Sabtu, 25 Agustus 2012

SERTIFIKASI GURU

 Aku dilahirkan dari keluarga guru, ayahku guru, ibuku guru, tiga kakak pertamaku semuanya guru, paman dan bibiku mayoritas guru, sepupuku juga guru. Menikah sama istri seorang anak guru, yang kakak-kakaknya juga guru, termasuk ipar-ipar juga guru. Jadi kalau perkembangan tentang guru, sedikit demi sedikit aku tahu, baik dari sisi perkembangan kesejahteraan, perkembangan cara pandang masyarakat terhadap guru, maupun perkembangan sogok-menyogok di sekitar itu.  Walaupun mungkin tidak semuanya benar, maklum aku bukan pelaku utama, hanya melihat dari jauh.

Dulu jaman Bapak dan ibuku guru, sosok guru adalah bener-bener sosok yang perlu digugu dan ditiru, artinya digugu yaitu kata-katanya benar sehingga perlu dipatuhi sedangkan ditiru karena perilakunya benar sehingga perlu dijadikan contoh serta teladan oleh masyarakat sekitarnya. Kesejahteran guru awal 60 sampai 70-an walaupun termasuk kurang, tetapi kewibawaannya tidak terpengaruh oleh tingkat kesejahteraan.  Banyak teman Bapaku yang memilih menjadi pengusaha, karena penghasilan guru masih sangat minim. Baru di tahun 80-an gaji guru sudah lumayan lebih baik, guru bisa hidup lebih sejahtera dibandingkan dengan petani, khususnya kalau melihat standar gaji guru yang hidupnya di desa-desa.

Kontaminasi terhadap guru mulai terjadi tahun 80-an akhir, setelah eranya berubah dari dikelola secara khusus oleh Kandep dari Depatemen P dan K atau sekarang disebut Depdikbud menjadi dikelola untuk bidang pendidikan oleh Depdikbud sedangkan untuk pangkat, gaji, atau karir dikelola oleh Depdagri.  Sehingga atasan guru atau kepala Sekolah menjadi dua yaitu Penilik dan Kepala Dinas atau Kadin.

Aku ingat bagaimana hubungan baik yang terjadi antara Bapaku dengan Peniliknya, seperti hubungan dua keluarga, seperti hubungan dua kakak beradik, yang bahkan sampai sekarang setelah keduanya tiada bertahun-tahun, kami anak-anaknya masih menjalin silaturahmi, masih saling menanyakan kabar. Suatu hubungan atasan bawahan yang didasari dengan pertalian emosi dan hati, bukan sekedar hubungan kerja. Karena seharusnya kerja sebagai guru atau pendidik bukan hanya sekedar hubungan upah atau buruh memberikan pengetahuan tetapi lebih sebagai hubungan emosi transfer ilmu, transfer nilai kehidupan, jadi harus didasari keikhlasan serta ketulusan hati.  Keadaan tersebut baru akan tercipta apabila hubungan kerja antar guru dengan kepala Sekolah dan dengan Penilik didasari oleh kekeluargaan bukan organisasi yang hanya berdasarkan atasan bawahan.

Ketika aku sempat bertanya ke Bapaku kenapa pensiun diusia 50 tahun, bukannya 55 bahkan 60 tahun yang memungkinkan usia pensiun Kepala Sekolah, dijawabnya adalah karena merasa suasana kerja guru yang berjalan sekarang sudah tidak sesuai dengan hati nuraninya. Kalau dahulu ada penilik datang paling yang disiapkan adalah makanan hasil masakah istri-istri guru, tapi kalau sekarang penilik datang harus diberikan amplop, terus amplopnya dari mana kalau bukan ngambil dari anggaran sekolah. Kalau dulu untuk dapat jabatan dan naik pangkat tidak perlu mengurus, SK naik pangkat tiba-tiba datang sendiri, demikian juga jabatanpun ditawari. Kalau sekarang untuk jadi kepala sekolah saja harus nyogok sana nyogok sini, deketin sana deketin sini, lobi sana lobi sini. Tidak heran kalau yang jadi kepala sekolah bukan orang yang paling kompeten dibidang pendidikan, tetapi yang paling bagus lobi dan sogokannya. Apakah semua begitu ??? tentu saja tidak, sebagian walaupun kecil tentu ada yang masih sesuai kompetensinya.

Berbicara tentang kenaikan pangkat, aku pernah mengantar ke kantor Depdikbud beberapa orang guru teman kakaku. Waktu itu hari libur, jadi kantor Depdikbud di Jalan Sudirman Jakarta sedang kosong.  Kakaku beserta beberapa guru lain yang sudah lama tidak naik pangkat, datang membawa berkas kesana dibelain datang dari kampung setelah selesai mengajar, sampai ke Jakarta menjelang subuh lalu datanglah ke gedung megah tersebut. Kirain mau masuk menemui seseorang di dalam kantor, ternyata hanya ketemu seseorang di tempat parkir.....hehehe, jauh-jauh hanya mau janjian di parkiran.  Aku gak tahu apa yang dibicarakan dan transaksi apa yang dilakukan, tapi katanya hasilnya efektif. Dipikir-pikir kok kaya transaksi narkoba ya ?

Yang lebih heboh lagi ketika mulai diterapkannya sertifikasi bagi guru.  Yang aku lihat bagaimana ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah tidak memiliki sisa semangat belajar tersebut harus sekolah kembali sehingga bisa mendapatkan ijasah yang sesuai untuk mendapat sertifikasi.  Kalau denger cerita kakaku, jangankan mendapatkan tambahan pengetahuan, karena katanya udah mentok, pokoknya antara mahasiswa dan dosen sama-sama tahu yang penting dapat ijasah untuk sertifikasi.  Peningkatan mutu guru melalui ijasah D2, D3, atau S1 boleh dikata omong kosong kalau hanya dengan cara begitu.  Salah satu kakaku yang ditugasi sebagai pengawas saat ujian, suka bingung karena baru masuk mengawas tiba-tiba sudah dikasih amplop oleh penilik sekolah guru-guru tersebut.  Mohon bantuan dan kerjasamanya katanya, dan ketika ditolak dikatakan bahwa itu sudah perintah atasan, karena semuanya juga sudah mau menerima.......hehehe kacau khan kalau sudah begini ? yang benar jadi bingung, yang salah menjadi benar, dan ini terjadi di dunia pendidikan, di dunia guru.

Setelah mendapatkan ijasah, tentu saja sebagian dengan cara menyogok dan mengharap belas kasihan, perjuangan berlanjut untu mendapatkan persyaratan lainnya seperti seminar, jumlah jam mengajar, karya tulis.  Untuk golongan guru SD ya hanya jam mengajar yang bisa dipenuhi, tapi kok bisa dapat sertifikasi.....itulah hebatnya...hukum permintaan mengasilkan penawaran berlaku, pokoknya semua bisa didapatkan....apapun yang terjadi.

Rupanya upaya perbaikan dan menghindari kongkalingkong oleh Pemerintah terus dilakukan, sehingga lebaran kemaren ceritanya sudah berubah yaitu para guru (kakak-kakaku) sedang belajar menggunakan mouse komputer, karena ada Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilakukan secara on line menggunakan komputer. Jadi pilihan ujiannya dilakukan dengan langsung menekan lembar jawaban yang ada di layar. Pokoknya kalau sudah bisa menggunakan 'kelinci' nya sudah tenang, ada yang bilang 'kelinci" nya liar banget susah dikendalikan, itulah obrolan mereka tentang UKG baru sampai tahap mengendalikan mouse yang mereka terjemahkan sebagai 'kelinci'. Jauh belum mempelajari materi apa yang diujikan.  Sehingga ketika kakaku mendapat nilai 51 kata penguji itu sudah termasuk ranking dua terbesar karena yang lainnya banyak yang hanya mendapat nilai 20-an bahkan ada yang nilainya cuma 1, 2, atau 3 dari skala angka 100.

Itulah sebenarnya gambaran kompetensi guru ang ada sekarang, padahal aku yakin (mudah-mudahan keyakinanku ini salah) dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan timbul penawaran yang bisa meningkatkan perolehan nilai UKG tanpa meningkatkan kompetensi guru. Kongkalingkong telah terlalu mengakar, dan memang lebih berbahaya kalau mengakarnya mulai bidang pendidikan. Karena 'nilai' tersebut secara tidak sengaja akan terajarkan kepada anak muridnya. Pantes Bapakku dahulu resah, karena tidak bisa melawan lebih baik beliau keluar dari sistem tersebut, karena akibatnya terlalu besar bagi bangsa ini.

Mari kita berdo'a.....karena hanya Allah lah yang bisa membolak-balikan hati manusia.


Mohon maaf bila ada data yang keliru, ini hanya berdasarkan data yang aku tahu dari kakak-kakaku, tidak menggeneralisir seluruhnya.

(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar