Kamis, 16 Agustus 2012

JALAN SIAPA

Sebenarnya pekerjaan yang paling sulit bukan menjad Presiden atau menjadi Gubernur. Tetapi menjadi Ketua RT atau menjadi Ketua RW, jauh lebih sulit karena berhubungan langsung dengan masyarakat yang kemauan, kebutuhan, maupun kemampuannya beragam. Apalagi menjadi Ketua RT di daerah kavling sepertiku yang penduduknya sangat beragam. Ada keluarga yang sudah tua sudah beranak cucu, ada keluarga muda baru menikah, ada yang masih lajang. Ada pegawai negeri, pegawai swasta, buruh pabrik, dokter, tentara, pensiunan, tukang becak, pengangguran, peminta-minta, pelacur, pemandu karoke, pegawai panti pijat, pegawai salon, polisi, pensiunan jendral, jaksa, dll, pokoknya komplit.

Maklum yang namanya tanah kavling dengan posisi di tengah kota, dekat Mal dan perkantoran serta pertokoan, hampir seluruh golongan penduduk ada.  Namun untuk memudahkan penataan kami mengelompokan penduduk dalam 3 katagori, yaitu. Katagori pertama adalah penduduk resmi dihitung sebagai satu KK, yakni penduduk yang memiliki tanah dan rumah sendiri atau penduduk yang menyewa rumah secara utuh sekeluarga. Penduduk katagori kedua adalah penduduk yang mengisi rumah kos, baik berbentuk kamar saja ada kamar mandi di dalam atau di luar, ataupun berbentuk rumah petak yang diisi keluarga atau disewa beberapa orang. Untuk penduduk jenis ini tidak mau dihitung sebagai satu KK baik untu iuran sampah ataupun iuran lainnya mereka menginduk ke sat kavling dianggap satu KK.  Penduduk katagori ketiga adalah penduduk yang memanfaatkan tanah- tanah yang belum dibangun rumah oleh pemilik tanahnya, dengan membangun rumah alakadarnya, dibuat berpanggung di atas rawa dengan dinding dan atap alakadarnya memanfaatkan barang-barang yang tidak terpakai.  Sebetulnya penduduk katagori ini termasuk penduduk 'liar', tidak dihitung dalam hal iuran tetapi dihitung sampai ke bay masih merah ketika sedang menghitung bantuan. 

Sewaktu 15 tahun lalu aku mulai menjadi penduduk disana, aku pernah jadi Seretaris RT.  Namun rupanya punya program untuk dapat memiliki data penduduk satu RT saja gagal, hehehe......karena terlalu banyak penduduk yang rumahnya tidak jelas, bahkan kedatangannya pun tidak jelas.  Terutama penduduk yang menempati kavling yang belum ada bangunannya. Karena yang penting berani, silahkan bangun kalau perlu disewakan kepada orang lain.  Kalau nanti pemilik kavlingnya mau membangun di tanah tersebut, tinggal minta ganti rugi. Baik dengan cara mengancam atau dengan cara memelas.  Biasanya biaya ganti rugi tersebut akan mencukupi untuk biaya memindahkan bangunan ke kavling lain yang kosong.

Dari seluruh pekerjaan ketua RT sekarang, pekerjaan yang paling sulit adalah menata jalan.  Setelah penduduk asli, pemilik kavling yang membangun rumah permanen dan menempati sendiri cukup banyak, maka kelihatan bentuk komplek perumahannya, karena jalan-jalan kavling mulai tersambung.  Masalahnya ternyata jalan yang ada menjadi lebih kecil dibandingkan dengan peta seharusnya.  Rupanya ada pergeseran dari bagian depan yang membawa dampak pergesaran pada tanah lainnya.  Karena masing-masing pemilik tanah mengukur tanah sendiri sesuai sertifikat yang dimiliki, akibatnya lebar jalanlah yang dikorbankan.  Akibat lainnya posisi tiang listrik dan tiang telepon yang dulu diperkirakan di pinggir jalan menjadi kurang sesuai.  Ada yang terletak di pagar rumah, namun ada juga yang terletak di tengah jalan.

Lebih celaka lagi ketika ada pengerasan jalan dari Pemda, dimana untuk pemerataan maka Pemda membuat kebijakan bahwa jalan lingkungan akan dikeraskan, namun caranya dicicil setiap RW diberi jatah tertentu.  Akibat jatah pengerasan jalan yang kurang memadai, maka untuk jalan utama yang lebarnya 12 meter hanya dikeraskan selebar 6 meter.  Jadi dimasing-masing sisi jalan ada tanah yang kosong yang tidak dikeraskan.  Mula-mula ada warga yang menanami dengan pohon buah-buahan. Terus warga sebelahnya membuat sedikit tambahan bangunan untuk menutupi mobilnya yang diparkir dipinggir jalan agar tidak kehujanan. Berlanjut diikuti warga lainnya memperluas usaha dengan menyimpan bahan dagangan atau kursi-kursi makan untuk warung nasi di jalan yang 3 meter tersebut, setelah kursi ditambah atap, lalu dipasang kramik agar bersih, selanjutnya dipasang triplek untuk menahan angin, yang ujungnya dinding tersebut diperbaharui dengan batu-bata, dan jadilah tambahan rumah permanen.

Ketika ada pertigaan yang agak kosong, maka penduduk katagori dua dan tiga pun segera membuat kios untuk jualan.  Lalu tukang becak memarkir juga becaknya di jalan, demikian juga Bapak dan ibu pemulung yang tinggal di gubuk liar dengan leluasa memarkir gerobaknya dijalan.  Bos pemulungpun memanfaatkan lahan pinggir jalan tersebut sebagai tempat menyimpan tumpukan sampah kardus, plastik ang telah ditata menunggu dikirim ke pabrik.  Penduduk katagori dua yang menyewa rumah petak tidak mau ketinggalan dengan membuat kandang ayam dipinggir jalan tersebut. Maka jadilah jalan yang dirancang 12 meter tersebut menjadi sempit, sehingga untuk dua mobil berpapasan saja sulit.

Gerakan-gerakan seperti di atas dilakukan secara berjamaah hampir oleh semua katagori penduduk dan semua jenis profesi.  Ya pak aparat,  ya pengurus RT, ya pengontrak, ya pemulung, tidak ketinggalan pemuka agama.  Bahkan ada diantara Bapak-bapak yang seharusnya memberi contoh yang baik serta mengingatkan kepada yang lain, malahan ikut-ikutan dengan membuat pondasi bangunan persis di batas tanah.  Kemudian untuk teras dan tamannya memanfaatkan jalan yang tidak dikeraskan tersebut.  Ada juga rumah-rumah yang dapurnya disulap menjadi warung atau ruang tamu, karena ternyata diujung dapur tersebut ada tanah jalan yanh belum dikeraskan.  Ruang dapur yang dahulu ukuran lebar 2 meter dengan ditambah tanah jalan 2 meter maka menjadi 4 meter, cukup untuk menjadi warung sembako.

Melihat kondisi tersebut terus terang aku sangat miris. Seakan semua lupa ajaran agama yang menyatakan hati-hati jangan sampai memakai hak orang lain, apalagi ini memakai hak umat, hak seluruh warga.  Aku ingat dikampungku dahulu para orang tua mengingatkan agar hati-hati bermain dengan tanah, karena nanti kalau meninggal maka tanah kuburannya akan menyempit.  Sudah diukur sesuai panjang orang meninggal, tetapi pas dimasukan ternyata ukurannya kurang.  Ditambah lagi ukuran kuburannya, ketika dimasukan kembali tetep kurang panjang.  Itulah ceritera yang beredar dari mulut pergunjingan orang di kampung, lalu dihubung-hubungkan bahwa ketika hidupnya dahulu suka mencangkul pematang milik tetangganya sehingga pematang yang dahulu lurus menjadi melengkung.

Tuhan, ampuni hamba yang tidak mampu berbuat apa-apa.

(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar