Selasa, 23 Juli 2013

GEMPA GAYO

Tiba-tiba aku terbangun, karena terasa laju mobil seperti melayang di udara. Otomatis kumenengok kebelakang, dan terlihat jalan yang baru saja kami lalui seperti ada gunungan kecil, yang membuat mobil dengan kecepatan tinggi akan seperti melayang.  Lalu pandangan kualihkan kedepan, terlihat jalan walaupun aspalnya mulus, tetapi permukaannya seperti bergelombang.  Rupanya bukan aku saja yang terbangun karena kondisi jalan seperti itu, tetapi Rudi dan Rahmat yang duduk jok tengahpun ikut terbangun.  Aku melirik ke pak Yamin, sopir yang duduk di sebelahku sambil berguman "jalannya gak rata ya, pelan-pelan aja".  "Iya pak !" jawab pak Yamin sigap.

Hari itu kami berempat sedang mengadakan perjalanan dari Banda Aceh menuju Sigli.  Aku berangkat naik pesawat pagi dari Jakarta, lalu mampir sebentar untuk makan Ayam Peragawati.  Kami menyebutnya ayam peragawati, karena kaki ayamnya panjang-panjang, dan warnanya kuning mulus.  Dijual di rumah makan dekat bandara kira-kira jaraknya 500 meter dari pintu keluar bandara Sultan Iskandar Muda.  Menu khasnya yaitu gulai kambing serta goreng ayam.

Jam satu siang setelah selesai makan, kami berangkat ke Sigli untuk mengikuti acara yang dijadwalkan jam tiga sore.  Perjalanan dari Banda Aceh ke Sigli sekitar 110 km memerlukan waktu sekitar 2 jam perjalanan.  Waktu terbangun tadi, kiranya kami sudah melewati setengah perjalanan, bahkan sudah hampir masuk wilayah Sigli.  Jalan di kiri kanan masih seperti hutan, di kaki perbukitan Seulawah.  Sejurus kemudian, Rudi berteriak "pak ada gempa !".  "kata siapa ?" tanyaku.  "ini pak, status teman yang di Aceh, dirubah menjadi GEMPA", jawab Rudi.  Rupanya yang aku lihat tadi seperti jalan bergelombang adalah karena ada gerakan gempa.  Sehingga mobil juga terasa melayang.


Aku langsung teringat kejadian bulan Januari lalu nginap di hote Hermes, kebetulan dapat kamar di lantai 5.  Setelah sholat malam, aku lihat sudah hampir tiba waktu subuh, paling seperempat jam lagi.  Jadi aku tidak tidur dulu, hanya leyeh-leyeh sambil mempermainkan remote TV.  Tiba-tiba ranjangku terasa bergerak.  Otomatis aku bangun, sambil lihat sekeliling.  Selanjutnya timbul bunyi berderak-derak, bersumber dari atap bangunan. Ada gempa pikirku.  Tanpa pikir panjang, segera aku keluar kamar masih mengenakan kain sarung, berlari dilorong hotel mencari tangga darurat.  


Bentuk lantai 5 Hotel Hermes seperti huruf L, dengan jumlah sekitar 40 kamar berderet berhadap-hadapan sepanjang lorong yang membentuk huruf L tersebut.  Aku menempati kamar yang letaknya di sebelah kiri lift, berjarak satu kamar dari lift tersebut.  Disebelah kiri kamarku masih ada 5 kamar lagi sampai ke ujung bangunan.  jarak dari lift ke ujung sebelah kiri hampir sama dengan ke ujung sebelah kanan.  Namun kalau di ujung sebelah kanan tidak mentok tembok, tetapi ada lorong lain sehingga membentuk huruf L.
Aku berlari mencari tangga darurat, biasanya ada di ujung bangunan gedung.  Aku berlari ke arah ujung terdekat yaitu ke sebelah kiri.  


Tetapi rupanya di ujung tersebut tidak ada tangga darurat, maka bergegas aku balik arah.  Ada dua tamu lain yang juga aku lihat keluar kamar, yang satu masih mengenakan celana kolor pendek berkaos singlet dan membawa bantal di atas kepalanya, sedangkan satu lagi mengenakan piyama.  Kami bertiga jadinya berlarian mencari tangga darurat ke ujung yang satu lagi.  Mungkin karena panik, jadi kami tidak menemukan tangga darurat tersebut.  Bunyi alarm dan derakan gedung yag kadang-kadang bercericit semakin menambah kepanikan.  Mau belok ke gang yang membentuk huruf L aku lihat jauh sekali ujungnya.  Takutnya di ujung yang satu lagi juga tidak ada tangga darurat.  Kenapa tadi malam enggak lihat-lihat dulu denah kamar, yang biasanya dicantumkan didinding pintu sebelah dalam ?  Kenapa tadi malam tidak orientasi dulu keadaan melihat dimana terletak tangga darurat ? Nyesel deh.  Mau masuk kamar lagi gak bisa, karena pintu sudah terkunci otomatis.

Selagi kami bertiga kebungungan, tiba-tiba ada bule perempuan berkaos merah tanpa kerah dan celana panjang batik keluar dari salah satu kamar.  Usianya kira-kira 60-an, dengan rambut pirang di atas bahu.  Tidak seperti bule pada umumnya yang badannya tinggi, dia paling sekitar 165 cm, sepantaran sama aku.  Dia berjalan dan langsung membuka pintu yang ada di sebelah kanan lift.  Rupanya itu adalah tangga darurat yang kami cari-cari dari tadi.  Bule itu berjalan menuruni tangga dengan santai.  Entah santai atau mungkin juga dia tidak bisa jalan cepat.  Kami bertiga ikut mengekor dibelakangnya yaitu aku, orang berbantal yang terus setia menyimpan bantal diatas kepalanya, dan orang ber piyama, jalan santai juga.  Maklum tangga daruratnya hanya sekitar 1 meter kurang, jadi enggak bisa mendahului.  Padahal hati ini rasanya ingin berlari secepat-cepatnya.


Gempa bulan Januari lalu menyebabkan beberapa kerusakan di Sigli, bahkan ada korban jiwa.  Gempa ini ternyata lebih dahsyat dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah didaerah Gayo, juga korban jiwa yang lebih banyak.  Dalam perjalanan pulang setelah selesai pertemuan di Sigli, aku coba tanyakan kondisinya ke pak Elmi yang menjadi bos di wilayah Gayo, beliau melaporkan bahwa ada beberapa kantor yang rusak dan tidak bisa operasi, terus ada beberapa korban jiwa salah satunya di daerah blang mancung karena ada mesjid yang roboh dan di dalam mesjid itu terdapat anak-anak yang sedang belajar ngaji.  Innalillahi-wainna illaihi rojiun. Semoga mereka syahid.


Carilah dunia seolah-olah engkau akan hidup selamanya.  Dan carilah akhirat seolah-olah engkau akan mati besok.



(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar