Kamis, 23 Mei 2013

SALAM DARI NARINGGUL CITY


Pucuk pohon berwarna biru kehitaman tampak puluhan mungkin ratusan meter berada dibawah.  Disusul dengan pohon lainnya yang tumbuh bertumpuk-tumpuk di tebing. Tambah ke atas pucuk-pucuk tersebut semakin kelihatan berwarna hijau kecoklatan, bahkan ada yang berwarna merah.  Pemandangan arah kiri, ketika mobil melaju dijalanan naik berbatu dari Cidaun menuju Naringgul.

Jalanan menanjak berkelak-kelok mengikuti sisi tebing.  Bila mobil belok harus berhati-hati mengingat badan jalan yang hanya sekitar empat meter, diapit sebelah kiri jurang dan sebelah kanan tebing.  Apalagi ketika belok ke kanan yang pandangannya tertutup tebing, bila kurang waspada tiba-tiba dari arah depan muncul mobil lain, bukan tidak mungkin sopir yang kurang pengalaman bisa membanting setir ke arah kiri, yang artinya mendatangi pucuk-pucuk pohon tadi.  Sehingga setiap ada belokan, rasanya darahku terus ikut-ikutan berdesir, dan kakiku ikut menegang, ingin mengnjak rem. Sedangkan kang Parmin sopir yang membawa mobil tenang-tenang saja. "Sudah biasa pak, saya hampir dua minggu sekali melewati jalan ini" demikian dia menenangkan aku yang mungkin kelihatan gelisah duduk dipinggir dia.

Naringgul adalah salah satu kecamatan di wilayah selatan Jawa Barat dan masuk dalam wilayah kabupaten Cianjur.  Dari Cianjur ke Naringgul memerlukan waktu sekitar tujuh jam ke arah selatan melewati Cibeber, Cidadap, Sukanegara, Pagelaran, Tanggeung, Cibinong, sampai ke pantai selatan yaitu daerah Sindang Barang yang memerlukan waktu sekitar 5 jam.  Dari Sindang Barang belok ke kiri arah ke timur melewati Cidaun memerlukan waktu sekitar 1 jam.  Dari Cidaun apabila terus lurus akan sampai ke Pameungpeuk wilayah kabupaten Garut, dan bila  belok kiri ke arah utara menuju Naringgul.  Jalan dari Cidaun ke Naringgul menaiki gunung dengan jarak  29 kilometer dan waktu tempuh sekitar satu jam.  Dua jam dari Naringgul terus ke utara, akan sampai ke daerah Pangalengan, dimana disana terhampar perkebunan teh dan peternakan sapi yang telah dirintis sejak jaman Belanda.

Udara di Naringgul cukup dingin karena merupakan daerah pegunungan, umumnya masyarakat memiliki mata pencaharian dari bertani.  Ada juga yang membuat gula kelapa serta mencari kayu di hutan.  Tapi karena terisolir, maka pembangunannya sangat terbatas.  Jalanan hampir seluruhnya berlubang, bahkan banyak yang membentuk kubangan apabila hujan turun.  Menurut teman yang disana "jarang ada pejabat yang datang lebih dari sekali kesini pak, biasanya mereka kapok karena jaraknya sangat jauh dan jalannya rusak".  Aku menyebutnya Naringgul City dengan harapan dan do'a mudah-mudahan, kelak daerah ini bisa menjadi sebuah kota yang tidak tertinggal pembangunannya.

Pembangunan wilayah selatan Jawa Barat seperti Naringgul dan sekitarnya memang sangat memilukan.  Bahkan jalan propinsi yang ada di wilayah pantai yang menghubungkan pantai Pangandaran sampai pantai Pelabuhan Ratu, keadaannya rusak parah.  Terutama setelah ada proyek penggalian pasir besi.  Konon pasir yang berada di sekitar pantai selatan itu mengandung besi dan laku di ekspor ke luar negeri. Sepanjang jalan pantai selatan banyak hilir mudik truk kelebihan beban mengangkut pasir besi.  Entah diangkut kemana dan entah siapa yang diuntungkan, yang masyarakat tahu adalah jalanan menjadi rusak.  Hanya wilayah kabupaten yang dahulu dipimpin Aceng Fikri yang tidak memberikan izin penggalian pasir besi.  Yang lainnya mengikuti lagi bento "persetan orang susah karena aku, yang penting asik, sekali lagi asiiiikkk".

Padahal di wilayah selatan banyak pantai-pantai yang indah pemandangannya, banyak potensi-potensi ekonomi yang dapat dikembangkan.  Namun untuk dapat mengembangkan semua itu perlu campur tangan pemerintah.  Bukan membela orde baru, tetapi jaman itu ada proyek PIR yang dicanangkan di wilayah selatan, dan sampai sekarang hasilnya masih dinikmati oleh masyarakat di sana, yaitu perkebunan kelapa. Sekarang pohonnya sudah sangat tinggi, dan setiap hari petani gula disana rajin menaikkan jerigen ukuran 10 liter ke puncak pohon, mengganti jerigen yang sudah terisi penuh nira kelapa.  Dari tetesan nira itulah, 40% warga dapat menghidupi keluarganya.

Pohon yang sudah tinggi, tentunya memerlukan peremajaan.  Namun masyarakat belum mendengar bimbingan peremajaan seperti apa yang harus dilakukan oleh mereka.  Mungkin Bapak dan Ibu pejabatnya masih sibuk menghitung fee penggalian pasir besi.  Yang warnanya hitam dengan butiran besi gemerlap bila tertimpa cahaya matahari, lebih menarik dan menjanjikan keuntungan.  Apalagi dikombinasikan dengan jumlah penduduk wilayah selatan yang relatif jarang dibandingkan wilayah tengah, sehingga kurang menarik untuk dijadikan basis pendulang suara.  Kalau tanggung-jawab harus dikalkulasi dengan keuntungan, jadinya seperti ini.

Menjelang sore,  mendekati jam 16.30, teman di Naringgul mengingatkan untuk segera turun kalau tidak akan bermalam di Naringgul.  Katanya jalanan di daerah tebing tadi, kalau malam kurang aman, sering diceritakan ada "begal" atau rampok yang berkeliaran di daerah tersebut.  Maklum di sekitar tebing tidak ada rumah penduduk. Jarak antara rumah terakhir sebelum tebing sampai rumah pertama setelah melewati tebing bisa mencapai 20 kilmeter.  Ditambah tidak ada sinyal hand phone, hmmmmm........memang cukup masuk akal.  Hari gini......keamanan pun masih menjadi barang langka.

Kalau memungkinkan.......aku berjanji, aku akan datang lagi ke Naringgul, sehingga bisa mematahkan mitos kalau ke Naringgul hanya sekali, karena kapok.  Naringgul City.......tunggu aku......mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi dengan posisi yang lebih baik.

Kepada para pembaca yang memiliki akses sama kang Aher atau Kang Dedi Mizwar, tolong sampaikan titipan salam dan pesan  dari masyarakat di Naringgul.  Minta ditengokin.


(salam hangat dari kang sepyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar