sebagai ibu kota kabupaten Gorontalo.  Kota Gorontalo sendiri merupakan kotamadya yang juga dijadikan sebagai ibu kota propinsi.  Rentang 30 kilometer tersebut, tidak ditemukan ada hutan, semuanya tersambung dengan rumah-rumah. Tidak seperti kondisi di Indonesia bagian timur pada umumnya yang jarak antar kampung cukup jauh. Disini kampung-kampung tersebut sambung-menyambung, menunjukkan bahwa cukup banyak penduduknya serta terdapat kegiatan ekonomi yang baik yang dapat mencukupi kebutuhan mereka.

Lima belas kilometer dari bandara, tepat di jantung kota Limboto, pak John memberitahu "itu monasnya Limboto pak ?" sambil tangannya mengarah kedepan.  Aku mencari-cari apakah gerangan yang disebut monas di Limboto. Ternyata berupa bangunan sepert menara mesjid berada di atas jalan utama Limboto. Jadi dua buah tiang disisi kiri jalan dan dua tiang lainnya di sisi kanan jalan. "Monas" tersebut terdiri dari 4 lantai. Lantai pertama cukup luas sehingga biasa digunakan sebagai ruang pertemuan. Sampai dengan lantai dua disediakan lift untuk mencapainya, dan dilantai dua tersebut ada teras tempat pengunjung dapat melihat pemandangan. Sedangkan lantai tiga dan empat harus dicapai dengan menggunakan tangga. Sewaktu pulang, Pak Anton sopir yang mengantar saya menyampaikan bahwa dari lantai empat tersebut pernah beberapa kali digunakan sebagai ajang bunuh diri......hehehehe.....ada-ada saja. Hal tersebut terjadi karena walaupun di pagar, tetapi pagarnya jarang-jarang sehingga orang bisa masuk.

Ternyata selain "Monas" di Limboto, waktu aku keesokan harinya lari pagi sambil melihat-lihat kehidupan masyarakat Gorontalo, aku dikejutkan dengan arah penunjuk jalan yang menunjukkan "Bundaran HI". Wah rupanya segala yang berbau Jakarta ada disini ? Aku penasaran untuk untuk menyusuri jalan tersebut dan sampailah di Bundaran HI berupa perempatan jalan yang ditengah-tengahnya terdapat taman berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 6 meter, dan terdapat patung dua orang manusia. Ketika aku tanyakan pada pak Anton ketika perjalanan pulang tentang hal tersebut, dijelaskan bahwa itu singkatannya bukan Hotel Indonesia tetapi bundaran Holondalo Indah.  Jadi orang Gorontalo itu menyebut Gorontalo adalah Holondalo. Nah loh, khan hanya kebetulan saja.

Makanan khas Gorontalo hampir sama dengan Manado yaitu ikan laut. Dengan kekayaan laut yang luas, berada di sisi utara dan sisi selatan, "Ikan-ikan yang di jual di Gorontalo rata-rata baru mati sekali. Yaitu ditangkap malam hari, dan siang hari sudah dapat dinikmati di meja makan. Tidak seperti ditempat lain atau di Jawa, biasanya ikan yang kita makan telah mati berkali-kali" dengan semangat pak Guntoro, rekan saya yang bertugas menjadi pimpinan di Gorontalo mempromosikan.

Kebetulan sekali aku datang pada saat "bulan mati" yaitu awal bulan dimana cahaya bulan tidak keluar dimalam hari, serta di bulan Juli. Saat banyak-banyaknya dapat di tangkap "ikan Nike". Ikan tersebut hidup di muara, kecil-kecil seukuran anak ikan dengan panjang 3 - 4 centi saja sebesar lidi atau berdiameter kira-kita 2 milimeter. Berbagai masakan ikan nike dapat aku nikmati seperti dibuat seperti bakwan yang renyah, dimasak woku sampai pedas menusuk hati, atau dipepes. Pokoknya ikan nike "maknyosssss".  Jadi kalau mau ke Gorontalo pilihlah saat bulan mati, karena kala saat bulan Purnama tidak ada yang jual.  Untuk memastikan ada ikan Nike, maka sebelumnya rumah makan tersebut harus di telepon, dari pada kecewa, sudah sengaja datang kesana ternyata persediaan tidak tersedia.  Tapi hati-hati jangan terlalu banyak makan ikan nike, karena 'konon' kandungan timahnya cukup tinggi.  Mengingat ikan tersebut hidup di sungai, sedangkan sungainya banyak mengandung limbah penambangan emas liar yang dilakukan oleh penduduk dan pengusaha lokal di hulu sungai.

Alat transportasi yang paling banyak digunakan, selain kendaraan pribadi dan bis kecil, banyak berseliweran "ojek" atau "becak" ? Ojek bukan katena hanya bagian belakangnya yang seperti motor, becak juga bukan karena hanya baian depannya yang seperti brcak....jadi masyarakat menyebutnya "bentor" kepanjangan dari becak motor. Kalau seperti di daerah Sumatera becak seperti itu ditempelkan di sebelah kanan motor besar, sehingga roda becak ditarik oleh roda belakang motor, dan penumpang berada sejajar dengan pengemudi becak. Nah di Gorontalo bentuknya sama dengan becak, yaitu tempat penumpang ada di bagian depan.  Roda depan sepeda motor disulap dengan tambahan untuk penumpang, dan pengemudi ada di bagian belakang dengan tetap menggunakan stang motor, serta dibelakang pengemudi masih diperkenankan naik satu penumpang lagi.  Aku membayangkan bagaimana beratnya mengemudikan bentor ini, apalagi bila ada dua ata tiga penumpang di depan.  Ternyata pengemudi harus membelokan beca tersebut disamping dengan stang motor, juga dibant dengan injakan kaki ke bagian belakang badan becak.

Menurut pengalaman pak Anton, untuk melakukan modifikasi dari sepeda motor menjadi bentor diperlukan biaya sekitar 2 juta. Yaitu untuk beli bagian depan berbentuk becak dengan tempat duduk untuk dua orang, termasuk lampu-lampu hias, atap, dan kaca depan terbuat dari mika untuk melindungi penumpang kalau hari hujan. Kalau hari tidak hujan pelindung tersebut diposisikan di atas kursi penumpang, di bawah atap bentor.  Satu bentor dengan jam kerja mulai jam 7 pagi sampai jam 9 malam harus menyetor sebanyak Rp. 22.500,- sehari.  Rp 20.000 untuk pemilik bentor dan Rp 2.500 dijadikan sebagai tabungan pengojek....bukan pengojek kali ya, tapi abang bentor atau pembentor.  SIM yang diperlukan untuk pengemudi bentor tetap Sim C. Dan plat nomor motor juga tetap hitam putih seperti biasa....cingcai saja membantu usaha kecil dan membantu mobilitas masyarakat.

Pak Anton bercerita bahwa sebelumnya dia memiliki 3 bentor, tetapi sekarang tinggal satu bentor yang dikemudikan oleh adiknya sendiri. "Kalau sopirnya orang lain, suka tidak jujur pak" jelasnya. "Dia tidak setor dalam beberapa hari dengan alasan anaknya sakit, eh...ketika saya datangi rumahnya ternyata anaknya sehat. Orang kecil kadang suka begitu, padahal kami sendiri sama-sama orang kecil". Pak Anton menambahkan cerita tentang usaha sambilannya selain menjadi sopir di kantor, yang kurang berkembang.

Rasanya waktu dua hari dua malam dengan tiga agenda kegiatan yang cukup padat, menyebabkan waktu berjalan begitu cepat. Belum puas rasanya memandang pantai diantara dua celah gunung pelabuhan Gorontalo.  Begitu jelas dari arah jendela kamarku ditingkat 4 hotel Maqna.  Gunung dengan pepohonan rimbun menghijau, namun ditengahnya ada laut lepas.....rasanya aneh, karena biasanya laut itu berjauhan dengan gunung. Namun di Gorontalo, gunung dan laut menjadi sahabat dekat, dan semuanya memanjakan mata, memberikan kedamaian.

Gorontalo.....mudah-mudahan kain krawangmu yang sekarang ada menggembung didalam tasku, bisa menjadi pengobat rindu.

Gorontalo - Jakarta, 14 Juli 2012.

(salam hangat dari kang sepyan)

2 komentar:

  1. Tulisan kang Sepyan tentang Gorontalo sangat indah :) saya selaku pemuda asli Gorontalo berterima kasih kepada kang Sepyan :)

    BalasHapus
  2. Salam Bang Ahmad Lihawa......Merdeka

    BalasHapus