Setelah 20 tahun lebih kerja di perusahaan yang memiliki 8.000 kantor
yang tersebar hampir diseluruh kecamatan di Indonesia, ternyata masih
terdapat beberapa kota yang belum sempat aku singgahi. Padahal rasanya
hampir tiap minggu aku pergi keluar kota untuk mengunjungi kantor-kantor
tersebut. Kalau dihitung-hitung setiap minggu lebih dari 2 jam
terbang, sehingga setiap tahun bisa mencapai 100 jam, jadi dalam sepuluh
tahun saja sudah bisa dipasang wing penerbang karena sudah lebih dari
1.000 jam terbang. Jangankan seluruh kota di Indonesia, bahkan ibukota
propinsipun ada yang belum pernah aku datangi, diantaranya Gorontalo.
Indonesia memang luas.
Ketika ada undangan dari Hipmikindo untuk
memberikan seminar di Gorontalo hari Kamis sore, serta bertepatan dengan
acara Yayasan Baitul Mal dimana aku menjadi Pengurusnya telah
menetapkan akan melakukan bakti sosial sunatan masal dan pengobatan
gratis di Gorontalo hari Sabtu pagi, maka sekalian dibuat juga acara
kunjungan ke kantor cabang disana untuk mengisi kegiatan hari Jumat.
Berangkatlah aku ke Gorontalo dengan tiga agenda tersebut, serta agenda
pribadi ingin melihat seperti apa kota Gorontalo yang telah melahirkan
manusia pintar Indonesia pak Habibie, melahirkan sastrawan terkenal pak
H.B. Yasin, serta membesarkan pengusaha terkenal pak Fadel.
Ketika
aku memesan tiket perjalanan, aku kaget karena harga tiket ekonomi
untuk perjalanan pulang pergi Jakarta Gorontalo hampir sama dengan harga
tiket Jakarta Hongkong pulang pergi, mencapai hampir 5 juta. Penjual
tiket menjelaskan bahwa harga tersebut karena musim libur, semua
penerbangan penuh. Memang begitulah prilaku maskapai penerbangan
Indonesia, masih menggunakan manajemen aji mumpung, yang menurutku
merupakan salah satu aliran sesat manajemen.
Perjalanan Jakarta
Gorontalo memerlukan waktu sekitar 4,5 jam termasuk transit di Makasar.
Perjalanan udaranya sendiri paling sekitar 3,5 jam yaitu 2 jam 15 menit
untuk penerbangan Jakarta Makasar dan 1 jam 15 menit untuk penerbangan
Makasar Gorontalo. Transit di Makasar sekitar 1 jam.
Bandara
Jalaludin terletak sekitar 30 kilometer dari Gorontalo, berada di
wilayah Kabupaten Gorontalo. Bandaranya masih kecil, seperti bandara
udara di Indonesia timur pada umumnya. Batas antara terminal kedatangan
dan pemberangkatan hanya berjarak beberapa meter saja. Baru saja turun
hujan, sehingga masih tampak awan tipis menghiasi udara Limboto.
Penjemputku pak Suroto dan pak John bilang bahwa cukup baik perjalanan
bisa tepat waktu, artinya awan bersahabat sehingga pesawat tidak perlu
muter-muter dulu di udara sebelum turun. Karena sebagaimana halnya
Manado, curah hujan di Gorontalo juga cukup tinggi yang menyebabkan
banyak awan di udara, sehingga kadang-kadang cukup menguji mental
penumpang pesawat untuk turun menembus awan.
Sepanjang perjalanan
30 kilometer dari bandara ke Gorontalo memerlukan waktu tempuh 45 menit
melewati Limboto sebagai ibu kota kabupaten Gorontalo. Kota Gorontalo
sendiri merupakan kotamadya yang juga dijadikan sebagai ibu kota
propinsi. Rentang 30 kilometer tersebut, tidak ditemukan ada hutan,
semuanya tersambung dengan rumah-rumah. Tidak seperti kondisi di
Indonesia bagian timur pada umumnya yang jarak antar kampung cukup jauh.
Disini kampung-kampung tersebut sambung-menyambung, menunjukkan bahwa
cukup banyak penduduknya serta terdapat kegiatan ekonomi yang baik yang
dapat mencukupi kebutuhan mereka.
Lima belas kilometer dari
bandara, tepat di jantung kota Limboto, pak John memberitahu "itu
monasnya Limboto pak ?" sambil tangannya mengarah kedepan. Aku
mencari-cari apakah gerangan yang disebut monas di Limboto. Ternyata
berupa bangunan sepert menara mesjid berada di atas jalan utama Limboto.
Jadi dua buah tiang disisi kiri jalan dan dua tiang lainnya di sisi
kanan jalan. "Monas" tersebut terdiri dari 4 lantai. Lantai pertama
cukup luas sehingga biasa digunakan sebagai ruang pertemuan. Sampai
dengan lantai dua disediakan lift untuk mencapainya, dan dilantai dua
tersebut ada teras tempat pengunjung dapat melihat pemandangan.
Sedangkan lantai tiga dan empat harus dicapai dengan menggunakan tangga.
Sewaktu pulang, Pak Anton sopir yang mengantar saya menyampaikan bahwa
dari lantai empat tersebut pernah beberapa kali digunakan sebagai ajang
bunuh diri......hehehehe.....ada-ada saja. Hal tersebut terjadi karena
walaupun di pagar, tetapi pagarnya jarang-jarang sehingga orang bisa
masuk.
Ternyata selain "Monas" di Limboto, waktu aku keesokan
harinya lari pagi sambil melihat-lihat kehidupan masyarakat Gorontalo,
aku dikejutkan dengan arah penunjuk jalan yang menunjukkan "Bundaran
HI". Wah rupanya segala yang berbau Jakarta ada disini ? Aku penasaran
untuk untuk menyusuri jalan tersebut dan sampailah di Bundaran HI berupa
perempatan jalan yang ditengah-tengahnya terdapat taman berbentuk
lingkaran dengan diameter sekitar 6 meter, dan terdapat patung dua orang
manusia. Ketika aku tanyakan pada pak Anton ketika perjalanan pulang
tentang hal tersebut, dijelaskan bahwa itu singkatannya bukan Hotel
Indonesia tetapi bundaran Holondalo Indah. Jadi orang Gorontalo itu
menyebut Gorontalo adalah Holondalo. Nah loh, khan hanya kebetulan saja.
Makanan
khas Gorontalo hampir sama dengan Manado yaitu ikan laut. Dengan
kekayaan laut yang luas, berada di sisi utara dan sisi selatan,
"Ikan-ikan yang di jual di Gorontalo rata-rata baru mati sekali. Yaitu
ditangkap malam hari, dan siang hari sudah dapat dinikmati di meja
makan. Tidak seperti ditempat lain atau di Jawa, biasanya ikan yang kita
makan telah mati berkali-kali" dengan semangat pak Guntoro, rekan saya
yang bertugas menjadi pimpinan di Gorontalo mempromosikan.
Kebetulan
sekali aku datang pada saat "bulan mati" yaitu awal bulan dimana cahaya
bulan tidak keluar dimalam hari, serta di bulan Juli. Saat
banyak-banyaknya dapat di tangkap "ikan Nike". Ikan tersebut hidup di
muara, kecil-kecil seukuran anak ikan dengan panjang 3 - 4 centi saja
sebesar lidi atau berdiameter kira-kita 2 milimeter. Berbagai masakan
ikan nike dapat aku nikmati seperti dibuat seperti bakwan yang renyah,
dimasak woku sampai pedas menusuk hati, atau dipepes. Pokoknya ikan nike
"maknyosssss". Jadi kalau mau ke Gorontalo pilihlah saat bulan mati,
karena kala saat bulan Purnama tidak ada yang jual. Untuk memastikan
ada ikan Nike, maka sebelumnya rumah makan tersebut harus di telepon,
dari pada kecewa, sudah sengaja datang kesana ternyata persediaan tidak
tersedia. Tapi hati-hati jangan terlalu banyak makan ikan nike, karena
'konon' kandungan timahnya cukup tinggi. Mengingat ikan tersebut hidup
di sungai, sedangkan sungainya banyak mengandung limbah penambangan emas
liar yang dilakukan oleh penduduk dan pengusaha lokal di hulu sungai.
Alat
transportasi yang paling banyak digunakan, selain kendaraan pribadi dan
bis kecil, banyak berseliweran "ojek" atau "becak" ? Ojek bukan katena
hanya bagian belakangnya yang seperti motor, becak juga bukan karena
hanya baian depannya yang seperti brcak....jadi masyarakat menyebutnya
"bentor" kepanjangan dari becak motor. Kalau seperti di daerah Sumatera
becak seperti itu ditempelkan di sebelah kanan motor besar, sehingga
roda becak ditarik oleh roda belakang motor, dan penumpang berada
sejajar dengan pengemudi becak. Nah di Gorontalo bentuknya sama dengan
becak, yaitu tempat penumpang ada di bagian depan. Roda depan sepeda
motor disulap dengan tambahan untuk penumpang, dan pengemudi ada di
bagian belakang dengan tetap menggunakan stang motor, serta dibelakang
pengemudi masih diperkenankan naik satu penumpang lagi. Aku
membayangkan bagaimana beratnya mengemudikan bentor ini, apalagi bila
ada dua ata tiga penumpang di depan. Ternyata pengemudi harus
membelokan beca tersebut disamping dengan stang motor, juga dibant
dengan injakan kaki ke bagian belakang badan becak.
Menurut
pengalaman pak Anton, untuk melakukan modifikasi dari sepeda motor
menjadi bentor diperlukan biaya sekitar 2 juta. Yaitu untuk beli bagian
depan berbentuk becak dengan tempat duduk untuk dua orang, termasuk
lampu-lampu hias, atap, dan kaca depan terbuat dari mika untuk
melindungi penumpang kalau hari hujan. Kalau hari tidak hujan pelindung
tersebut diposisikan di atas kursi penumpang, di bawah atap bentor.
Satu bentor dengan jam kerja mulai jam 7 pagi sampai jam 9 malam harus
menyetor sebanyak Rp. 22.500,- sehari. Rp 20.000 untuk pemilik bentor
dan Rp 2.500 dijadikan sebagai tabungan pengojek....bukan pengojek kali
ya, tapi abang bentor atau pembentor. SIM yang diperlukan untuk
pengemudi bentor tetap Sim C. Dan plat nomor motor juga tetap hitam
putih seperti biasa....cingcai saja membantu usaha kecil dan membantu
mobilitas masyarakat.
Pak Anton bercerita bahwa sebelumnya dia
memiliki 3 bentor, tetapi sekarang tinggal satu bentor yang dikemudikan
oleh adiknya sendiri. "Kalau sopirnya orang lain, suka tidak jujur pak"
jelasnya. "Dia tidak setor dalam beberapa hari dengan alasan anaknya
sakit, eh...ketika saya datangi rumahnya ternyata anaknya sehat. Orang
kecil kadang suka begitu, padahal kami sendiri sama-sama orang kecil".
Pak Anton menambahkan cerita tentang usaha sambilannya selain menjadi
sopir di kantor, yang kurang berkembang.
Rasanya waktu dua hari
dua malam dengan tiga agenda kegiatan yang cukup padat, menyebabkan
waktu berjalan begitu cepat. Belum puas rasanya memandang pantai
diantara dua celah gunung pelabuhan Gorontalo. Begitu jelas dari arah
jendela kamarku ditingkat 4 hotel Maqna. Gunung dengan pepohonan rimbun
menghijau, namun ditengahnya ada laut lepas.....rasanya aneh, karena
biasanya laut itu berjauhan dengan gunung. Namun di Gorontalo, gunung
dan laut menjadi sahabat dekat, dan semuanya memanjakan mata, memberikan
kedamaian.
Gorontalo.....mudah-mudahan kain krawangmu yang sekarang ada menggembung didalam tasku, bisa menjadi pengobat rindu.
Gorontalo - Jakarta, 14 Juli 2012.
(salam hangat dari kang sepyan)
Tulisan kang Sepyan tentang Gorontalo sangat indah :) saya selaku pemuda asli Gorontalo berterima kasih kepada kang Sepyan :)
BalasHapusSalam Bang Ahmad Lihawa......Merdeka
BalasHapus