Sebenarnya pekerjaan yang paling sulit bukan menjad Presiden atau
menjadi Gubernur. Tetapi menjadi Ketua RT atau menjadi Ketua RW, jauh
lebih sulit karena berhubungan langsung dengan masyarakat yang kemauan,
kebutuhan, maupun kemampuannya beragam. Apalagi menjadi Ketua RT di
daerah kavling sepertiku yang penduduknya sangat beragam. Ada keluarga
yang sudah tua sudah beranak cucu, ada keluarga muda baru menikah, ada
yang masih lajang. Ada pegawai negeri, pegawai swasta, buruh pabrik,
dokter, tentara, pensiunan, tukang becak, pengangguran, peminta-minta,
pelacur, pemandu karoke, pegawai panti pijat, pegawai salon, polisi,
pensiunan jendral, jaksa, dll, pokoknya komplit.
Maklum yang
namanya tanah kavling dengan posisi di tengah kota, dekat Mal dan
perkantoran serta pertokoan, hampir seluruh golongan penduduk ada.
Namun untuk memudahkan penataan kami mengelompokan penduduk dalam 3
katagori, yaitu. Katagori pertama adalah penduduk resmi dihitung sebagai
satu KK, yakni penduduk yang memiliki tanah dan rumah sendiri atau
penduduk yang menyewa rumah secara utuh sekeluarga. Penduduk katagori
kedua adalah penduduk yang mengisi rumah kos, baik berbentuk kamar saja
ada kamar mandi di dalam atau di luar, ataupun berbentuk rumah petak
yang diisi keluarga atau disewa beberapa orang. Untuk penduduk jenis ini
tidak mau dihitung sebagai satu KK baik untu iuran sampah ataupun iuran
lainnya mereka menginduk ke sat kavling dianggap satu KK. Penduduk
katagori ketiga adalah penduduk yang memanfaatkan tanah- tanah yang
belum dibangun rumah oleh pemilik tanahnya, dengan membangun rumah
alakadarnya, dibuat berpanggung di atas rawa dengan dinding dan atap
alakadarnya memanfaatkan barang-barang yang tidak terpakai. Sebetulnya
penduduk katagori ini termasuk penduduk 'liar', tidak dihitung dalam hal
iuran tetapi dihitung sampai ke bay masih merah ketika sedang
menghitung bantuan.
Sewaktu 15 tahun lalu aku mulai menjadi
penduduk disana, aku pernah jadi Seretaris RT. Namun rupanya punya
program untuk dapat memiliki data penduduk satu RT saja gagal,
hehehe......karena terlalu banyak penduduk yang rumahnya tidak jelas,
bahkan kedatangannya pun tidak jelas. Terutama penduduk yang menempati
kavling yang belum ada bangunannya. Karena yang penting berani, silahkan
bangun kalau perlu disewakan kepada orang lain. Kalau nanti pemilik
kavlingnya mau membangun di tanah tersebut, tinggal minta ganti rugi.
Baik dengan cara mengancam atau dengan cara memelas. Biasanya biaya
ganti rugi tersebut akan mencukupi untuk biaya memindahkan bangunan ke
kavling lain yang kosong.
Dari seluruh pekerjaan ketua RT
sekarang, pekerjaan yang paling sulit adalah menata jalan. Setelah
penduduk asli, pemilik kavling yang membangun rumah permanen dan
menempati sendiri cukup banyak, maka kelihatan bentuk komplek
perumahannya, karena jalan-jalan kavling mulai tersambung. Masalahnya
ternyata jalan yang ada menjadi lebih kecil dibandingkan dengan peta
seharusnya. Rupanya ada pergeseran dari bagian depan yang membawa
dampak pergesaran pada tanah lainnya. Karena masing-masing pemilik
tanah mengukur tanah sendiri sesuai sertifikat yang dimiliki, akibatnya
lebar jalanlah yang dikorbankan. Akibat lainnya posisi tiang listrik
dan tiang telepon yang dulu diperkirakan di pinggir jalan menjadi kurang
sesuai. Ada yang terletak di pagar rumah, namun ada juga yang terletak
di tengah jalan.
Lebih celaka lagi ketika ada pengerasan jalan
dari Pemda, dimana untuk pemerataan maka Pemda membuat kebijakan bahwa
jalan lingkungan akan dikeraskan, namun caranya dicicil setiap RW diberi
jatah tertentu. Akibat jatah pengerasan jalan yang kurang memadai,
maka untuk jalan utama yang lebarnya 12 meter hanya dikeraskan selebar 6
meter. Jadi dimasing-masing sisi jalan ada tanah yang kosong yang
tidak dikeraskan. Mula-mula ada warga yang menanami dengan pohon
buah-buahan. Terus warga sebelahnya membuat sedikit tambahan bangunan
untuk menutupi mobilnya yang diparkir dipinggir jalan agar tidak
kehujanan. Berlanjut diikuti warga lainnya memperluas usaha dengan
menyimpan bahan dagangan atau kursi-kursi makan untuk warung nasi di
jalan yang 3 meter tersebut, setelah kursi ditambah atap, lalu dipasang
kramik agar bersih, selanjutnya dipasang triplek untuk menahan angin,
yang ujungnya dinding tersebut diperbaharui dengan batu-bata, dan
jadilah tambahan rumah permanen.
Ketika ada pertigaan yang agak
kosong, maka penduduk katagori dua dan tiga pun segera membuat kios
untuk jualan. Lalu tukang becak memarkir juga becaknya di jalan,
demikian juga Bapak dan ibu pemulung yang tinggal di gubuk liar dengan
leluasa memarkir gerobaknya dijalan. Bos pemulungpun memanfaatkan lahan
pinggir jalan tersebut sebagai tempat menyimpan tumpukan sampah kardus,
plastik ang telah ditata menunggu dikirim ke pabrik. Penduduk katagori
dua yang menyewa rumah petak tidak mau ketinggalan dengan membuat
kandang ayam dipinggir jalan tersebut. Maka jadilah jalan yang dirancang
12 meter tersebut menjadi sempit, sehingga untuk dua mobil berpapasan
saja sulit.
Gerakan-gerakan seperti di atas dilakukan secara
berjamaah hampir oleh semua katagori penduduk dan semua jenis profesi.
Ya pak aparat, ya pengurus RT, ya pengontrak, ya pemulung, tidak
ketinggalan pemuka agama. Bahkan ada diantara Bapak-bapak yang
seharusnya memberi contoh yang baik serta mengingatkan kepada yang lain,
malahan ikut-ikutan dengan membuat pondasi bangunan persis di batas
tanah. Kemudian untuk teras dan tamannya memanfaatkan jalan yang tidak
dikeraskan tersebut. Ada juga rumah-rumah yang dapurnya disulap menjadi
warung atau ruang tamu, karena ternyata diujung dapur tersebut ada
tanah jalan yanh belum dikeraskan. Ruang dapur yang dahulu ukuran lebar
2 meter dengan ditambah tanah jalan 2 meter maka menjadi 4 meter, cukup
untuk menjadi warung sembako.
Melihat kondisi tersebut terus
terang aku sangat miris. Seakan semua lupa ajaran agama yang menyatakan
hati-hati jangan sampai memakai hak orang lain, apalagi ini memakai hak
umat, hak seluruh warga. Aku ingat dikampungku dahulu para orang tua
mengingatkan agar hati-hati bermain dengan tanah, karena nanti kalau
meninggal maka tanah kuburannya akan menyempit. Sudah diukur sesuai
panjang orang meninggal, tetapi pas dimasukan ternyata ukurannya
kurang. Ditambah lagi ukuran kuburannya, ketika dimasukan kembali tetep
kurang panjang. Itulah ceritera yang beredar dari mulut pergunjingan
orang di kampung, lalu dihubung-hubungkan bahwa ketika hidupnya dahulu
suka mencangkul pematang milik tetangganya sehingga pematang yang dahulu
lurus menjadi melengkung.
Tuhan, ampuni hamba yang tidak mampu berbuat apa-apa.
(salam hangat dari kang sepyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar