Aku dilahirkan dari keluarga guru, ayahku guru, ibuku guru, tiga kakak
pertamaku semuanya guru, paman dan bibiku mayoritas guru, sepupuku juga
guru. Menikah sama istri seorang anak guru, yang kakak-kakaknya juga
guru, termasuk ipar-ipar juga guru. Jadi kalau perkembangan tentang
guru, sedikit demi sedikit aku tahu, baik dari sisi perkembangan
kesejahteraan, perkembangan cara pandang masyarakat terhadap guru,
maupun perkembangan sogok-menyogok di sekitar itu. Walaupun mungkin
tidak semuanya benar, maklum aku bukan pelaku utama, hanya melihat dari
jauh.
Dulu jaman Bapak dan ibuku guru, sosok guru adalah
bener-bener sosok yang perlu digugu dan ditiru, artinya digugu yaitu
kata-katanya benar sehingga perlu dipatuhi sedangkan ditiru karena
perilakunya benar sehingga perlu dijadikan contoh serta teladan oleh
masyarakat sekitarnya. Kesejahteran guru awal 60 sampai 70-an walaupun
termasuk kurang, tetapi kewibawaannya tidak terpengaruh oleh tingkat
kesejahteraan. Banyak teman Bapaku yang memilih menjadi pengusaha,
karena penghasilan guru masih sangat minim. Baru di tahun 80-an gaji guru
sudah lumayan lebih baik, guru bisa hidup lebih sejahtera dibandingkan
dengan petani, khususnya kalau melihat standar gaji guru yang hidupnya
di desa-desa.
Kontaminasi terhadap guru mulai terjadi tahun 80-an
akhir, setelah eranya berubah dari dikelola secara khusus oleh Kandep
dari Depatemen P dan K atau sekarang disebut Depdikbud menjadi dikelola
untuk bidang pendidikan oleh Depdikbud sedangkan untuk pangkat, gaji,
atau karir dikelola oleh Depdagri. Sehingga atasan guru atau kepala
Sekolah menjadi dua yaitu Penilik dan Kepala Dinas atau Kadin.
Aku
ingat bagaimana hubungan baik yang terjadi antara Bapaku dengan
Peniliknya, seperti hubungan dua keluarga, seperti hubungan dua kakak
beradik, yang bahkan sampai sekarang setelah keduanya tiada
bertahun-tahun, kami anak-anaknya masih menjalin silaturahmi, masih
saling menanyakan kabar. Suatu hubungan atasan bawahan yang didasari
dengan pertalian emosi dan hati, bukan sekedar hubungan kerja. Karena
seharusnya kerja sebagai guru atau pendidik bukan hanya sekedar hubungan
upah atau buruh memberikan pengetahuan tetapi lebih sebagai hubungan
emosi transfer ilmu, transfer nilai kehidupan, jadi harus didasari
keikhlasan serta ketulusan hati. Keadaan tersebut baru akan tercipta
apabila hubungan kerja antar guru dengan kepala Sekolah dan dengan
Penilik didasari oleh kekeluargaan bukan organisasi yang hanya
berdasarkan atasan bawahan.
Ketika aku sempat bertanya ke Bapaku
kenapa pensiun diusia 50 tahun, bukannya 55 bahkan 60 tahun yang
memungkinkan usia pensiun Kepala Sekolah, dijawabnya adalah karena merasa
suasana kerja guru yang berjalan sekarang sudah tidak sesuai dengan
hati nuraninya. Kalau dahulu ada penilik datang paling yang disiapkan
adalah makanan hasil masakah istri-istri guru, tapi kalau sekarang
penilik datang harus diberikan amplop, terus amplopnya dari mana kalau
bukan ngambil dari anggaran sekolah. Kalau dulu untuk dapat jabatan dan
naik pangkat tidak perlu mengurus, SK naik pangkat tiba-tiba datang
sendiri, demikian juga jabatanpun ditawari. Kalau sekarang untuk jadi
kepala sekolah saja harus nyogok sana nyogok sini, deketin sana deketin
sini, lobi sana lobi sini. Tidak heran kalau yang jadi kepala sekolah
bukan orang yang paling kompeten dibidang pendidikan, tetapi yang paling
bagus lobi dan sogokannya. Apakah semua begitu ??? tentu saja tidak,
sebagian walaupun kecil tentu ada yang masih sesuai kompetensinya.
Berbicara
tentang kenaikan pangkat, aku pernah mengantar ke kantor Depdikbud
beberapa orang guru teman kakaku. Waktu itu hari libur, jadi kantor
Depdikbud di Jalan Sudirman Jakarta sedang kosong. Kakaku beserta
beberapa guru lain yang sudah lama tidak naik pangkat, datang membawa
berkas kesana dibelain datang dari kampung setelah selesai mengajar,
sampai ke Jakarta menjelang subuh lalu datanglah ke gedung megah
tersebut. Kirain mau masuk menemui seseorang di dalam kantor, ternyata
hanya ketemu seseorang di tempat parkir.....hehehe, jauh-jauh hanya mau
janjian di parkiran. Aku gak tahu apa yang dibicarakan dan transaksi
apa yang dilakukan, tapi katanya hasilnya efektif. Dipikir-pikir kok
kaya transaksi narkoba ya ?
Yang lebih heboh lagi ketika mulai
diterapkannya sertifikasi bagi guru. Yang aku lihat bagaimana ibu-ibu
dan bapak-bapak yang sudah tidak memiliki sisa semangat belajar tersebut
harus sekolah kembali sehingga bisa mendapatkan ijasah yang sesuai
untuk mendapat sertifikasi. Kalau denger cerita kakaku, jangankan
mendapatkan tambahan pengetahuan, karena katanya udah mentok, pokoknya
antara mahasiswa dan dosen sama-sama tahu yang penting dapat ijasah
untuk sertifikasi. Peningkatan mutu guru melalui ijasah D2, D3, atau S1
boleh dikata omong kosong kalau hanya dengan cara begitu. Salah satu kakaku yang ditugasi sebagai pengawas saat ujian, suka bingung karena baru masuk mengawas tiba-tiba sudah dikasih amplop oleh penilik sekolah guru-guru tersebut. Mohon bantuan dan kerjasamanya katanya, dan ketika ditolak dikatakan bahwa itu sudah perintah atasan, karena semuanya juga sudah mau menerima.......hehehe kacau khan kalau sudah begini ? yang benar jadi bingung, yang salah menjadi benar, dan ini terjadi di dunia pendidikan, di dunia guru.
Setelah
mendapatkan ijasah, tentu saja sebagian dengan cara menyogok dan
mengharap belas kasihan, perjuangan berlanjut untu mendapatkan
persyaratan lainnya seperti seminar, jumlah jam mengajar, karya tulis.
Untuk golongan guru SD ya hanya jam mengajar yang bisa dipenuhi, tapi
kok bisa dapat sertifikasi.....itulah hebatnya...hukum permintaan
mengasilkan penawaran berlaku, pokoknya semua bisa didapatkan....apapun
yang terjadi.
Rupanya upaya perbaikan dan menghindari
kongkalingkong oleh Pemerintah terus dilakukan, sehingga lebaran kemaren
ceritanya sudah berubah yaitu para guru (kakak-kakaku) sedang belajar
menggunakan mouse komputer, karena ada Uji Kompetensi Guru (UKG) yang
dilakukan secara on line menggunakan komputer. Jadi pilihan ujiannya
dilakukan dengan langsung menekan lembar jawaban yang ada di layar.
Pokoknya kalau sudah bisa menggunakan 'kelinci' nya sudah tenang, ada
yang bilang 'kelinci" nya liar banget susah dikendalikan, itulah obrolan
mereka tentang UKG baru sampai tahap mengendalikan mouse yang mereka
terjemahkan sebagai 'kelinci'. Jauh belum mempelajari materi apa yang
diujikan. Sehingga ketika kakaku mendapat nilai 51 kata penguji itu
sudah termasuk ranking dua terbesar karena yang lainnya banyak yang
hanya mendapat nilai 20-an bahkan ada yang nilainya cuma 1, 2, atau 3
dari skala angka 100.
Itulah sebenarnya gambaran kompetensi guru
ang ada sekarang, padahal aku yakin (mudah-mudahan keyakinanku ini
salah) dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan timbul penawaran
yang bisa meningkatkan perolehan nilai UKG tanpa meningkatkan kompetensi
guru. Kongkalingkong telah terlalu mengakar, dan memang lebih berbahaya
kalau mengakarnya mulai bidang pendidikan. Karena 'nilai' tersebut secara
tidak sengaja akan terajarkan kepada anak muridnya. Pantes Bapakku
dahulu resah, karena tidak bisa melawan lebih baik beliau keluar dari
sistem tersebut, karena akibatnya terlalu besar bagi bangsa ini.
Mari kita berdo'a.....karena hanya Allah lah yang bisa membolak-balikan hati manusia.
Mohon maaf bila ada data yang keliru, ini hanya berdasarkan data yang aku tahu dari kakak-kakaku, tidak menggeneralisir seluruhnya.
(salam hangat dari kang sepyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar